Sekuat tenaga aku menahan untuk tetap tinggal di dalam mobil meskipun ingin sekali turun dan memaki laki-laki yang sudah menjerumuskanku dalam dosa besar. Namun, aku sangat menghargai Mas Ardan yang saat ini menjadi suamiku. Dia pasti akan melakukan yang terbaik untuk istrinya ini.
Jantungku mulai berdetak lebih cepat saat melihat kerumunan orang di sekitar minimarket. Apa yang sedang terjadi? Apa mungkin Mas Ardan dan Mas Bima berkelahi?Hati ini semakin tidak tenang dan akhirnya, aku turun dari mobil untuk melihat apa yang terjadi. Mas Bima sudah tersungkur di atas paving pelataran minimarket dengan beberapa sudut wajah mengeluarkan darah segar. Mas Ardan pun sama, tapi laki-laki itu masih bisa berdiri tegak dengan beberapa luka lebam di wajah.“Mas Bima!” teriakku.Mas Ardan mencekal pergelangan tangan kananku saat akan membantu Mas Bima berdiri. Begitu butanya hatiku saat kembali melihat Mas Bima. Cinta untuknya masih ada meskipun lelaki itu sudah mengkhianatiku. Aku memang terlalu naif.“Ayo, pulang, Win! Buat apa kamu masih peduli dengan laki-laki seperti dia.” Mas Ardan menarik tanganku dan berjalan menjauh.Aku masih saja menoleh ke arah Mas Bima meskipun langkah ini mengikuti Mas Ardan. Entah kenapa aku ini? Kenapa aku tidak bisa meluapkan amarah pada Mas Bima saat melihatnya dari dekat?“Tunggu pembalasanku, Ardan! Kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa,” ancam Mas Bima sambil berusaha berdiri.“Kamu yang tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa!” seru Mas Ardan.Mas Bima tersenyum menyeringai seraya mendekat. “Bagaimana rasanya malam pertama dengan bekasku, Ardan?” ucapnya lirih. Namun, aku yang berada di samping Mas Ardan masih bisa mendengarnya.Aku merasa menjadi perempuan terburuk di dunia. Ucapan Mas Bima kembali mengingatkan perbuatan yang seharusnya tidak kulakukan. Aku sedikit mendongak, memperhatikan wajah Mas Ardan yang berubah pias. Pasti dia sangat marah dan kecewa. Aku bisa melihat dadanya yang naik-turun cukup cepat disertai genggaman tangan yang menguat.Air mata ini pun tak mampu terbendung lagi. Kuempaskan tangan Mas Ardan yang masih menggenggam tanganku dengan kasar. Lalu, berlari sekencang-kencangnya untuk menjauh. Lebih baik aku pergi daripada membuat malu Mas Ardan dan seluruh keluarga karena kekhilafan ini. Aku tidak pantas dicintai oleh siapa pun.Tubuh yang masih lemas ini kupaksa terus berlari meskipun beberapa kali terjatuh. Aku pun masih bisa mendengar teriakan Mas Ardan yang sepertinya mengejar. Namun, tiba-tiba perut bagian bawah terasa sakit hingga kaki ini tidak kuat lagi untuk menopang tubuh. Aku terjatuh di tepian jalan sambil meremas perut yang terasa semakin sakit.“Win, kamu kenapa?” Mas Ardan berjongkok di depanku. Namun, kutepis tangannya yang akan menyentuh tubuh ini.“Jangan pernah sentuh aku lagi, Mas! Aku perempuan kotor dan tidak pantas untukmu. Biarkan a ....” Aku tidak bisa meneruskan kalimat karena rasa sakit di perut ini semakin menjadi.“Perutmu kenapa, Win? Jangan buat aku takut!”Kembali kutepis tangan Mas Ardan yang akan menyentuhku.“Pergi, Mas! Per—” Aku mendesis, merintih menahan sakit.“Astagfirullah ... darah, Win. Kita ke rumah sakit sekarang.” Mas Ardan berusaha mengangkat tubuh ini, tapi aku kembali menepis tangannya.“Biarkan aku tetap di sini, Mas! Biar ....” Aku tak kuasa lagi menahan sakit ini hingga tubuhku limbung, tapi dengan kesadaran yang masih sedikit terjaga.Aku hanya bisa pasrah saat Mas Ardan membopong tubuh ini karena sudah tidak ada tenaga lagi untuk meronta. Lelaki baik hati itu terlihat sangat panik dan berjalan cepat menuju mobil.“Bertahan, Win. Kamu akan segera ditangani dokter.”***Kenapa janin ini masih bertahan di dalam rahimku setelah begitu banyak darah yang keluar? Padahal, aku berharap jika kandungan ini gugur hingga aku tidak perlu lagi menanggung malu di depan Mas Ardan. Bahkan, bisa memulai hidup baru tanpa adanya bayang-bayang lelaki bernama Abimanyu.“Alhamdulillah, kandunganmu selamat, Win,” kata Mas Ardan yang baru saja menghampiri setelah dokter selesai melakukan penanganan.“Kenapa Mas Ardan membawaku ke sini? Seharusnya Mas Ardan biarkan saja aku tadi. Biar anak dalam kandunganku ini bisa gugur dengan sendirinya,” jawabku tanpa mau melihatnya.“Mana mungkin aku membiarkan istriku kesakitan seperti tadi. Apalagi, kalau sampai aku kehilangan calon anak kita. Aku gak akan bisa memaafkan diri sendiri sampai kapan pun.” Mas Ardan membelai kepalaku lembut.“Jangan mencintaiku seperti itu, Mas! Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik buatmu. Dan untuk anak ini, buat apa kamu mengakuinya sebagai anakmu? Dia cuma anak hasil dari perbuatan dosa antara aku dan Mas Bima.” Aku mulai terisak sambil meremas perut yang masih tertanam benih dari Mas Bima.“Anak gak tahu diri!” teriak Papa sambil melayangkan sebuah tamparan padaku.Akhirnya, Papa mengetahui kesalahanku. Aku tidak tahu jika beliau datang dan pastinya sudah mendengar ucapanku pada Mas Ardan. Amarah Papa masih memuncak dan seakan ingin segera menghukumku, tapi Mas Ardan, Mama beserta beberapa perawat dan dokter mencegahnya.“Jadi, itu balasannya setelah dewasa, Win? Kamu mencoreng muka Papa dan Mama dengan perbuatan yang tidak sepantasnya itu,” ujar Papa dengan emosi yang masih menguasai.“Sabar, Pa. Kondisi Wina masih lemah. Wina baru saja mengalami pendarahan.” Mas Ardan mencoba membelaku.“Papa akan urus perceraian kalian. Kamu terlalu berharga untuk perempuan seperti Wina, Dan.”Ucapan Papa seperti hantaman sebuah godam yang tiba-tiba jatuh dan menghancurkan tubuhku hingga berkeping-keping. Papa lebih membela Mas Ardan daripada aku yang anak kandungnya sendiri.“Papa ngomong apa? Wina dan Ardan baru dua minggu menikah dan sekarang Wina sedang hamil. Apa Papa tidak memikirkan bagaimana kata orang kalau Wina dan Ardan malah bercerai?” Mama turut bicara.“Argh ... terserah! Kamu urus saja anak manjamu itu!” bentak Papa pada Mama. Kemudian, pergi dengan tergesa dari ruang UGD ini.Inilah salah satu akibat dari perbuatan yang memang tidak akan pernah mendapat tempat untuk bernaung setelah semua orang mengetahui aib memalukan itu. Bahkan, aku sudah tidak pantas untuk mendapat kesempatan kedua. Dosa ini terlalu besar untuk mendapatkan kata maaf.Bisa kulihat wajah Mama penuh kesedihan. Pastinya, beliau kecewa akibat perbuatan putri semata wayangnya yang selalu dimanjakan setiap detik. Apa pun yang kuinginkan tidak ada satu pun yang dibiarkan tidak terkabul. Namun, kasih sayangnya malah kubalas dengan mencoreng wajahnya dengan kotoran yang tidak akan pernah bisa hilang meskipun dimakan waktu.Lagi-lagi, hanya penyesalan tanpa solusi yang harus kuterima. Semua konsekuensi akan kuterima dengan lapang dada karena memang semua perbuatan pasti harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.Mas Ardan merawatku dengan sangat baik. Namun, aku tidak bisa terus menerima perhatian yang berlebihan itu saat mengingat perbuatan dosa yang sudah telanjur terjadi. Aku memilih mengurung diri di dalam kamar saat sudah diperbolehkan untuk pulang. "Kamu mau ke mana, Win? Kamu gak boleh banyak gerak dulu. Kandunganmu masih lemah," ujar Mas Ardan saat aku turun dari tempat tidur. "Aku mau tidur di kamar sebelah, Mas.""Apa maksudmu, Win? Kamu masih istriku dan selamanya akan menjadi istriku. Aku tidak akan menyentuhmu sampai kamu siap, Win. Jangan seperti ini!" Mas Ardan menghampiriku yang berdiri di ambang pintu. "Aku gak pantas buat kamu, Mas. Aku juga gak pantas untuk dicintai. Papa memang benar. Seharusnya, kamu ceraikan aku sekarang juga supaya tidak ada orang yang harus menanggung malu karena aku." Dada ini terasa sesak saat mengingat cinta Mas Ardan yang begitu besar untukku. Tanpa meminta persetujuan, Mas Ardan mendekap tubuhku. Sangat terasa hangat menjalari tubuh ini. Aku b
"Kamu bukannya istirahat, malah di dapur. Ngapain, Win?" Aku gelagapan saat Mama tiba-tiba muncul di dapur sebelum aku menyingkirkan gelas yang masih bersisa sedikit ampas kopi. Entah angin apa uanh membawanya ke sini. Semoga saja, Mama tidak mengetahui apa yang baru saja aku lakukan. "Mama bawakan seafood kesukaanmu, Win. Mama siapin di piring, ya." Mama pun beralih ke meja makan setelah mengambil piring dari lemari kitchen set. Ah, untung saja Mama tidak curiga. Namun, aroma masakan yang bari saja Mama hidangkan, malah membuat perutku bergejolak. Aku benar-benar tidak tahan untuk segera memuntahkan isi perut, tapi kopi yang kuminum pasti akan ikut keluar semua. Usahaku tadi akan sia-sia dan mungkin Mama akan curiga. Setelah beberapa saat menahan, aku akhirnya beralih ke wastafel dan terpaksa mengeluarkan semua isi perut. Ah, sungguh menyusahkan anak dalam perut ini. Dan akhirnya, Mama pun menghampiri, lalu memijat tengkukku perlahan. "Kamu minum kopi, Win?" sentak Mama setelah
Aku masih saja berdiri mematung bersandar dinding di samping pintu. Mendengarkan permintaan Mas Bima yang tidak mungkin dapat kukabulkan. Sementara, lelaki dua puluh lima tahun itu sudah duduk di atas Springbed tanpa ranjang di kamar kos berukuran sekitar lima kali empat meter. Lelaki berwajah rupawan itu terus berusaha membujukku untuk memenuhi permintaan yang pastinya akan menjerumuskan ke dalam kubangan dosa. Salah satu dosa besar yang mungkin akan membuat diri ini terkungkung oleh penyesalan yang tiada akhir. Bahkan, tidak bisa dipungkiri kalau seandainya dosa itu tidak terampuni oleh Sang Pemilik Hidup.“Jangan sembarangan, Mas! Kita belum sah menjadi suami istri,” bantahku. “Aku ‘kan, gak tahu kalau kamu masih segel apa gak. Jadi, kita buktikan dulu. Lagipula, pernikahan kita tinggal dua minggu lagi. Nantinya, aku juga yang akan buka segel.” Mas Bima masih ngeyel. Dia melangkah mendekat sambil membuka kancing kemejanya satu per satu dari yang paling atas. “Nggak mau, Mas. Aku
Aku mencium bau minyak angin yang sangat menyengat hingga membuat mata ini perlahan terbuka. Wajah khawatir Ardan menjadi yang pertama tertangkap pandangan. Meskipun masih sedikit buram, aku tahu kalau laki-laki di depanku ini sangat khawatir.“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Win,” ucapnya dengan senyum. Lantas, membantuku duduk bersandar kepala ranjang. “Aku kenapa, Dan?”“Kamu pingsan, Win. Kita ke dokter, ya. Biar kamu cepat sembuh,” ajaknya sambil menyodorkan teh hangat ke mulutku. Aku menggeleng pelan bersama air mata yang mulai mengalir. Aku masih saja teringat dengan Mas Bima. Di mana dia? Seharusnya, dia yang ada di sampingku sekarang. Namun, semua rencana bahagiaku seakan melayang bersama butiran debu yang beterbangan. Mas Bima adalah anak perantauan yang mengadu nasib di Jakarta. Katanya, orang tuanya tinggal di Medan dan akan datang satu hari sebelum pernikahan kami. Usianya yang sudah dua puluh lima tahun dan pekerjaan sebagai akunting di salah satu bank swasta membuat