"Apa bisa kita bicara?" tanyanya ragu ketika aku hendak duduk. Tanpa menunggu jawabku, Bara menarikku ke sebuah meja kosong."Apa yang terjadi? Ada apa sebenarnya?" tanya nya kemudian."Apanya?""Zanna, jangan terus berpura-pura, aku tau kamu tak baik-baik saja," ucap Bara, sedikit emosi."Apanya yang nggak baik?" bantahku"Aku mohon, aku bisa merasakan itu. Dan, lihat lah dirimu, terlihat sangat menyedihkan."Aku terdiam, dia bisa membacaku. "Zanna, katakan padaku."Aku hanya menatapnya, dan diam seribu bahasa, lidahku kelu belum mampu bercerita. Sungguh aku tak mau berbagi cerita sedihku padanya. Dia sudah sangat baik padaku, itu sudah cukup. Akan semakin besar hutang budiku padanya."Aku akan mengetahuinya," ucapnya. Dia beranjak meninggalkan meja. Dia menarik kursi kemudian duduk di depan Santi dan Yudha. Keras kepala, aku bangun dari duduk dan kembali ke meja."Aku akan cerita, tapi tidak sekarang?" ucapku saat sampai di samping meja Santi.Terlihat Santi dan Yudha berpandang
Aku selalu merasa dihargai dan diperlakukan dengan baik oleh Bara. Merasa dianggap dengan rasa yang tulus sebagai seorang manusia. Merasa dijaga dan disayangi dengan sangat tulus. Aku selalu merasa nyaman dan tenang sast bersamanya, saat berada di sampingnya."Mobil tak bisa masuk?" tanya Bara kemudian."Nggak bisa, parkirkan di sana saja, dekat warung tenda itu," tunjukku kemudian, sambil menunjuk sebuah warung tenda.Bara menepikan mobilnya, seorang tukang parkir memberi arahan. Aku turun setelah mobil terparkir sempurna."Jauh jalannya?" tanya Bara, sambil merapikan rambutnya."Nggak terlalu," jawabku.Tangan Bara kembali menggandengku, aku menariknya pelan."Ini kampung, takut jadi omongan dan salah paham," alasanku."Apa mereka suka bergosip?""Nggak juga sih, lebih baik berjaga kan? Daripada hal itu sampai terjadi," jawabku.Kami berjalan bersisian, menyapa beberapa warga yang masih mencari angin di teras rumah masing-masing. Mereka sudah cukup akrab dengan sosokku dan juga San
Aku tiup wajahnya, sesaat mata pria itu terpejam. Senyum terbit di bibirnya, tapi wajah itu masih tetap di posisi yang sama. Mata itu kembali memindai wajahku saat terbuka. Aku menahan nafasku."Jangan terlalu kurus, lihat pipimu sangat tirus, jelek aku tak suka," ucapnya kemudian. "Makan yang banyak, bukan hanya demi kamu, demi yang ada di dalam sini," lanjutnya, pandangannya turun ke perutku.Aku hanya menggerakkan mataku, kalau wajahku bergerak sedikit saja, pasti sudah bersentuhan. Bukan sok suci, keadaan sudah berbeda dari beberapa bulan yang lalu. Dulu jarak sedekat ini, pasti kami sudah menaut satu sama lain."Lapar," ucapkuBara tertawa mendengarku, dia menarik sabuk pengaman dan mengeluarkan tubuhku, karena kaitan benar-benar tak bisa dibuka.Aku segera membuka pintu dan turun. "Ayok." Bara menarik tanganku, menggenggamnya seperti biasa. Kami berjalan bergandengan masuk ke dalam restoran. Sebuah meja di sudut ruangan menjadi pilihan.Seorang pelayan datang, dan menyodorkan
"Mulai kapan berhenti kerja?" tanya Santi padaku. Seperti pagi- pagi sebelumnya kami mengobrol di sofa depan televisi. Sebuah aktivitas yang hampir setiap pagi kami lakukan."Hari ini," jawabku."Jadwal kontrol kan hari ini juga kan?" Santi kembali bertanya."Iya, jadwal kontrolnya hari ini." Aku menjawab sembari mengangguk."Diantar Bara?" tanya Santi lagi sambil berdiri mengambil minumannya di atas meja."Kamu aja yang nganter," balasku lagi, aku tidak ingin merepotkan Bara untuk kesekian kalinya."Bara itu, baik ya." Santi berkata sambil kembali duduk bersila di atas sofa."Sangat," jawabku dengan tersenyum, sambil menikmati teh hangat yang berada di tanganku sedari tadi."Kamu suka?" tanya Santi ragu, dia mengalihkan pandangannya dari arah televisi dan menoleh kepadaku. bersamaan dengannya aku juga menoleh ke arah gadis dengan tubuh mungil itu. "Suka, ke kamu juga," jawabku kemudian."Bukan, bukan suka seperti itu. Suka dalam artian sebuah perasaan yang spesial, kayak aku sa
