Semalaman Flavia tidak keluar kamar. Dia masih kesal sekali dengan Bian. Dia malas bertemu dengan pria itu. Apalagi setelah dia mengatakan bisa saja dia melakukan hubungan intim dengan yang lain. Flavia menikmati sisa harinya sampai pagi di kamar. Menonton film di televisi dan bermain ponselnya. Dia justru menikmati bermalas-malas. Kapan lagi dia bisa bersantai. Tentu saja dia akan memanfaatkan liburannya itu.Saat suara air terdengar, Flavia membuka matanya. Dia menebak jika air itu berasal dari kolam renang. Flavia yang penasaran segera berangsur bangun. Langkahnya diayunkan ke pintu kaca yang tertutup gorden. Dibukanya gorden tinggi yang menutup pintu. Dari balik pintu kaca, dilihatnya Bian sedang berenang. Jika kemarin Flavia sudah melihat Bian dengan telanjang dada, dan berusaha untuk menghindar agar tidak melihat. Kali ini dia tetap pada tempatnya. Melihat Bian yang sedang berenang dengan telanjang dada. Ketika dilihat saksama, punggung Bian begitu lebar. Membuatnya berpikir
Flavia menikmati pemandangan laut yang terlihat dari tempat duduknya. Laut lepas begitu indah sekali. Warnanya yang biru bersatu dengan warna langit. Bian menikmati jus yang berada di gelasnya sambil memerhatikan Flavia. Gadis itu tampak tak mau melihatnya sama sekali. “Mau ke pantai?” Bian melemparkan pertanyaan itu pada Flavia. Flavia ingin sekali pergi ke pantai, tetapi pergi dengan Bian tentu bukan pilihan untuknya. Berada di pinggir pantai dengan suasana romantis tidak cocok untuknya. “Tidak.” Flavia menggeleng tanpa menoleh ke belakang. “Aku mau cepat pulang saja.” Dia memilih untuk segera pulang. “Kita akan masuk kerja di hari rabu. Jadi kita masih punya waktu sehari di sini. Kenapa tidak dimanfaatkan?” Bian merasa rugi sekali. Mereka masih bisa tinggal di sini. Tentu saja itu membuatnya merasa jika sayang jika disia-siakan. Flavia langsung menoleh ke belakang. “Kenapa kita masuk hari rabu? Kenapa tidak besok saja?” Menurutnya terlalu banyak libur membuatnya akan menumpuk
“Bi, cepat foto.” Flavia yang melihat Bian tampak terdiam langsung menegurnya. Bian segera kembali ke kameranya. Tak mau sampai Flavia curiga dirinya melihat pesan di ponsel Flavia. Dengan segera Bian memotret kembali Flavia. “Sini aku lihat.” Flavia segera menghampiri Bian. Melihat foto yang baru saja diambil oleh Bian. Foto tersebut cukup bagus sekali. Jadi membuatnya puas. “Aku sudah memesan restoran di dekat sini untuk menunggu matahari terbenam.” Bian memberitahu Flavia yang sedang asyik melihat fotonya. “Baiklah.” Flavia mengangguk sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Mereka berdua menuju ke salah satu restoran. Restoran mengusung tema outdoor. Jadi para pengunjung dapat melihat matahari terbenam hanya dari restoran. Tentu saja mereka menunggu sambil menikmati makanan yang terdapat di restoran.Flavia dan Bian duduk tepat menghadap ke lautan. Pemandangan tampak begitu indah ketika dari restoran tersebut. Bian melihat Flavia kembali mengeluarkan ponselnya. Kemudian, dia ke
“Aku tidak akan mengikat kamu dengan sebuah hubungan. Karena aku tidak mau membuatmu terluka dengan hubungan jarak jauh. Aku pergi, tetapi aku akan datang kembali padamu.” Naven menatap Flavia saat gadis itu mengantarkannya ke Bandara. “Jika kamu tidak mengikat aku dengan sebuah hubungan, bagaimana jika saat kamu kembali aku bersama yang lain?” Flavia merasa tidak rela ditinggalkan begitu saja. Apalagi dengan pria yang disukainya. “Jika saat aku kembali kamu dengan yang lain, maka aku percaya jika kamu sudah menemukan kebahagiaanmu. Namun, jika saat aku kembali kamu masih sendiri. Artinya kebahagiaanmu ada bersamaku.” “Kita lihat saja. Ada di mana kebahagiaanku?” Flavia tersenyum. Kini dia melepaskan pria itu untuk kuliah di luar negeri dengan tenang. Berharap kelak, pria itu akan kembali dan bersamanya. *Mengingat kenangan itu seketika Flavia merasakan sakit di hatinya. “Aku sudah menikah, tetapi tidak menemukan kebahagiaanku.” Flavia memilih untuk segera menutup pesan tersebut
Suara bel terdengar. Bian dan Flavia membuka kamar secara bersamaan. Flavia yang lebih dahulu keluar dari kamar, karena merasa orang yang datang itu adalah orang yang datang untuknya. Dia bergegas untuk membuka pintu.Bian yang penasaran, mengekor Flavia. Dia ingin tahu siapa gerangan yang datang. Flavia membuka pintu. Dilihatnya kurir makanan yang membawakan makanan untuknya. Tadi Flavia memesan makanan untuk makan siang. Jadi dia sudah menebak siapa yang datang. “Atas nama Flavia.” Kurir memastikan pada Flavia. “Iya.” Flavia mengangguk. “Ini pesanannya.” Kurir memberikan pada Flavia. “Terima kasih. Saya sudah bayar lewat aplikasi.” Flavia menerima sambil memberitahu.“Iya, pembayarannya sudah. Kalau begitu saya permisi dulu.” Flavia mengulas senyumnya. Kemudian berbalik sambil membawa makanan yang dipesannya. Flavia memesan satu pan besar pizza untuk makan malamnya. Dengan bersemangat dia segera meletakkan pizza di atas meja. “Wah … kamu sudah membeli makan malam untuk kita,
Bian yang sedang menggigit pizza terkejut ketika Flavia tiba-tiba datang dan bertanya. Dia mengalihkan pandangannya pada istrinya itu sambil mengangguk. “Kenapa dimakan?” tanya Flavia lagi. “Iya, aku lapar.” Bian mengabaikan Flavia dan terus memakan pizzanya tersebut. “Kenapa kamu tidak beli saja sendiri? Kenapa harus makan makananku?” Flavia menatap kesal pada Bian. “Aku mau beli untuk nanti malam, tetapi aku lapar. Jadi aku makan ini untuk menganjal perut.” Bian masih asyik menghabiskan pizza meskipun Flavia sedang menatapnya tajam. Flavia sungguh kesal sekali. Tahu begitu dia tinggal sendiri saja. Tidak akan serepot ini. “Lagi pula kamu pelit sekali. Gaji manager konstruksi itu besar. Hanya berbagi sedikit pizza saja apa susahnya. Anggap saja kamu sedang sedekah pada orang yang kelaparan.” Bian terus mengoceh mengomentari aksi Flavia tersebut. “Aku akan sedekah pada orang yang tepat. Bukan pada orang yang uangnya lebih banyak.” Flavia melempar sindiran. Karena kesal, dia mem
Pagi ini Bian dan Flavia mulai bekerja. Mereka mengenakan kendaraan masing-masing. Bian menggunakan motornya, sedangkan Flavia menggunakan motornya. Tak ada interaksi pagi ini. Tentu saja membuat mereka seperti orang asing ketika pergi bekerja. Bian sampai lebih dulu karena menggunakan motornya. Dengan santainya Bian masuk. Seperti biasa, dia masih menggunakan jaket motornya. Membuat para karyawan yang melihatnya merasa begitu terpesona. “Wah … Pak Bian sudah masuk kerja.” Anika menggoda Bian yang baru saja datang. “Iya, ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.” Bian tersenyum sambil membuka jaketnya. “Padahal Pak Bian bisa minta Pak Bryan untuk menambah cuti. Kalau pekerjaan, biar kami saja yang kerjakan.” Anika merasa sekelas Nolan Fabian anak dari Bryan Adion harusnya bisa menikmati cuti lebih lama. Tidak seperti karyawan biasa. “Jika nanti saya banyak cuti yang ada nanti saya malas bekerja. Nanti istri saya makan apa?”“Pak Bian memang suami idaman.” Anika begitu senang me
Jam pulang kerja tiba. Semua karyawan mulai merapikan meja kerja mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bian. Dia juga segera bersiap pulang. Tepat saat Bian bersiap, Flavia juga keluar dari ruangannya. Mereka bersama-sama menuju ke lift bersama dengan karyawan lainnya. Karyawan menggoda Flavia dan Bian yang merupakan pasangan baru. Membuat dua orang itu hanya bisa tersenyum saja ketika mendapatkan godaan. “Pasti seru naik motor dengan Pak Bian. Berasa di film-film. Flavia sayang sekali justru hari ini bawa mobil.” Anika mengomentari temannya itu. “Aku sudah jelaskan bukan. Jika aku sedang memakai rok. Mana mungkin aku bisa naik motor.” Flavia mengingatkan alasannya itu. “Besok pakai saja celana. Jadi kamu bisa naik bersama Pak Bian.” Anika memberikan sarannya pada Flavia.“Mau pakai apa itu tergantung mood. Jadi mana bisa aku terus-terusan pakai celana hanya untuk naik motor.” Flavia merasa tidak nyaman jika harus naik motor. Jadi rencananya nanti dia akan bernegosiasi. “Jika