Sret!
Panji merebut kunci mobil dari tangan Sana. “Kamu pulang sendiri, ada yang harus kubicarakan dengan Nona Angsana,” ucapnya, ditujukan pada Selma.
Acara fitting baju pengantin gagal total, bahkan sampai jam operasional butik hampir selesai pun tidak ada yang bisa diperoleh melainkan sebuah kerumitan. Dari tatapan pria itu, Selma memiliki firasat yang tidak baik. Kendati demikian, gadis itu seratus persen yakin bahwa Sana tidak seperti yang Madam Runi dan Panji bicarakan.
“Hati-hati, ya, Om! Kalau sampai Sana kenapa-kenapa,” Selma menudingkan telunjuk, “urusannya sama saya!” peringat gadis itu.
“Justru kalian yang akan berada dalam masalah karena mencoba menipu saya.” Selesai dengan kalimatnya, Panji menarik Sana dengan kasar. Calon pengantin baru itu meninggalkan butik lebih dulu.
“Siapa yang menipu siapa, perasaan dari tadi nggak ada satu pun omongan gue yang dipercaya. Ampun, deh!” Selma lantas menoleh Madam Runi di sebelahnya, mengatakan, “Madam, saya permisi dulu. Terima kasih untuk hari ini.”
Madam Runi menekuk leher dengan hormat. “Tidak perlu berterima kasih, Nona. Saya justru harus meminta maaf pada Anda atas apa yang terjadi hari ini. Mohon Nona Selmara tidak tersinggung, saya berharap yang terbaik untuk Nona sekeluarga,” ucapnya, dengan tulus.
“Tidak masalah, saya bukan tipe orang yang mudah terpikirkan sesuatu. Mari, Madam.”
Selma bergegas hengkang dari butik, harap-harap kecepatan mengemudinya bisa menyusul mobil Panji untuk memastikan Sana baik-baik saja. Jalanan malam yang tidak pernah lengang, tapi tidak satu pun dari baris roda itu menunjukkan milik pria itu. Ferrari hitam yang nomor polisinya entahlah, sangat menguji kejelian mata Selma.
Roda empat berpoles merah ceri yang dikendarai gadis itu memaksa speedometer bekerja hingga melewati angka enam puluh kilometer, tentu saja dengan isi kepala yang bekerja sama kerasnya mengolah beberapa masalah. Kesampingkan dulu masalah Viko, karena sejujurnya Selma telah meninggalkan keparat itu sejak Panji menambahkan masalah baru padanya.
“Lho, mobilnya Sana kok kamu yang bawa? Anaknya mana?”
Baru turun dari mobil saja sudah disambut dengan kalimat demikian, apalah yang bisa Selma berikan selain tatapan keledai payah. Jelas, Sana belum tiba di rumah. Jika sudah, mana mungkin dihadang pertanyaan seperti itu.
“Sana belum pulang, ya, Tante?” tanya Selma pada Gianti –ibunya Sana.
Gianti meletakkan cangkir teh, lantas menghampiri Selma. “Emang kamu nggak sama dia?” tanyanya kembali.
“Dia tadi sama Om Panji.”
Gianti tertawa singkat, lalu mengatakan, “Kenapa panggilnya Om, dia cuma selisih setahun sama Damar.”
“Ah, Tante bercanda. Selisih setahun sama Kak Damar, itu artinya berjarak sepuluh tahun sama aku,” timpal Selma.
“Ya udah, kamu pulang dulu sana. Kamu hilang dari siang, ‘kan? Mama kamu nyari dari tadi,” suruh Gianti.
“T-tapi, Sana gimana, Tan?”
“Biarin, sama calon suaminya sendiri kenapa dipermasalahin?” Nada bicara dan sorot mata Gianti tampak ringan, tenang-tenang saja membiarkan anaknya dibawa Panji.
Dengan pasrah bin terpaksa, Selma menelusuri jalanan paving yang menghubungkan tiga rumah di kompleks bernama Vallregency tersebut. Gadis itu lelah, sampai-sampai keberadaan kakek dan neneknya di gazebo hanya disapa dengan lambai tangan beriring senyum kaku.
Yang ada di pikiran Selma saat ini adalah Panji, pria itu tidak seperti bisa memperlakukan wanita dengan layak. Baiklah, tidak apa jika itu dirinya, tapi kali ini adalah Sana. Wanita anggun yang menjadi putri mahkota kebanggaan keluarga itu bisa tergores kalau dihadapkan dengan sarkasme tangan Panji.
“Mama Lea, anakmu pulang!” pekik Selma, volumenya tidak sekuat hari-hari biasa.
Azalea–ibu Selma–menjemput putrinya yang baru memasuki ambang pintu. “Ingat pulang juga kamu, Mama pikir nunggu bulan ganti shift,” ledeknya, sembari mengiringi langkah Selma.
“Aku yakin Mama nggak bakal ngomong kaya gitu kalau tahu apa aja yang udah terjadi hari ini.” Selma menimpakan tubuhnya ke sofa.
“Kamu nggak usah banyak drama, buruan mandi sana! Jangan mandi malam-malam, nanti disamperin kuyang baru tahu rasa kamu.”
“Disamperin kuyang juga biarin. Itu lebih baik daripada ketemu manusia, tapi isinya bukan manusia,”jawab Selma.
“Kayanya serius, nih. Habis bikin masalah sama siapa lagi kamu? Coba kaya Sana itu. Udah kalem, lihatnya juga bikin hati adem.”
Alah, kumat lagi. Selma sudah kebal, mengunggulkan anak orang memang penyakit seluruh ibu di muka bumi ini. Tidak menampik, karena ia sendiri juga mengakui bahwa Sana memang sepantas itu untuk dibanggakan. Namun, asumsi itu sedikit goyah setelah memikirkan klaim Madam Runi di butik tadi. Bagus, pulang ke rumah bukannya tenang malah mamanya membuat pikiran Selma membuncah lagi.
Selma bangkit dari sofa, kemudian dengan malas mengatakan, “Daripada ngomongin anak orang, mending Mama pikirin dulu anak sendiri yang habis diselingkuhin ini.”
“Selingkuh? Siapa yang selingkuhin kamu? Viko, ya? Hei, Sayang, jelasin dulu ke Mama. Selma, tunggu dulu!”
Kehebohan Azalea hanya mendengung di telinga Selma. Tanpa merasa berdosa, si anak tunggal itu meninggalkan ibunya dan mengunci diri di kamar. Peduli amat, penjelasan tidak lengkap itu sepele bagi Selma. Namun, setelah sampai ke telinga Azalea akan berbeda cerita lagi. Bukan apa-apa, minimal Viko akan masuk daftar hitam dalam beberapa sektor kekuasaan keluarga Vallence.
***
“Selma, bangun!”
Suara gedoran papan kayu itu mengganggu tidur cantik Selma, siapa lagi pelakunya kalau bukan Azalea. Kode darurat, gadis yang tersimpan di balik selimut itu buru-buru memotong mimpi indahnya. Tidak biasanya ia dibangunkan sampai seheboh itu, toh setiap pagi selalu disambut Selma tanpa harus dipaksa terlebih dahulu. Padahal sedang seru-serunya menginjak wajah Viko, tapi ibu negaranya memaksa pesta fana itu untuk usai.
Separuh nyawa yang telah kembali digunakan Selma untuk membuka pintu. “Ini masih jam enam, lho, Ma. Kalau tulangku lagi baik, aku juga udah bangun dari tadi. Kenapa, sih?” sambut gadis itu.
Oh, kenapa air muka ibunya seperti baru mendapat kabar perang dunia, tegang sekali. Materi seminar yang belum siap, jadwal mengajar yang dimajukan, jangan sampai pula ibunya itu menambah beban baru dalam daftar tugasnya.
“Cepat bereskan dirimu, Kakek ingin kita berkumpul di rumahnya pagi ini.”
Gedubrak!
Tanpa mengindahkan ekspresi ibunya, Selma langsung membanting pintu dan bertempur di dalam kamar mandi. Ini bukan undangan sarapan, kakeknya tidak mungkin memerintah kalau bukan karena sesuatu yang benar-benar mendesak. Tidak ingin berpikiran buruk, gadis itu menenangkan pikirannya dengan menduga bahwa ini adalah pengumuman resmi pasal pernikahan Sana dan Panji. Santai, memang semudah itu bagi Selma membuat wajahnya awet muda.
Entah sebrutal apa pun kelakuannya, soal penampilan tetaplah yang utama. Terlebih lagi jika menghadap Kakek Sagara, larangan keras bagi Selma untuk membawa gaya premannya ke dalam rumah utama. Dress lilac selutut telah dipatut pada tubuh, dengan sedikit tergesa gadis itu mencari sepatu teplek untuk mengalasi kakinya.
Plak, plek!
Jarum panjang yang hampir menyentuh angka dua belas membuat Selma ngebut menuruni tangga. Ibu dan ayahnya tidak tampak di mana-mana, sudah jelas ia ditinggalkan. Tidak apa, lagi pula Selma biasa keluar-masuk rumah kakeknya tanpa pendampingan mereka.
“Mobilnya Om Panji bukan, sih?” lirih gadis itu, mencoba mengingat roda empat yang tersimpan di parkiran.
Bruk!
“Aw, Sana!” pekik Selma, memegangi bahu bekas ditubruk sepupunya.
Tidak merespon apalagi meminta maaf, Sana langsung kabur dari hadapan Selma. Mungkin ini bukan pertemuan baik seperti yang ada di bayangan Selma. Gadis itu melihat dengan jelas anak sungai yang dicetak sudut mata Sana. Sekuat apa pun sepupunya itu membekap mulut, suara isakannya masih sampai ke telinga Selma.
“Sana, tunggu!” pekik Gianti, mata basahnya mengiringi sang putri yang menuju parkiran.
“Selma, masuk! Kakek mau bicara sama kamu,” teriak Sasmara–ayah Selma–yang tampil setelah ibunya Sana.
Apalah daya, Selma justru mengejar Sana daripada menuruti panggilan sang ayah. Sialnya, sepupu perempuan itu sudah kabur menggunakan Honda City merah ceri kesayangan, menyisakan Selma yang diseret Sasmara ke dalam rumah.
Kakek Sagara muncul di ambang pintu. “Kejar dia, aku mau Sana ada di sini sebelum tengah hari!” perintahnya, lantas jajaran pengawal berseragam hitam berlari keluar dari rumah utama.
Ini buruk, entah apa yang akan terjadi pada dua putri mahkota keluarga Vallence. Selma pikir, ini semua masih ada kaitan dengan pria yang saat ini duduk di ruang tamu kakeknya, Panji Antaraxa.
“Pa, jangan tarik-tarik, dong!” protes Selma, kaki gadis itu tertatih mengimbangi sang ayah yang melangkah lebar sambil menenteng lengannya. Bruk! Setelah memaksa Selma duduk di sebelah Damar, Sasmara memelototi gadis itu. “Diam, jangan banyak ulah!” peringatnya. Gadis itu kesusahan menelan saliva, lantas merapatkan dua lembar bibirnya secara paksa. Ternyata memang benar, ia kelewat terlambat di pertemuan krusial itu. Lihat, seluruh akar hingga cabang keluarga Vallence sudah berjajar lengkap–kecuali Sana–di ruang tamu Kakek Sagara, bahkan seorang Panji yang bukan siapa-siapa saja ikut hadir di sana. Gadis yang semula memberontak itu terpaksa hening setelah dirasuki atmosfer tidak ramah dari orang-orang di sekitar. “Tama!” Pita suara Kakek Sagara memecut dari arah pintu utama, meneriakkan nama sang putra sulung. Netranya sama sekali tidak berkedip, menjurus pada satu orang yang tengah menenangkan tangisan sang istri. Langkah demi langkah semakin mendekat, membuat nuansa tegang kian
“Maksudmu adalah Selma?” timpal Sasmara, diakhiri dengan menunjuk putri semata wayangnya. “A-apa? Tunggu, tunggu!” Selma berekspresi aneh, rumit untuk dijabarkan seperti kondisi otaknya yang tiba-tiba buram. Seluruh mata langsung terfokus pada gadis itu, terlebih lagi Panji. Pria itu semakin jelas menunjukkan niatnya di muka, menggariskan bibir miring yang mana maksudnya hanya dipahami oleh Selma. Panji mengangguk. “Siapa lagi, Tuan Sasmara? Apakah Anda memiliki putri selain dia?” tanyanya. “Om Panji jangan bercanda, ya!” seru Selma, diiringi dengan tatapan nyalak. Kakek Sagara mengerutkan dahi, semakin memperjelas garis penuaan di wajahnya. “Memang benar, satu-satunya kandidat yang mungkin hanyalah Selma,” tutur pria itu. “Kalau kau menolak Sana, cucuku tersisa dia dan Damar,” pungkasnya. Lelucon macam apa lagi ini, Selma sampai terbengong saking gagalnya diajak melawak. Seumur hidup, baru kali ini telinganya diperdengarkan candaan yang menyebalkan. Ia mencoba untuk tidak serius
“Lihat! Gara-gara kamu, Kakek jadi sakit!” omel Sasmara, suaranya berdesis mengisi keheningan ruang keluarga di rumah utama. Bahu Selma bergetar hebat, bahkan tangis membuat tenggorkan gadis itu sulit menjawab tuduhan yang dilayangkan ayahnya. Semua orang yang ada di sana dengan mudah melimpahkan salah padanya, padahal sudah jelas siapa yang lebih pantas dihakimi daripada dirinya. Membuat jantung kakeknya kambuh sama sekali bukan tujuan Selma, tetapi itu semua juga di luar kendalinya. Dokter yang memeriksa Kakek Sagara baru saja pulang. Sekarang, pria tua itu tengah beristirahat di kamar bersama Nenek Sasti. Semua anggota keluarga masih lengkap ada di sana, bahkan Panji mendadak seperti pengangguran dan meninggalkan perusahaannya begitu saja. Entah apa urusan pria itu, tetapi keberadaannya tidak ada yang menolak. Oh, kecuali Selma tentunya. “Pa, sudah. Jangan bikin suasana makin ribut, Ayah masih butuh istirahat,” lerai Azalea. Wanita itu kemudian mengelus pundak putrinya sambil ber
Blam! “Selma!” Mengetahui sepupunya baru tiba, Damar segera menghampiri gadis itu. “Sel!” panggilnya, setengah berteriak. Gadis itu pun menoleh. “Kak Damar ….” Air mata Selma tumpah begitu saja di pelukan Damar. Mungkin para orang tua tidak tahu, tetapi sedalam-dalamnya perasaan tetap saja mereka bisa saling mengerti. Entah Sana sudah kembali atau belum, ia tidak bisa menduga hanya dengan menatap kerisauan di wajah Damar. Damar mengurai dekapannya, lalu menghapus air mata Selma. “Kamu dari mana aja? Aku khawatir, tahu,” lapor pria itu. “Sana mana, Kak? Dia udah pulang?” Enggan menjawab pertanyaan kakaknya, Selma justru mendapat perlakuan serupa dari Damar. Pria itu terlihat tidak memiliki penjelasan lewat ekspresi masamnya. Dilihat dari sisi garasi pun, gadis itu seharusnya tahu bahwa kendaraan yang ditumpangi Sana belum masuk kandang lagi. “Kita ngobrol di dalam aja, Sel,” ajak Damar, bermaksud menuju rumahnya. Setibanya di kamar pria itu, Selma langsung menghambur ke sudut fa
“Gimana, nih? Menjijikkan, itu kaya bukan gue banget.” Selma masih terbayang-bayang testpack temuannya kemarin. Namun, sejijik apa pun itu, tetap harus ia tempuh jika memang bisa menyelamatkannya dari Panji. Tidak apa, toh pada kenyataannya ia masih perawan. Asal perjodohan ini batal dahulu, setelahnya bisa dipikir nanti. “Mbak Selma, saya mau cari makan siang, mau nitip?” tawar Risda, karyawati florist milik Selma. Gadis itu menggeleng, lalu menjawab, “Terima kasih, kamu aja. Ajak yang lainnya makan juga biar saya yang handle di sini, mumpung sepi.” “Baik, Mbak. Saya duluan kalau gitu,” pamit Risda, lalu terlihat menghampiri dua rekannya yang lain. Toko bunga sederhana ini dirintis Selma sejak masih duduk di bangku kuliah, tentu menggunakan uang tabungannya sendiri. Dulu tidak sebesar ini, sekarang sudah cukup untuk menampung aneka jenis warna dan aroma kesukaan gadis itu. Hanya dengan menatap mahkota yang bermekaran, ia dengan mudah menanggalkan beban pikiran. Biasanya semua tr
“Sana?” Mata Selma sampai lupa diajak berkedip, begitu intens menelisik sosok yang mencegatnya di halaman. Dengan mata berkaca, Sana memeluk sepupunya tersebut. “I’m sorry, Sel,” lirihnya. Sejujurnya Selma bingung harus bereaksi seperti apa. Saking terkejutnya, ia sampai lupa mengangkat tangan untuk membalas sepupunya. Pantas beberapa waktu belakangan ia selalu ditolak setiap kali hendak memeluk, ternyata benjolan perut sepupunya itu sudah kentara dan cukup menggelikan. “Selma, kamu marah sama aku?” Sana mengakhiri dekapan, menghapus air mata yang mengalir tipis di pipi tembam miliknya. “Harusnya lo tahu perasaan gue, San.” Air mata Sana sedikit menderas. “Aku minta maaf, Sel,” mohonnya, mengguncang lengan Selma. “Tapi gue lebih marah sama diri sendiri karena nggak bisa marah sama lo.” Kedua ibu jari Selma menyingkirkan air mata Sana. “Are you okay, Dear?” Air mata itu kini berpindah sumber ke pelupuknya sendiri. Ini berat, sangat berat. Definisi pura-pura kuat di depan orang ya
“Aaa … g–gue, gue nggak mau!” Air mata Selma giat membasahi bantal Sana, tangannya geram sekali hingga meremas objek empuk itu dengan penuh luapan emosi. “Sorry, Sel, gue pikir lo udah tahu soal itu.” Sana menggigiti bibirnya, merasa bersalah. “Ngapain lo minta maaf? Justru salah kalau gue tahunya pas udah nikah.” Selma berdiri, membanting bantal yang semula begitu lekat dengan wajahnya. “Ini nggak adil! Gue bakal bikin perhitungan sama itu laki penipu!” Kaki gadis itu brutal menjejaki lantai, untungnya Sana tidak membuntuti. Bruk! Selma bergerak tanpa membawa akal sehat hingga kebablasan menubruk Damar di ruang tengah. Masih dengan energi putus-nyambung, gadis itu memperhatikan penampilan sepupunya yang sudah tidak mengenakan setelan kerja lagi. “Kak Damar mau ke mana?” Seraya mengenakan jaket kulit hitamnya, Damar menjawab, “Nggak ke mana-mana.” “Jangan bohong!” bantah Selma, “Kakak mau ke mana?” tedasnya, dengan tatapan mengintimidasi. “Jangan bilang siapa-siapa.” Pria itu m
Duagh, sruk!“Kurang ajar, kamu!”Kepalan tangan Panji dengan kilat menyasar rahang preman tersebut hingga terhuyung menimpa tubuh mungil Selma. Belum puas sampai di sana, pria itu langsung menarik kaos si preman dan kembali melayangkan sejumlah pukulan. Tidak sendiri, Dafa pun turut membantu. Dua lawan lima, tetapi kubu yang lebih sedikit tidak seperti kekurangan tenaga.Buagh! Dugh! Brak!Selma menyeret kakinya ke tepi jalan, celingukan seraya berharap ada seseorang yang bisa membantu di sana. “Save him, please ….”Bibir Selma melepas permohonan begitu saja, air matanya kian menganak sungai tanpa suara. Gadis itu terduduk lemas beralaskan aspal, menyaksikan pergulatan hebat di depan matanya. Sebrutal apa pun kelakuannya, itu hanya sebatas perangai dan kata-kata. Ingatannya melayang dan menyesali tangan yang lancang menonjok Randi tadi. Ia berusaha menutup mata dan telinga agar bunyi dan aksi kasar yang dilakukan Panji tidak semakin menekan batinnya.“Please, siapa pun, tolongin mere
“Oh, jadi ini istrimu?” Tekankan sekali lagi, Selma benci ditatap remeh sedemikian itu. Rasanya percuma memperkenalkan diri manis-manis tadi. Inikah alasan orang-orang meremehkannya, karena dandanan childish dan tidak glamour seperti kebanyakan konglomerat lainnya? Hati-hati, khodam-nya kerap bangkit saat sensitif seperti ini. Andai Panji tidak melarang, sudah sejak tadi suaranya nyalak kepada pria yang konon katanya adalah kakak ipar suaminya itu. “Ekhem! Kenapa Kak Gerald dan Kak Mega nggak datang di hari pernikahan kita?” Panji menumpuk dua kakinya, tiada berniat melonggarkan tautan tangan dari Selma. “Oh, maaf soal itu,” ucap Gerald, tetapi terkesan tidak serius. “Sebenarnya aku baru saja pulang dari Singapore, sejak sebulan lalu berlibur di sana. Dan ternyata adikku satu ini benar-benar berhasil menggandeng royal princess Tuan Vallence, ‘ya? Kupikir kamu juga tidak bodoh untuk tahu tujuanku ke mari,” terang pria itu, sejak tadi tidak meluruskan se
“Punggung kamu kenapa, sih?” “Nggak tahu, ish! Jangan banyak tanya, ngapa, sih, Om!” Ditanya baik-baik, sahutannya malah galak. Panji gatal sendiri sejak tadi memperhatikan Selma memijit-mijit punggung sambil sesekali memuntiri leher. Apa itu kode untuk servis tambahan? Selagi mereka sudah ada di rumah, malam pun sebentar lagi membayang. Tidak salah, bukan? Namun, Panji harus menepati janjinya terlebih dahulu untuk tidak meminta aneh-aneh hingga urusan mereka di Swiss nanti selesai. Melihat istrinya berdiri, Panji menutup dokumen yang ada di pangkuannya. “Mau ke mana?” tanyanya, meletakkan folder tebal itu ke samping remote televisi. “Mau ke kamar sebentar,” pamit Selma, kemudian melangkah lesu hingga setiap langkahnya benar-benar dikawal mata sang suami sampai pijakan tangga terakhir. Pet! Setelah mematikan siaran televisi, Panji menyusul gadis itu. Namun, tidak sesudut pun dari kamar luas itu menampakkan kebaradaan
“Ck! Carikan posisinya, aku tidak mau tahu!” Bipp! Panji cekatan memutus sambungan mobile handsfree yang semula dikomunikasikan dengan Dafa. Ia memberikan tugas yang gampang-gampang susah untuk sekretarisnya itu, sementara dirinya sendiri memburu keberadaan sang istri. “Renjani sialan!” Panji menginjak gas lebih dalam. “Aku yakin dia tidak bodoh untuk tahu kabar pernikahanku dengan Selma. Tcih! Untuk itukah dia datang, ingin mengacau?” Black Jaguar yang menggotongnya itu lihai menyelinap di antara arus lalu lintas yang ramai lancar. Memang bukan jam-jam genting, jadilah jalanan metropolitan itu sedikit mendukung pergerakannya dalam mencari Selma. Kendati demikian, di mana ia harus menginjak rem? Ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Ting! Sebuah pesan masuk dari Dafa menunjukkan sebuah lokasi dengan keterangan ‘Nyonya’ di bawahnya. Panji segera mengikuti titik koordinat itu sambil sedikit memuji kelihaian sekreta
“Dafa, kenapa dia bisa sampai ke sini!” Sambil gelagapan dipelototi bos-nya, Dafa menjelaskan, “A–anu, Tuan, s–saya juga tidak tahu. Saya juga baru melihat Nyonya di sini.” “Call me ‘Nona’, please!” desis Selma, menambahi beban Dafa dengan lirikan pedasnya. Syut! “Ikut aku!” Panji menarik gadis itu menuju ke ruangannya, tetapi kaki mereka dihentikan paksa begitu mendapati wanita yang masih anonim itu berdiri di depan pintu. “Ini siapa, Panji?” Wanita berjas tosca itu meneliti penampilan Selma dari ujung ke ujung, lantas berakhir nyengir aneh. Ingin rasanya Selma mencolok mata yang menatapnya remeh itu. Memangnya kenapa dengan kaos dan jeans yang ia kenakan? Ia yakin wanita itu akan pingsan saat melihat banderol harganya, tetapi sayang embel-embel itu mungkin sekarang sudah dibakar atau entah apa di tempat pembuangan. “Dafa!” Pekikan Panji menguar di sepanjang lorong. Dengan tergopoh-gopoh, Dafa tampil di had
“Silakan, Nyonya.” Daripada teh yang disuguhkan padanya, mata Selma lebih tertarik pada maid yang mempersembahkan minuman itu. “Panggil ‘Nona’ aja, nggak, sih?” tanyanya, seraya memangku dagu. Tak! Benturan cangkir dan tatakannya semakin dramatis oleh pelototan mata Panji. “Kamu bercanda?” timpal pria yang kemas dengan setelan kantornya itu. “B–baik, Nona, maafkan saya.” Maid itu hampir tersedak napasnya sendiri, lalu segera undur diri ke dapur, diikuti tiga maid lain yang telah selesai merapikan sisa hidangan pagi di meja. Tentu para maid itu jauh lebih mengenal seperti apa perangai Panji bila pelototan matanya sudah menyala, sehingga mereka pilih segera menyingkir daripada terkena imbasnya. Namun, mereka belum tahu jika permaisuri baru di istana itu memiliki keberanian lebih untuk memecundangi ekspresi seram sang raja. “See, bibi itu nggak keberatan. Apa masalah Om?” tanya Selma, matanya sambil melirik ke arah kepergian maid-nya tadi.
