Flavia tidur begitu pulas sekali. Saat bangun tidur, dia merasa tubuhnya terasa segar. Memang benar, ketika lelah, obat paling mujarab adalah tidur. Flavia merasakan tempat tidur yang begitu nyaman. Tempat tidur jika dipakai sendiri memang membuatnya bisa berguling ke sana ke mari.Saat tubuhnya berguling-guling, Flavia mendengar suara ketukan pintu. Dia segera mengalihkan pandangan. Dia teringat jika kemarin janji pada Bian untuk membuka pintu. Namun, Flavia belum memakai pakaiannya. Pakaiannya masih di kamar yang kemarin ditempatinya bersama Anika. Jadi tentu saja dia belum bisa membuka pintu. Tak mau membuat Bian terkunci di kamar sebelah, Flavia langsung segera menghubungi Anika. Meminta temannya itu mengantarkan pakaian untuknya. Selang setengah jam kemudian, Anika datang ke kamar. Flavia segera membuka pintu. Karena dia hanya memakai bra saja, terpaksa dia mengintip sedikit saja sambil membuka pintu sedikit saja. “Terima kasih.” Flavia menarik koper miliknya masuk ke dalam.
Flavia dan Bian memilih sarapan di kamar. Mengingat di restoran akan banyak orang yang melihat mereka. Flavia tidak mau jadi pusat perhatian orang-orang. Di meja makan Bian dan Flavia menikmati makannya. Tak ada yang bicara sama sekali. Mereka memilih untuk diam saja. Namun, Flavia begitu penasaran sekali. “Berapa hari kita akan di Bali?” Flavia melemparkan pertanyaan pada Bian. Sebenarnya Flavia malas berinteraksi dengan Bian. Dia ngin menjaga diri agar tidak terlalu dekat dengan Bian. “Dua hari.” Bian menjawab kemudian memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Flavia berpikir, dua hari bersama Bian, tentu saja akan menjadi neraka baginya. “Jika kamu keberatan dua hari, aku akan menambahnya.” Bian menyeringai. Dia yang melihat Flavia diam dan tampak berpikir pun merasa jika Flavia memikirkan hal itu. Flavia membulatkan matanya. “Tidak … tidak.” Dia langsung menolak. Dua hari saja sudah seperti seminggu, bagaimana bisa sampai lebih lama. Yang ada dia semakin tersiksa. Bian tersenyum
Flavia melihat ke lantai atas. Terdapat tiga pintu, itu memang artinya ada tiga kamar. Tanpa menjawab ucapan Bian, dia memilih untuk segera ke kamarnya. Menarik kopernya ke kamar yang ditunjuk oleh Bian tadi. Bian yang melihat Flavia ke kamarnya, segera menuju ke lantai atas. Dia ingin meletakkan kopernya di kamar. Flavia membuka pintu. Karena kamar utama, kamar terlihat begitu besar sekali. Membuat Flavia merasa leluasa sekali. Langkahnya diayunkan menuju ke pintu besar yang tertutup gorden. Dibukanya gorden yang menjadi penutup. Saat gorden terbuka, tampak pintu kaca berada di baliknya. Pintu yang menghubungkan kamar dengan kolam renang secara langsung. Flavia membuka pintu kaca tersebut. Membiarkan udara masuk ke kamarnya. Mendapati pemandangan dari kamarnya, membuat Flavia senang sekali. Baru kali ini dia mendapatkan liburan seperti ini. Tunggu … tunggu …. Sejenak Flavia tersadar jika ini bukanlah liburan, melainkan bulan madu. Tentu saja itu seketika membuatnya berdebar-deba
Surat perjanjian pernikahan.Dengan ini kami yang bertanda tangan di bawah ini: Nama: Flavia ClaireUsia: 30 tahunPekerjaan: KaryawanAlamat: Apartemen Fransia Park Tower B unit 25 Ditunjuk sebagai pihak pertama Nama: Nolan Fabian AdionUsia: 30 tahun Pekerjaan: KaryawanAlamat: Apartemen Fransia Park Tower B unit 26 Ditunjuk sebagai pihak kedua. Sehubungan terjadinya pernikahan antara pihak pertama dan pihak kedua. Pihak pertama telah mengajukan beberapa perjanjian di dalam pernikahan. Agar ke depan tidak ada yang dirugikan di dalam pernikahan ini. Berikut adalah beberapa persyaratan yang diberikan oleh pihak pertama:1. Jika tidak terjadi kehamilan selama pernikahan, maka pernikahan akan berlangsung selama enam bulan dari tanggal dimulainya pernikahan. 2. Jika terjadi kehamilan dalam pernikahan. Maka pernikahan akan berlangsung sampai anak tersebut lahir. Setelah bayi tersebut lahir, pernikahan ini akan berakhir. 3. Tidak ada kontak fisik di dalam pernikahan. Jika salah sa
Semalaman Flavia tidak keluar kamar. Dia masih kesal sekali dengan Bian. Dia malas bertemu dengan pria itu. Apalagi setelah dia mengatakan bisa saja dia melakukan hubungan intim dengan yang lain. Flavia menikmati sisa harinya sampai pagi di kamar. Menonton film di televisi dan bermain ponselnya. Dia justru menikmati bermalas-malas. Kapan lagi dia bisa bersantai. Tentu saja dia akan memanfaatkan liburannya itu.Saat suara air terdengar, Flavia membuka matanya. Dia menebak jika air itu berasal dari kolam renang. Flavia yang penasaran segera berangsur bangun. Langkahnya diayunkan ke pintu kaca yang tertutup gorden. Dibukanya gorden tinggi yang menutup pintu. Dari balik pintu kaca, dilihatnya Bian sedang berenang. Jika kemarin Flavia sudah melihat Bian dengan telanjang dada, dan berusaha untuk menghindar agar tidak melihat. Kali ini dia tetap pada tempatnya. Melihat Bian yang sedang berenang dengan telanjang dada. Ketika dilihat saksama, punggung Bian begitu lebar. Membuatnya berpikir
Flavia menikmati pemandangan laut yang terlihat dari tempat duduknya. Laut lepas begitu indah sekali. Warnanya yang biru bersatu dengan warna langit. Bian menikmati jus yang berada di gelasnya sambil memerhatikan Flavia. Gadis itu tampak tak mau melihatnya sama sekali. “Mau ke pantai?” Bian melemparkan pertanyaan itu pada Flavia. Flavia ingin sekali pergi ke pantai, tetapi pergi dengan Bian tentu bukan pilihan untuknya. Berada di pinggir pantai dengan suasana romantis tidak cocok untuknya. “Tidak.” Flavia menggeleng tanpa menoleh ke belakang. “Aku mau cepat pulang saja.” Dia memilih untuk segera pulang. “Kita akan masuk kerja di hari rabu. Jadi kita masih punya waktu sehari di sini. Kenapa tidak dimanfaatkan?” Bian merasa rugi sekali. Mereka masih bisa tinggal di sini. Tentu saja itu membuatnya merasa jika sayang jika disia-siakan. Flavia langsung menoleh ke belakang. “Kenapa kita masuk hari rabu? Kenapa tidak besok saja?” Menurutnya terlalu banyak libur membuatnya akan menumpuk
“Bi, cepat foto.” Flavia yang melihat Bian tampak terdiam langsung menegurnya. Bian segera kembali ke kameranya. Tak mau sampai Flavia curiga dirinya melihat pesan di ponsel Flavia. Dengan segera Bian memotret kembali Flavia. “Sini aku lihat.” Flavia segera menghampiri Bian. Melihat foto yang baru saja diambil oleh Bian. Foto tersebut cukup bagus sekali. Jadi membuatnya puas. “Aku sudah memesan restoran di dekat sini untuk menunggu matahari terbenam.” Bian memberitahu Flavia yang sedang asyik melihat fotonya. “Baiklah.” Flavia mengangguk sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Mereka berdua menuju ke salah satu restoran. Restoran mengusung tema outdoor. Jadi para pengunjung dapat melihat matahari terbenam hanya dari restoran. Tentu saja mereka menunggu sambil menikmati makanan yang terdapat di restoran.Flavia dan Bian duduk tepat menghadap ke lautan. Pemandangan tampak begitu indah ketika dari restoran tersebut. Bian melihat Flavia kembali mengeluarkan ponselnya. Kemudian, dia ke
“Aku tidak akan mengikat kamu dengan sebuah hubungan. Karena aku tidak mau membuatmu terluka dengan hubungan jarak jauh. Aku pergi, tetapi aku akan datang kembali padamu.” Naven menatap Flavia saat gadis itu mengantarkannya ke Bandara. “Jika kamu tidak mengikat aku dengan sebuah hubungan, bagaimana jika saat kamu kembali aku bersama yang lain?” Flavia merasa tidak rela ditinggalkan begitu saja. Apalagi dengan pria yang disukainya. “Jika saat aku kembali kamu dengan yang lain, maka aku percaya jika kamu sudah menemukan kebahagiaanmu. Namun, jika saat aku kembali kamu masih sendiri. Artinya kebahagiaanmu ada bersamaku.” “Kita lihat saja. Ada di mana kebahagiaanku?” Flavia tersenyum. Kini dia melepaskan pria itu untuk kuliah di luar negeri dengan tenang. Berharap kelak, pria itu akan kembali dan bersamanya. *Mengingat kenangan itu seketika Flavia merasakan sakit di hatinya. “Aku sudah menikah, tetapi tidak menemukan kebahagiaanku.” Flavia memilih untuk segera menutup pesan tersebut
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber