“Barang yang pecah itu berharga seratus ribu dollar.”Pupil mata Floryn membesar, jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat, dengan lemah dia mundur beberapa langkah kehilangan banyak tenaga begitu tahu harga guci yang telah lalai dia jaga dan kini berserakan pecah di lantai.Floryn kebingungan dengan apa yang harus kini dia lakukan, lidahnya kelu tidak mampu berbicara, dia hanya bisa menekan dadanya yang begitu sesak diluapi desakan ingin menangis.Saratus ribu dollar adalah uang yang begitu luar biasa besar untuknya.Jika Melisa menuntut ganti rugi, darimana Floryn mendapatkan uang sebesar itu? Jangankan memiliki uang seratus ribu dollar, menjual seluruh barang dan jiwa raganya saja tidak akan sampai semahal itu.Tangan Floryn gemetar berkeringat dingin, gadis itu hanya bisa tertunduk menahan tangisan sedihnya. Tidak hanya takut menghadapi tuntutan ganti rugi, Floryn juga sangat takut jika ini akan menjadi hari terakhirnya bekerja.“Nyonya, meski Nara yang memecahkan guci saya, namun
Suara dentingan lift terdengar, Alfred berjalan keluar mencari keberadaan Steve. Beberapa buah pilar besar berlapis marmer dia lewati hingga area ballroom, langkah kaki Alfred terhenti didepan sebuah telepon, diambilnya gagang telepon, Alfred menekan beberapa nomer. Dia terlalu malas pergi ke dapur hanya untuk memesan segelas kopi dan sarapan pagi yang harus diantar keluar.“Dengan Felix disini,” sahut Felix menyambut panggilan Alfred.“Ini aku, Alfred. Aku ingin segelas kopi dan waffle, antarkan ke dekat danau sekarang.”“Baik, Tuan Muda.”Alfred segera memutuskan sambungan teleponnya dan pergi melewati beberapa pintu, dia akan pergi lewat belakang agar tidak bertemu dengan banyak orang“Kasihan sekali anak itu, dia sudah menghadapi kesulitan yang tidak mudah untuk ditangani,” ucap Piper diantara kesibukannya yang tengah merapikan satu persatu tas belanjaan yang berserakan dilantai.Beberapa pelayan lain tengah membersihkan pecahan guci dan memasukannya kedalam kotak khusus.“Lupakan
Floryn berdiri di ambang pintu dengan keranjang besar berisi pakaian kotor yang harus dia bawa kebawah, dilihatnya Nara yang terlihat sibuk melakukan sesuatu di dalam rumah-rumahannya.Floryn tahu jika Nara sedang murung, anak itu tidak tidak mengeluarkan banyak energy seperti biasanya untuk melakukan sesuatu.Ada sepercik rasa bersalah yang muncul, andai saja Floryn mengabaikan perintah tamu Nathalia dan fokus menemui Nara, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Seharusnya, Floryn memprioritaskan Nara karena dia yang harus selalu diutamakanHal yang wajar jika Nara marah, dia tidak patut disalahkan. Andaipun Nara bersikap tidak sopan dengan mendorong barang milik Melisa, semua orang harus bisa memahami karena Nara tidak pandai mengendalikan emosi maupun menyampaikan perasaannya lebih detail.Entah harus dengan cara apa kini Floryn meminta maaf pada gadis kecil itu. “Nona, sudah waktunya untuk Anda sarapan pagi.” Nara menggeleng tanpa suara, dia tidak mau turun kebawah selama Melisa
“Alfred tunggu.” Melisa menangkap tangan Alfred dan menahan langkahnya, sejak tadi ada sesuatu yang mengganjal hati Melisa karena ada sesuatu yang salah dibalik penampilan sempurna pria itu. Melisa mengangkat tangan Alfred dan meneliti jemari panjangnya yang polos tanpa mengenakan apapun. “Dimana cincin pertunangan kita? Kenapa kau tidak menggunakannya?” tanya Melisa dengan serius.Rahang Alfred mengetat, inilah mengapa dia malas didampingin siapapun, selalu ada hal yang tidak dia suka harus dilakukan.“Alfred, jawab aku,” desak Melisa dengan penuh tekanan.Tubuh Alfred menegak, diam-diam dia melirik Piper yang berdiri beberapa meter dari mereka tengah membuang muka berpura-pura tidak melihat tuan mudanya karena tidak mau terlibat apapun.Sejujurnya, Alfred lupa menaruh cincin itu dimana, terakhir kali dia menggunakannya adalah dua dua minggu lalu sebelum melakukan penerbangan ke Monaco.Selama ini, Alfred sudah terbiasa hanya menggunakan cincin pertunangan mereka ketika sedang berad
Jajaran para karyawan dari seluruh lapisan tengah duduk berkumpul di dalam sebuah ruangan besar, mereka terlihat fokus mendengarkan sebuah program baru yang disampaikan seorang direktur dari transfortaksi taksi yang dinaugi oleh keluarga Morgan.Akan ada sebuah gebrakan baru yang diakukan oleh perusahaan pusat menjelang pergantian kepeminpinan.Rachel tengah berdiri di bawah panggung bersama seorang seorang eksekutif manajer dari devisi pelayanan.Ditengah suasana yang cukup penting dan serius, beberapa kali Rachel kedapatan menarik napasnya dengan berat, wanita itu kesulitan mengalihkan pandangannya dari sosok pria menawan yang kini tengah duduk dan berbicara dengan sepupu jauhnya.Alfred Morgan.Orang yang sudah lama Rachel tunggu akan kedatangannya, akhirnya kini menunjukan diri secara resmi.Alfred Morgan, seorang lelaki paling menawan yang Rachel lihat dalam hidupnya. Pria berparas tampan itu jarang menunjukan ekspresi, hal itu menyulitkan lawan bicaranya untuk bisa menebak jalan
Sunyi sepi dan dinginnya malam terasa menusuk, Floryn tengah duduk disebuah kursi kayu taman, gadis itu bergerak gelisah dan beberapa kali kedapatan meremas permukaaan pakaiannya untuk menghilangkan keringat dingin yang mengganggu.Setidap menit yang Floryn begitu mencekiknya.Dua puluh menit sudah Floryn menunggu, namun Nathalia masih belum menunjukan diri.Apakah Nathalia sedang menghukumnya dan membuat Floryn menunggu?Dengan sabar Floryn tetap diam ditempatnya, menunggu sampai akhirnya Nathalia datang setengah jam kemudian.“Maaf, membuatmu menunggu lama.” Nathalia segera duduk disebrang Floryn, ditangannya terdapat sebuah map berwarna hitam yang langsung diletakan di atas meja. Floryn menghembuskan napasnya dengan penuh kelegaan, gadis itu memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan melihat Nathalia yang terlihat tenang seperti biasa tidak menunjukan tanda-tanda dia tengah marah.Ketengangan di wajah Nathalia membangun sedikit keberanian Floryn untuk berakata, “Nyonya, saya
Floryn meninggalkan kediaman keluarga Morgan pada pukul depalan malam. Langit sudah gelap, jalanan sepi, hanya ada suara dedaunan yang bergerak ketika kelelawar terbang melintas menemani kesendirian Floryn.Floryn berjalan sendirian sambil memeluk skateboardnya, suasana hutan yang gelap membuat dia tidak dapat menggunakannya.Mungkin butuh waktu setengah jam lamanya untuk berjalan melintasi hutan dan bertemu dengan beberapa lampu jalanan. Tidak ada kendaraan umuM yang lewat karena hutan yang kini sedang Floryn telusuri itu masih bagian dari wilayah rumah keluarga Morgan. Sesungguhnya Floryn takut bertemu orang jahat ataupun hewan liar, jika dia berteriak tidak ada satu orangpun yang bisa mendengar, bahkan jika dia berlari masuk ke hutan, mungkin dia akan tersesat sepanjang malam.Ketakutan itu tidak berarti apa-apa karena saat ini suasana hatinya sedang sangat baik.Floryn sedang bahagia..Euphoria kesenangan masih terasa hingga sekarang, degup jantung Floryn berdebar cepat, bibirn
“Tu-tunggu, Tuan Muda!”Alfred membuang muka menyembunyikan menyeringai geli, dia sudah bisa menduga Floryn akan terpengaruh oleh kata-katanya.Alfred berdeham pelan mencoba untuk bersikap normal, “Ada apa?” tanya Alfred berpura-pura dingin.Dengan langkah terpincang-pincang Floryn berlari mendekat, pupil mata gadis itu gemetar ketakutan. Floryn harus mengabaikan amarahnya saat ini, kakinya telah terluka dan dia tidak bisa berjalan lebih cepat. “Tawaran Anda masih berlaku kan?” tanya Floryn.Alfred mengedikan bahunya mengisyaratkan Floryn untuk segera masuk.“Terima kasih, Tuan Muda,” bisik Floryn nyaris tidak terdengar, gadis itu bergeser ke sisi dan membuka pintu, duduk di kuris belakang.Senyuman senang Alfred menghilang dalam seperkian detik, pria itu menengok kebelakang melihat ekspresi polos Floryn yang sudah duduk dengan tenang. “Kenapa kau duduk di belakang? Kau pikir aku sopirmu?” tegur Alfred dengan.“Maaf, Tuan Muda, saya tidak bermaksud seperti itu.” “Pindah.”Dengan gela
Samantha menghisap cerutunya dalam-dalam, wanita itu segera duduk dikursinya menghadap Roan yang telah cukup lama menunggu diruangannya.“Ada apa? Tidak seperti biasanya kau datang ke rumah bordilku,” tanya Samantha dengan suara serak.“Bagaimana kabarmu Samantha?”“Seperti yang kau lihat, selalu berjalan biasa seperti ini.”Seperti apa yang Roan lakukan sebelumnya, dia mengeluarkan sebuah amplop dari jaketnya dan meletakannya di meja kerja Samantha. “Aku ingin menyampaikan titipan dari Flo.”Samantha sempat terdiam melihat amplop diatas mejanya, sampai akhirnya dia bertanya. “Titipan apa?”“Bukalah.”Samantha meninggalkan cerutunya di asbak dan mengambil amplop itu, mengeluarkan selembar cek berisi dua juta dollar.Samantha terperangah kaget sampai tangannya gemetar memegang uang sangat banyak. “Apa maksudnya ini? Jangan bermain-main denganku jika ini tentang uang,” bisik Samantha dengan suara bergetar.Tubuh Roan menegak. “Itu adalah uang hasil dari tuntutan Flo pada kepolisian. Fl
Kabar kematian Floryn tersebar luas kepada banyak orang, kasus pembunuhan dan scenario pembohongan besar yang telah dilakukan Rachel memantik banyak berhatian public untuk ikut turun tangan menuntut keadilan untuknya. Public menuntut untuk hukuman berat kepada Rachel karena dia bertanggung jawab penuh atas kematian Abra dan juga penyebab kematian Floryn. Kabar kematian Floryn akhirnya sampai ditelinga Rachel, alih-alih merasa senang orang yang paling dibencinya telah tiada, justru Rachel mulai dibayangi oleh ketakutan akan hukuman yang semakin berat harus dia jalani didepan mata. Selama dua bulan di dalam penjara, keadaan Rachel terlihat semakin mengkhawatirkan karena dia dikurung dalam ruang isolasi sendirian, dia mengalami delusi parah hingga harus mendapatkan obat penenang. Beberapa kali dia kedapatan hendak melakukan percobaan bunuh diri karena tidak kuat menghadapi tekanan yang begitu menyiksanya. Kenekatan Rachel yang mulai parah membuat kedua tangannya dan kakinya perlu
Semua orang berjalan di hamparan rumput yang hijau dan subur, melangkah di bawah sinar matahari sore yang mulai kekuningan, suara hembusan angin terdengar dikesunyian yang mencekam, daun-daun yang berguguran ketanah seperti tengah bercerita tentang apa yang kini tengah terjadi pada segerombolan kecil orang yang membawa jenazah Floryn menuju tempat peristirahatan terakhirnya.Orang-orang berpakaian putih membawa bunga mawar merah tidak menunjukan tanda-tanda sedang berduka meski pada kenyataannya, ada hujan air mata yang tidak bisa dihentikan seiring dengan langkah yang kian dekat pada tempat dimana Floryn akan dimakamkan.Emier membekap mulutnya dengan kuat, melangkah tertatih kehilangan banyak tenaganya. Dia sudah tidak mampu lagi menampung kesedihannya hari ini, jauh lebih baik jika Emier sakit karena sekarat dibandingkan harus sakit karena penyesalan atas kepergian putrinya.Bahu Emier gemetar, lelaki paruh baya itu membungkuk tidak mampu melanjutkan perjalananya yang tinggal sedik
Roan duduk sendirian di kamar tempat terakhir Floryn terbaring tadi malam, pria itu tengah menangis mengenakan pakaian putih yang beberapa jam lalu baru dibelinya. Suara rintihan pria itu terdengar, Roan tahu jika pada akhirnya ini semua akan terjadi, namun dia tidak pernah membayangkan jika rasa sakitnya sangat begitu menyiksa sampai membuatnya ingin berteriak sekencang mungkin.Roan tidak pernah menyangka jika perayaan kesembuhan yang telah Floryn ucapkan kepadanya beberapa jam lalu adalah sebuah perpisahan.Roan mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata, dengan langka gontainya pria itu berjalan melewati pintu, melihat Floryn yang terbaring dalam keadaan cantik dan tenang.Roan mendekat dengan putus asa, sebanyak apapun dia menangis, hal itu tidak mampu meradakan kesedihan dan sakit yang tengah bersarang didalam dadanya.Roan tahu, ini adalah jalan terbaik untuk Floryn. Tapi tidak untuk orang-orang disekitarnya yang kini harus belajar mengkihlaskan kepergiannya.Tangan Roan
Air mata Julliet terus berjatuhan membasahi punggung tangannya yang bersarung tangan. Dia dan Samantha tengah membantu mengenakan baju Floryn, memengakan sebuah gaun cantik yang telah Floryn beli dari toko satu jam sebelum kematiannya. “Aku tidak bisa melakukan ini Bibi,” isak Julliet mengusap wajahnya dengan kasar, dia sudah bertahan sekuat tenaga, namun setiap kali dia melihat wajah Floryn, tangisannya selalu terpecah.Julliet masih tidak menyangka jika Floryn akan berakhir seperti ini.Baru beberapa jam yang lalu mereka berbicara sambil menunggu pagi datang, Julliet masih bisa melihat senyumannya yang cantik, suara tawanya yang lembut, bahkan Julliet sempat menggoda Floryn bahwa dia akan mempersiapkan gaun pernikahan sederhananya dengan Alfred.Julliet sama sekali tidak pernah berbikir bahwa gaun yang dibeli Floryn akan digunakan untuk hari terakhirnya.Apakah ini alasan Floryn meminta Julliet untuk tinggal dirumah neneknya? Apakah ini maksud dari Floryn yang telah mengatakan bah
Langit yang cerah berkabut terhalang oleh air mata. “Roan cepatlah!” teriak Alfred memeluk erat Floryn dengan gemetar, memaksa Roan untuk berkendara lebih cepat meninggalkan toko Luwis.Pikiran Alfred berubah kacau, jantuntungnya berdegup begitu kencang merenggut sebagian kekuatannya karena ketakutannya akan keadaan Floryn semakin tidak baik.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang juga, aku mohon cepatlah!” pinta Alfred penuh permohonan.“Aku sudah berusaha secepat mungkin! Flo bertahanlah, kau akan baik-baik saja,” ucap Roan terdengar getir.Bulu mata Floryn bergerak pelan, kesadarannya yang terenggut telah kembali. Samar-samar Floryn melihat wajah Alfred yang kini tengah menangis, memeluk dalam pangkuan.Ada sakit yang cukup kuat disetiap denyut urat nadinya, kepala Floryn diletupi oleh sesuatu yang tidak dia mengerti. Jika ditanya apakah sakit? Sangat sakit, ini adalah sesuatu yang paling sakit diterima tubuhnya, namun Floryn tidak ingin meringis ataaupun menangis, dia ha
Pagi ini matahari cukup cerah dan hangat, mengurangi cuaca dingin dari musim gugur yang masih berlangsung.Floryn duduk disisi ranjang tengah diperiksa oleh dokter untuk memastikan keadaannya sebelum pergi keluar rumah.Ditengah ketenangannya, Floryn diam-diam memperhatikan Alfred yang tengah bersiap-siap. Pagi ini Floryn bisa mendengar suara rengekan Alfred kepada Ali karena tidak terbiasa menggunakan kamar mandi kecil, mendengar rengekannya karena tidak memiliki sarapan yang bergizi.Suara rengekan itu cukup menghibur Floryn yang berada di kamar, pasalnya Alfred tidak mengeluhkan apapun saat berada dihadapan Floryn, dia bersikap sebagai lelaki gantleman. Lucunya saat bersama Ali, Alfred akan mengeong seperti kucing rumahan.“Bagaimana keadaannya?” tanya Roan.“Keadaannya membaik, beliau bisa pergi,” jawab Edith tersenyum lembut menyembunyikan ada kegetiran dimatanya. “jangan lupa membawa kursi roda untuk berjaga-jaga.”Roan tersenyum penuh kelegaan, pria itu sempat mendekati Floryn
Malam yang dingin begitu sunyi, jam sudah menunjukan pukul dua malam dan semua orang tengah tertidur lelah mengistirahatkan diri ditenda-tenda yang sudah dibangun, tungku perapian dari arang dan kayu masih menyala menyebarkan kehangatan.Di dalam rumah, Floryn bergerak gelisah, seluruh tubuhnya kembali sakit dan sesak meski alat bantu pernapasan terpasang dihidungnya. Floryn diserang oleh mimpi aneh yang tidak jelas, sekuat tenaga dia berusaha untuk bangun dan sadar.Floryn tersentak membuka matanya seketika, bibirnya terbuka bernapas dengan kasar tidak beraturan, seluruh tubuhnya kembali tidak dapat digerakan, sekuat apapun Floryn berusaha, dia tidak dapat melakukannya bahkan sekadar untuk menggerakan jarinya.Semakin sering penyakit itu datang, semakin banyak kemampuan tubuh Floryn yang terenggut.Butuh waktu yang cukup lama untuk Floryn mendapatkan ketenangan, melihat keberadaan Alfred yang tengah tertidur duduk di kursi rotan. Sejak kemarin Alfred tidak mendapatkan waktu beristi
Roan berdiri di ambang pintu, memperhatikan Alfred yang masih tidak beranjak meninggalkan Floryn, pria itu tengah memijat tangan Floryn yang masih kesulitan untuk digerakan. Sejak kembali sadar, bahkan Floryn belum berbicara sepatah katapun.Tampaknya setelah ditinggalkan Floryn dimalam itu, Alfred mulai takut untuk meninggalkan Floryn dari jangkauan matanya.Roan mengetuk daun pintu sepelan mungkin. “Izinkan aku berbicara dengan Flo. Hanya berdua,” pinta Roan.Dengan berat hati Alfred beranjak pergi memberi ruang.Roan mendekat dengan penuh kehati-hatian, matanya bertemu dengan sepasang mata Floryn yang memandanginya dengan lekat tanpa berbicara sepatah katapun. Dokter bilang jika penyakit Floryn sudah mengganggu ingatannya, karena itulah kini Floryn pikiran Floryn sedang melayang tersesat.Roan tersenyum dan duduk bersimpuh di lantai agar bisa mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Floryn.“Flo,” panggil Roan.Bola mata Floryn bergerak kesisi melihat Roan melalui sudut matanya.“Apa s