Pagi ini Bian dan Flavia mulai bekerja. Mereka mengenakan kendaraan masing-masing. Bian menggunakan motornya, sedangkan Flavia menggunakan motornya. Tak ada interaksi pagi ini. Tentu saja membuat mereka seperti orang asing ketika pergi bekerja. Bian sampai lebih dulu karena menggunakan motornya. Dengan santainya Bian masuk. Seperti biasa, dia masih menggunakan jaket motornya. Membuat para karyawan yang melihatnya merasa begitu terpesona. “Wah … Pak Bian sudah masuk kerja.” Anika menggoda Bian yang baru saja datang. “Iya, ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.” Bian tersenyum sambil membuka jaketnya. “Padahal Pak Bian bisa minta Pak Bryan untuk menambah cuti. Kalau pekerjaan, biar kami saja yang kerjakan.” Anika merasa sekelas Nolan Fabian anak dari Bryan Adion harusnya bisa menikmati cuti lebih lama. Tidak seperti karyawan biasa. “Jika nanti saya banyak cuti yang ada nanti saya malas bekerja. Nanti istri saya makan apa?”“Pak Bian memang suami idaman.” Anika begitu senang me
Jam pulang kerja tiba. Semua karyawan mulai merapikan meja kerja mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bian. Dia juga segera bersiap pulang. Tepat saat Bian bersiap, Flavia juga keluar dari ruangannya. Mereka bersama-sama menuju ke lift bersama dengan karyawan lainnya. Karyawan menggoda Flavia dan Bian yang merupakan pasangan baru. Membuat dua orang itu hanya bisa tersenyum saja ketika mendapatkan godaan. “Pasti seru naik motor dengan Pak Bian. Berasa di film-film. Flavia sayang sekali justru hari ini bawa mobil.” Anika mengomentari temannya itu. “Aku sudah jelaskan bukan. Jika aku sedang memakai rok. Mana mungkin aku bisa naik motor.” Flavia mengingatkan alasannya itu. “Besok pakai saja celana. Jadi kamu bisa naik bersama Pak Bian.” Anika memberikan sarannya pada Flavia.“Mau pakai apa itu tergantung mood. Jadi mana bisa aku terus-terusan pakai celana hanya untuk naik motor.” Flavia merasa tidak nyaman jika harus naik motor. Jadi rencananya nanti dia akan bernegosiasi. “Jika
Bian melajukan mobilnya ke rumah mommy dan daddy-nya. Tepat saat datang ternyata mereka semua sedang makan bersama. Ada Papa Felix, Mama Chika, Noah, Cia, dan anak-anak mereka. “Sayang, kamu ke sini.” Mommy Shea langsung menyambut sang anak. “Iya.” Bian menjawab malas.Mommy Shea melihat ke belakang anaknya. Mengecek apakah menantunya ada. Namun, dia tidak mendapati menantunya di rumah. “Ke mana Flavia?” tanya Mommy Shea. “Dia ada di apartemen.” Bian segera bergabung dengan yang lain untuk ikut makan bersama. “Kenapa tidak diajak?” Mommy Shea menyusul anaknya. Ikut bergabung duduk di ruang makan. “Dia sedang makan di apartemen dengan nikmat. Untuk apa diajak.” Bian bergerak mengambil nasi di atas meja. Kemudian menaruhnya di atas makanannya. Tanpa ditawari, dia segera makan begitu saja. Perutnya lapar. Apalagi saat kesal. Dia butuh tenaga untuk meluapkan kekesalannya itu. Semua orang saling pandang. Merasa bingung dengan sikap Bian. “Jika dia sedang makan enak di apartemen, la
Flavia bangun dan segera ke dapur untuk minum. Saat sampai di dapur dia melihat bekas piring sayur yang dibuatnya di tempat cuci piring. Melihat hal itu, tentu saja membuat Flavia senang. Artinya makanan yang disiapkan kemarin dimakan oleh Bian. Flavia merapikan piring kotor sebelum kembali ke kamarnya untuk mandi. Dia terbiasa memastikan semua bersih. Apalagi dia harus pergi bekerja hari ini. Tepat saat Flavia berbalik setelah mencuci piring. Tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu. Dahinya sempat terbentur dan terasa sakit.“Auch ….” Flavia memegangi dahinya. “Kamu tidak apa-apa?” Bian langsung memegangi tangan Flavia untuk melihat apa yang terluka pada istrinya itu. Flavia yang mendengar suara Bian menyadari jika itu adalah Bian. Di balik tangannya yang sedang mengusap dahinya yang sakit, dia melihat Bian yang telanjang dada. Hal itu membuatnya membulatkan mata. Perut bak roti sobek terlihat nyata di depannya. “Apa kamu terbiasa tanpa baju?” Flavia sudah beberapa kali melihat Bian
Flavia terpaku. Dia pikir Bian akan dengan mudah ikut dengannya. “Kenapa tidak mau?” tanya Flavia. “Aku tidak mau bermacet-macet ria. Jika kamu mau ikut aku naik motor silakan. Jika tidak, aku tidak mau berangkat dengan naik mobil.”Flavia mengembuskan napasnya. Merasa kesal sekali dengan aksi Bian. “Aku tidak mau berangkat naik motor.” Flavia menolak dengan tegas. “Baiklah, jika kalau begitu. Biarkan saja orang berpikir kita sedang marah karena tidak berangkat bersama.” Bian tampak tenang. Dia tidak peduli dengan pikiran orang. Flavia menatap malas. Ternyata baiknya Bian hanya sebentar. Setelah itu menyebalkan. “Baiklah, terserah padamu. Nikmati saja naik motormu itu. Aku tidak mau. Lebih aku naik mobil. Tidak masalah jika harus bermacet-macet.” Flavia segera meraih tasnya. Mengayunkan langkahnya meninggalkan Bian. Dia tidak mau berdebat dengan Bian. Bian mengabaikan Flavia. Dia masih menikmati teh yang dibuatnya. Dia memang tidak suka bermacet-macet ria. Jadi dia tentu saja memi
Flavia berlari ketika keluar dari mobil. Dia benar-benar merutuki kesalahannya yang menggunakan mobil. Tahu begitu dia pergi dengan Bian saja naik motor. Flavia langsung masuk ke dalam lift. Sepanjang lift bergerak naik, dia berharap lift dapat bergerak dengan cepat. Flavia membayangkan jika rapat sudah dimulai.Saat lift terbuka, Flavia segera ke ruangannya. Hal yang dilakukannya adalah berlari. “Fla.” Anika begitu terkejut ketika Flavia baru datang.“Laporan bulan ini ....” Flavia panik dia harus segera ke ruangannya atau ke mana untuk mencari laporan tersebut. “Semua sudah dibawa Pak Bian.” Anika memberitahu. Mendapati jawaban itu dengan segera Flavia memberikan tasnya pada Anika. “Tolong taruh di ruanganku.” Flavia segera berbalik. Dia berlari sekencang mungkin agar dapat sampai di ruang rapat. Sayangnya, nasib buruk masih menimpanya. Lift berada cukup jauh. Jika menunggu lift pastinya akan sangat lama. Karena ruang rapat berada satu lantai di atas ruangannya, dia memilih unt
“Sebaiknya kita makan siang bersama.” Daddy Bryan langsung berdiri. Tadi dia baru saja mengajari anaknya beberapa hal. Jadi harus terjeda ketika makan siang.“Baiklah.” Bian setuju. Lagi pula sudah jam makan siang. Jadi tentu saja dia harus segera makan. “Hubungi Flavia, agar dia bergabung dengan kita.” Daddy Bryan berjalan sambil memberikan perintah pada Bian.Untuk sesaat Bian terdiam. Dia tidak punya nomor telepon istrinya. Tentu saja itu membuat Bian bingung. “Kenapa?” tanya Daddy Bryan yang melihat anaknya diam saja. “Aku tidak punya nomor teleponnya.” Bian menatap sang daddy malu. “Astaga, kamu sudah pergi sampai Bali. Berhari-hari bersama. Bagaimana bisa tidak punya nomor teleponnya?” Daddy Bryan menggeleng heran “Iya, karena sudah bertemu. Jadi untuk apa aku minta nomor teleponnya.” Bian memberikan alasan. “Dasar!” Daddy Bryan menggerutu. “Ini, cari nomornya.” Daddy Bryan mengambil ponselnya dan membukanya. Setelah itu memberikan pada anaknya. Bian segera mencari nomor
“Sebaiknya Mommy siapkan makannya. Aku lapar.” Bian yang melihat kemesraan antara daddy dan mommy-nya menjadi risih. Jelas dia tidak bisa bermesraan seperti itu dengan istrinya. “Iya.” Mommy Shea tersenyum. “Ayo Fla, bantu Mommy.” Mommy Shea mengalihkan pandangan pada Flavia. Flavia mengangguk. Dengan segera dia mengikuti sang mommy ke dapur. Membantu merapikan makanan dan menghias kue. Ternyata Mommy Shea sudah selesai masak. Jadi Flavia sudah tidak harus bersusah payah dulu. “Seperti ada yang kurang, Mom.” Flavia yang menghias rainbow cake yang dibuat mommy Shea. “Iya, kurang warna merah.” Mommy Shea membenarkan ucapan Flavia. “Apa kamu menggunakan pewarna makanan warna merah untuk membuat kue?” Mommy Shea menatap menantunya. “Tidak. Aku belum membuat kue sebelum ini.” Flavia menggeleng. “Memang kenapa, Mom?” Flavia merasa penasaran. “Waktu itu Mommy beli perwarna makanan semua warna, tapi saat tadi mencari satu warna tidak ada. Yaitu warna merah. Mommy pikir kamu menggunakann