Waktu bergulir dengan cepatnya. Setahun sudah Cia membesarkan anaknya sendiri. Di kala bisnis yang dibangunnya baru berjalan, dia harus bisa membagi waktu antara anak dan pekerjaanya. Namun, Cia menikmati setiap proses yang ada. Karena baginya, selalu saja ada hal yang indah yang terjadi setiap hari. Terlebih anaknya begitu mengemaskan.
“Mommy, bangun!” Suara merdu yang terdengar membuat Cia yang menikmati tidurnya harus bangun. Suara itu sudah seperti alarm yang selalu berbunyi untuknya.“Anak Mommy sudah bangun.” Cia mendaratkan kecupan di pipi gembul anaknya. Gemas sekali dengan anaknya yang sudah mulai tumbuh besar itu. Cia yang begitu gemas mendaratkan kecupan di pipi sang anak.“Mommy.” Suara tawa Lora terdengar begitu renyah. Dia merasa geli sekali karena mommy-nya menggelitik.“Mommy gemas sekali denganmu,” ucapnya seraya mendaratkan kecupan bertubi-tubi di pipi Lora.“Mommy, Lola mau cekolah.” Lora mNoah sampai di Bandara Internasional. Sudah setahun Noah tidak menginjakkan kaki di Indonesia. Terakhir kali yaitu saat dia memutuskan untuk pergi meninggalkan anak dan istrinya. Kini, dia datang dengan status yang berbeda- mantan suami Cia.Noah menghentikan taksi. Memasukkan barang-barangnya ke bagasi. Saat masuk Noah bingung ke mana yang harus ditujunya. “Fransia Park, Pak.” Satu tempat yang menjadi tujuan Noah. Dia yang masih memiliki access card di sana berharap tempat itu bisa ditempatinya kembali. Taksi melaju membelah kemacetan ibu kota yang menjadi biasa. Noah melihat ke arah luar. Melihat bangunan-bangunan yang berjajar. Saat melihat ke arah luar, pikirannya tertuju pada Lora. Memikirkan bagaimana cara bertemu dengan Lora. Tanpa terasa taksi sampai. Noah turun dan dibantu oleh supir taksi menurunkan kopernya. Noah memandangi gedung yang berada di depannya. Langkahnya diayunkan menuju ke tower B-tempat unit aparteme
“Daddy.” Lora yang terbangun langsung mencari daddy-nya. Namun, yang ada di sampingnya hanya sang mommy saja. Hal itu membuatnya menangis. Cia yang mendengar suara tangis membuatnya membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah sang anak yang menangis. “Kenapa Sayang?” Cia yang melihat sang anak menangis langsung bangun dan membelai lembut rambut anaknya. “Daddy pelgi.” Lora menangis dalam sesenggukan. “Kata siapa Daddy pergi? Daddy tidur di kamar sebelah.” Mendengar hal itu Lora langsung berangsur turun dari tempat tidur. Berlari ke kamar sebelah. Cia yang melihat pemandangan itu, berpikir jika keputusannya benar. “Jika kamu tidak mengizinkan tidak apa-apa. Aku akan cari hotel di dekat sini saja.”Cia memandang Noah. “Tidurlah di sini.” Cia sadar Lora sedang ingin sekali dekat dengan daddy-nya. Jadi tidak ada salahnya jika membiarkan Noah untuk tinggal di apartemen.
Noah melihat wajahnya dari pantulan cermin. Dilihatnya kini wajahnya jauh lebih bersih dari sebelumnya. Cia benar-benar mencukur dengan benar. Walaupun sempat harus berhenti karena Lora yang tak henti menggoda. Saat sedang sibuk memandangi wajahnya, terlihat Cia yang sedang keluar dari kamarnya. Pandangan Noah pun beralih pada mantan istrinya itu. “Apa Lora sudah tidur?” tanyanya. “Sudah.” Seperti biasa Cia menidurkan anaknya terlebih dahulu sebelum ke toko. Namun, kali ini dia tidak akan pergi ke toko karena anaknya minta untuk jalan-jalan ke mal bersama dengan daddy-nya. Noah menganggukkan kepalanya, sambil masih melihat pantulan dari wajahnya. Mengecek kembali siapa tahu masih ada sisa yang terlewatkan. “Berapa lama kamu tidak mencukurnya?” Cia yang memerhatikan Noah pun tergerak untuk bertanya. Seraya mendudukkan tubuhnya di samping Noah.Mendapati pertanyaan itu, Noah mengalihkan pandangan.
Noah membawa papa dan adiknya ke apartemen. Noah menjelaskan pada papanya jika sementara mereka tinggal di apartemen mengingat toko kue Cia dekat dengan apartemen. Noah membuat papanya tidak curiga sama sekali dengan apa yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua. Di apartemen, Cia sudah menunggu mereka semua. Saat papa mertuanya datang, dia menyambut dengan ramah. “Apa kabarmu?” tanya Darwin.“Baik, Pa.” Cia tersenyum. Di samping Darwin berdiri seorang pria yang belum pernah Cia temui. Dia merasa heran siapa pria itu. “Hai, Kak.” Rylan melambaikan tangan pada Cia. Senymnya sumringah sekali. “Hai.” Cia masih bingung. Dia pun memilih mengalihkan pandangan pada Noah untuk mencari tahu jawabannya. “Dia adikku.” Noah yang mengerti sorot mata istrinya pun menjawab. “Hai, Kak, aku Rylan.” Rylan mengulurkan tangannya. “Hai, aku Cia.” Walaupun masih bingung dengan kehadir
Noah dan Cia mengantarkan Darwin, Rylan, dan Lora lebih dulu ke apartemen. Setelah itu mereka baru pergi. Noah berniat untuk ke kantor bertemu dengan Papa Felix, sedangkan Cia sedang ada urusan. “Aku akan turun di halte itu saja. Setelah itu aku akan naik taksi.”“Aku akan mengantarmu, kenapa harus naik taksi?” Noah merasa aneh dengan permintaan Cia. “Tidak, aku akan naik taksi saja.” Apa yang dilakukan Cia benar-benar membuat Noah curiga. Ada yang disembunyikan Cia, hingga membuatnya tidak mau diantar. “Baiklah.” Noah memilih untuk membiarkan Cia untuk naik taksi, seperti yang diinginkannya. Cia melepas sabuk pengamannya dan kemudian turun dari mobil. Tepat di depan mobil yang dibawa Noah, dia menghentikan taksi. Masuk ke dalam dan meminta supir untuk melajukan mobilnya. Noah yang penasaran dengan yang dilakukan Cia pun memilih untuk mengikuti dari belakang. Mobil melaju terus mengikuti taksi di depan. Hingga akhirnya Noah melihat taksi menuju
Rylan dan papa Felix yang menunggu di luar memilih untuk menikmati secangkir kopi di kafe Rumah sakit. Keadaan Darwin yang sudah jauh lebih baik, membuat mereka jauh lebih tenang. “Jadi Kak Noah dan Kak Cia benar sudah bercerai, Pak.” Rylan terlalu penasaran dengan kehidupan kakaknya. Kemarin, dia melihat dua orang itu begitu mesra dan bagaimana bisa mereka bercerai. “Iya, mereka memutuskan bercerai setahun yang lalu.” “Kenapa?” Felix tidak punya kapasitas untuk menjawab. Terlebih lagi ini terlalu sensitif. “Tanyakan pada kakakmu saja. Biar dia menjelaskan.” “Baiklah.” “Papa Felix.” Ketika mereka berdua sedang menikmati kopi. Suara memanggil nama Papa Felix terdengar. Papa Felix mencari sumber suara. Mencari siapa yang memanggilnya. “Al.” Papa Felix melihat Al, Shera, dan Retta yang menghampirinya. “Pap
Suara telepon yang berdering seketika mengganggu Noah dan Cia yang sedang mengobrol. Mereka sedang asyik membahas tentang apa yang berada di masa lalu. Meluruskan apa yang terjadi di masa lalu. Ponsel yang meraung-raung tanpa henti, akhirnya membuat Noah menghentikan obrolan mereka. Beralih untuk melihat siapa yang menghubungi. Saat Noah melihat ponselnya, dia melihat jika adiknya yang menghubungi. “Kenapa?” Noah kesal sekali. Dia belum puas menikmati waktu bersama dengan istrinya. “Kalian masih lama? Aku bosan di sini.” “Astaga, aku baru saja pulang, kenapa kamu tanya aku lama tidak?” Noah kesal sekali. Padahal jelas-jelas dia ingin menikmati waktu bersama dengan istrinya.“Iya, tapi aku bosan di sini.” “Baik-baiklah. Aku akan segera ke sana.” Noah mematikan sambungan teleponnya. “Sebaiknya kita segera ke Rumah sakit saja.” Cia yang mendengar obrolan kakak dan adik pun merasa jika harus segera pergi ke Rumah sakit. “Tapi, aku belum puas m
Cia memilih pulang ke rumah sesuai dengan permintaan papanya. Meninggalkan Noah sendiri di Rumah sakit. Sampai di rumah dia tidak menemukan anaknya. Saat menanyakan pada mamanya, dia mendapati jika anaknya sedang ke rumah Al bersama Rylan. Cia pun menghampiri ke rumah Al yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Rylan menemani Lora bermain. Dia beralasan jika ingin bertemu dengan kakak-kakaknya-Rigel dan Anka. Kebetulan kakak kembarnya itu tidak sekolah hari ini, karena nenek mereka yang sakit dan memilih izin beberapa hari. “Lola, ini masak dulu bulgelnya.” Anka yang umurnya beda dengan Lora satu tahun itu asyik membuat main masak-masakan dengan Lora. Di saat para gadis cilik memasak, Rigel kebagian mencicip makanan yang dibuat. Pemandangan permainan itu, membuat Rylan dan Retta tersenyum. Retta sesekali-kali ikut menimpali pembicaraan dua gadis kecil itu. “Kamu sepertinya sangat suka dengan anak kec
Hari ini Cia diizinkan untuk pulang. Beberapa keluarga ikut menjemput, beberapa yang lain menunggu di apartemen. Menyambut kedatangan Baby Nick. Di apartemen mereka sudah disambut oleh anak-anak yang memberikan sambutan selamat datang. Sungguh rumah begitu ramai. “Selamat datang.” Shera dan Freya menyambut Cia.“Terima kasih.” Cia begitu senang ketika melihat semua menyambutnya dengan meriah. Keluarga berkumpul merayakan kedatangannya. “Ayo, masuk.” Noah menuntun pelan tubuh Cia. Membawanya masuk ke apartemen.Lora, Kean, Lean, Rigel, dan Anka pun itu menyambut. Lima anak itu begitu riuh ingin melihat adik mereka. “Itu dedek aku.” Dengan bangganya dia memamerkan adiknya. “Mommy, mau lihat!” Kean yang tak sabar pun merengek. Cia yang duduk di sofa langsung diserbu anak-anak. Mereka begitu gemas melihat Baby Nick. Sayangnya, Lora begitu pelit. Setiap ingin memegang adiknya,
Noah membawa istrinya ke Rumah sakit. Cia yang sudah merasakan sakit hanya bisa merintih kesakitan. Setelah sekian lama, kini Cia merasakan kembali rasa sakit ini. Jika dulu, dia malu-malu saat mencengkeram Noah. Kini dia dengan beraninya mencengkeram erat tangan Noah. Hingga membuat Noah kesakitan. Namun, Noah rela saja melakukannya. Yang terpenting dapat mengurangi sakit yang dirasakan oleh istrinya. Di ruang UGD para perawat langsung memasang jarum infus ke pergelangan tangan Cia. Memastikan cairan infus bisa masuk ke dalam tubuh Cia. Dokter Lyra yang dihubungi langsung datang. Dia memang sudah bersiap sejak pagi. Terlebih lagi keluarga Adion dan Maxton sudah berisik menghubunginya. “Air ketubannya sepertinya sudah pecah, Ra.” Mama Chika memberitahu. Dokter Lyra mengangguk. Kemudian memakai sarung tangan untuk mengecek sudah pembukaan berapa. Saat mengecek jalan lahir anak Cia, Dr. Lyra mendapati jika Cia sudah siap untuk melahirkan. D
Cia mengatur napasnya setelah keliling taman. Dilihatnya anaknya masih asyik bermain dengan daddy-nya, jadi dia harus menunggu lebih dulu. Perut Cia yang sudah mulai besar, membuatnya kesulitan untuk duduk. Kini usia kandungan Cia sudah mencapai delapan bulan. Dengan usia kandungan yang besar membuat Cia sulit bergerak. “Mommy.” Lora berlari menghampiri Cia. Cia mengulurkan tangannya. Membawa anaknya ke dalam pelukannya. “Dedek.” Lora mendaratkan kecupan di perut mommy-nya. Noah menghampiri anak dan istrinya. Ikut duduk di sebelah istrinya. Mengatur napas setelah lari mengejar anaknya. Pandangannya tertuju pada anak dan istrinya yang sedang bercengkerama. “Hari ini kamu jadi ke toko?” tanya Noah sambil membelai lembut perut Cia. Hari ini Noah libur, jadi dapat mengantar istrinya ke toko kapan saja. “Iya, aku mau mengecek dulu toko. Sekalian nanti pulang kita cari baju bayi.” “Bukannya sudah banyak yang kamu beli bersama dengan mama.” Noah yang
“Lima, enam, cembilan.” Lora menghitung ketika sedang duduk manis di atas punggung daddy-nya. Daddy-nya yang sedang push up, naik turun dengan membawa Lora di atasnya. “Tujuh dulu, Kak.” Cia yang sedang memainkan ponselnya membaca beberapa artikel, beralih pada anaknya. “Ulang, Daddy.” “Jangan, Sayang, lanjutkan saja.” Noah yang sedang push up dengan tubuh Lora di atas punggungnya, tidak kuat jika anaknya mengulang lagi. Tadi dia meminta dua puluh hitungan, jika diulang, yang ada dua kali kerja. Bisa-bisa dia pingsan nanti. “Lalu belapa?” “Sepuluh.” Noah menurunkan tubuhnya. Kemudian mengangkatnya lagi. “Cepuluh.” “Sebelas … dua belas … tiga belas ….” “Cebelas … dua belas … tiga belas ….” Lora mengikuti daddy-nya yang berhitung. Sampai akhirnya sang daddy terkapar di lantai. Lora yang selesai berhitung begitu senangnya. Karena dia bisa naik di punggu
Di depan cermin Noah mengikat rambut anaknya. Sebulan ini dia belajar mengikat rambut anaknya. Tak ada lagi ikatan miring yang membuat Lora menangis. Kini Noah bisa mengikat rambut anaknya dengan simetris. Cia yang mencatat seragam apa yang dipakai Lora setiap hari juga membuat Noah mudah untuk memakaikan pada anaknya. Sudah tak ada lagi drama Lora menangis pagi-pagi. Hal itu membuat Cia senang. Sebulan ini Cia tak henti-hentinya mual. Dia terpaksa ke toko setelah siang, saat tubuhnya kuat. Semua orang melarang Cia, tetapi dia merasa bosan terus berada di rumah. Suara bel yang terdengar membuat Cia yang sedang tidur langsung berangsur bangun. Dia tahu jika itu adalah kurir yang mengantarkan bubur buatan mommy Shea. Bubur dengan campuran udang dan kepiting. Rasanya benar-benar enak di mulut Cia. Hanya bubur itu yang bisa masuk ke perutnya. Karena makanan lain tidak sama sekali bisa masuk dan justru keluar lagi. Saat membuka pintu, ternyata bukan kurir yang da
Papa Felix dan Mama Chika yang dihubungi oleh El, langsung bergegas ke Rumah sakit. Mereka begitu khawatir ketika mendengar anaknya sakit. Setelah tadi menghubungi Freya menanyakan di mana ruangan perawatan, mereka langsung menuju ke sana. Saat tiba di ruang perawatan tampak Cia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Melihat Infus yang menancap di pergelangan tangannya, mereka merasa tidak tega. “Kenapa bisa sampai di sini?” Mama Chika yang masuk langsung menghampiri anaknya. Tangannya membelai erat rambut Cia. Wajah tuanya begitu tampak khawatir. “Aku tidak apa-apa, Ma.” Cia berusaha menenangkan sang mama yang terlihat panik. “Sebenarnya ada apa ini? Sakit apa hingga harus dirawat?” Papa Felix memang jauh lebih tenang, tetapi sebenarnya jauh lebih panik. “Cia tidak sakit, Pa, Ma.” Freya menatap mama dan papanya bergantian. “Dia hamil,” ucapnya tersenyum. Mama Chika dan Papa Felix terkeju
Cia dan Noah pergi ke Rumah sakit. Sepanjang jalan Noah merasa tidak tega sekali melihat istrinya yang terlihat begitu pucat. “Masih mual?” tanya Noah menoleh sejenak pada Cia. “Masih.” Cia berusaha keras untuk menahan rasa mualnya itu. “Mau beli permen saja?” Noah terpikir permen bisa mengurangi rasa mual yang dirasakan oleh istrinya. “Boleh juga.” Noah membelokkan setir mobilnya untuk menuju ke supermarket. Membeli permen yang dapat mengurangi mual yang dirasakan oleh istrinya. Di dalam supermarket dia memilih beberapa permen, karena tidak tahu permen apa yang dapat meredakan mual yang dirasakan oleh Cia. Saat kembali ke mobil, dia memberikan satu kantung permen pada istrinya. Hingga membuat Cia keheranan. “Sebanyak ini kamu mau membuat gigiku sakit?” Cia membuka kantung berisi beberapa bungkus permen. “Aku tidak tahu mana yang dapat me
Noah dan Cia bersiap untuk acara peresmian perumahan tahap pertama. Lora yang diajak pergi tak kalah heboh. Ketika sang mommy sedang memakai alat pengeriting rambut, dia juga ikut-ikutan, meminta untuk membuat agar rambutnya juga keriting. Cia yang gemas pun menuruti permintaan anaknya. “Daddy, lihat lambut aku keliting.” Ketika Noah keluar dari kamar mandi, suara anaknya sudah menyambutnya. “Kenapa kamu cepat sekali dewasa, Daddy berasa semakin tua,” gerutu Noah. Dia yang melihat anaknya itu pintar sekali membuatnya takut anaknya tumbuh dengan cepat. Cia hanya tersenyum melihat suaminya yang kesal. Terlihat begitu mengemaskan ketika mendengar suaminya menggerutu. Noah, Cia, dan Lora yang sudah siap langsung berangkat ke tempat acara. Saat tiba di lokasi sudah ada keluarganya yang sudah berkumpul. Anak-anak juga ikut serta. Mereka ikut orang tua mereka untuk menghadiri acara. Had
Sesuai dengan rencana, akhirnya Papa Darwin dan Rylan kembali ke London. Lora yang melihat kepergian kakeknya menangis, hingga sulit sekali di tenangkan. Berteriak ingin ikut kakeknya.“Au ikut Glandpa.” Dia masih terisak ketika tadi sudah bergulung-gulung di lantai. Lora memang sering menangis, tetapi tidak seperti ini biasanya, dan kali ini Lora begitu tak terkendali. Cia yang melihat anaknya seperti itu hanya bisa menunggu hingga tenang. Mengamankan semua yang di sekitar yang kira-kira bahaya. Sampai saat Lora sudah tenang, dia membawa anaknya ke dalam pelukannya. “Au ikut Glandpa.” Kata itu yang terucap diiringi isak tangis. Cia terus mendekap erat anaknya. Menangkan anaknya itu. Sampai suaminya pulang sehabis mengantar papa dan adiknya, Lora baru saja tenang. Anaknya itu baru saja tertidur. Masih di dalam dekapan sang mommy. Perlahan Cia memindahkan anaknya itu ke tempat tidur. Agar sang anak lebih pulas lagi saat tidur. Noah yang melihat wajah anak