Rasa apa ini? Saat menatapnya hati ini bergetar sedemikian rupa, tak seperti biasanya. Apakah rasa sayangku telah bergeser, entahlah aku sendiri tak tau. Satu yang pasti, dan harus aku akui, diri ini begitu nyaman bersamanya. Apakah itu berarti aku sudah melupakan Kenzi, ayah dari bayiku? Hanya bisa tersenyum masam. Itu belum terjadi, meski aku inginkan. Pria itu menempati tahta tertinggi di ruang hatiku, perlu waktu lama dan kerja keras untuk sekedar menyingkirkan bayangnya dalam mimpiku.Yah, bagiku Kenzi tak ubahnya sebuah mimpi, bukan untuk berusaha diraih, tapi berusaha untuk dikubur. Dalam hati terdalam, aku selalu berdoa, semoga dia bahagia dengan kehidupannya. Apa arti pengorbanan ini, bila ternyata dia tak menemukan kebahagiaannya. Bukankah hakikat cinta tertinggi adalah kebahagiaan orang yang dicintai, meski itu bukan bersama kita.Aku menghela nafas panjang, lupakan dulu cinta-cintaan. Hidupku untuk malaikat kecil.di dalam rahimku, semua hanya untuknya sekarang.•••"Aku j
Aku segera turun saat mobil memasuki pelataran toko dan berhenti. Mas Ari yang melihat aku tirun dari kendaraan langsung menghampiriku. Dia security di sini, aku menanyakan apa Nyonya Flora sudah datang, karena aku tak melihat mobilnya yang biasa berad di depan toko."Ada di atas, Zan. Mau ambil pesangon?" tanya Mas Ari pafaku."Nggak, Mas. Zanna ada perlu aja sama Nyonya. Lagian masak kerja barusan minta pesangon hehehe, belum pantas," jawabku dengan disertai tawa."Nyonya mah baik, pasti dikasih," ucap pria bertubuh gempal itu. Aku kemudian tersenyum."Eleh ... eleh, itu suami kamu?" Setengah berbisik Mas Ari bertanya padaku, saat melihat Bara berjalan mendekat ke arahku."Ganteng, cocok sekali," ucapnya lagi, saat aku akan menjawab. "Mas udah kira, kamu orang kaya," lanjutnya lagi, tak memberiku kesempatan bicara."Siang Mas, saya temannya Zanna." Mas Ari mengulurkan tangannya, disambut ramah oleh Bara. Mas Ari memang lucu dan ceplas-ceplos."Mas, Zanna ke Nyonya dulu," pamitku,
Bantu apa? Aku mengangkat bahuku sendiri. Yang pasti bantu hitung-hitungan, tapi entah apa yang dihitung. Tanganku merogoh ponsel di dalam tasku. Kemudian mulai berselancar mencari artikel seputar kehamilan dan cara mengurus bayi.Sesekali memperhatikan pengunjung yang datang silih berganti. Namun belum ada yang membeli. Perhatianku jatuh pada sepasang anak muda, sepertiny seumuran denganku. Gadis itu sibuk memilihkan baju untuk pria muda yang datang bersamanya, sepertinya mereka sepasang kekasih.Tak berapa lama dua orang gadis lain datang menghampiri sepasang muda-mudi tadi. Sepertinya berteman akrab. Pandanganku terfokus pada gadis berambut coklat yang baru saja datang. Wajahnya mengingatkan aku pada seseorang, Kenzi. Mirip sekali …Pandanganku tak lepas darinya, bahkan saat dia tersenyum saat melihat ke sudut ruangan, dimana Bara berdiri dengan salah satu pegawainya. Gadis itu mencuri pandang ke arah Bara, ditariknya salah satu teman yang tadi datang bersamanta. Dengan dagu gadis
Tanganku meremas ujung baju yang aku kenakan. Dadaku sesak seketika, perut pun terasa kaku. Sudah aku coba mengubur dalam rasa ini, dan ternyata belum mampu. Tetap saja begitu sakit dan perih.Aku masih terdiam di samping pagar pembatas, hanya mampu menatapnya sampai tak terlihat, tergulung ramainya pengunjung lainnya. Apa yang aku pikirkan, itu sudah tak mungkin lagi, Kenzi sudah bahagia sekarang seperti apa yang aku harapkan, lalu untuk apa air mata ini.Tetap saja sakit, meski sisi hati lain mencoba mengerti dan memahami, menerima semua sebagai bagian dari sebuah takdir yang harus aku jalani. Aku hanya manusia biasa, bisa merasakan perih saat aku terluka. Bukan terluka olehnya, ini semua bukan salahnya, kami berbeda dan tak mungkin menyatukan bumi dan langit, menyatukan siang dan malam. Itu tak mungkin, dia sudah berbahagia dengan wanita itu, apalagi yang aku khawatirkan."Aku mencarimu dari tadi, eh ... kamu kenapa?" Bara sudah berada di sampingku, tangannya memegang lenganku saat