PoV Author•••Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Zanna keluar dari kamarnya. Sang sahabat Santi, sudah terlebih dulu menunggu di ruang tamu. Mereka hendak pergi ke Bidan Aida, untuk memeriksakan kandungan Zanna, yang kini telah menginjak bulan ke enam. Perempuan dengan tinggi 165 cm tersebut, berbalut celana panjang berwarna biru dan sweater dengan warna pink lembut. Sebuah tas selempang tampak menggantung di lehernya. Setelah mengunci pintu dan pagar, keduanya pergi dengan sekuter matic milik Santi. Gadis bertubuh mungil itu melajukan sekuternya. Mereka melewati beberapa rumah warga yang tertata rapi di sisi kiri dan kanan gang. Sesekali, mereka menyapa warga yang tengah duduk santai di depan rumah. Keduanya memang sudah cukup akrab dengan warga sekitar.Tak membutuhkan waktu lama, mereka akhirnya keluar dari gang sempit itu juga. Santi melajukan sedikit lebih kencang kendaraan roda dua itu, saat telah menyentuh jalan beraspal. Jalanan terlihat cukup ramai, mereka mulai m
Tidak berapa lama nomor antrian mereka disebut oleh perempuan yang bertugas di bagian pendaftaran. Zanna dan Santi bergegas beranjak masuk ke dalam ruangan. Bidan Aida menyambut keduanya dengan ramah, kemudian meminta kedua wanita muda itu untuk duduk. Beberapa pertanyaan dia ajukan pada Zanna seputar kondisi dan keluhannya. Bidan berusia lima puluh tahun itu, kemudian meminta Zanna untuk tidur di atas bed berukuran single. Krim di oleskan di perut wanita muda yang tengah mengandung anak pertamanya itu.Alat untuk USG berputar dan sesekali di tekan, untuk menegetahui kondisi janin. Semua baik-baik saja, tentu itu kabar yang sangat bagus. Hanya saja Bidan Aida meminta Zanna untuk tak bekerja terlaku keras. Vitamin dan beberapa obat, Bidan otu berikan. Selepas pemeriksaan selesai keduanya bergegas keluar.Biaya yang dikeluarkan untuk ke Bidan lebih murah, selain itu karena Bidan Aidalah yang di temui oleh Zanna pertama kali di puskesmas awal periksa dulu. Sehingga Zanna memilih Bidan
PoV AuthorKenzi memasukkan mobilnya ke dalam garis parkir, tepat di tempat Bara memarkirkan mobilnya tadi sewaktu berkunjung di taman. Beberapa kali dia berkunjung ke taman ini selepas kepergian Zanna. Besar harapan, dapat bertemu wanitanya itu di sini. Pemilik hatinya itu, sempat berkata menyukai taman ini, beserta jajanan yang ada.Segera dia turun dari mobil, melangkah pelan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Penampilannya yang rapi, dan tampan mengundang tatapan kagum para hawa yang kebanyakan remaja itu. Kenzi menyusuri trotoar menuju stan penjual jajan di sisi barat taman.Ditatapnya bergantian, wanita-wanita yang sedang mengantri di depan stan, menunggu pesanannya dikerjakan. Besar harapannya dapat bertemu dengan wanitanya. Tapi, semua tinggal harapan sang kekasih hati baru saja pergi.Tak menemukan yang dicari, Kenzi memasuki taman. Dia bisa merasakan aroma wanitanya, perasaanya berkata bahwa dia telah begitu dekat. Kembali pria muda itu mengedarkan pandangan, tam
Rasa apa ini? Saat menatapnya hati ini bergetar sedemikian rupa, tak seperti biasanya. Apakah rasa sayangku telah bergeser, entahlah aku sendiri tak tau. Satu yang pasti, dan harus aku akui, diri ini begitu nyaman bersamanya. Apakah itu berarti aku sudah melupakan Kenzi, ayah dari bayiku? Hanya bisa tersenyum masam. Itu belum terjadi, meski aku inginkan. Pria itu menempati tahta tertinggi di ruang hatiku, perlu waktu lama dan kerja keras untuk sekedar menyingkirkan bayangnya dalam mimpiku.Yah, bagiku Kenzi tak ubahnya sebuah mimpi, bukan untuk berusaha diraih, tapi berusaha untuk dikubur. Dalam hati terdalam, aku selalu berdoa, semoga dia bahagia dengan kehidupannya. Apa arti pengorbanan ini, bila ternyata dia tak menemukan kebahagiaannya. Bukankah hakikat cinta tertinggi adalah kebahagiaan orang yang dicintai, meski itu bukan bersama kita.Aku menghela nafas panjang, lupakan dulu cinta-cintaan. Hidupku untuk malaikat kecil.di dalam rahimku, semua hanya untuknya sekarang.•••"Aku j
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p