Kiana tergesa-gesa di Lorong Istana. Dia sedikit berlari setelah mendengar berita hari ini. Elisa sudah bangun dari tidurnya. Itulah yang didengarnya dari tabib baru-baru ini. Padahal belum ada sejam dirinya meninggalkan gadis itu.
Sebenarnya bukan hanya itu, ada yang lebih mengejutkan lagi. Maka dari itu ia ingin melihat dengan matanya sendiri. Ia tidak bisa mempercayai tabib itu tanpa adanya bukti.
"Tidak mungkin!" ucap Kiana saat sudah berada di sana. Kedua tangannya refleks menutup mulut setelah melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Ia benar-benar tidak bisa mempercayainya.
Seorang gadis telah duduk dan tersenyum manis padanya. Padahal baru beberapa jam yang lalu, ia melihat Elisa masih terbaring lemah. Bahkan wajahnya begitu pucat. Namun, sekarang sepertinya berbalik arah. Wajah gadis itu sudah cerah kembali. Tak hanya itu, apa yang dikatakan tabib tadi benar adanya. Luka di tubuh Elisa telah hilang tak berbekas.
Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana mungkin luka sebesar dan separah itu bisa menghilang? Bahkan kulitnya tak sedikit pun ada bekas dari luka tersebut.
'El, kapan kau bangun?" tanya Kiana mendekati gadis yang masih tersenyum padanya.
"Baru saja Kia, berapa lama aku tertidur?" tanya Elisa.
Kiana tidak tahu sudah melewatkan waktu berapa lama. Selama ini ia hanya merasa sedang tidur. Dalam tidurnya ia bertemu dengan seorang pria, tapi tak dapat mengenalinya. Wajah pria itu tertutup oleh cahaya putih.
"Dua hari, kau sudah tidak sadarkan diri selama itu."
Kiana memperlihatkan dua jarinya ke arah Elisa, lalu duduk di samping gadis tersebut. Menatap Elisa dengan penuh tanda tanya. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Apa karena dirinya yang menaburkan bubuk itu? Apa tangannya bisa menyembuhkan luka?
Pikirannya teralihkan dengan pernyataan Elisa yang membuatnya melongo.
"Benarkah? Aku pikir sudah sebulan," ujar Elisa tanpa dosa.
Jawaban dari gadis itu benar-benar membuatnya terkejut. Bahkan dirinya menggelengkan kepalanya pelan.
"Kau kira dua hari itu sebentar El? Kau harus tahu jika aku begitu khawatir kau tak bisa diselamatkan, apalagi melihat luka-lukamu yang tak bisa mengering, meskipun kami sudah menggunakan ramuan yang mujarab," keluh Kiana dengan nada sedikit sedihnya. Wajahnya pun dibuat sesedih mungkin, hingga air matanya lolos begitu saja.
Sedangkan Elisa hanya memutarkan kedua bola matanya jengah. Teman barunya itu tidak bisa berakting seperti itu. Orang awam saja tahu jika Kiana sedang berbohong tentang air matanya.
"Bagaimana lukamu bisa sembuh, El?" tanya Kiana, mengusap air mata yang hanya sebulir saja. Elisa menyentuh di mana lukanya berada, tapi sekarang tidak ada lagi. Bahkan kulitnya lebih terasa halus dibandingkan sebelumnya. Ia juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Setahu dirinya, ia tidak pernah mengeluarkan sihir yang bisa menyembuhkan luka. Apa saat dirinya tidur, ia mengobati diri sendiri?
"Hei, kenapa kau melamun? Apa ada yang kau pikirkan?" tanya Kiana melihat dengan kening berkerut.
"Ah, tidak. Ramuan apa yang kau berikan padaku?" tanya Elisa balik.
"Ini, bubuk ini yang kami gunakan El," ujar Kiana sambil memberikan sisa bubuk berwarna abu-abu di dalam botol kaca.
"Bubuk apa ini?" tanya Elisa lagi.
Dirinya mengamati bentuk botol itu, hingga mencium bubuk tersebut dari botolnya. Tidak mungkin bubuk seperti ini bisa menyembuhkannya. Ini hanya bubuk abu-abu biasa. Memang benar jika bubuk tersebut bisa menyembuhkan luka biasa, tapi luka yang didapat Elisa bukanlah luka biasa, tapi luka yang disebabkan oleh racun dari sihir. Itulah mengapa lukanya tak bisa sembuh dan kering dalam dua hari ini.
"Itu terbuat dari ekstrak daun dan buah Basella. Kau tahu tanaman itu bukan?" jelas Elisa.
Kiana tahu betul kegunaan tersebut. Namun, satu kegunaan yang tak ia jabarkan pada mereka. Tanaman merambat dengan daun berbentuk hati tersebut juga bisa digunakan sebagai pembuat halusinasi bagi siapa saja yang meminumnya. Tidak main-main, yang digambarkan adalah ketakutan masa lalu orang itu.
"Apa bubuk itu bisa sehebat ini? Aku tidak pernah melihat hal seperti ini. Bahkan kulitmu terlihat lebih segar dan lembut, El," ujar Kiana menyentuh tangan Elisa.
Elisa benar-benar terkejut. Saat masuk ke dalam kamar tadi, ia pikir hanya matanya saja yang salah, tapi setelah lebih dekat, memang benar. Matanya tak salah melihat kelembutan kulit Elisa yang putih bersinar itu.
"Aku tidak tahu, tapi aku berterima kasih karena kalian telah menyembuhkanku, bahkan membiarkanku berada di istana untuk beberapa hari ini," ujar Elisa tulus.
Kiana dengan tulus mengucapkannya. Seandainya saja dirinya tak bertemu dengan orang baik, mungkin sejak awal tubuhnya telah dimangsa oleh binatang buas di hutan.
"Kau tidak perlu sungkan, El. Harusnya aku yang berterima kasih, karena kau sudah kembali," ujar Kiana.
Kiana tidak ingin kehilangan teman seperti Elisa. Baginya, Elisa adalah gadis yang baik. Apalagi sekarang ia tahu jika Elisa adalah seseorang yang penting dalam kehidupan sang Alpha.
"Aku senang kau masih bisa bangun. Kami sudah tidak tahu lagi cara membangukanmu. Semua ramuan penyembuh sudah digunakan, tapi tak bisa menutup luka tersebut," Kiana menjelaskan pada Elisa.
"Terima kasih," ucap Elisa menyentuh punggung tangan Kiana yang tak kalah halus dari kulitnya.
"Sama-sama," jawab Kiana, "bagaimana dengan tubuhmu? Apa masih ada yang sakit?" tanya Kiana.
Elisa menggerakkan tubuhnya perlahan, tapi tidak merasakan apa pun. Yang ia rasakan hanyalah rasa segar dan sepertinya tenaganya kini sedikit bertambah.
Saat memutarkan kepalanya ke arah samping jendela, sekilas dirinya melihat bayangan seseorang. Ia tidak tahu siapa itu. Yang pasti, bayangan itu adalah seorang pria. Keningnya sedikit mengerut ketika tidak merasakan aura apapun saat ini. Padahal, bayangan itu masih saja bersembunyi di balik pohon besar. Apa ada kaum lain yang datang ke sini? Bayangan hitam itu bukanlah kaum werewolf. Ia tahu jelas bagaimana aura seorang werewolf.
"El, apa yang kau lihat?" tanya Kiana yang sejak tadi memperhatikan gadis itu.
Matanya beralih ke arah luar jendela. Namun, tak mendapatkan apapun yang menarik untuk dipandang. Hanya ranting-ranting pohon besar yang hampir saja mengenai jendela tersebut. Mungkin, ia akan memerintah salah seorang prajurit untuk merapikan pohon itu.
"Hei, kau tak menjawab pertanyaanku," ujar Kiana lagi setelah tak mendapat jawaban dari Elisa.
"Eh, iya. Apa pertanyaanmu tadi?" tanya Elisa berbalik melihat ke arah Kiana, lalu kembali menatap pohon besar itu sebentar.
Bayangan itu telah hilang. Elisa kembali memikirkan siapa pria itu. Mengapa ia berada di sini? Seperti mengintai sesuatu saja. Apa pria itu memang dari pack ini?
"Apa ada seseorang di luar sana?" tanya Kiana penasaran. Sejak tadi, gadis itu selalu melihat ke luar jendela. Entah apa yang dilihatnya.
"Tidak, aku hanya senang dengan pohon itu, sangat besar," ujar Elisa, merentangkan kedua tangannya memperagakan bagaimana besarnya pohon tersebut.
"Hahaha. Kau begitu lucu, El. Aku yakin raja dan ratu akan begitu senang mengenalmu. Ayo, kita ke tempat mereka," ajak Kiana, membuat Elisa membeku seketika.
"Untuk apa? Apa raja dan ratu ingin bertemu denganku?" tanya Elisa pura-pura ketakutan. Padahal, dirinya begitu senang bisa mengenal mereka. Itu artinya ia bisa lebih dekat dan mengetahui situasi kerajaan secara cepat. Dengan begitu, balas dendamnya akan cepat tuntas.
"Kau takut?" tanya Kiana melihat tingkah Elisa yang sedikit kikuk. "Kau tak perlu takut, raja dan ratu hanya ingin bertemu dengan calon Luna," ucapnya lagi.
"Luna? Maksudnya apa?" tanya Elisa.
"Nanti juga kau akan tahu, ayo kita harus pergi sekarang. Mereka sedang menunggu di sana." Kiana menarik tangan Elisa agar bisa berdiri dan berjalan lebih cepat. Ia tidak ingin dimarahi oleh raja dan ratu, karena memang sejak tadi keduanya sudah tidak sabar ingin bertemu Elisa, sang gadis penyelamat putri mereka.
Sampai mereka tiba di pintu tinggi yang dijaga oleh para warrior, jantung Liana berdetak hebat ketika pintu itu semakin terbuka lebar. Perasaannya campur aduk. Ada rasa takut sekaligus senang dalam dirinya.
Di dalam sudah ada tiga orang yang menatap kedatangan Elisa dan juga Kiana. Dua orang tersenyum ramah pada dirinya. Sedangkan satu yang lain, menatapnya tajam. Seakan-akan Elisa hanyalah sampah baginya."Gadis ini yang menyelamatkanmu Kia?" tanya wanita yang duduk disebelah seorang pria. Wanita itu begitu cantik dan juga terlihat masih muda. Dia memakai gaun yang begitu indah. Ditambah sebuah mahkota cantik bertengger di kepala wanita tersebut. Siapa lagi kalau bukan sang ratu. Wajahnya hampir sama dengan Kiana."lya ratu," ucap Kiana memberi hormat padanya."Salam hormat raja dan ratu," sapa Elisa ketika sudah di depan mereka. Dia merasa begitu familiar dengan tempat itu. Tempat yang tidak pernah diubah sama sekali. Bahkan perabotan yang ada di dalam masih sama. Saat dirinya masih berada di dalam istana Ratusan tahun yang lalu."Kau sangat cantik El," puji wanita bergaun panjang turun dari singgasananya. Elisa hanya bisa tersenyum malu. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan ratu se
"Aku Alpha Daren Gregson dari Lotus pack akan-.""Stop!" teriak ratu. Dirinya melepaskan pelukan raja dan tanpa basa-basi menarik pedang yang berada di pinggang suaminya, menempelkannya pada lehernya sendiri. Matanya menatap sang putra tajam."Ibu!" teriak Kiana melihat ratu yang begitu menakutkan. Gadis itu berlari mendekati sang ratu."Jangan ada yang mendekat!" Teriakan ratu membuat Kiana berhenti saat itu juga. Kepalanya menggeleng pelan, berharap ibunya tak melakukan hal aneh."Ibu, Kiana mohon jangan lakukan itu," pinta Kiana mulai terisak. Namun, ibunya tak menghiraukan Kiana. Bahkan kini, pedang itu semakin mendekat ke lehernya."Jika kau mengeluarkan kata itu, maka ibu akan memutuskan leher ini sekarang juga!" ancam ratu, membuat raja bergidik.Tidak hanya itu, putrinya juga merasa takut. Meskipun ia tahu ratu hanya mengancam, tapi tetap saja dirinya takut jika ibunya berbuat nekat."Daren, jika leher ibumu sedikit saja tergores, ayah akan membunuhmu!" geram raja pada putrany
"Lepaskan Ren!" teriak Valeri. Dia mengayunkan tangannya yang ditarik oleh pria yang menjadi kekasihnya sekaligus sang Alpha. Cekalan pria itu terlepas, tapi hanya sebentar saja. Ketika tangan itu terlepas, dengan cepat dirinya dibawa ke pelukan Daren. Pria itu berusaha menenangkan Valeri dalam pelukannya. Dia tidak ingin kekasihnya mengamuk di istana, karena bisa merusak barang-barang di sana. Terlebih lagi, Valeri adalah serigala yang kuat. Oleh karena itu, ia memilih gadis tersebut menjadi kekasihnya, berharap bisa menjadi luna pack ini kelak."Dengarkan aku, Val," ucap Daren masih berusaha menenangkan wanita itu.Plak. Sebuah tamparan mengenai wajah sang wanita. Valeri terdiam sambil menatap Daren, terkejut karena kekasihnya baru saja menamparnya."Maafkan aku, jika tidak begitu, kau tak akan tenang," ucap Daren menyesal. Dia tidak pernah memukul Valeri sedikit pun sebelumnya, bahkan ini adalah yang pertama kalinya. Dan itulah mengapa ia sangat menyesal. Valeri pasti akan sangat m
"Bukankah ini," ucap Elisa terputus. Dia tak menyangka jika bunga berwarna biru kehitaman itu ada di pack Daren. Setau dirinya, bunga itu hanya ada di dunia sihir dan tidak bisa tumbuh di tempat lain. Namun, hari ini dia melihat dengan matanya sendiri jika bunga itu bisa hidup dan tumbuh subur.Sementara itu, mereka sedang berada di dunia werewolf. Tidak mungkin bunga itu begitu saja tumbuh tanpa campur tangan sihir. Namun, Elisa tidak melihat ada sihir di sekitar bunga berdaun tunggal tersebut. Lalu, dari mana tanaman itu tumbuh?Dia harus menemukan jawabannya nanti. Sekarang, dirinya ingin menyentuh bunga tersebut. Sedikit lagi tangannya mengenai bunga itu, tapi tak bisa. Tiba-tiba saja Kiana menarik tangannya sedikit kasar."Maaf. Itu tidak boleh disentuh, Li. Kau hanya akan membuat tanaman itu mati," ujarnya."Kenapa?" tanya Elisa."Tanaman itu tidak bisa disentuh oleh makhluk lain. Hanya penyihir saja yang bisa menyentuhnya. Jika selain itu, maka bunga itu akan layu dan khasiatny
Seseorang masuk dengan tergesa-gesa bersama dua orang yang lain. Mereka bertiga bertingkah sombong, mengangkat dagu mereka tinggi-tinggi seakan menjadi penguasa pack."Apa yang kau lakukan di sini!" teriak salah satu dari mereka."Ada apa? Kau tak lihat kami sedang membuat ramuan untuk raja dan ratu," kesal Kiana.Kiana begitu kesal melihat wajah Valeri yang angkuh. Tatapan tak bersahabat pun diberikannya. Sedangkan Elisa mengambil beberapa botol untuk meletakkan ramuan yang sudah jadi. Dia mengisi botol-botol tersebut dengan penuh dan menyimpan beberapa botol di tas miliknya.Baru saja ingin mengisi kembali botol yang kosong, tangannya terhempas begitu saja. Wadah berisi ramuan yang berwarna merah itu tumpah seketika. Tidak hanya itu, botol-botol yang berada di tangan Elisa pun pecah karena jatuh ke lantai."Apa yang kau lakukan!" teriak Kiana sambil menggenggam tangan Valeri.Dia menarik paksa Valeri untuk keluar, namun Valeri tidak ingin. Malah gadis itu kembali berjalan menuju Eli
Pintu ruangan terbuka paksa kembali. Seorang pria dengan kedudukan tinggi datang menghampiri beberapa orang yang sedang berkumpul. Dia datang dengan tergesa-gesa, dadanya terasa sesak. Wajahnya terlihat sedikit khawatir, meskipun tidak tahu apa yang membuatnya khawatir. Yang ia rasakan hanyalah rasa khawatir dan sedikit kesakitan saat ini, meskipun hanya sebentar."Apa yang terjadi di sini?" tanya Daren sambil menyentuh dadanya yang masih terasa perih. Dia berjalan mendekati adiknya dan beberapa tabib di sana. Semakin mendekat, rasa sakit semakin terasa. Saat itu juga, dia melihat seorang gadis lemah di sana, menatapnya dengan tatapan penuh kesakitan. Tubuhnya bergetar hebat, air mata sudah membasahi wajahnya. Salah satu tangannya berada di dalam sebuah ember berisi air yang mendidih."Apa yang kau lakukan!" Refleks Daren teriak ketika melihat air tersebut semakin mendidih. Sontak saja, dia bergerak cepat mendekati Elisa, menyentuh dan menarik tangan gadis itu keluar dari air dengan c
Elisa berjalan di sebuah taman, tempat yang tak pernah berubah sejak terakhir kali ia berada di sana. Bahkan tanaman yang ada masih tetap berada di sana. Bayangan dua pasangan yang sedang bercengkrama terlintas di salah satu bangku. Sang wanita duduk di bangku panjang dengan seorang pria yang tidur dipangkuannya. Namun, tiba-tiba saja kedua insan itu menghilang dari pandangannya. Elisa tersenyum kecut ketika mengingat semua kenangan indah di taman tersebut.Elisa menghirup udara di sore hari itu. Masih sama terasa begitu menyegarkan. Angin kecil meniup-niup rambutnya hingga bergerak tak beraturan. Tangannya menyentuh bangku panjang dan merasakan tekstur bangku yang tak pernah berubah itu. Sepertinya taman ini dirawat dengan baik oleh mereka."Akhhh," ringis Elisa ketika tak sengaja tangannya yang terluka menyentuh bangku itu."Berhati-hatilah."Kalimat itu tiba-tiba datang dari arah belakang Elisa. Ia menoleh ke arah sumber suara. Keningnya mengerut ketika melihat siapa yang datang.S
"El!" teriak Kiana. Gadis itu berjalan cepat menuju ke arah Elisa. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir. Sejak tadi dia sudah mencari keberadaan Elisa. Dirinya benar-benar khawatir pada gadis itu. Dan sekarang, bisa-bisanya Elisa dengan santai berdiri di dekat bangku taman dengan luka yang terbuka seperti itu. Apa dia tidak takut jika lukanya kembali menyebar?Sementara itu, tanpa sadar, Elisa menyimpan botol ramuan di tangannya ke dalam tas kecil yang selalu dibawanya kemanapun. Meskipun sebenarnya ia begitu penasaran dengan pria itu, tapi ia tidak ingin ketahuan oleh Kiana. Suatu saat ia pasti akan bertemu dengan pria bernama itu lagi. Ia akan pastikan itu. Ia belum bisa memberitahukan pada Kiana, apalagi bercerita tentang pria tadi. Jika Kiana tahu, kemungkinan keselamatan pria yang bernama X tersebut bisa saja celaka. Meskipun ia belum tahu siapa X sebenarnya, tapi ia merasa begitu dekat dengan pria itu."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kiana lagi setelah sampai di hadapan
Tentu, berikut paragraf yang lebih rapi:Aroma khas ikan bakar memenuhi udara, membuat perut keduanya bergemuruh lapar. Mereka sama-sama tak sabar untuk mencicipi hidangan itu.Elisa duduk di dekat perapian, matanya terus terpaku pada ikan yang tengah dipanggang. Air liur tak henti mengalir, dan matanya tak berkedip sejenak pun. Api- api perapian memanggilnya, mengeluarkan aroma khas ikan yang membuatnya semakin lapar.Melihat bahwa ikan-ikan tersebut telah matang, Daren segera mengambil satu dan menusukkannya dengan sebatang ranting pohon. "Silakan, cicipi," kata Daren saat menawarkan ikan tersebut kepada Elisa. Daren tahu Elisa tak bisa melepaskan pandangannya dari ikan yang telah matang. Aromanya yang menggoda membuatnya terus merasa haus.Setelah menawarkan ikan, Daren kembali ke tempat semula. Waktu sudah menjelang senja, dan udara menjadi semakin dingin setelah panas siang tadi. Angin pun semakin kencang, memaksa mereka untuk tetap berdekatan dengan api.Namun, Elisa masih belu
"Wah ini indah sekali!" Elisa terlihat kagum dengan apa yang ada di depannya. Hingga dirinya tak tahu telah mendorong Daren sehingga pria itu menjauh darinya. Detik kemudian ia tersadar. Dirinya mulai melototkan matanya. Tersadar dengan apa yang telah dilakukan. Tidak hanya itu, ia juga memutarkan tubuhnya perlahan menghadap Daren. Pria itu menatapnya tak percaya. Matanya begitu tajam melihat gadis tersebut. Elisa hanya bisa cengengesan karena hal tersebut. Dia sebenarnya bingung dengan sikap pria itu. Apakah marah atau tidak?Sementara itu, Daren yang telah kembali pada tubuhnya kesal dengan Greg. Bisa-bisanya ingin berganti shift tanpa berbicara dengannya. Ia rasa wolfnya sedang marah saat ini."Kau marah?" tanya Elisa dengan polosnya. Daren terus menatap gadis itu. Dia sedikit bingung pada Elisa. Menurutnya gadis itu plin plan. Terkadang bersikap baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Terkadang bersikap layaknya seorang musuh. Saat memikirkannya, sebuah ide pun muncul dari pikiran D
Seorang pria sedang berdiri diam sejak tadi tanpa ada pergerakan. Gelar alpha terkuat yang melekat padanya tidak mempengaruhi keadaannya. Pria itu terus menatap gadis yang sedang tersenyum pada pria lain. Tatapannya begitu menakutkan, bahkan beberapa warrior di sekitarnya merasa ketakutan karena aura yang dikeluarkannya. Daren melangkah mendekati gadis itu, tidak tahan dengan adegan yang menurutnya sangat tidak menyenangkan. Ia melangkah tanpa memperdulikan tatapan aneh orang-orang di sekitarnya. Ketika sudah sampai, ia dengan kasar menangkap leher rogue yang sedang terikat. Elisa yang berada di samping terkejut dan terhuyung beberapa langkah. "Apa yang kau lakukan!" teriak Elisa saat menyadari apa yang dilakukan oleh Daren. Pria itu dengan kasar mencekik rogue yang tidak bisa bergerak. Daren menahan pria itu dengan tangan di lehernya sambil mengangkatnya dari tanah. Wajah rogue itu sudah pucat, tanpa ada darah yang mengalir. Matanya melotot seolah-olah ingin keluar dari lubangnya. El
Semua orang telah berkumpul di lapangan, termasuk Elisa dan anggota kerajaan. Mereka semua menantikan acara pengumuman kontes yang telah berlangsung selama satu minggu. Kinan juga sangat antusias pada acara ini. Semua peserta berkumpul dengan antusias untuk mengetahui siapa pemenangnya, termasuk Elisa dan Kiana yang berharap bisa menjadi yang terbaik.Elisa merasa bahwa hadiah yang dia dapatkan tidaklah penting. Yang dia inginkan adalah diakui kemampuannya oleh semua orang. Dia ingin mendapatkan penghormatan dan rasa takjub dari mereka. Meskipun dia telah menjadi Luna, tetapi masih ada rakyatnya yang belum sepenuhnya menerima keberadaannya sebagai pasangan pemimpin mereka."Hai, aku yakin kita akan menang, El," ujar Kiana mendekati Elisa dengan kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Kebahagiaan itu menular pada Elisa dan membuatnya tersenyum bahagia. Mereka berdua yakin bahwa mereka akan menjadi pemenang. Tidak banyak rogue yang bertahan sampai akhir kontes, hanya beberapa yang berha
Warna air yang semula bening berubah menjadi sedikit kemerahan akibat darah yang menempel pada kain itu. Seorang gadis terlihat sangat telaten dalam membersihkan lukanya. Terkadang, raut wajahnya tampak lebih garang dari biasanya, dan mulutnya komat-kamit seperti seorang dukun yang sedang membaca mantra. Sesekali, tangannya menyeka kulit pria itu dengan kasar."Pria sialan! Seharusnya kau mati, bukan tertidur. Hanya membuatku terbebani saja," ujar Elisa sambil memasukkan kain ke dalam air yang telah tercampur dengan darah Daren.Sudah tiga puluh menit Elisa berada di ruangan itu, hanya mereka berdua. Tak ada yang menemaninya untuk berbincang, yang membuatnya merasa bosan.Elisa mengambil kain lain untuk menyeka sisa-sisa air yang menempel di tubuh pria itu. Tangannya dengan kasar mengelap di daerah bahu."Ivy, kenapa kau histeris begitu? Ya ampun!" ujar Elisa, merasakan sakit kepala."Kau sangat tidak peka, El! Kau tidak melihat itu? Ya ampun, begitu seksi. Aku ingin menyentuhnya, El!
2 / 2Elisa masih menutup matanya, berpikir sejenak. Apa yang sedang terjadi? Mengapa ia tidak merasakan apa-apa? Apakah ia sudah mati? Setelah menghitung dalam hati, ia membuka matanya perlahan-lahan. Namun, alih-alih menemui keadaan yang diharapkan, ia merasakan kecupan di dahinya yang membuatnya terkejut. Ketika ia menatap, ia melihat Daren tersenyum padanya.Pedang yang tadi disentuh oleh Daren sudah jauh dari dirinya. Ia tidak mendengar suara benda itu jatuh atau tersingkir. Daren tiba-tiba saja terjatuh dan menabrak tubuh Elisa. Terkejut, Elisa langsung menangkap tubuh pria tersebut yang begitu berat. Namun, karena keterbatasan kekuatannya, Elisa tidak bisa menahannya dan akhirnya ikut terjatuh bersama Daren yang telah menutup matanya."Hei, jangan bermain-main!" bisik Elisa dengan suara bergetar di telinga Daren.Namun, pria itu tetap tak bergerak, semakin melemah. Elisa mencoba mengguncang-guncangkan tubuh Daren, tetapi ia tetap tidak bereaksi. Bahkan semakin melemah."Apa kau
Teriakan dari para pejuang bergema di lapangan. Mereka terkejut dengan apa yang terjadi. Alpha mereka terluka.Sementara itu, Elisa semakin menarik pedangnya untuk membuat luka semakin dalam. Berbeda dengan Elisa, Daren tetap tenang. Ia bahkan tampak menikmati gesekan pedang tersebut. Ia tidak memperdulikan darah yang mengalir dari lehernya."El! Berhenti! Kau akan membuat Daren kehabisan darah!" teriak Kiana yang telah memperhatikan pertarungan mereka berdua.Namun, Elisa tidak menghiraukannya. Tanpa sadar, tubuhnya terhuyung ke samping. Kiana mendorong gadis itu dengan kekuatan serigalanya. Ia tidak menyadari tindakannya.Ketika menyadari apa yang telah dilakukannya, ia berlari mendekati Elisa untuk membantu gadis itu berdiri. Ia juga meminta maaf pada Elisa."El, apa yang terjadi padamu?" tanya Kiana ketika berada di depan gadis itu."Kia, kembalilah ke tempatmu. Aku akan menyelesaikan urusan dengan pria gila itu!" ejek Elisa sambil tetap menatap pria di hadapannya yang meremehkann
Daren sangat marah. Elisa belum ditemukan selama lebih dari satu jam. Ia telah menebas beberapa kepala prajurit yang gagal menjalankan tugasnya, termasuk dua pengawal yang telah diperintahkannya satu atau dua hari yang lalu. Tanpa ragu, ia mengayunkan pedang yang masih berlumuran darah prajurit tak bersalah. Para pejuang yang berkumpul di sana merasa cemas melihat teman-teman seperjuangan mereka mati sia-sia. Mereka merasa seperti menunggu kematian yang menjemput mereka, semakin dekat dan dekat."Mengapa kalian membiarkannya pergi begitu saja? Aku sudah mengatakan agar tidak meninggalkan luna kalian sendiri, bukan!" teriak Daren sambil mengayunkan pedang ke arah pejuang lain yang menunggu giliran. Suara pedang menyambar, dua kepala terlepas dan darah mengalir dari sayatan di leher mereka seperti air yang deras.Daren menghentikan gerakan pedangnya setengah ayunan. Ia merasakan aroma yang dikenalnya dengan baik. Aroma vanilla dan kayu manis yang memikatnya. Daren menoleh ke arah sumber
Greg sibuk bermain dengan para rogue yang semakin banyak menyerangnya, tetapi bukannya takut, ia malah menyeringai dengan senang hati. Meskipun begitu, ia bingung dari mana datangnya mereka semua. Sepertinya mereka tidak pernah habis. Mati satu, muncul lagi yang lain. Tubuhnya sudah dipenuhi dengan bekas cakaran dari para rogue, tetapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk membunuh mereka. Meskipun sudah dua hari bertempur, ia tetap tidak kelelahan. Kemampuannya tidak diragukan lagi. Daren bahkan bisa bertempur selama seminggu hanya untuk mempertahankan wilayahnya.Tiba-tiba, suara sang beta mengganggu Greg. Seketika itu, dia tidak bisa berkonsentrasi. Beberapa rogue bahkan sempat melukainya. Greg mundur sedikit dan menggeram marah pada mereka. Main-mainnya telah hilang. Kali ini, dia akan menyelesaikan semuanya dalam sekejap. Dia bahkan mengaum keras sehingga terdengar oleh seluruh kaum werewolf yang ada di sana. Tanpa menunggu lagi, dia menerjang rogue-rogue di sana.Dia mencakar d