“Tuan, apakah ada sesuatu dengan Nyonya?” Lirikan sebal Panji berpindah pada seorang maid yang menatap takut-takut di sampingnya. Ia tebak, pekikannya mengganggu wanita paruh baya itu, apalagi saat ini kondisinya tidak dalam balut pakaian yang benar. Sebentar, amarah Panji masih berusaha disurutkan sebelum akhirnya menjelaskan sesuatu pada pekerjanya itu. “Tidak ada,” elak Panji. “Pergilah beristirahat, besok kau harus mulai bekerja!” titahnya, tanpa lupa ditambahi tatapan menusuk. Setelah maid itu menyingkir dari pandangannya, Panji pun beringsut ke ruangan lain. Ia bisa saja merogoh kunci cadangan dan menghabisi Selma saat itu juga. Namun, rasa-rasanya lelah sekali untuk memulai perdebatan. Jadilah, ruang kerja dengan tambahan set kamar minimalis itu menemani lelapnya malam ini. Bumb! Setelah mendebamkan tubuhnya ke ranjang, Panji membayangkan atap putih yang menaung di ruangannya itu melukiskan wajah Selma. “Awas, kamu! Kita lihat saja, siapa yang akan
“Dis?” Kepala Selma mendusel pada lengan hangat yang tertata di sampingnya, lalu refleks memeluk tubuh si pemilik lengan tersebut. Namun, sepertinya ada yang aneh. Telapak tangannya meraba-raba dada bidang yang menurut bayangannya mirip kepunyaan aktor drama yang kerap ia tonton. Ia tidak mengira tubuh Diska akan sepadat ini. Apa sahabatnya itu rajin mengikuti fitness akhir-akhir ini? “Eumh, ekhem!” Mampus! Selma menelan ludahnya dengan susah, ia ingat siapa pemilik dehaman khas itu. Dengan mata yang senantiasa terpejam, perlahan ia ambil kembali lingkar tangannya. Akan tetapi, sebuah tarikan malah membuatnya semakin merapat. Akhirnya, gadis itu memberanikan diri membuka mata dan bersibobrok dengan pemilik netra gelap yang kini juga tertidur menyamping ke arahnya. “Untuk tidur siang saja kamu pilih menumpang pada ranjang orang lain?” Selma berkedip lambat meski jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. “Om … kok bisa?” Pria itu menggeleng. “Entah, tany
“Jangan diam aja. Bukannya kamu harus menjelaskan sesuatu?” Panji menunggu, matanya tidak lepas dari gadis yang memilih duduk jauh darinya itu. Beruntunglah ia belum meminta para pekerja rumahnya kembali dari cuti. Mulanya pria itu berniat mengerjai Selma agar mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi sepertinya kepergian para maid memberi manfaat tersendiri untuk sepasang pengantin baru yang dilingkupi aura panas tersebut. “Bukan aku.” Selma senantiasa menundukkan kepalanya. “Tapi, bagaimana bisa wajah kalian begitu mirip?” Pyar! Hamburan foto di pangkuan itu sedikit membuat Selma terjingkat. Ia berani bersumpah jika kegadisannya masih utuh, tetapi sedari tadi air muka hingga kata-kata Panji membuat kemampuan berbicaranya gulung tikar sebelum digelar. “Ak–aku nggak kenal sama cowok itu, Om. Sumpah, bukan aku,” bela Selma, diselingi isakan tertahan. Namun, akhirnya tangis gadis itu pecah juga saking takutnya. “Kalau bukan, kenapa nangis?” Nada tany
“Om, kenapa diam aja?” Panji menghela napas terlebih dahulu, lalu menjawab, “Terus, kamu mau aku gimana?” Selma menggigit bibirnya begitu rapat, menahan tawa yang hampir menyembur bebas. Sejak hengkang dari rumah, pria itu memasang wajah sebal. Ia sangat tahu penyebabnya, tetapi tidak merasa bersalah sama sekali. “Jadi mampir apotek, nggak?” Panji menyalakan sein ke kiri. “Beli apa tadi, aku lupa,” katanya. “Ke minimarket aja, Om,” usul Selma, “sekalian beliin pembalut, kayanya aku lupa nggak masukin tas.” Alis Panji terangkat sebelah. “Hah, pembalut?” Suaranya terdengar seperti terkejut daripada pertanyaan. Selma mengangguk begitu saja, lalu dengan sok memelas ia bertanya, “Om Panji nggak mau beliin pembalut buat aku?” Sesaat, pria itu menganalisa mimik aneh di wajah istrinya. Panji ingat, ini adalah pertama kali baginya melihat sisi manja Selma. Apa datang bulan bisa merubah perempuan menjadi seaneh ini? Seumur hidup, tidak pernah sekalipun dir