Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.
Pandanganku lepas keluar jendela mobil, jalanan sore ini nampak padat, mobil yang Pak Rahman kemudikan beberapa kali melambat dan berhenti. Ingin rasanya waktu berhenti juga dan aku tak harus kembali ke tempat itu lagi. Ah, kenapa rasa itu hadir lagi, rasa enggan.Zanna, apa yang kau risaukan sayang? Kehormatan? Sejak kapan orang miskin punya kehormatan. Siapa dirimu harus memikirkan kehormatan, yang perlu kau pikirkan bagaimana hari ini bisa makan, keluargamu punya tempat tinggal.Aku tersenyum getir bahkan diriku sendiri saja seolah telah hilang harapan. Sedikitpun tak kudapati sebuah sinar, yang bisa memberi petunjuk jalan agar lepas dari semua hal ini. Bahkan mimpi indah pun enggan menyapaku. Aku tak memiliki mimpi apapun sekarang.Kemarin anak terbuang ini masih bermimpi tentang banyak uang dan hidup senang. Tapi, tidak untuk sekarang, semua yang kudapatkan sedikitpun tak membuat hati ini bahagia. Rasanya justru semakin sakit, kala Mama Ella melepasku dengan airmata.Wanita itu sudah tak setangguh dulu, yang mampu bekerja dari pagi hingga petang, dari buruh cuci setrika, tukang pijat, hingga pekerjaan serabutan lainnya. Usia telah mengikis tenanga yang dimilikinya.Kedua anaknya juga tak bisa banyak membantunya. Kakakku Ridwan, selepas kecelakaan dua tahun lalu, kondisinya tidak kunjung membaik, aku tak tau kenapa, padahal sudah operasi beberapa kali. Tapi cidera di kepalanya cukup parah katanya.Sedangkan Kak Mutia, suaminya pergi meninggalkannya begitu saja, dengan sepasang anak kembar yang masih kecil. Miris sekali rasanya, kenapa nasib baik tak maunsekalipun menyapa. Mereka orang baik, mereka memperlakukan diriku seperti keluarga yang sebenarnya, sebagai anak sebagai adik.Hanya untuk itu, sedikit asa yang tersisa dalam diriku. Memberikan senyuman pada dua keponakanku, teringat betapa senangnya mereka saat kubawakan banyak mainan waktu itu. Baju baru, susu dan banyak makanan. Dadaku sesak sekali, apa yang sekarang aku rasakan, aku tak memahami."Neng Zanna, kenapa?" tanya Pak Rahman lagi, mungkin dia mendengar isakku. Aku tak pernah menangis selama ini, aku terima semua yang sudah menjadi takdirku. Tapi entah mengapa setelah malam itu, rasanya lain. Aku tak tau ..."Nggak papa Pak, masih rindu saja sama keluarga, kan dah berapa bulan nggak ketemu, ketemu cuma sebentar," jawabku."Dari dalam hati Bapak, tidak tega rasanya melihat Neng Zanna, tapi kita hanya orang miskin, tidak bersekolah tinggi, tidak tahu mesti gimana lagi," ucap Pak Rahman.Aku tertawa hambar."Ya begitulah Pak, jangankan sekolah, buat makan aja kagak ada, bisa sekolah sampai SMP saja karena sekolahnya gratis.""Neng yang sabar, Bapak cuma bisa mendoakan, Bapak juga bekerja di sana karena hutang budi dan hutang uang, kalau tidak lebih baik kerja lain, hati tenang," cerita Pak Rahman.Kami memiliki kisah pedih masing-masing, dan aku anak terbuang ini sedang memulai kisah baru, babak baru dalam hidupku. Tak ada lagi mimpi, semua akan kujalani, mengikuti alur hidup, karena keadaan memaksaku memilih jalan ini.Tak ada jaminan aku kan baik-baik saja, bila kumemilih lari. Dunia luar tak kalah kejamnya, setidaknya itu yang sering aku dengar. Apalagi dengan kelebihan fisik dan rupa yang aku miliki, bisa jadi bukan menjadi keberuntunganku tapi nasib malangku.Apa bedanya dengan yang kujalani sekarang, permasalahan orang miskin semua sama, uang. Disini aku lebih mudah mendapatkannya, pelanggan Mami Erna juga bukan orang sembarangan. Paling tidak aku akan melayani pria-pria bersih dari kalangan atas.Ingatanku kembali pada pria muda itu, ada rasa geli dan sedih mengingatnya. Apa kabar dengannya, apa dia masih mengingatku. Ah, mana mungkin dia mengingatku, dan untuk apa juga mengingat diriku. Aku tersenyum kemudian menertawakan perasaanku sendiri.Setelah cukup lama, karena jalanan macet sore tadi sampai juga di gerbang neraka. Bukan, bukan pintu surga, karena di sana akan kudapatkan surga duniaku. Mobil masuk ke garasi belakang rumah besar itu.Aku hanya membawa sebuah koper kecil berisi baju dan segala perlengkapan. Menariknya pelan, berjalan mengekor Pak Rahman yang membawaku ke ruang kerja Mami Erna. Pria bertubuh jangkung itu mengetuk pelan, terdengar suara yang menyuruh kami untuk masuk.Pak Rahman hanya membukakan pintu untukku kemudian pamit. Aku melangkah pelan, selain Mami Erna ada seorang pria yang duduk di depannya. Matanya memindaiku dari atas kebawah."Ini, yang yang Kak Er maksud barang baru, premium ini," ucap pria itu pada Mami Erna, tanpa melepas pandangannya dariku."Iya, baru lepas segel minggu kemarin," jawab Mami Erna. "Sana, hubungi relasi kamu yang royal, mumpung masih anget.""Hahaha, gampanglah itu Kak." Pria itu berdiri dan berjalan ke arahku. Tangannya memegang daguku, matanya liar memindaiku."Aku bawa dulu lah semalam," ucap pria itu kemudian kembali duduk. Mami Erna terdiam terlihat memikirkan sesuatu."Kalau belum aku nyoba sendiri, mana bisa promo hahahha," ucap pria itu lagi."Huh, modus aja kamu kalau ada barang baru," balas Mami Erna. Pria itu terkekeh."Malam ini, kamu layani Bara, dia adikku, beruntung lagi kamu dapat laki-laki tampan," ucap Mami Erna padaku. Aku hanya mengangguk pelan."Taruk barangmu sana, lalu kesini lagi," suruh Mami Erna padaku. Aku kembali mengangguk dan kemudian beranjak keluar. Sebuah kamar di bangunan belakang menjadi tempat untukku beristirahat selama ini. Sebuah ranjang kecil, lemari dan meja rias serta nakas.Adik Mami Erna? Ah, bagaiman ini. Aku masih perawan, kalau dia menggauliku dan mendapati diriku masih perawan, apa yang akan terjadi.Yang pasti dia akan puas karena mendapatkan keperawananku, tapi apa ada jaminan dia tak mengatakan hal ini pada Mami Erna. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.Aku berjalan mondar mandir dalam kamar kecil itu, mencari ide untuk mengatasi masalah ini. Pandanganku tertuju pada pembalut di dalam kantong plastik yang tergantung di balik pintu. Kuambil dua buah dan memasukkan kedalam tas. Aku mengaku saja baru dapat haid setelah berhubungan dengan pria itu. Pasti darahnya sama saja bukan.Sepasang pakaian dalam juga aku masukkan dalam tas, bergegas aku keluar kamar dan kembali ke ruang Mami Erna sebelum dia memarahiku karena lama menunggu.Pria itu membukakan pintu, saat aku mengetuknya."Kak, langsung aku bawa, ya. Besok aku kembalikan," ucap pria itu menoleh ke dalam ruangan."Iya, sudah sana. Sehari saja, tak kau kembalikan Kakak suruh Jenny kesana," balas Mami Erni dari dalam ruangan.Pria itu tertawa terkekeh.Tangannya langsung menarikku, setelah menutup pintu ruang kerja Ma
"Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. "Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga."Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut."Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis."Di depan?" Suaranya terdengar kanget."I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku."Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tas
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,
Aku berjalan pelan menuju kamarku, entah mengapa kamarku terpisah sendiri. Anak asuh Mami Erna yang lain ada di sebelah kanan bangunan. Mereka juga bisa bertegur sapa dengan yang lain. Di samping kamarku hanya ada dua kamar, yang di tempati penjaga dan pembantu di sini.Siang itu aku kembali membersihkan diri, kemudian merebahkan badanku di atas ranjang. Bayangan Kenzi tadi siang berdiam dalam benakku. Ah, ada sesuatu yang aku lupakan tapi apa. Sejenak aku mencari apa, oh ... nomor telepon Kenzi, aku melupakannya.Kenzi sudah menyimpan nomor teleponku, akankah dia menelponku. Kenapa aku berharap sekali, pria itu menghubungiku. Tak tau diri sekali diriku ini, siapalah aku ini berharap dia menghubungiku. Ingin tidur, kantuk sepertinya engan menyapapku. Aku pergi saja ke dapur biasanya Mba Mimi dan Mba Marni sedang masak untuk makan malam. Benar saja kedua orang itu tengah sibuk di dapur."Zanna, ngapain main di dapur?" tanya Mba Marni padaku."Mau bantulah Mba, kayak biasanya," jawabku
Tangan itu mengusap lembut punggungku, memberikan sensasi yang berbeda, tautan bibirnya juga kurasa lebih halus dari sebelumnya. Berlahan tapi pasti, aku mulai terhanyut oleh cumbuannya. Kesadaran itu mulai menepi, yang ada hanya nafsu yang menuntut untuk dipuaskan.Tubuhku semakin menghangat, deru nafas berlomba dengan syahdunya lengkuhan hasrat. Aku semakin terbang tinggi, melayang dalam rasa yang tak bisa aku gambarkan. "Kamu milikku," bisiknya.Hasrat sudah terpetik, semua sudah dimulai, dan harus ada penyelesaian dalam permainan ini. Ketika semua yang melekat dalam tubuh ini luruh satu persatu, selaras dengannya luruh juga asa yang masih tersisa. Tak ada keajaiban kembali, yang ada hanya kenyaataan bahwa semua akan berakhir dan berawal pada malam ini.Dalam sekejap, nafsu terkutuk sudah membekapku, menguasai sepenuhnya sadarku. Menjadi gila akan lebih baik, hingga tak ada rasa terpaksa. Rela atau tidak tak penting lagi, jadi aku tak akan menyiksa diri lagi.Ini pertama kalinya,
Mataku terasa berat untuk dibuka, kulihat sekeliling, aku sudah berada di dalam kamar. Sepertinya aku tertidur semalam saat bercerita tentang kelamnya kisahku. Berarti, pria itu yang mengangkatku sampai di sini. Kepalaku masih terasa sakit, menangis semalam sepertinya membuatnya terasa berat.Untuk kesekian kalinya aku terselamatkan, tapi, entah sampai kapan. Apa yang Tuhan rancanakan untukku? Akankah ada hal manis yang bisa kudapatkan. Atau, nasib baik sudah mulai mau menyapaku. Semoga saja begitu, meski aku takut untuk melambungkan sebuah pengharapan.Aku masih takut untuk bermimpi atau pun berharap untuk aku bisa terbebas dari situasi ini. Seperti sebuah hal yang mustahil untukku. Dan lagi aku juga tidak tau apa yang aku bisa lakukan di luar. Apakah hidupku akan menjadi lebih baik, tidak ada jaminan untuk gadis miskin sepertikuAku beranjak pelan, menuju kamar mandi. Mataku terlihat bengkak akibat menangis tadi malam. Kubasuhkan air hangat ke wajah kuyuku. Setidaknya mencuci muka
"Sudahlah, kita lanjutkan nanti. Habiskan sarapanmu, aku mau mandi dulu." Bara meneguk tehnya, kemudian turun dari kursinya. Diraihnya kepalaku dan mengecupnya, sebelum beranjak ke kamar. Roti di tanganku masih tersisa separuh sebenarnya. Tadi, masih bisa kurasakan nikmat, akan tetapi, entah sekarang kenapa berubah menjadi hambar.Aku memaksanya masuk kedalam mulut dan menekannya dengan teh hangat yang tadi Bara buatkan untukku. Apa yang pria itu ucapkan memang benar adanya, mungkin hari ini aku selamat, siapa yang bisa menjamin, esok akan terulang lagi keajaiban ini. Tidak ada jaminan untuk hal itu, semua pasti akan terjadi sesuai dengan yang seharusnya. Semua hanya soal waktu saja.Langkahku gontai, menuju kamar. Terdengar suara air dari arah kamar mandi. Aku mengambil tasku dari atas nakas. Kemudian keluar, menuju kamar satunya yang berada tepat di depan kamar Bara. Melempar tasku ke atas ranjang dan melangkah ke kamar mandi.Air hangat yang mengalir membasahi tubuhku, sedikit mer
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p