Tidak suka perempuan, lalu untuk untuk apa dia membayarku mahal-mahal.
"Kamu tau, aku sama sekali tak terangsang melihatmu, sama sekali tak ada hasrat untuk menyentuhmu, aku akui kamu sangat cantik. Tapi, aku tak bisa melakukannya," jelasnya padaku."Papa, meminta asistennya untuk memesan seorang gadis untukku, dengan harapan aku bisa sembuh dari penyakitku," lanjutnya."Memangnya kamu sakit apa?" tanyaku kemudian. Tak memanggilnya dengan sebutan Tuan lagi."A ... aku gay," jawabnya."Gay, apa itu?" Pria muda itu menoleh kearahku."Kamu tak tau, gay?" tanyanya balik. Aku mengeleng."Aku menyukai sesama pria.""Hahh," seruku kaget. Aku tak habis pikir, pria suka pria, apa lagi ini."Su ... suka pria?" ulangku. Kenzi mengangguk.Dia mulai menceritakan, tentang jati dirinya. Anak kedua dari tiga bersaudara, dan dia anak lelaki satu-satunya. Keluarga pengusaha, aku tak paham dengan istilah yang dia gunakan. Karena salah pergaulan, berawal dari pengaruh sepupunya, yang sering mengajaknya ke komunitas penyuka sesama, akhirnya terbawa arus.Jujur aku yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama tak terlalu mengerti dengan apa yang dia ceritakan. Sewaktu sekolah, aku juga tergolong biasa saja. Kudengarkan dengan seksama walau aku tak memahaminya. Inti dari semua ceritanya, bisa kusimpulkan, dia tidak menyukai wanita."Kamu sendiri, kenapa sampai di sini?" tanyanya padaku.Aku mulai menceritakan kisahku, sebagai anak yang lahir tanpa mengenal siapa ayahku, dan ibuku yang tega meninggalkan diriku begitu saja. Semua kuceritakan dengan gamblang, tanpa air mata. Air mataku sudah lama habis, yang ada sekarang hanya keinginan lepas dari kemiskinan, bisa membalas budi pada Mama Ella dan memiliki barang -barang yang aku suka."Kamu tegar sekali," ucapnya mendengar ceritaku."Bukan tegar, aku sudah mati rasa," jawabku. Kesakitan yang teramat sakitlah, yang membuat jiwaku seakan mati, tak peduli apapun lagi."Benarkah kau sama sekali tak tertarik padaku," godaku padanya.Kembali kurapatkan tubuhku padanya. Kenzi sedikit condong kebelakang memberi jarak diantara tubuhku dengan tubuhnya. Entah aku merasa ini lucu sekali, tapi di satu sisi ada rasa peduli, merasa kasihan pada pemuda ini."Aku, juga ingin hidup normal. Tapi ini sulit sekali.""Apa kamu memiliki pacar pria juga?" Kenapa aku jadi begitu penasaran, hal ini mengundang banyak tanya dalam benakku."Baru dekat,""Sedekat apa?""Ya dekat, kenapa kepo sekali?"Aku memajukan bibirku, saat nada suaranya sedikit meninggi. Padahal banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya."Terus, sekarang kita ngapain?" tanyaku kemudian. Ah, melayang sudah impianku, kenapa dia yang dikirimkan padaku. Jangankan merengut kesucianku, memegangku saja dia tak berhasrat.Kenzi menoleh kearahku, sesaat netra kami saling menatap. Andai saja aku tak tau kenyataan tentangnya, mungkin akan ada debaran dan gejolak dalam dadaku, ditatap pria setampan dia.Aku membuang pandanganku, berdecak kesal. Sial ..."Kenapa?" tanyanya."Masih tanya kenapa?" sungutku."Iya, harusnya kamu senang, tak ada yang menjamah tubuhmu dengan hina, yang hanya ingin menyesap madumu saja.""Oh ya, tapi aku sebaliknya, aku tak senang. Mimpiku akan baju mahal, perhiasan, uang dan ponsel baru melayang sudah. Tak ada darah perawan, tak ada bayaran untukku, dipikir mereka aku tak becus melayanimu," ucapku kesal."Apakah begitu pentingnya uang bagimu, hingga rela kamu korbankan harga diri dan kesucianmu?"Mendengar kalimat itu, entah mengapa ada yang seperti menyayat hatiku, sakit."Tuan, Anda tak pernah merasahan hidup miskin bukan? tak pernah merasakan hari ini makan besok sampai lusa puasa. Pasti tak pernah, Anda dilahirkan di tengah keluarga kaya raya, sedangkan aku?"Aku tersenyum getir, kemudian tertawa, menertawakan ketidakberuntunganku dan segala kisah pahitku."Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih," ucapnya.Aku tertawa mendengarnya, tapi entah mengapa tiba-tiba ada bulir bening melucur di pipiku. Seumur hidupku, baru kali ini aku bicara dengan hati, dan menceritakan pada seseorang tentang sakit yang kurasakan.Tak pernah kusesali takdirku, aku percaya apapun yang aku dapatkan pasti memang sudah menjadi garis hidupku. Tapi aku tetaplah manusia biasa, dan hari ini baru kurasakan kesakitan yang selama ini kutahan.Selama ini aku tak punya teman, tak ada tempatku mencurahkan segala risau dalam hatiku. Aku sendiri, dan ditempa, dipaksa untuk menjadi tegar, menjadi kuat."Maafkan aku," ucapnya lagi, "Hai, apa yang kamu lakukan?""Kamu yang membuatku menangis, tangung jawab," ucapku sambil melanjutkan mengusap air mataku dengan kemejanya."Aku akan mengganti kerugianmu, tenang saja," ucapnya padaku.Senyumku langsung terbit seketika, tak sulit baginya yang seorang anak pengusaha untuk memberi ganti rugi padaku pastinya."Tapi, masalahnya, kalau aku tak berhasil menidurimu, aku dibuang dari keluargaku yang otomatis semua fasilitasku ditarik, dan aku menjadi gembel, lebih miskin dari dirimu."Senyumku langsung sirna seketika."Sekarang bantu aku memikirkan bagaimana caranya agar kita bisa memberikan bukti, kalau aku sudah menidurimu," ucapnya lagi."Kita coba lagi, siapa tau kamu sudah mulai tertarik padaku," ucapku padanya."Kalaupun aku tertarik padamu, aku tak akan tega melakukan hal itu."Ucapannya sebenarnya membuatku merasa malu, sebuah tamparan bagiku, yang menghinakan diriku sendiri. Sayangnya, itu hanya pikiran bersih yang hanya terkadang hadir. Selebihnya pikiranku diisi bagaiamana caranya agar aku tak hidup susah lagi."Aku ada ide," ucapku padanya.Aku bangun dari dudukku, dan mulai memutari kamar, sial tak ada satupun benda tajam yang bisa digunakan. Kubuka pintu kamar mandi, sama saja."Kamu cari apa?" tanyanya ikut berdiri, pemuda itu terlihat bingung."Sesuatu yang tajam, buat nyayat biar keluar darah," jelasku padanya."Yah, ketauanlah kalau lihat ada yang luka. Pasti papa meminta untuk mengecek semuanya," ucap Kenzi"Lalu?" tanyaku, Kenzi mengangkat pundaknya.Kami kembali duduk, bersisian di tepian ranjang, mencoba mencari kembali ide, bagaimana untuk mendapatkan darah tanpa terlihat luka. Aku menemukan ide kembali saat memainkan bibirku, kutoleh pria muda di sampingku dengan senyum menyeringai.Kenzi mengerutkan kening dan menyipitkan matanya melihat senyum anehku. Aku mulai merapat dan mendekatkan wajahku padanya, dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Kutangkup wajah itu dengan kedua tanganku, kutaut bibir itu."Auchh, gadis gila apa yang kamu lakukan?" Kenzi mendorongku, memegangi bibirnya."Cepetan," ucapku menunjuk
"Diamlah jangan bawel," ucapku. Dia merentangkan tangannya, kuberikan sebuah tanda merah di dadanya. Kembali kancing kutautkan setelahnya, senyum tipis menghias bibirku.Kami berdiri berhadapan, kenapa ada rasa sedih saat akan melepasnya. Rasa apa ini, aku sendiri tak memahaminya. Kupaksanan senyumku, walau ada yang perih dalam hatiku. Tapi kenapa ada sakit menyapa dada ini."Jaga diri ya," ucapnya. Kedua tanganya menyentuh bahuku, aku mengangguk pelan. Apa yang harus kujaga, aku menertawakan diriku sendiri."Jaga rahasia kita," ucapnya lagi. Kembali aku hanya sangup mengangguk."Apakah kita akan bertemu kembali suatu hari nanti?" tanyaku padanya."Entahlah, terima kasih untuk malam yang begitu mengesankankan, kita tim yang hebat." Pria itu tersenyum lebar."Terima kasih sudah mendengar kisahku," ucapku lagi.Pria itu mengangguk, mengusap rambutku pelan, berbalik badan berjalan kepintu."Selamat tinggal, terima kasih untuk semuanya," ucapnya menoleh kearahku, sesaat kemudian membuka p
Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.Pandanganku lepas keluar jendela mobil, jalanan sore ini nampak padat, mobil yang Pak Rahman kemudikan beberapa kali melambat dan berhenti. Ingin rasanya waktu berhenti juga dan aku tak harus kembali ke tempat itu lagi. Ah, kenapa rasa itu hadir lagi, rasa enggan. Zanna, apa yang kau risaukan sayang? Kehormatan? Sejak kapan orang miskin punya kehormatan. Siapa dirimu harus memikirkan kehormatan, yang perlu kau pikirkan bagaimana hari ini bisa makan, keluargamu punya tempat tinggal.Aku tersenyum getir bahkan diriku sendiri saja seolah telah hilang harapan. Sedikitpun tak kudapati sebuah sinar, yang bisa memberi petunjuk jalan agar lepas dari semua hal ini. Bahkan mimpi indah pun enggan menyapaku. Aku tak memiliki mimpi apapun sekarang.Kemarin anak terbuang ini masih bermimpi tentang banyak uang dan hidup senang. Tapi,
Yang pasti dia akan puas karena mendapatkan keperawananku, tapi apa ada jaminan dia tak mengatakan hal ini pada Mami Erna. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.Aku berjalan mondar mandir dalam kamar kecil itu, mencari ide untuk mengatasi masalah ini. Pandanganku tertuju pada pembalut di dalam kantong plastik yang tergantung di balik pintu. Kuambil dua buah dan memasukkan kedalam tas. Aku mengaku saja baru dapat haid setelah berhubungan dengan pria itu. Pasti darahnya sama saja bukan.Sepasang pakaian dalam juga aku masukkan dalam tas, bergegas aku keluar kamar dan kembali ke ruang Mami Erna sebelum dia memarahiku karena lama menunggu.Pria itu membukakan pintu, saat aku mengetuknya."Kak, langsung aku bawa, ya. Besok aku kembalikan," ucap pria itu menoleh ke dalam ruangan."Iya, sudah sana. Sehari saja, tak kau kembalikan Kakak suruh Jenny kesana," balas Mami Erni dari dalam ruangan.Pria itu tertawa terkekeh.Tangannya langsung menarikku, setelah menutup pintu ruang kerja Ma
"Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. "Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga."Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut."Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis."Di depan?" Suaranya terdengar kanget."I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku."Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tas
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,
Aku berjalan pelan menuju kamarku, entah mengapa kamarku terpisah sendiri. Anak asuh Mami Erna yang lain ada di sebelah kanan bangunan. Mereka juga bisa bertegur sapa dengan yang lain. Di samping kamarku hanya ada dua kamar, yang di tempati penjaga dan pembantu di sini.Siang itu aku kembali membersihkan diri, kemudian merebahkan badanku di atas ranjang. Bayangan Kenzi tadi siang berdiam dalam benakku. Ah, ada sesuatu yang aku lupakan tapi apa. Sejenak aku mencari apa, oh ... nomor telepon Kenzi, aku melupakannya.Kenzi sudah menyimpan nomor teleponku, akankah dia menelponku. Kenapa aku berharap sekali, pria itu menghubungiku. Tak tau diri sekali diriku ini, siapalah aku ini berharap dia menghubungiku. Ingin tidur, kantuk sepertinya engan menyapapku. Aku pergi saja ke dapur biasanya Mba Mimi dan Mba Marni sedang masak untuk makan malam. Benar saja kedua orang itu tengah sibuk di dapur."Zanna, ngapain main di dapur?" tanya Mba Marni padaku."Mau bantulah Mba, kayak biasanya," jawabku
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p