Flavia seketika takut. Namun, dia tidak yakin dengan ucapan Bian. “Jangan mencoba menakut-nakuti aku!” Flavia memberikan peringatan pada Bian. “Aku tidak berbohong. Aku sering mendengar derap kaki di lorong ini. Kemudian suara pintu utama itu dibuka. Saat aku cek, ternyata tidak ada siapa pun di sana.” Bian memberitahu Flavia.Bulu kuduk Flavia berdiri ketika cerita horor yang diberikan oleh Bian. Dia jelas takut. Lebih baik, dia tidak dengar cerita. Karena rasa takut itu seketika muncul dan begitu menakutkan. Bian menahan tawanya. Dia tahu Flavia takut. “Sudah aku mau mandi.” Bian segera mengayunkan langkahnya ke kamarnya. Flavia melihat ke sekitar. Terdapat empat pintu kamar. Dilihat dari luar, kamar begitu besar. Pastinya akan begitu seram. “Tunggu.” Flavia menarik Bian agar tidak masuk ke kamarnya.“Apa?” Bian yang nyaris membuka pintu kamar, menghentikan langkahnya. “Aku tidur di mana?” Flavia langsung bertanya pada Bian. “Tidur denganku jika tidak keberatan.” Bian menyerin
Makan malam bersama begitu hangat. Tidak hanya keluarga Adion makan malam kali ini, tetapi ada keluarga Julian juga. Flavia melihat keakraban sebuah keluarga yang tak pernah dilihatnya. Tentu saja itu membuatnya iri. Seusai makan, mereka melanjutkan mengobrol di ruang keluarga. Flavia melihat Lora dan Nick yang begitu asyik bermain dengan Bian. Sudah seperti teman saja dua anak kecil itu dengan Bian. “Uncle tidak punya anak?” Lora menatap Bian polos. Bagi anak-anak kecil bertanya sesuai apa yang dipikirkannya. Tak peduli apa yang sedang terjadi pada orang-orang dewasa. Bian terpaku. Pertanyaan itu tentu saja membuatnya bingung harus memberikan jawaban apa. Pertanyaan itu juga membuat Flavia canggung. Dia merasa bingung harus menjawab apa mengingat jika dia belum tahu akan hamil atau tidak. “Belum, Sayang, adik bayi masih proses dibuat.” Bian tersenyum sambil membelai lembut rambut Lora. “Memang buatnya pakai apa?” Lolo menatap ingin tahu. Anak-anak memang memiliki rasa penasaran
Flavia menatap malas pada Bian. “Aku tidak akan ke kamarmu!” Dengan tegas Flavia menjawab. Dia tidak akan tergoda untuk ke kamar Bian. “Terserah, tapi ingat jika ada derap kaki percayalah itu bukan manusia. Karena jarang yang ke kamar atas. Apalagi hanya kita yang berada di kamar atas.” “Jangan mencoba membodohi aku dengan cerita horor konyolmu itu. Aku tidak percaya.” Flavia masih dengan keyakinannya. Tak berlama-lama, dia segera menuju ke kamarnya. Dia merasa tidak takut dengan cerita Bian. Bian tersenyum ketika melihat Flavia masuk ke kamarnya. Ceritanya memang tidak benar. Namun, sugesti yang diberikan pada Flavia tentu saja akan terngiang di telinga Flavia. Alam bawah sadarnya akan berpikir yang dikatakannya adalah benar. Flavia masuk ke kamarnya. Saat masuk Flavia merasa ada yang aneh. Kamar begitu besar. Terbiasa dengan kamar kecil tentu saja membuat Flavia merasa tidak nyaman. Apalagi mendengar cerita Bian. “Itu hanya akal-akalan Bian saja!” Flavia yakin tidak ada hantu d
Ketika menyadari jika berada di dalam pelukan Bian, Flavia langsung mendorong tubuh Bian. Bian yang berada dalam posisi jongkok pun terjatuh. “Kenapa kamu mendorongku?” Bian cukup terkejut. Dia merasa bingung kenapa Flavia mendorongnya secara tiba-tiba. Flavia tidak menyangka jika dorongannya cukup keras hingga membuat Bian sampai terjatuh. Tentu saja itu membuatnya merasa tidak enak dengan Bian. “Kamu memelukku.” Flavia berkata jujur. Dia memang terkejut ketika Bian memeluknya. “Astaga, setelah kamu menikmati pelukanku cukup lama, baru kamu mencampakan aku begitu saja.” Bian berangsur bangun. Sedikit kesal pada Flavia. Mengingat tadi istrinya itu memeluknya cukup erat.Flavia malu karena ketahuan menikmati pelukan dari Bian. “Ayo cepat. Aku sudah mengantuk.” Bian melewati Flavia begitu saja. Mengayunkan langkahnyaFlavia masih terpaku di tempatnya tak beranjak. Masih berjongkok di lantai. “Apa kamu menunggu ada hantu di situ?” Bian yang gemas melihat istrinya tidak beranjak sa
