Bian keluar dengan sudah memakai celana. Namun, kaosnya belum dipakai. Sambil keluar, Bian memakai kaosnya. Saat di luar dilihatnya sang mommy yang tampak lemas duduk di sofa. Hal itu membuat Bian segera ke dapur. Mengambilkan minum untuk sang mommy. Dengan membawa segelas air, Bian menghampiri sang mommy. “Mom, minum dulu.” Bian berdiri tepat di depan mommy-nya. Memberikan minuman pada sang mommy. Mommy Shea yang memejamkan matanya karena merasa pusing, seketika membuka matanya. Dia menatap Bian yang sedang berdiri di depannya. Rasanya, menyengkelkan sekali melihat anaknya itu.Dengan kesal, Mommy Shea meraih gelas berisi air putih. Dia memang butuh untuk menenangkan diri. Saat sang mommy minum, Bian memilih untuk duduk di sofa yang berada di depan sang mommy. Menunggu sang mommy yang sedang menyelesaikan minumnya. “Apa yang kamu lakukan pada Flavia?” Setelah menghabiskan satu gelas air, Mommy Shea segera melemparkan pertanyaan itu pada anaknya.“Aku … aku ….” Bian menggantung uc
Ruang tamu apartemen Bian tampak mencekam. Mereka semua menunggu Daddy Bryan menjelaskan. Bian duduk tepat di samping Daddy Bryan untuk menjelaskan semuanya itu. “Aku harus cerita dari mana?” Daddy Bryan bingung harus memulai dari mana. Dia memilih cara tepat untuk mengurai semuanya. Mengatakan kejujuran yang terjadi. “Flavia mendekati aku, tapi dia mengatakan padaku. Dia beralasan jika mama tirinya memintanya untuk mendekati aku. Semua itu karena adiknya yang kuliah di Jerman. Mama tirinya mengancam jika Flavia tidak mendekati aku, dia tidak akan memberikan uang pada adiknya. Mama tirinya sampai mengirim orang untuk melihat apakah Flavia melakukan semuanya atau tidak. Karena alasan itu aku mengizinkan Flavia mendekati aku ketika ada orang yang mengawasi.” Akhirnya Daddy Bryan menjelaskan dari awal lagi bagaimana semau ini dimulai. “Kenapa kamu tidak menceritakan padaku?” Mommy Shea menatap suaminya dengan penuh rasa kecewa. “Aku tidak mau kamu berpikir buruk pada Flavia. Dia han
Selang sehari dari pertemuan El, Al, dan Daddy Bryan, El dan Al memutuskan kembali bertemu dengan semua sepupunya bersama-sama di sebuah restoran. Dia menceritakan semua rencananya itu pada saudaranya. “Kenapa harus rencana perselingkuhan? Jika Mommy tahu bagaimana?” Ghea justru memikirkan jika semua ini akan jadi masalah di kemudian hari. “Itulah gunanya kita berkumpul. Kita harus pastikan jika kabar ini tidak akan sampai ke mommy.” El mencoba meyakinkan adiknya. “Apa Bian akan pulang jika kita memberitahu hal ini?” Freya menatap suaminya. Dia masih ragu dengan rencana ini. “Bian sangat menyayangi Mommy Shea. Aku rasa dia akan pulang.” Dean menimpali. Mengenal Bian bertahun-tahun dan tinggal bersama di London, membuat dia hapal sifat Bian. “Lalu kita harus mulai dari mana?” Shera menatap satu per satu orang yang ada di meja makan restoran tersebut. “Kita dari foto. Besok Daddy akan pergi dengan Flavia. Salah satu dari kita akan pergi untuk mendapatkan foto. Setelah itu, bagikan
Bian, Daddy Bryan, dan Mommy Shea menekan bel apartemen Flavia. Namun, mereka tidak mendapatkan respon apa-apa. Cukup lama mereka berdiri di depan pintu. Namun, Flavia tidak membukakan pintu sama sekali. Hal itu membuat mereka bertiga bingung.“Sepertinya dia butuh waktu.” Mommy Shea sadar dalam keadaan seperti ini, tentu saja Flavia butuh waktu. Karena jelas ini sangat membuatnya terluka sekali. Daddy Bryan melihat sang istri. Dia tahu jika sang istri pernah merasakan di posisi Flavia. “Kita berikan waktu Flavia dulu.” Dia pun setuju dengan istrinya. “Masuklah.” Daddy Bryan menepuk bahu sang anak. Bian mengangguk. Dia merasa memang harus memberikan waktu untuk Flavia. “Kalau begitu, Daddy dan Mommy pulang dulu.” Daddy Bryan memilih untuk pulang lebih dulu. “Besok pagi kami ke sini lagi.” Mommy Shea tetap akan datang. Dia memang harus bicara dengan Flavia. “Baiklah.” Bian mengangguk. Daddy Bryan dan Mommy Shea segera meninggalkan apartemen Flavia. Bian sendiri memilih untuk masu
“Biar Papa yang buka.” Papa Harry pun segera berdiri, kemudian mengayunkan langkahnya ke pintu. Dia membuka pintu apartemen Flavia dan mendapati keluarga Adion yang datang. Flavia yang melihat Bryan Adion dan Olivia Shea merasa terkejut. Tak hanya mereka berdua, ada Bian juga yang ada di sana. Namun, yang menjadi pertanyaan Flavia, kenapa papanya tahu mereka akan datang. Apakah memang sudah tahu sebelumnya. “Selamat pagi, Pak Harry.” Daddy Bryan mengulurkan tangan pada papa Flavia. “Selamat pagi, Pak Bryan.” Papa Harry menerima uluran tangan dari Bryan. Kemudian beralih pada Shea, dan juga Bian. “Silakan masuk.” Dia melebarkan pintu. Mempersilakan untuk masuk. Keluarga Adion masuk ke apartemen Flavia. Mereka yang melihat Flavia memakai kacamata hitam menduga jika itu adalah cara Flavia untuk menutupi matanya yang bengkak akibat menangis. Flavia hanya bisa terpaku. Dibalik kacamata hitamnya, dia melihat Bian dengan penuh kebencian. Dia benar-benar membenci pria itu. “Silakan dudu
“Kami akan coba jelaskan, Pak.” Bian dengan berani mencoba menjelaskan pada orang tua Flavia. “Saya mengira Flavia dan daddy saya menjalan hubungan. Kemarin malam ketika saya bertanya pada Flavia apakah memiliki hubungan dengan daddy, dia menjawab iya. Saya yang gelap mata akhirnya melakukan pemaksaan.” Bian sedikit tertunduk. Merasa bersalah sekali.“Jadi kamu melakukan pemerkosaan.” Papa Harry langsung tersulut emosi. Dia melepaskan pelukannya pada Flavia dan hendak menghampiri Bian. Dia langsung memukul Bian. Tak ada penolakan dari Bian. Dia justru membiarkan pria paruh baya itu memukulnya. Daddy Bryan pun mencegah Pak Harry yang terus memukul Bian. Mommy Shea yang melihat hal itu panik. Dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika anaknya dipukul. Wajar jika anaknya dipukul. Karena memang anaknya salah dalam hal ini. “Tenang, Pak. Kami bisa jelaskan dulu.” Daddy Bryan mencoba menghentikan aksi Pak Harry yang memukul Bian. “Apa yang harus dijelaskan lagi? Jelas-jelas dia sudah memperk
Semua orang terkejut dengan jawaban Flavia. Termasuk Pak Harry. Dia bingung kenapa anaknya tidak mau menerima tanggung jawab dari Bian. Padahal itu adalah langkah terbaik. “Saya tidak akan melaporkan Bian ke kantor polisi, karena dalam hal ini saya juga salah, tapi saya tidak bisa menerima Bian menjadi suami. Biarkan saya dengan keadaan seperti ini.” Flavia memilih untuk melepaskan keperawanannya dibanding harus menikah dengan Bian. Bian tersenyum tipis. Flavia memang keras kepala. Dibanding menerima tanggung jawab, dia memilih menolaknya. Pastinya itu karena dia begitu membenci apa yang sudah dilakukannya. “Kamu tidak masalah kehilangan perawanan, tapi jika kamu hamil, apa itu tidak masalah juga? Padahal aku melepaskan kecebong-kecebong itu di dalam rahimmu. Aku rasa mereka sedang berenang di dalam rahimmu. Bertemu dengan sel telur di dalam rahimmu dan berkembang menjadi janin. Sembilan bulan kemudian akan lahir seorang anak Nolan Fabian dari rahim Flavia Claire.” Bian akhirnya mem
Mommy Shea dan Daddy Bryan ke apartemen Bian. Mereka ingin bicara dengan Bian terlebih dahulu sebelum pulang. “Kamu lihat apa yang kalian lakukan!” Mommy Shea menatap Bian. Dia masih kecewa dengan apa yang dilakukan anaknya. “Mom, maafkan aku. Aku hanya ingin menjaga hati mommy.” Bian mencoba meyakinkan sang mommy.“Kamu menjaga hati seorang wanita, tetapi menyakiti hati wanita lain. Apa itu bukan sama saja?” Mommy Shea tidak habis pikir. “Apa sebelum kamu melakukan semua itu, kamu tidak berpikir jauh. Mommy selalu bilang, jangan melakukan hal itu. Itu akan menyakiti wanita, tapi kamu tetap melakukannya.” Mommy Shea menatap anaknya kesal. “Mom, maaf.” Bian bersimpuh di kaki mommy-nya. Dia merasa bersalah karena apa yang dilakukannya menyakiti mommy-nya juga. “Mommy bisa saja memaafkanmu, Bi, tapi kamu harus mendapatkan maaf dari Flavia. Mommy tahu apa yang dirasakan Flavia. Dia pasti terluka.” Mommy Shea menangis. Dia merasakan jelas apa yang dirasakan oleh Flavia. “Aku janji aka
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber