Flavia berlari ketika keluar dari mobil. Dia benar-benar merutuki kesalahannya yang menggunakan mobil. Tahu begitu dia pergi dengan Bian saja naik motor. Flavia langsung masuk ke dalam lift. Sepanjang lift bergerak naik, dia berharap lift dapat bergerak dengan cepat. Flavia membayangkan jika rapat sudah dimulai.Saat lift terbuka, Flavia segera ke ruangannya. Hal yang dilakukannya adalah berlari. “Fla.” Anika begitu terkejut ketika Flavia baru datang.“Laporan bulan ini ....” Flavia panik dia harus segera ke ruangannya atau ke mana untuk mencari laporan tersebut. “Semua sudah dibawa Pak Bian.” Anika memberitahu. Mendapati jawaban itu dengan segera Flavia memberikan tasnya pada Anika. “Tolong taruh di ruanganku.” Flavia segera berbalik. Dia berlari sekencang mungkin agar dapat sampai di ruang rapat. Sayangnya, nasib buruk masih menimpanya. Lift berada cukup jauh. Jika menunggu lift pastinya akan sangat lama. Karena ruang rapat berada satu lantai di atas ruangannya, dia memilih unt
“Sebaiknya kita makan siang bersama.” Daddy Bryan langsung berdiri. Tadi dia baru saja mengajari anaknya beberapa hal. Jadi harus terjeda ketika makan siang.“Baiklah.” Bian setuju. Lagi pula sudah jam makan siang. Jadi tentu saja dia harus segera makan. “Hubungi Flavia, agar dia bergabung dengan kita.” Daddy Bryan berjalan sambil memberikan perintah pada Bian.Untuk sesaat Bian terdiam. Dia tidak punya nomor telepon istrinya. Tentu saja itu membuat Bian bingung. “Kenapa?” tanya Daddy Bryan yang melihat anaknya diam saja. “Aku tidak punya nomor teleponnya.” Bian menatap sang daddy malu. “Astaga, kamu sudah pergi sampai Bali. Berhari-hari bersama. Bagaimana bisa tidak punya nomor teleponnya?” Daddy Bryan menggeleng heran “Iya, karena sudah bertemu. Jadi untuk apa aku minta nomor teleponnya.” Bian memberikan alasan. “Dasar!” Daddy Bryan menggerutu. “Ini, cari nomornya.” Daddy Bryan mengambil ponselnya dan membukanya. Setelah itu memberikan pada anaknya. Bian segera mencari nomor
“Sebaiknya Mommy siapkan makannya. Aku lapar.” Bian yang melihat kemesraan antara daddy dan mommy-nya menjadi risih. Jelas dia tidak bisa bermesraan seperti itu dengan istrinya. “Iya.” Mommy Shea tersenyum. “Ayo Fla, bantu Mommy.” Mommy Shea mengalihkan pandangan pada Flavia. Flavia mengangguk. Dengan segera dia mengikuti sang mommy ke dapur. Membantu merapikan makanan dan menghias kue. Ternyata Mommy Shea sudah selesai masak. Jadi Flavia sudah tidak harus bersusah payah dulu. “Seperti ada yang kurang, Mom.” Flavia yang menghias rainbow cake yang dibuat mommy Shea. “Iya, kurang warna merah.” Mommy Shea membenarkan ucapan Flavia. “Apa kamu menggunakan pewarna makanan warna merah untuk membuat kue?” Mommy Shea menatap menantunya. “Tidak. Aku belum membuat kue sebelum ini.” Flavia menggeleng. “Memang kenapa, Mom?” Flavia merasa penasaran. “Waktu itu Mommy beli perwarna makanan semua warna, tapi saat tadi mencari satu warna tidak ada. Yaitu warna merah. Mommy pikir kamu menggunakann
Flavia yang sedang sibuk mencuci piring mengalihkan pandangan ke belakang. “Papa, tetapi sekarang aku yang biayai semuanya.” “Kenapa kamu semua?” Bian penasaran. Anak-anak masih tanggung jawab orang tua. Tentu saja dia merasa aneh. Jika ditanya alasan itu, tentu saja Flavia bingung menjawab. Jelas alasannya karena dirinya menikah dengan Bian. Mamanya memintanya mengambil alih semuanya. “Karena aku kakaknya. Jadi aku ingin bertanggung jawab atas adikku.” Flavia memberikan jawaban lain. “Ternyata tidak enak juga jadi kakak.” Bian tersenyum. Dia anak bungsu. Selalu dituruti apa pun yang diinginkannya. Selalu dapat banyak kasih sayang. Sekali pun kuliah di luar negeri, semua terfasilitasi jadi tidak pernah kekurangan. “Iya, anak sulung bukan anak manja.” Flavia menyindir Bian. “Maksudmu anak bungsu manja?” Bian yang hendak meletakkan lap kotor, menghampiri Flavia. “Iya, seperti kamu.” Flavia melirik sinis. “Aku tidak manja. Buktinya aku di London bertahun-tahun tanpa orang tuaku.
Jumat sore Mommy Shea meminta Flavia dan Bian untuk ke rumah menginap. Besok pagi agar Flavia bisa berangkat sendiri. Seperti biasa Flavia membawa mobil dan Bian membawa motor. Karena tidak ada rapat, Flavia tidak masalah bawa mobil. Lagi pula, kemarin adalah kecelakaan dan hanya terjadi kadang kala saja. Seperti biasa Bian sampai lebih dulu. Bian sudah bermain dengan Lora dan juga Nick. Mereka bermain di tempat parkir. Naik motor Bian yang sedang terparkir. Lora duduk di belakang Bian, sedangkan Nick duduk di depan Bian. Mereka berdua seolah baru naik motor bersama pamannya. Flavia yang turun dari mobil melihat dua anak begitu seru sekali. Tawa mereka begitu terdengar riang sekali. “Aunty.” Lora memanggil Flavia yang baru turun. “Hai.” Flavia tersenyum. Dua anak bule itu terlihat menggemaskan sekali. “Aunty, ayo naik.” Lora mengajak Flavia untuk duduk di belakangnya. “Tidak muat, Sayang.” Flavia memberitahu. “Uncle, maju. Biar Aunty Fla naik.” Lora mendorong tubuh Bian agar da
Flavia seketika takut. Namun, dia tidak yakin dengan ucapan Bian. “Jangan mencoba menakut-nakuti aku!” Flavia memberikan peringatan pada Bian. “Aku tidak berbohong. Aku sering mendengar derap kaki di lorong ini. Kemudian suara pintu utama itu dibuka. Saat aku cek, ternyata tidak ada siapa pun di sana.” Bian memberitahu Flavia.Bulu kuduk Flavia berdiri ketika cerita horor yang diberikan oleh Bian. Dia jelas takut. Lebih baik, dia tidak dengar cerita. Karena rasa takut itu seketika muncul dan begitu menakutkan. Bian menahan tawanya. Dia tahu Flavia takut. “Sudah aku mau mandi.” Bian segera mengayunkan langkahnya ke kamarnya. Flavia melihat ke sekitar. Terdapat empat pintu kamar. Dilihat dari luar, kamar begitu besar. Pastinya akan begitu seram. “Tunggu.” Flavia menarik Bian agar tidak masuk ke kamarnya.“Apa?” Bian yang nyaris membuka pintu kamar, menghentikan langkahnya. “Aku tidur di mana?” Flavia langsung bertanya pada Bian. “Tidur denganku jika tidak keberatan.” Bian menyerin
Makan malam bersama begitu hangat. Tidak hanya keluarga Adion makan malam kali ini, tetapi ada keluarga Julian juga. Flavia melihat keakraban sebuah keluarga yang tak pernah dilihatnya. Tentu saja itu membuatnya iri. Seusai makan, mereka melanjutkan mengobrol di ruang keluarga. Flavia melihat Lora dan Nick yang begitu asyik bermain dengan Bian. Sudah seperti teman saja dua anak kecil itu dengan Bian. “Uncle tidak punya anak?” Lora menatap Bian polos. Bagi anak-anak kecil bertanya sesuai apa yang dipikirkannya. Tak peduli apa yang sedang terjadi pada orang-orang dewasa. Bian terpaku. Pertanyaan itu tentu saja membuatnya bingung harus memberikan jawaban apa. Pertanyaan itu juga membuat Flavia canggung. Dia merasa bingung harus menjawab apa mengingat jika dia belum tahu akan hamil atau tidak. “Belum, Sayang, adik bayi masih proses dibuat.” Bian tersenyum sambil membelai lembut rambut Lora. “Memang buatnya pakai apa?” Lolo menatap ingin tahu. Anak-anak memang memiliki rasa penasaran
Flavia menatap malas pada Bian. “Aku tidak akan ke kamarmu!” Dengan tegas Flavia menjawab. Dia tidak akan tergoda untuk ke kamar Bian. “Terserah, tapi ingat jika ada derap kaki percayalah itu bukan manusia. Karena jarang yang ke kamar atas. Apalagi hanya kita yang berada di kamar atas.” “Jangan mencoba membodohi aku dengan cerita horor konyolmu itu. Aku tidak percaya.” Flavia masih dengan keyakinannya. Tak berlama-lama, dia segera menuju ke kamarnya. Dia merasa tidak takut dengan cerita Bian. Bian tersenyum ketika melihat Flavia masuk ke kamarnya. Ceritanya memang tidak benar. Namun, sugesti yang diberikan pada Flavia tentu saja akan terngiang di telinga Flavia. Alam bawah sadarnya akan berpikir yang dikatakannya adalah benar. Flavia masuk ke kamarnya. Saat masuk Flavia merasa ada yang aneh. Kamar begitu besar. Terbiasa dengan kamar kecil tentu saja membuat Flavia merasa tidak nyaman. Apalagi mendengar cerita Bian. “Itu hanya akal-akalan Bian saja!” Flavia yakin tidak ada hantu d
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber