"Sudah telepon Abang?" tanya Santi saat kami keluar dari toko.Akhirnya kami selesai dengan acara belanja ini, bukan kami sebenarnya. Lebih tepatnya Santi yang berbelanja karena dia yang banyak belanja dibanding denganku.Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan Santi karena aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri."Eh ... nongkrong dulu di sana yuk?" Santi menunjuk sebuah Cafe yang berada tidak jauh dari toko. "Sambil nunggu Abang," tambah Santi lagi, aku kembali mengangguk menuruti keinginannya. Tidak ada sepatah katapun keluar dari bibirku.Kami berjalan pelan, bersisian. Sebuah cafe dengan gaya retro menjadi tujuan. Sengaja memilih tempat duduk di luar, karena lebih nyaman. Bagian luar di desain menyerupai taman, dengan beberapa pohon ukuran sedang yang sengaja di tanam.Seorang pelayan dengan balutan baju berwarna krem datang menghampiri meja, dengan buku menu di tangannya. Senyum ramah terkembang saat sampai di samping meja."Selamat siang kakak, mau pesan apa? Silahkan,"
"I … iya, saya." Jawabanku sedikit tergagap.Sejenak pria muda itu terdiam, mengamatiku. Keningnya sedikit berkerut saat melihat ke arah perutku. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan tentangku."Siapa?" tanya Santi tanpa memelankan suaranya. Aku mengangkat sedikit bahu, kemudian kembali menurunkannya. Karena memang aku tidak mengenalnya. Hanya saja aku merasa tidak begitu asing dengan wajahnya.Pria muda itu juga terlihat canggung, dia menggaruk tengkuknya. Wajahnya terlihat bingung untuk beberapa saat kemudian. Terlihat antara ragu atau apa entahlah."Ada apa ya Mas ya?" tanya Santi kemudian dengan sedikit mendelik."Em, maaf, mu … mungkin saya salah orang," ucapnya kemudian, tetapi, sekarang wajahnya malah terlihat gelisah."Kok, bisa bener sebut nama kalau salah orang," celetuk Santi kemudian penuh selidik.Pria itu semakin terlihat gusar, entah apa yang terjadi padanya. Terlihat dia bingung dan sesekali memijat tengkuknya."Mas, Radit kan?" tanyaku sambil menatapnya. Dia terl
"Katanya tadi mau cerita," ucap Bara sesampainya kami dirumah. "Cerita apa?" tanyaku pura-pura lupa."Dah, nggak usah pura-pura."Aku tertawa kecil, pria itu tau aku sedang berpura-pura.."Em, iya. Zanna mana bisa bohong ke Abang," ucapku manyun. Pria itu tertawa."Zanna tadi ketemu dengan Istri Kenzi, Mama dan Kakaknya," ceritaku kemudian.'Lalu?"Aku mulai bercerita tentang kejadian tadi siang. Tentang perasaanku, tentang sakit yang aku rasakan. Tentang pertemuanku dengan orang-orang terdekat dari Kenzi. Tentang kecantikan Carla, keakrabannya dengan Mama Kenzi dan segalanya.Sesak, pasti. Aku menahan agar tak ada lagi air mata yang terjatuh, hanya untuk merasa sakit atas keadaan yang terjadi padaku."Abang tau, kamu kuat," ucap Bara kemudian menanggapi semua ceritaku. Aku mengangguk pelan.Bara terdiam, entah apa yang dia rasakan saat aku menceritakan kesedihanku, atas rasaku pada Kenzi. Tapi, aku percaya Bara jauh lebih bijaksana. Pria ini berhati seluas samudra, sebenarnya aku e
“Nama kamu siapa, Nak?” Wanita setengah baya itu mengulurkan tangannya. Aku pun langsung menyambut tangan yang terulur itu.“Zanna,” jawabku kemudian dengan menyebut namaku.“Berapa umurmu? Masih dibawah dua puluh tahun?” lanjut wanita itu, aku mengangguk.“Delapan belas tahun.” Aku menegaskan.Wanita itu kembali terdiam, kenapa aku jadi penasaran dengan apa yang dipikirkannya. Sesaat kami saling diam, Bara melihat kearahku, demikian juga sebaliknya. Perutku, tiba-tiba kaku, aku mengusapnya pelan, apa karena tegang.“Bisa kita bicara?” wanita itu bertanya. Aku mengangguk.“Mari,” ucap Bara dengan cepat membawa kami ke sebuah ruangan yang digunakan untuk kantor.“Kok, boleh masuk?” tanya wanita itu kembali, Ia terlihat bingung.“Em Iya, ini toko kami, silahkan di lanjutkan,” ucap Bara.“Oh, kalau tidak keberatan bisa titip cucu saya, Clarissa sebentar,” pinta wanita itu pada Bara.“Oh, tentu. Ayok main sama Kakak,” Ajak Bara pada Clarissa yang langsung menurut.Aku mempersilahkan wanit
Acara hari itu berlangsung dengan lancar, sedih dan bahagia, bercampur menjadi satu. Sedih karena Nyonya Flora tak akan bersama kami lagi, bahagia karena masih tetap bisa meneruskan usaha ini demi semua karyawan di toko kue ini."Ada titipan terima kasih dari semua tetangga," ucap Uti, Ibu pemilik rumah yang aku tinggali. Dia memintaku memanggilnya Uti, yang berarti Nenek. "Kembali kasih Uti, ntar Uti ajakin emak-emak di sini, buat borong roti, mumpung besok ada promo Uti," ucap Santi.Semua karyawan sudah pulang, hanya tinggal penjaga. Sementara aku dan Santi masih membereskan sisa acara, di bantu Uti. Bara dan Yudha masih keluar untuk membagikan makanan gratis."Kamu sama Uti istirahat saja. Duduk, temani Uti sana, biar aku yang urus." Santi mendorongku saat akan membereskan meja."Masih kuat aku," jawabku."Udah, dah kelar juga," balas Santi kemudian. Akhirnya aku menurut juga, beringsut pergi, duduk di samping Uti. Melihat Santi yang dengan cekatan memasukkan kardus bekas makana
Aku berjalan pelan, keluar dari toko setelah seperti biasa menyapa teman lainnya. Alhamdulillah, toko selalu ramai seperti biasanya. Belum sampai aku keluar dari area parkir, sebuah mobil masuk dan berhenti di depanku. Sepertinya aku tidak asing dengan mobil ini.Benar saja, pria itu keluar dari mobil lewat pintu tengah, disusul seorang pria yang aku juga kenal. Aku melangkah mundur, seorang perempuan keluar juga dari mobil itu, hanya saja aku tak mengenalnya."Zanna, apa kabar?" tanya Pria berbadan tegap itu, berjalan mendekat."Baik, Tuan," jawabku.Mau apa mereka, ini bukan sebuah pertemuan yang tidak di sengaja. Mereka sengaja menemuiku, tapi kenapa. Apalagi yang mereka inginkan dariku."Bisa kita bicara sebentar saja?" pintanya kemudian."Tentang apa?" "Ikut dengan kami, kita bicarakan di tempat lain," jawab pria itu."Di sini saja," jawabku. Aku memiliki perasaan yang tak nyaman atas hal ini."Ikutlah, sebentar saja. Kami akan mengantarmu setelahnya." Perempuan muda itu ikut bi
"Ada apa?" Bara menghampiriku yang masih terisak dalam dekapan Santi. "Mereka ingin mengambil bayi Zanna," jelas Santi kemudian."Mereka siapa?""Keluarga suami Zanna," jawab Santi.Aku merasakan tangan pria itu mengusap kepalaku."Itu tak akan terjadi, Abang ada di sini. Kamu jangan takut." Aku menoleh ke Bara, dan berhambur dalam pelukannya. Pada siapa diri ini meminta perlindungan, kecuali pada kedua malaikatku ini. Hanya mereka yang aku miliki."Zanna, takut Bang," ucapku tersengal."Kamu percaya pada Abang kan, selama Abang ada, Abang tak akan pernah membiarkan satu orangpun menyakitimu. Apalagi sampai mengambil bayi ini darimu. Jangan menangis, ada Abang dan Santi disini untuk melindungimu."Tangisku semakin pecah, tak bisa aku bayangkan bagaimana nasibku tanpa mereka. Pelukanku semakin erat, aku butuh mereka, aku tak akan mampu tampa mereka."Apa kita cari tempat lain, untuk tempat tinggal Zanna. Supaya mereka tak menemukan Zanna," ucap Santi kemudian."Mereka mengancam kal
Sama sepertiku, kedua wanita yang duduk di depanku itu tak dapat menahan tangisnya. Kisah pilu yang aku alami,bahkan masih berlanjut sampai sekarang. Santi memelukku, aku tak sanggup lagi menceritakan segala kemalanganku."Keluarga suami Zanna, menginginkan bayinya, mereka ingin mengambilnya." Santi menambahkan."Suaminya?" tanya Tante Fenny."Bukan! Suami Zanna tidak tau kalau Zanna hamil. Papa mertuanya yang ingin mengambil paksa bayi itu." Santi menjelaskan."Kenapa seperti itu?" tanya Oma kemudian.Aku menggelengkan kepala, sejatinya tak paham juga dengan maksud mereka sebenarnya. "Mereka orang kaya, bisa melakukan apa saja, untuk memaksa Zanna menyerahkan bayinya, Zanna tidak aman di sini. Apa Oma dan Tante bisa membantu Zanna. Maaf, saya lancang, hanya saja saya juga bingung bagaimana cara melindungi Zanna."Tidak aku ragukan, betapa sayangnya Santi kepadaku. Meski kami belum lama saling mengenal, hubungan kami melebihi saudara. Ah, aku tak mengerti hubungan saudara itu seperti
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p