Alisya pulang ke rumahnya dengan keadaan basah kuyup, ditemani oleh Yogi.
"Kakak!" Aura langsung berlari ke arah Alisya yang menggigil, berselimut jaket milik sang kekasih.
Alisya berjalan dengan kepala menunduk.
Ia melewati ruang tamu begitu saja, meninggalkan adik yang terlihat begitu mengkhawatirkannya. Di sudut matanya, ia bisa melihat ada beberapa orang duduk di ruang tamu."Aku pamit, ya, Ra," ujar Yogi pada Aura yang hanya bisa mematung menatap kakaknya yang sudah naik ke atas tangga.
Aura mengerjap, menyadarkan dirinya sendiri.
"Iya, Kak. Makasih udah anter Kak Lisya," ucap Aura sambil memutar tubuhnya menghadap Yogi.
"Sama-sama. Aku ikut berduka cita, ya. Yang sabar." Yogi mengusap bahu Aura memberikan kekuatan.
Aura mengangguk. Lagi-lagi air mata mengalir di pipinya.
Yogi menarik Aura ke dadanya. "Udah, kasian orang tuamu di sana. Mereka nggak akan tenang kalau liat kalian terus menangisi mereka."
Aura segera mengusap air matanya. "Nggak, Kak. Aku kuat. Kami semua kuat."
"Anak pintar!" Yogi mengusap puncak kepala Aura.
"Aku pulang, ya."
"Hati-hati di jalan, Kak!" seru Aura ketika Yogi sudah keluar dari pintu.
Yogi hanya melambaikan tangan.
Di kamarnya, Alisya langsung meluruh di balik pintu. Ia kembali menangis. Pulang ke rumah tanpa ada orang tuanya memang sudah biasa, tapi dulu ia tak khawatir, karena ia yakin, mereka akan pulang. Namun sekarang, orang tuanya benar-benar tidak akan pernah pulang lagi ke rumah itu.
"Kak!" Aura mengetuk pintu kamarnya. Alisya segera mengusap air matanya dengan kasar. Ia tidak ingin adiknya melihat ia begitu rapuh.
"Sebentar!" teriak Alisya.
Alisya segera membukakan pintu untuk Aura.
"Kak, Kakek dan Nenek ada di bawah, nunggu Kakak," ucap Aura pelan.
"Iya, nanti Kakak turun. Kakak mandi dulu," kata Alisya berusaha terlihat biasa.
"Oke. Kami tunggu di bawah, ya."
Alisya pun mengangguk.
Aura kembali turun menemui kakek dan neneknya. Sedangkan Alisya segera berlari ke kamar mandi. Ia tahu, orang tua dari papanya itu tidak suka menunggu.
...
"Alisya, Kakek di sini untuk bicara dengan kalian soal kelanjutan hidup kalian. Kami--kakek, nenek serta paman dan bibimu-- sudah berembug tentang bagaimana kalian berdua ke depannya. Kalian akan pindah ke rumah kakek. Kalian akan ada di bawah pengawasan kami secara langsung. Kami yang akan menanggung semua biaya hidup kalian," ujar Kakek panjang lebar.
"Maaf, Kek. Kenapa kami harus pindah? Kami sudah cukup dewasa untuk mengurus diri kami sendiri. Lagipula ada rumah ini, kenapa kami harus tinggal di rumah kakek?" protes Alisya.
"Kalian masih kecil. Masih harus mendapatkan pengawasan. Kalau kalian sudah menikah, baru kami akan melepaskan kalian untuk hidup mandiri. Namun selama kalian masih sekolah, masih kuliah, kalian adalah tanggung jawab kami." Kali ini nenek mereka yang berbicara.
"Tapi, Nek ...."
"Tidak ada tapi-tapian. Kalian nurut aja."
Ini yang Alisya tidak suka dari orang tua ayah mereka. Beliau berdua terlalu mengekang kebebasan anak-anak dan cucu-cucunya. Dan saat ini tidak ada yang bisa Alisya lakukan selain menurut. Sedangkan Aura terlihat tidak keberatan sama sekali.
Alisya akhirnya kembali ke kamar dengan hati sedih dan kecewa. Ia memilih merebahkan tubuhnya dan segera tidur. Tubuh dan jiwanya sangat lelah. Dan benar saja, dalam hitungan menit ia sudah menuju alam mimpi dan meninggalkan semua kesedihannya di alam nyata.
Hari-hari selanjutnya terasa begitu buruk dan membosankan untuk Alisya. Ia dan adiknya mau tidak mau harus pindah ke rumah besar milik kakek dan neneknya. Di sana ia harus beradaptasi dengan semua peraturan baru yang teramat sangat mengekang.
"Jangan terlambat pulang lagi, Kak, nanti Nenek marah," kata Aura pada Alisya yang berniat pergi ke studio bersama teman-temannya.
"Kakak bosan di rumah, Ra. Kakak nggak betah. Baru seminggu aja rasanya Kakak udah nggak bisa bernapas," gerutu Alisya.
"Kakek dan Nenek ingin yang terbaik untuk kita, Kak," bela Aura.