"Bang, masukin motornya biar nggak ganggu orang lewat," terdengar suara motor berhenti, di susul suara Santi."Wah, keren Bang motornya." Suara Yudha terdengar.Aku beranjak keluar, Bang Bara yang datang dengan motor besar warna merah."Assalamualaikum," salamnya sesaat setelah memasukkan motornya ke halaman. Kami hampir bersamaan menjawabnya.Semua kembali masuk, berkumpul di ruang tamu, seperti biasanya."Gue jual, sapa tau ada temen kamu mau beli," ucap Bang Bara pada Yudha. Santi sedang didapur membuat kopi."Minta berapa Bang?""Tawarlah, lumayan bisa buat biaya persalinan." Goda Bang Bara melirik ke arahku, Yudha tertawa."Seratus lima puluh, masih ngangkat lah Bang, untuk tipe itu," ucap Yudha.Aku memilih diam, tak mengerti juga dengan yang mereka bicarakan."Wah, mayan ruginya," ucap Bang Bara."Masih, bisalah di atas itu, aku cek nanti Bang, Spek nya." Yudha kembali membalas."Ngomongin apa sih?" Tanya Santi yang datang dengan nampan berisi empat buah cangkir."Abang dah
Santi libur hari ini dan kami sudah berencana untuk jalan-jalan ke toko perlengkapan bayi. Gadis itu memaksa untuk pergi, aku yang hamil tapi dia yang sangat bersemangat dan antusias untuk berbelanja. Padahal jenis kelamin bayiku saja aku sendiri belum tau, apakah laki laki atau perempuan."Feelingku sih sama kek Abang jenis kelamin dedek bayinya, cowok," tebaknya pagi itu."Masak? kenapa?" tanyaku ingin tau alasannya."Soalnya suka tendang-tendang kek maen bola di dalam.""Ihh, asal," ucapku, Santi tertawa terbahak.Namun, perasaanku mengatakan hal yang sama. Berdasarkan apa? aku sendiri juga tidak tau. Hanya saja aku merasa bayi dalam rahimku seorang anak laki-laki. Tapi, mau anak laki-laki atau perempuan bagiku sama saja."Sama Abang juga kan?" Tanya Santi yang duduk di sofa depan tv. Aku sedang menyetrika baju di dekatnya."Iya, sama Abang. Tapi cuma anter sama jemput aja. Ada urusan, nggak bisa nemenin belanja," jawabku."Dah dapet mobil lagi?""Sudah, katanya.""Sampe segituny
Senyum masih terkembang di bibir wanita muda, yang masih jelas ku ingat namanya. Carla, aku ingat Kenzi menyebut nama itu, sebagai wanita yang telah dijodohkan dengannya. Ada sedikit perih menyapa hatiku dan aku berusaha untuk menepisnya." Kalian sudah saling kenal?" Aku yang masih menatap kaku dengan sesak di dada menoleh ke wanita setengah baya yang tetap terlihat angun dan cantik itu. Apa dia Mamanya Kenzi, aku menatapnya lekat. Berarti dia nenek dari bayi yang sekarang aku kandung.Sekuat tenaga aku tahan sesak dalam dadaku. Air mataku sudah siap meluncur. Bibir bawah aku gigit kuat-kuat agar air mata itu tak menyeruak menampakkan bulirnya."Belum sih Ma, pernah ketemu di Mall, beberapa waktu yang lalu." Wanita muda itu menjawab pertanyaan sang wanita setengah baya."Aku, Carla." Tangan terulur, aku menyambutnya ragu. Ini Mama Mila, Mama mertuaku." Semua seperti yang aku pikirkan dan sesuai dengan dugaanku."Za … Zanna," jawabku sedikit tergagap aku menarik napas dan kemudian
"Sudah telepon Abang?" tanya Santi saat kami keluar dari toko.Akhirnya kami selesai dengan acara belanja ini, bukan kami sebenarnya. Lebih tepatnya Santi yang berbelanja karena dia yang banyak belanja dibanding denganku.Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan Santi karena aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri."Eh ... nongkrong dulu di sana yuk?" Santi menunjuk sebuah Cafe yang berada tidak jauh dari toko. "Sambil nunggu Abang," tambah Santi lagi, aku kembali mengangguk menuruti keinginannya. Tidak ada sepatah katapun keluar dari bibirku.Kami berjalan pelan, bersisian. Sebuah cafe dengan gaya retro menjadi tujuan. Sengaja memilih tempat duduk di luar, karena lebih nyaman. Bagian luar di desain menyerupai taman, dengan beberapa pohon ukuran sedang yang sengaja di tanam.Seorang pelayan dengan balutan baju berwarna krem datang menghampiri meja, dengan buku menu di tangannya. Senyum ramah terkembang saat sampai di samping meja."Selamat siang kakak, mau pesan apa? Silahkan,"
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p