Aku berjalan pelan, keluar dari toko setelah seperti biasa menyapa teman lainnya. Alhamdulillah, toko selalu ramai seperti biasanya. Belum sampai aku keluar dari area parkir, sebuah mobil masuk dan berhenti di depanku. Sepertinya aku tidak asing dengan mobil ini.Benar saja, pria itu keluar dari mobil lewat pintu tengah, disusul seorang pria yang aku juga kenal. Aku melangkah mundur, seorang perempuan keluar juga dari mobil itu, hanya saja aku tak mengenalnya."Zanna, apa kabar?" tanya Pria berbadan tegap itu, berjalan mendekat."Baik, Tuan," jawabku.Mau apa mereka, ini bukan sebuah pertemuan yang tidak di sengaja. Mereka sengaja menemuiku, tapi kenapa. Apalagi yang mereka inginkan dariku."Bisa kita bicara sebentar saja?" pintanya kemudian."Tentang apa?" "Ikut dengan kami, kita bicarakan di tempat lain," jawab pria itu."Di sini saja," jawabku. Aku memiliki perasaan yang tak nyaman atas hal ini."Ikutlah, sebentar saja. Kami akan mengantarmu setelahnya." Perempuan muda itu ikut bi
"Ada apa?" Bara menghampiriku yang masih terisak dalam dekapan Santi. "Mereka ingin mengambil bayi Zanna," jelas Santi kemudian."Mereka siapa?""Keluarga suami Zanna," jawab Santi.Aku merasakan tangan pria itu mengusap kepalaku."Itu tak akan terjadi, Abang ada di sini. Kamu jangan takut." Aku menoleh ke Bara, dan berhambur dalam pelukannya. Pada siapa diri ini meminta perlindungan, kecuali pada kedua malaikatku ini. Hanya mereka yang aku miliki."Zanna, takut Bang," ucapku tersengal."Kamu percaya pada Abang kan, selama Abang ada, Abang tak akan pernah membiarkan satu orangpun menyakitimu. Apalagi sampai mengambil bayi ini darimu. Jangan menangis, ada Abang dan Santi disini untuk melindungimu."Tangisku semakin pecah, tak bisa aku bayangkan bagaimana nasibku tanpa mereka. Pelukanku semakin erat, aku butuh mereka, aku tak akan mampu tampa mereka."Apa kita cari tempat lain, untuk tempat tinggal Zanna. Supaya mereka tak menemukan Zanna," ucap Santi kemudian."Mereka mengancam kal
Sama sepertiku, kedua wanita yang duduk di depanku itu tak dapat menahan tangisnya. Kisah pilu yang aku alami,bahkan masih berlanjut sampai sekarang. Santi memelukku, aku tak sanggup lagi menceritakan segala kemalanganku."Keluarga suami Zanna, menginginkan bayinya, mereka ingin mengambilnya." Santi menambahkan."Suaminya?" tanya Tante Fenny."Bukan! Suami Zanna tidak tau kalau Zanna hamil. Papa mertuanya yang ingin mengambil paksa bayi itu." Santi menjelaskan."Kenapa seperti itu?" tanya Oma kemudian.Aku menggelengkan kepala, sejatinya tak paham juga dengan maksud mereka sebenarnya. "Mereka orang kaya, bisa melakukan apa saja, untuk memaksa Zanna menyerahkan bayinya, Zanna tidak aman di sini. Apa Oma dan Tante bisa membantu Zanna. Maaf, saya lancang, hanya saja saya juga bingung bagaimana cara melindungi Zanna."Tidak aku ragukan, betapa sayangnya Santi kepadaku. Meski kami belum lama saling mengenal, hubungan kami melebihi saudara. Ah, aku tak mengerti hubungan saudara itu seperti
"Kamu, mau nemuin dia?" tanya Santi Santi lagi, menggulang pertanyaannya.Dalam diam dadaku terasa begitu sesak. Perutku terasa mengencang. Entah sudah berapa ribu kali air mata ini tertumpah, ada rasa rindu dalam hatiku. Perasaan yang selama ini coba untuk aku tekan dan pudarkan. Kenapa takdir seolah sedang mempermainkanku.Aku mengikhlaskan semua yang telah terjadi padaku. Menerima semua kenyataan, sepahit apapun itu. Bagaimana mungkin aku bisa menemuinya, sedangkan sudah ada wanita baik di sisinya. Sebesar apapun rasa ingin bertemu, tetap saja aku tak akan mampu."Sakit banget rasanya," ucapku disela isak tangis yang melanda. Aku sudah berusaha menahan diri dan mengendalikan emosi, tapi, tetap saja aku tidak mampu.Santi memelukku dan tangan itu mengusap punggungku lembut untuk menenangkanku. Kerinduan ini sungguh sangat menyiksaku, sebuah rasa yang seharusnya tidak boleh hadir kembali dalam hatiku."Lihat aja dari cctv, mungkin sedikit mengobati rindu. Tapi, kalau saranku lebih b
"Felicia, adik Kenzi."Bara berucap lirih, saat kami sudah kembali berada di ruang kerja. Santi baru saja keluar ruangan, selepas memberitahu akan kerjasama yang baru saja disepakati dengan keluarga Kenzi."Iya, dia sepertinya suka dengan Abang," ucapku kemudian."Bukan itu, Abang minta maaf. Abang sudah lancang, tanpa meminta persetujuanmu terlebih dahulu." Bara melanjutkan bicaranya. Aku menoleh ke arahnya."Abang, mengatakan kalau kamu istri Abang. Maafkan Abang." Bara menatapku, seolah ingin melihat reaksiku."Sudahlah, Bang. Biarkan mereka taunya seperti itu. Mungkin lebih baik seperti itu. Mereka sudah berbahagia, mereka orang baik," balasku kemudian."Kamu, masih mencintai pria itu?""Rasaku sudah tak penting lagi, tak akan mengubah apapun. Apa kita bisa membahas hal yang lain?"Bara tersenyum, meski tak memberi arti apapun."Apa, aku memiliki kesempatan, untuk selalu berada disampingmu, menjagamu, dan bayi ini?" Bara menatapku, sorot mata itu seolah mampu menembus ruang hati t
"Em, laper nggak? Aku pengen Bakso di depan, udah buka kan, biasanya.""Depan minimarket?" Santi mengangguk. "Dari jam sembilanan bukanya, sekarang?""Iya, ayok. Ntar besok-besok, nggak bisa lagi kan?!"Aku mengangguk kemudian bangun dari duduk, dan berdiri. Santi mendorong kursinya ke belakang, menyahut dompet dan ponselnya yang Ia letakkan di samping monitor. Gadis itu berjalan menghampiriku, yang lebih dekat dengan pintu."Em …." Aku sengaja menggantung kalimat."Nggak," balas Santi seolah mengerti, maksudku. Aku ingin menambahkan sedikit sambal dalam baksoku nanti."Banyakan dikit." Rayuku sambil mengapit tangan kirinya."Nggak, dari pada aku kena marah Abang, kalau ada apa-apa. Kamu sih ekstrim banget, kalau nambah sambal." Santi beralasan."Iya … iya," ucapku sambil mengerucutkan bibir.Santi menarik gagang pintu, dengan tangan kanannya. Kami melangkah bersisian, menyapa beberapa pegawai yang kami lewati. Alhamdulillah toko, semakin hari semakin ramai. Tidak terlalu jauh dari
"Sayang …." Sebuah sentuhan tangan terasa mengusap pipiku, lembut. Suara itu cukup aku kenal, perlahan aku membuka mataku."Sayang …."Panggilnya lagi, aku sejenak terhenyak, apakah aku sedang bermimpi. Kenapa ada dia? Aku menepis tangan itu dari wajahku. Apa yang terjadi, kepalaku masih sakit. Perutku juga terasa mengencang."Apa ini mimpi?" tanyaku lirih. Mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tangan itu meraih tanganku, dan menciumnya. "Sayang, aku minta maaf." Suaranya terdengar parau. Air matanya membasahi tanganku.Aku mengalihkan pandangan darinya, air mata meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan. Tangisku semakin mengeras, aku berusaha menahannya dengan menggigit bibirku, percuma saja."Sayang, aku minta maaf," ucapnya lagi. " Jangan pernah pergi lagi dariku."Tangan itu mengusap pipi basahku. Dadaku semakin sesak terasa. Kenapa hidup, seolah sedang mempermainkanku. Disaat aku sudah ingin melupakannya, menepikan jauh rasa, memudarkan segala kerinduan yang selalu mend
Bara dan Santi pasti sedang bingung mencariku, mereka pasti sedang mencemaskanku. Aku tak bisa melihat mereka seperti itu."Sayang, aku mohon." Kembali aku meminta pada Kenzi, dia sejenak terdiam. Sesaat kemudian, dia menarik ponsel dari saku, dan memberikan padaku."Pakai ini saja," ucapnya kemudian. Aku tak hafal nomor mereka. Hanya hafal nomor telepon toko. Akhirnya aku melakukan panggilan ke toko. Terdengar suara Mbak Lastri saat telepon di terima."Mbak Lastri, ini Zanna. Sambungkan ke Santi dan Abang, ya," ucapku kemudian."Mba Zanna? Mba kemana saja, ini semua nyari. Mereka masih di luar nyari Mak Zanna. Mbak dimana? Gimana keadaanya?"Suara panik Mbak Lastri terdengar di ujung telepon. Aku menjawab kalau aku baik-baik saja. Kemudian aku meminta Ia memberikan nomor hp Santi dan Abang Bara. Setelah menunggu beberapa saat, Mba Lastri membacakannya."Bisa tolong catatkan?" pintaku ke Kenzi, yang dia jawab dengan anggukan. Ia merogoh saku bajunya, dan mengambil sebuah ponsel di
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p