Satu-satunya jalan hanya mengkonfirmasi pada Satya langsung kalau ia tidak berdekatan dengan Dana sebelum suaminya tahu. Gemetar telunjuknya menekan nama Satya. Namun, berkali-kali ia mencoba, taksatu pun yang tersambung. “Ya, Aziz, Ya Ghofur ….” Bibir Lintang terus merapal istigfar dan menyebut asma Allah. Entah mengapa Satya begitu sulit dihubungi. Setelah panggilan kesepuluh, Lintang menghentikan usahanya. Tinggal melangitkan doa yang bisa dilakukannya saat ini. Ia berharap Satya tidak melihat foto-foto itu dan membaca komentar teman-temannya. Waktu lima belas menit yang dijanjikan sudah habis. Dua mobil penjemput sudah tiba. “Maaf kami terlambat jadi torang menunggu lama,” ujar salah satu dari penjemput dengan dialek Sangihe yang kental. “Tidak apa-apa. Kami masih sabar menanti.” Kevin menjabat tangan dua orang itu lalu tersenyum ramah. “Terima kasih pengertiannya. Kita berangkat sekarang?” Otot-otot wajah lelaki berkaus merah itu mengendur melihat kehangatan sikap Kevin. Kev
Rena menghela napas. Pandangannya dari langit yang mulai gelap beralih pada Lintang.“Sama kayak kamu sering bilang kalau nggak ada apa-apa antara kamu dan Dana. Mungkin kamu tuh, seperti matahari, yang penting terbit dan bersinar dan nggak peduli perasaan orang lain yang nerima sinarmu.” Mulut Lintang terbuka lalu tertutup kembali. Ia mulai bisa menebak maksud Rena. “Sayangnya kamu bukan matahari dan orang lain itu bukan robot yang nggak punya perasaan. Gimana juga Dana punya perasaan dan kamu juga mesti mempertimbangkan perasaan dia. Kamu nggak bisa terus-terusan abai kalau Dana itu memang nganggep kamu istimewa.” Teh yang terlanjur masuk ke mulut mendadak terasa tawar. “Kak Rena melihat foto-foto di Fb Bang El.” Rena menggeleng. “Aku nggak ngerti sih, dari tadi kalian itu ngomongin foto apa.” Ia tertawa jenaka. “Aku cuma mau ngasih tahu kamu sudah saatnya lebih berhati-hati sama Dana. Dia itu sudah mirip jailangkung. Datang nggak diundang dan pergi tanpa permisi.” Kedua alis L
Riak-riak yang sejak awal tertahan menyeruak di wajah Dana. “Maksud kamu? Kita cuma foto bareng dan nggak ada satu pun foto kita berdua.” Helaan napas panjang Dana memutus kalimatnya. “Kamu berpikir terlalu jauh.” Duh, Lintang seperti ingin mencubit dua lelaki di depannya yang mendadak bebal dan tidak peka. “Komentarnya itu lho, Bang, Mas. Aku tahu pasti kalian sudah baca komentar teman-teman di sana. Aku nggak nyaman banget.” “Sampai sekarang aku nggak ngerasa ada yang aneh, Lin. Ya kalau suami kamu mikir macem-macem, kasih tahu saja kalau kita bertiga cuma temenan dan yang ada di kolom komentar itu hanya becanda.” El berujar santai. “Udah, ah, kirain kamu mau ngomong apa gitu yang penting. Ternyata cuma masalah receh gini.” “Aku setuju sama El. Masalah sepele seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Lebih baik energi kita untuk mempersiapkan ekspedisi sebulan ke depan daripada meributkan foto.” Dana mengikuti jejak El. Melihat wajah El yang tidak merasa bersalah dan Dana yang s
Selarik senyum terbit di wajah Lintang. “Nggak ada, Kak. Hanya kluster tiga sepertinya cukup berat medannya. Dari data yang saya baca ada beberapa titik yang rawan longsor.” Otaknya mencoba mencari alasan paling rasional yang bisa diterima Kevin.“Justru karena itu kalian aku tempatkan di kluster tiga. Kalian sudah berpengalaman di berbagai ekspedisi. Apalagi El dan Dana. Mereka hampir tidak pernah absen dari program konservasi hutan dan selalu bisa melewati masa-masa sulit. Kalian tim terbaik paling tepat di kluster tiga yang lebih kompleks permasalahannya.” Lagi-lagi Lintang harus mengakui kebenaran ucapan Kevin. El dan Dana adalah dua orang dengan jam terbang tinggi karena sudah terlibat program WWF sejak masih semester awal kuliah. Bahkan Dana mengisi jeda antara SMU dan kuliah dengan mengikuti ekspedisi panjang di Leuser, Aceh dan hutan-hutan Sumatera lainnya. Konsentrasinya mendalami pencemaran air tidak menyurutkannya untuk mengikuti berbagai ekspedisi konservasi hutan. “Hutan
Satya memarkir mobil di halaman rumah berarsitektur Jawa klasik dengan halaman luas. Pohon tabebuya berbunga pink berada di sudut kiri dan kanan halaman seperti dua orang penerima tamu bersiap menyambut siapa pun yang berkunjung. Di depan pendopo, Satya menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin oksigen. Hatinya masih berusaha memastikan apakah yang dilakukannya hari ini sudah benar. “Ayo, masuk, Sat.” Ndoro Soeroso membuka pintu depan lebar-lebar. Senyum hangat menghias wajah sepuh itu. Satya mencium takzim punggung tangan Ndoro Soeroso. “Nggih, Paklik.” Satya menjawab sopan.“Mana istrimu? Kok, nggak diajak?” tanya Ndoro Soeroso setelah mereka duduk di ruang tamu. “Lagi keluar kota, Paklik. Lintang titip salam saja buat Paklik sekeluarga.” Satya menjawab sesopan mungkin meski hatinya bergemuruh. “Pandai sekali Paklik Soeroso berakting,” batinnya kesal. “Wah, pengantin baru kok, malah sering pisah kalian ini. Nanti Paklik nggak segera dapat ponakan.” Lel
Nyala api terlihat pada sepasang mata kelam Ndoro Soeroso. “Bocah gemblung! Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu? Bocah nggak tahu adab. Jadi seperti ini Mbakyu Sekar mendidik kamu, hah?” “Tidak usah bawa-bawa bunda, Paklik. Ini urusan kita berdua. Sekali lagi saya ingatkan jangan coba-coba mengganggu saya atau sisa hidup Paklik akan berakhir di penjara. Kalau Paklik memang butuh uang, tinggal bilang saja, tidak usah segan. Saya akan berikan selama tidak berlebihan dan uangnya ada.” Nyala api di mata Ndoro Soeroso semakin membesar. “Dengar, Le, aku tidak pernah punya pikiran mengganggu usahamu apalagi meminta uang darimu. Aku dan keluargaku masih punya harga diri. Kamu pikir setelah semua kesuksesan hidupmu, bisa bertingkah jumawa? Ingat, di atas langit masih ada langit. Di atas manusia ada Gusti Allah yang menguasai alam semesta. Sikapmu yang jumawa itu akan menghanguskanmu!”Ndoro Soeroso mengganjur napas, mencoba meredam amuk badai di hati. Setelah sekian waktu tidak pernah bert
Detik itu, Satya benar-benar menyesal mengizinkan Lintang pergi. Kalau tahu begini jadinya, ia akan berusaha lebih keras menahan Lintang. [Mas Satya baik-baik di rumah. Jangan kemalaman tidur biar nggak telat bangun subuh. Aku sudah pesen Mbok Darmi buat bangunin Mas Satya kalau sudah azan belum bangun juga.][Duuh, pesen kamu lebih panjang dari bunda.] Emot tertawa kembali masuk ke ponsel Satya. [Soalnya subuh itu kunci hari kita. Kalau subuh kita di awal waktu, insyaallah hari itu tidak akan ada yang sia-sia, rencana-rencana kita akan diberi kemudahan sama Allah.][Iya, Bu Ustazah.] Sepertinya semua perempuan memang ditakdirkan cerewet sehingga hal kecil seperti bangun pagi saja dia harus mengurus. Padahal sejak Lintang pergi, Satya sudah memasang alarm sehingga tidak perlu khawatir akan terlambat bangun. Dia bukan bocah. [Maaf, Mas. Aku cuma ngingetin.][Kamu di sana gimana? Baik-baik semua? Gimana makanan di sana? Cocok nggak sama perut kamu?] Salah satu hal yang mengkhawatir
Dua petugas polisi sudah berada di lokasi ketika Satya tiba di Omah Lowo. “Ada yang terluka?” tanya Satya pada Evan yang tergopoh menyambutnya. Raut muka Evan menguarkan rasa lelah. “Ketiganya hanya pingsan. Satu orang sudah sadar dan dua lagi sudah saya bawa ke puskesmas terdekat. Kebetulan ada layanan dua puluh empat jam.” Evan menyapu wajah dengan setangan. “Syukurlah.” Satya menghela napas lega. “Ada barang yang hilang?” “Saya belum ngecek semuanya. Yang diobrak-abrik hanya ruang kafe. Kalau melihat pintu tengah yang tertutup, sepertinya pelaku nggak masuk ke dalam,” jawab Evan. Keduanya berjalan cepat menuju ruang depan Omah Lowo yang difungsikan sebagai kafe. Satya mengganjur napas melihat kafe yang terlihat berantakan. Meja kursi berserakan dengan posisi terbalik. Pecahan gelas dan cangkir berhamburan di lantai dekat coffee bar sementara bunga-bunga plastik dan foto-foto di dinding juga bertebaran di lantai. Salah satu petugas tengah berbicara dengan satpam yang sudah siu