Flavia begitu pulas sekali tidur. Karena semalam tidak bisa tidur, membuatnya sampai begitu nyenyak. Tanpa menyadari di mana keberadaannya sebenarnya. Flavia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Namun, saat menghirup aroma maskulin, sejenak Flavia berpikir dari mana aroma itu berasal? Flavia membuka matanya. Pandangannya menyapu sekitar melihat di mana sekarang dirinya berada. Saat melihat jika dirinya berada di kamar Bian, dia baru menyadari jika semalam dirinya tidur di kamar Bian. Ketakutannya membuatnya meruntuhkan egonya untuk tidur di kamar Bian. Mengingat tidur di kamar Bian tentu saja membuat Flavia memastikan keadaannya. Namun, dia tidak menemukan Bian ada di sana. Sofa tampak kosong. “Ke mana dia?” Flavia mencari keberadaan Bian. Tepat saat bibirnya baru saja tertutup, Flavia melihat Bian keluar dari kamar mandi. Jika semalam melihat Bian dengan telanjang dada, tetapi masih pakai celana, kali ini hanya selembar handuk yang melilit tubuh Bian yang dipakai. Tentu saja
Mama Lyra menatap Flavia. Dia sudah tahu apa yang terjadi pada Flavia dan Bian. Sebagai dokter tentu saja dia tidak bisa berbohong jika pengecekan setelah pembuahan tidak bisa. Karena secara medis tetap bisa, walaupun tidak akurat. “Secara medis bisa, tetapi tetap kurang akurat. Aku lebih menyarankan ketika masuk enam minggu. Karena akan lebih akurat.” Mama Lyra memberikan sarannya pada Flavia. Flavia mengangguk-anggukan kepalanya mengerti yang dijelaskan oleh Mama Lyra. Dia pastinya tidak akan melakukan pengecekan karena pastinya akan lebih dini. Lagi pula, dia punya waktu enam bulan untuk menunggu. “Apa Bian membuatmu tidak nyaman?” Mama Lyra menatap Flavia. “Sebagai dokter aku bisa menyarankan ke psikiater jika kamu merasa takut atau tidak nyaman.” Mama Lyra tahu benar perasaan seorang pasien yang mungkin pasti tersakiti akibat apa yang terjadi padanya. “Tidak, Ma. Bian sejauh ini bersikap baik padaku.” Flavia tidak bisa memungkiri karena memang Bian sangat baik. Walaupun terka
“Mommy.” Anak-anak langsung menghampiri mommy-mommy mereka. Mereka begitu girang sekali ketika ibunya datang. Mereka berkumpul di ruang keluarga. Para ibu langsung diserang anak-anak mereka. Baru ditinggal sebentar saja mereka sudah menempel bak prangko. Bian yang melihat Flavia berdiri, menepuk sofa yang berada di sebelahnya. Meminta istrinya itu untuk duduk di sebelahnya. “Bagaimana kumpul-kumpulnya?” Bian menoleh pada sang istri. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada sang istri. “Seru.” Flavia menjawab singkat. Bian bersyukur Flavia bisa bergabung dengan yang lain. Berharap Flavia betah berada di antara keluarganya. “Apa kalian tadi bermain dengan baik?” Freya menatap anak-anaknya. “Tadi kami bermain dengan Unlce Bian.” Kean menjawab pertanyaan sang mommy sambil naik ke pangkuan sang mommy. “Tidak mau dengan daddy?” tanya Freya. “Tidak, daddy main catur dengan Daddy Al.” Kean menjawab sambil bermanja-manja dengan sang mommy. “Jadi mainnya dengan Uncle Bian saja?” Freya men
Suara Flavia itu seketika membuat Bian membuka matanya. Dia begitu terkejut ketika mendapati pertanyaan itu. Tentu saja dia tidak bisa mengatakan jika dirinya menikmati yang dilakukan Flavia. Yang ada istrinya itu akan merasa tidak nyaman. “Sakit.” Bian sedikit manja. “Tahan dulu. Kamu ini seperti anak kecil saja.” Flavia kembali melanjutkan mengolesi obat merah pada kaki Bian. “Auch ….” Bian kembali mengaduh. “Diamlah, ini harus diobati. Jika tidak bisa infeksi.” Flavia meminta Bian untuk diam. “Tapi, perih.” Bian merengek. Flavia meniup luka tersebut sambil mengolesi. Tentu saja itu membuat Bian semakin senang sekali. Karena Flavia begitu baik padanya. “Aku senang melihatmu perhatian.” Bian menatap Flavia penuh damba. Sejenak Flavia teringat dengan aksinya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa tadi dia khawatir sekali. Padahal jelas jika harusnya, dia bersikap dingin pada Bian seperti biasa. “Sudah selesai.” Flavia segera berdiri. Dia memilih untuk segera berlalu pergi. Bian
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber