“Aku tidak akan mengikat kamu dengan sebuah hubungan. Karena aku tidak mau membuatmu terluka dengan hubungan jarak jauh. Aku pergi, tetapi aku akan datang kembali padamu.” Naven menatap Flavia saat gadis itu mengantarkannya ke Bandara. “Jika kamu tidak mengikat aku dengan sebuah hubungan, bagaimana jika saat kamu kembali aku bersama yang lain?” Flavia merasa tidak rela ditinggalkan begitu saja. Apalagi dengan pria yang disukainya. “Jika saat aku kembali kamu dengan yang lain, maka aku percaya jika kamu sudah menemukan kebahagiaanmu. Namun, jika saat aku kembali kamu masih sendiri. Artinya kebahagiaanmu ada bersamaku.” “Kita lihat saja. Ada di mana kebahagiaanku?” Flavia tersenyum. Kini dia melepaskan pria itu untuk kuliah di luar negeri dengan tenang. Berharap kelak, pria itu akan kembali dan bersamanya. *Mengingat kenangan itu seketika Flavia merasakan sakit di hatinya. “Aku sudah menikah, tetapi tidak menemukan kebahagiaanku.” Flavia memilih untuk segera menutup pesan tersebut
Suara bel terdengar. Bian dan Flavia membuka kamar secara bersamaan. Flavia yang lebih dahulu keluar dari kamar, karena merasa orang yang datang itu adalah orang yang datang untuknya. Dia bergegas untuk membuka pintu.Bian yang penasaran, mengekor Flavia. Dia ingin tahu siapa gerangan yang datang. Flavia membuka pintu. Dilihatnya kurir makanan yang membawakan makanan untuknya. Tadi Flavia memesan makanan untuk makan siang. Jadi dia sudah menebak siapa yang datang. “Atas nama Flavia.” Kurir memastikan pada Flavia. “Iya.” Flavia mengangguk. “Ini pesanannya.” Kurir memberikan pada Flavia. “Terima kasih. Saya sudah bayar lewat aplikasi.” Flavia menerima sambil memberitahu.“Iya, pembayarannya sudah. Kalau begitu saya permisi dulu.” Flavia mengulas senyumnya. Kemudian berbalik sambil membawa makanan yang dipesannya. Flavia memesan satu pan besar pizza untuk makan malamnya. Dengan bersemangat dia segera meletakkan pizza di atas meja. “Wah … kamu sudah membeli makan malam untuk kita,
Bian yang sedang menggigit pizza terkejut ketika Flavia tiba-tiba datang dan bertanya. Dia mengalihkan pandangannya pada istrinya itu sambil mengangguk. “Kenapa dimakan?” tanya Flavia lagi. “Iya, aku lapar.” Bian mengabaikan Flavia dan terus memakan pizzanya tersebut. “Kenapa kamu tidak beli saja sendiri? Kenapa harus makan makananku?” Flavia menatap kesal pada Bian. “Aku mau beli untuk nanti malam, tetapi aku lapar. Jadi aku makan ini untuk menganjal perut.” Bian masih asyik menghabiskan pizza meskipun Flavia sedang menatapnya tajam. Flavia sungguh kesal sekali. Tahu begitu dia tinggal sendiri saja. Tidak akan serepot ini. “Lagi pula kamu pelit sekali. Gaji manager konstruksi itu besar. Hanya berbagi sedikit pizza saja apa susahnya. Anggap saja kamu sedang sedekah pada orang yang kelaparan.” Bian terus mengoceh mengomentari aksi Flavia tersebut. “Aku akan sedekah pada orang yang tepat. Bukan pada orang yang uangnya lebih banyak.” Flavia melempar sindiran. Karena kesal, dia mem
Pagi ini Bian dan Flavia mulai bekerja. Mereka mengenakan kendaraan masing-masing. Bian menggunakan motornya, sedangkan Flavia menggunakan motornya. Tak ada interaksi pagi ini. Tentu saja membuat mereka seperti orang asing ketika pergi bekerja. Bian sampai lebih dulu karena menggunakan motornya. Dengan santainya Bian masuk. Seperti biasa, dia masih menggunakan jaket motornya. Membuat para karyawan yang melihatnya merasa begitu terpesona. “Wah … Pak Bian sudah masuk kerja.” Anika menggoda Bian yang baru saja datang. “Iya, ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.” Bian tersenyum sambil membuka jaketnya. “Padahal Pak Bian bisa minta Pak Bryan untuk menambah cuti. Kalau pekerjaan, biar kami saja yang kerjakan.” Anika merasa sekelas Nolan Fabian anak dari Bryan Adion harusnya bisa menikmati cuti lebih lama. Tidak seperti karyawan biasa. “Jika nanti saya banyak cuti yang ada nanti saya malas bekerja. Nanti istri saya makan apa?”“Pak Bian memang suami idaman.” Anika begitu senang me
Jam pulang kerja tiba. Semua karyawan mulai merapikan meja kerja mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bian. Dia juga segera bersiap pulang. Tepat saat Bian bersiap, Flavia juga keluar dari ruangannya. Mereka bersama-sama menuju ke lift bersama dengan karyawan lainnya. Karyawan menggoda Flavia dan Bian yang merupakan pasangan baru. Membuat dua orang itu hanya bisa tersenyum saja ketika mendapatkan godaan. “Pasti seru naik motor dengan Pak Bian. Berasa di film-film. Flavia sayang sekali justru hari ini bawa mobil.” Anika mengomentari temannya itu. “Aku sudah jelaskan bukan. Jika aku sedang memakai rok. Mana mungkin aku bisa naik motor.” Flavia mengingatkan alasannya itu. “Besok pakai saja celana. Jadi kamu bisa naik bersama Pak Bian.” Anika memberikan sarannya pada Flavia.“Mau pakai apa itu tergantung mood. Jadi mana bisa aku terus-terusan pakai celana hanya untuk naik motor.” Flavia merasa tidak nyaman jika harus naik motor. Jadi rencananya nanti dia akan bernegosiasi. “Jika
Bian melajukan mobilnya ke rumah mommy dan daddy-nya. Tepat saat datang ternyata mereka semua sedang makan bersama. Ada Papa Felix, Mama Chika, Noah, Cia, dan anak-anak mereka. “Sayang, kamu ke sini.” Mommy Shea langsung menyambut sang anak. “Iya.” Bian menjawab malas.Mommy Shea melihat ke belakang anaknya. Mengecek apakah menantunya ada. Namun, dia tidak mendapati menantunya di rumah. “Ke mana Flavia?” tanya Mommy Shea. “Dia ada di apartemen.” Bian segera bergabung dengan yang lain untuk ikut makan bersama. “Kenapa tidak diajak?” Mommy Shea menyusul anaknya. Ikut bergabung duduk di ruang makan. “Dia sedang makan di apartemen dengan nikmat. Untuk apa diajak.” Bian bergerak mengambil nasi di atas meja. Kemudian menaruhnya di atas makanannya. Tanpa ditawari, dia segera makan begitu saja. Perutnya lapar. Apalagi saat kesal. Dia butuh tenaga untuk meluapkan kekesalannya itu. Semua orang saling pandang. Merasa bingung dengan sikap Bian. “Jika dia sedang makan enak di apartemen, la
Flavia bangun dan segera ke dapur untuk minum. Saat sampai di dapur dia melihat bekas piring sayur yang dibuatnya di tempat cuci piring. Melihat hal itu, tentu saja membuat Flavia senang. Artinya makanan yang disiapkan kemarin dimakan oleh Bian. Flavia merapikan piring kotor sebelum kembali ke kamarnya untuk mandi. Dia terbiasa memastikan semua bersih. Apalagi dia harus pergi bekerja hari ini. Tepat saat Flavia berbalik setelah mencuci piring. Tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu. Dahinya sempat terbentur dan terasa sakit.“Auch ….” Flavia memegangi dahinya. “Kamu tidak apa-apa?” Bian langsung memegangi tangan Flavia untuk melihat apa yang terluka pada istrinya itu. Flavia yang mendengar suara Bian menyadari jika itu adalah Bian. Di balik tangannya yang sedang mengusap dahinya yang sakit, dia melihat Bian yang telanjang dada. Hal itu membuatnya membulatkan mata. Perut bak roti sobek terlihat nyata di depannya. “Apa kamu terbiasa tanpa baju?” Flavia sudah beberapa kali melihat Bian
Flavia terpaku. Dia pikir Bian akan dengan mudah ikut dengannya. “Kenapa tidak mau?” tanya Flavia. “Aku tidak mau bermacet-macet ria. Jika kamu mau ikut aku naik motor silakan. Jika tidak, aku tidak mau berangkat dengan naik mobil.”Flavia mengembuskan napasnya. Merasa kesal sekali dengan aksi Bian. “Aku tidak mau berangkat naik motor.” Flavia menolak dengan tegas. “Baiklah, jika kalau begitu. Biarkan saja orang berpikir kita sedang marah karena tidak berangkat bersama.” Bian tampak tenang. Dia tidak peduli dengan pikiran orang. Flavia menatap malas. Ternyata baiknya Bian hanya sebentar. Setelah itu menyebalkan. “Baiklah, terserah padamu. Nikmati saja naik motormu itu. Aku tidak mau. Lebih aku naik mobil. Tidak masalah jika harus bermacet-macet.” Flavia segera meraih tasnya. Mengayunkan langkahnya meninggalkan Bian. Dia tidak mau berdebat dengan Bian. Bian mengabaikan Flavia. Dia masih menikmati teh yang dibuatnya. Dia memang tidak suka bermacet-macet ria. Jadi dia tentu saja memi
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber