Mas Ardan merawatku dengan sangat baik. Namun, aku tidak bisa terus menerima perhatian yang berlebihan itu saat mengingat perbuatan dosa yang sudah telanjur terjadi. Aku memilih mengurung diri di dalam kamar saat sudah diperbolehkan untuk pulang.
"Kamu mau ke mana, Win? Kamu gak boleh banyak gerak dulu. Kandunganmu masih lemah," ujar Mas Ardan saat aku turun dari tempat tidur."Aku mau tidur di kamar sebelah, Mas.""Apa maksudmu, Win? Kamu masih istriku dan selamanya akan menjadi istriku. Aku tidak akan menyentuhmu sampai kamu siap, Win. Jangan seperti ini!" Mas Ardan menghampiriku yang berdiri di ambang pintu."Aku gak pantas buat kamu, Mas. Aku juga gak pantas untuk dicintai. Papa memang benar. Seharusnya, kamu ceraikan aku sekarang juga supaya tidak ada orang yang harus menanggung malu karena aku." Dada ini terasa sesak saat mengingat cinta Mas Ardan yang begitu besar untukku.Tanpa meminta persetujuan, Mas Ardan mendekap tubuhku. Sangat terasa hangat menjalari tubuh ini. Aku belum mencintainya, tapi rasa ini nyata adanya. Aku mendapat ketenangan di dalam pelukan hangat seorang Zulfikar Ardan Alfarizi. Dia lelaki yang sudah menemani hari-hariku sejak duduk di bangku kelas satu SMP. Seorang kakak yang datang saat adiknya butuh pertolongan. Seorang sahabat yang selalu bisa membuatku tersenyum saat masalah mendera.Seorang remaja laki-laki berseragam putih-biru datang menolong saat beberapa preman mencoba memalakku. Berteriak seolah-olah ada polisi yang datang hingga preman-preman itu lari tunggang-langgang tanpa tujuan."Kamu gak apa-apa, 'kan?" tanyanya sambil membantuku berdiri. Aku sempat terjatuh karena terlalu takut pada preman-preman tadi."Gak apa-apa, Kak. Terima kasih," jawabku."Gak usah panggil kakan! Namaku Ardan, kita sekolah di tempat yang sama, 'kan?" balasnya."Wi--Wina, Kak. Iya, sepertinya kita sekolah di tempat yang sama."Awal perkenalan dengan lelaki yang saat ini menjadi suamiku. Sudah lewat lebih dari sepuluh tahun dari sekarang. Namun, takdir selucu ini. Aku malah menikah dengan orang yang seharusnya hanya kuanggap sebagai seorang kakak dan sahabat."Aku sama sekali gak malu, Win. Kamu istriku sekarang. Tolong, beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu dan calon anak kita!" bisik Mas Ardan di telingaku.Aku semakin tergugu dalam pelukannya. "Tolong bantu aku, Mas! Bantu aku untuk bisa mencintaimu!" lirihku.Aku bertekad untuk berubah mulai hari ini. Aku akan menjadi istri yang baik untuk Mas Ardan meskipun tidak bisa sempurna. Aku akan belajar untuk mencintainya seperti dia mencintaiku tanpa syarat.***Pagi ini, aku bangun dengan semangat baru. Mas Ardan masih terlelap di atas tempat tidur. Wajahnya yang sangat tampan dan penuh kedamaian saat aku melihatnya. Masih terus kuperhatikan sambil memainkan rambutnya yang yang sedikit menutup dahi. Lantas, tanpa sadar, aku mendaratlan ciuman pertama ke dahinya."Makasih, Sayang."Deg!Mas Ardan terbangun setelah aku menciumnya. Apa dia hanya pura-pura masih tidur? Aku beringsut dan buru-buru turun dari tempat tidur, tapi Mas Ardan menahan tanganku. Lalu, menariknya dengan cepat hingga tubuhku jatuh menimpanya."Aku cinta kamu Arwina Chandrahayu Putri," bisiknya. Sangat terasa hangat embusan napasnya di telingaku.Bulu-bulu halus di tubuhku meremang bersama rasa hangat yang mengalir di setiap syaraf dan aliran darah. Hati ini berdesir mendapatkan perlakuan yang sangat manis dari lelaki sebaik Mas Ardan."Mulut Mas Ardan bau, ih. Belum sikat gigi, 'kan?" tukasku dan sesegera mungkin menjauh darinya.Entah bagaimana penampakan wajahku saat ini. Pasti sudah sangat merah karena menahan malu. Bahkan, saat kupegang, kedua pipi ini masih terasa panas. Mas Ardan benar-benar akan membuatku jatuh cinta tanpa perlu waktu yang lama."Kok, pergi, Sayang?" teriaknya."Buruan bangun, Mas! Salat Subuh dulu," jawabku dari dalam kamar mandi. Aku masih berusaha menetralkan degup jantung yang masih tak beraturan karena ulahnya.Selepas salat, Mas Ardan tetap tidak membiarkanku melakukan apa pun. Padahal, aku ingin memasak untuknya mulai hari ini. Aku hanya disuruh duduk di sofa ruang tengah sambil menonton televisi. Sementara, dia yang memasak untukku. Terbalik, bukan?Aku mencium aroma yang sangat memanjakan penciuman. Mas Ardan memang pandai memasak karena dia hampir setiap hari membantu ibunya untuk mempersiapkan dagangan. Almarhumah ibu mertuaku seorang penjual warteg dulu dan Mas Ardan pasti membantu ibunya setiap hari. Namun, beliau meninggal beberapa tahun yang lalu akibat terkena stroke yang sudah sangat parah.Kuhampiri Mas Ardan yang masih berkutat di dapur. Satu menu makanan berbahan dasar daging ayam sudah siap."Belum selesai, Mas?" tanyaku."Ngapain kamu ke sini? Sebentar lagi selesai, Sayang. Kamu tunggu di depan saja," sergahnya."Aku mau bantuin Mas Ardan, biar cepet selesai.""Ini tinggal goreng tempe, Win."Tempe? Entah kenapa, mendengar namanya saja perutmu langsung mual. Kubekap mulut sebelum sesuatu keluar dari mulut dan buru-buru ke kamar mandi. Ah, menyusahkan sekali anak ini. Kuremas perut yang masih datar ini."Win, kamu gak apa-apa, 'kan? Kenapa pintunya harus dikunci?" Mas Ardan menggedor pintu berkali-kali.Kuraupkan air ke wajah agar tidak terlihat pucat. Badanku tiba-tiba lemas lagi. Kubuka pintu perlahan, Mas Ardan berdiri tepat di depan pintu."Kamu gak apa-apa, Win?"Aku menggeleng lemah. Lantas, berjalan pelan ke tempat tidur."Makanya jangan ngeyel!" Mas Ardan melangkah keluar setelah membantuku berbaring.Mas Ardan membawakan sepiring makanan dan segelas susu ke kamar. Aku merasa menjadi perempuan yang tidak berguna. Hanya merepotkan dan membuat malu keluarga. Mas Ardan menyuapi ku dengan telaten meskipun beberapa kali harus kembali dikeluarkan secara paksa. Lambung ini rasanya sulit sekali menerima makanan."Sudah, Mas. Perutku tambah mual.""Baru sedikit loh, Win. Kamu harus banyak makan, biar anak kita sehat," ujarnya lembut."Mas, kenapa kamu mau menganggap anak ini sebagai anakmu? Kenapa kamu gak membenciku seperti Papa?""Kamu ngomong apa, sih? Itu anakku, Win. Jangan pernah ngomong seperti itu lagi! Aku gak suka kamu selalu mengulang kalimat yang sama setiap saat."Aku terdiam sejenak. Menghela napas panjang."Mas Ardan sudah mulai masuk kerja, 'kan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Kondisimu masih seperti ini, mana mungkin aku kerja, Sayang." Mas Ardan menyodorkan segelas susu ke mulutku.Kamu terlalu baik buatku, Mas. Padahal, aku belum bisa memberikan haknya sebagai seorang suami. Maafkan aku yang hanya seorang perempuan tak suci yang harus kamu jaga.Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Mas Ardan menurutiku untuk pergi bekerja. Dia sudah mengambil cuti dua hari, aku tidak mau kalau dia akan mendapat masalah karena mementingkan perempuan tidak berharga ini. Namun, Mas Ardan meminta Mama untuk menemaniku di rumah. Katanya, dia khawatir kalau meninggalkanku sendirian.Aku bergegas ke dapur sebelum Mama datang. Satu pack kopi hitam yang masih utuh dalam kemasan kubuka. Aku membuat satu cangkir kopi dengan lima sendok bubuk kopi hitam.Aku sudah mencari informasi di media Internet tentang efek minuman kopi bagi ibu hamil. Kopi berkafein tidak baik untuk ibu hamil karena bisa menyebabkan keguguran jika dikonsumsi melebihi batas aman. Sebuah penelitian menemukan bahwa mengonsumsi kafein dalam jumlah berlebih selama hamil bisa meningkatkan risiko keguguran dan cacat lahir.Aku tidak ingin mempertahankan bayi dalam kandungan ini. Aku ingin menjadi istri yang sempurna untuk Mas Ardan tanpa ada dosa yang membayangi. Anak ini hanya akan mengingatkanku terus pada Mas Bima dan kesalahan yang kulakukan.Satu cangkir kopi sudah habis kuminum. Nanti siang, aku akan meminumnya lagi supaya kandungan ini secepatnya luruh dari rahimku."Kamu ngapain, Win?" Suara perempuan yang tidak asing mendekat. Mama!"Kamu bukannya istirahat, malah di dapur. Ngapain, Win?" Aku gelagapan saat Mama tiba-tiba muncul di dapur sebelum aku menyingkirkan gelas yang masih bersisa sedikit ampas kopi. Entah angin apa uanh membawanya ke sini. Semoga saja, Mama tidak mengetahui apa yang baru saja aku lakukan. "Mama bawakan seafood kesukaanmu, Win. Mama siapin di piring, ya." Mama pun beralih ke meja makan setelah mengambil piring dari lemari kitchen set. Ah, untung saja Mama tidak curiga. Namun, aroma masakan yang bari saja Mama hidangkan, malah membuat perutku bergejolak. Aku benar-benar tidak tahan untuk segera memuntahkan isi perut, tapi kopi yang kuminum pasti akan ikut keluar semua. Usahaku tadi akan sia-sia dan mungkin Mama akan curiga. Setelah beberapa saat menahan, aku akhirnya beralih ke wastafel dan terpaksa mengeluarkan semua isi perut. Ah, sungguh menyusahkan anak dalam perut ini. Dan akhirnya, Mama pun menghampiri, lalu memijat tengkukku perlahan. "Kamu minum kopi, Win?" sentak Mama setelah
Aku masih saja berdiri mematung bersandar dinding di samping pintu. Mendengarkan permintaan Mas Bima yang tidak mungkin dapat kukabulkan. Sementara, lelaki dua puluh lima tahun itu sudah duduk di atas Springbed tanpa ranjang di kamar kos berukuran sekitar lima kali empat meter. Lelaki berwajah rupawan itu terus berusaha membujukku untuk memenuhi permintaan yang pastinya akan menjerumuskan ke dalam kubangan dosa. Salah satu dosa besar yang mungkin akan membuat diri ini terkungkung oleh penyesalan yang tiada akhir. Bahkan, tidak bisa dipungkiri kalau seandainya dosa itu tidak terampuni oleh Sang Pemilik Hidup.“Jangan sembarangan, Mas! Kita belum sah menjadi suami istri,” bantahku. “Aku ‘kan, gak tahu kalau kamu masih segel apa gak. Jadi, kita buktikan dulu. Lagipula, pernikahan kita tinggal dua minggu lagi. Nantinya, aku juga yang akan buka segel.” Mas Bima masih ngeyel. Dia melangkah mendekat sambil membuka kancing kemejanya satu per satu dari yang paling atas. “Nggak mau, Mas. Aku
Aku mencium bau minyak angin yang sangat menyengat hingga membuat mata ini perlahan terbuka. Wajah khawatir Ardan menjadi yang pertama tertangkap pandangan. Meskipun masih sedikit buram, aku tahu kalau laki-laki di depanku ini sangat khawatir.“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Win,” ucapnya dengan senyum. Lantas, membantuku duduk bersandar kepala ranjang. “Aku kenapa, Dan?”“Kamu pingsan, Win. Kita ke dokter, ya. Biar kamu cepat sembuh,” ajaknya sambil menyodorkan teh hangat ke mulutku. Aku menggeleng pelan bersama air mata yang mulai mengalir. Aku masih saja teringat dengan Mas Bima. Di mana dia? Seharusnya, dia yang ada di sampingku sekarang. Namun, semua rencana bahagiaku seakan melayang bersama butiran debu yang beterbangan. Mas Bima adalah anak perantauan yang mengadu nasib di Jakarta. Katanya, orang tuanya tinggal di Medan dan akan datang satu hari sebelum pernikahan kami. Usianya yang sudah dua puluh lima tahun dan pekerjaan sebagai akunting di salah satu bank swasta membuat
Sekuat tenaga aku menahan untuk tetap tinggal di dalam mobil meskipun ingin sekali turun dan memaki laki-laki yang sudah menjerumuskanku dalam dosa besar. Namun, aku sangat menghargai Mas Ardan yang saat ini menjadi suamiku. Dia pasti akan melakukan yang terbaik untuk istrinya ini. Jantungku mulai berdetak lebih cepat saat melihat kerumunan orang di sekitar minimarket. Apa yang sedang terjadi? Apa mungkin Mas Ardan dan Mas Bima berkelahi? Hati ini semakin tidak tenang dan akhirnya, aku turun dari mobil untuk melihat apa yang terjadi. Mas Bima sudah tersungkur di atas paving pelataran minimarket dengan beberapa sudut wajah mengeluarkan darah segar. Mas Ardan pun sama, tapi laki-laki itu masih bisa berdiri tegak dengan beberapa luka lebam di wajah. “Mas Bima!” teriakku. Mas Ardan mencekal pergelangan tangan kananku saat akan membantu Mas Bima berdiri. Begitu butanya hatiku saat kembali melihat Mas Bima. Cinta untuknya masih ada meskipun lelaki itu sudah mengkhianatiku. Aku memang te