"Bukan buat kita, tapi buat mereka! Udahlah, kamu pulang aja. Kakak tetep mau pergi sama temen-temen Kakak." Alisya langsung masuk ke dalam mobilnya sendiri dan melaju bersama teman-temannya.
Aura hanya bisa menghela napas panjang.
"Sabar, Ra." Tiba-tiba sebuah tangan mengusap lembut bahunya.
"Kak Yogi ...."
Yogi tersenyum lembut.
"Kakak nggak larang Kak Lisya pergi?" tanya Aura.
"Nyanyi itu udah jadi kebutuhan buat Lisya, nggak cuma hiburan. Jadi kayaknya aku nggak berhak larang-larang dia."
"Tapi nanti Kak Lisya bisa kena masalah, Kak," lirih Aura. "Nenek dan Kakek ngelarang Kak Lisya keluar, kecuali buat bimbel."
Yogi mulai gelisah. Sepertinya nenek dan kakek Alisya kurang memahami karakter cucunya itu.
"Jangan khawatir, Ra. Semuanya akan baik-baik aja," ucap Yogi.
...
Alisya mendorong pintu rumah kakeknya pelahan. Ia menengok ke kiri dan ke kanan. Aman. Tak ada seorang pun di sana. Ia beruntung, pintu besar berbahan kayu itu belum di kunci.
Lampu ruang tamu sudah dimatikan. Ia mengendap dalam cahaya remang-remang dari ruangan lain yang lampunya masih menyala. Dilangkahkan kakinya di atas anak tangga sehalus mungkin, agar tidak menimbulkan suara.
"Alisya!" Sebuah bentakan terdengar menggaung di rumah besar itu bersamaan dengan lampu yang menyala.
Alisya langsung mengerjap, menyesuaikan cahaya di matanya.
"Kakek ...," lirihnya. Benar saja kakeknya berjalan dari saklar menuju tangga di mana ia berdiri sekarang.
"Kenapa kamu baru pulang selarut ini?" tanya Kakek tanpa basa basi.
"Aku latihan musik dulu, Kek," jawab Alisya dengan dada berdebar.
"Orang tuamu belum seminggu meninggal, tapi kamu udah keluyuran ke mana-mana!"
"Aku nggak keluyuran, Kek. Aku cuma latihan nyanyi sama temen-temenku," bela Alisya.
"Kamu tuh harusnya belajar, sebentar lagi ujian. Bukannya malah latihan nyanyi!"
"Kek, please! Aku cuma berusaha agar tetap waras setelah semua musibah ini. Apa salahnya aku mencari kebahagiaan di luar sana?"
"Apa orang tuamu tidak mendidikmu dengan baik, sampai kamu berani membantah kata-kata Kakek?!"
"Jangan bawa-bawa mendiang orang tuaku dalam masalah ini. Mereka mendidikku dengan baik, hingga aku bisa membedakan mana orang yang tulus menyayangi kami, dan mana yang tidak."
Kakek sangat marah hingga mengepalkan tangannya.
"Kenapa? Kakek mau pukul aku?" tantang Alisya menggaung di rumah yang sudah sepi itu.
Wajah penuh kerutan itu terlihat merah padam, tapi masih bisa menahan bibirnya untuk tidak mengatakan hal-hal yang akan memperkeruh suasana.
"Kalau udah nggak ada lagi yang Kakek mau sampaikan, aku mau naik ke kamar. Aku capek. Selamat malam." Alisya langsung menapaki tangga, naik ke kamar yang belum lama ia huni.
Alisya membuka pintu kamar dan melemparkan tasnya sembarangan. Ia duduk di sisi tempat tidur sambil terisak.
"Mama ... Papa ... Lisya kangen. Kenapa kalian meninggalkan kami begitu cepat ...."
...
Pagi-pagi sekali Alisya berangkat ke sekolah dengan mengendarai kendaraan roda empatnya. Meninggalkan adik semata wayangnya di rumah.
"Tumben lu udah dateng," sapa Lala, teman sebangku Alisya yang sudah ada di bangkunya.
"Males di rumah," jawab Alisya singkat.
"Adek lu?"
"Tar juga dianter sama sopir."
"Lu ada masalah, ya?" tanya Lala.
"Hidup gue berasa di penjara, La. Gue--"
"Sya! Kita ditawarin manggung di cafe punya om gue!" Tiba-tiba Ridwan muncul di pintu dan berteriak.
"Seriusan? Kapan?" tanya Alisya tidak sabar.
"Malem Minggu besok. Lumayan buat promosi band kita."
"Oke, oke. Gue mau!"
"Mau sih mau, tapi lu bisa keluar nggak?" tanya Ridwan ragu.
"Pasti bisa!"
"Ya udah, gue iyain nih, ya, tawarannya."
Alisya mengangguk pasti. Rasa kesalnya menguap seketika. Ia tak tahu bahwa itu adalah awal dari semua penderitaannya.
Sabtu malam, Alisya makan malam dengan tenang. Ia berlaku seolah-olah dia anak baik yang penurut. Padahal ia sudah merencanakan semuanya dengan matang.Alisya sudah meminta Pak Sapto, satpam kakeknya, untuk meletakkan tangga di bawah jendela kamarnya di lantai dua. Tak lupa juga memintanya untuk membukakan pintu, jam berapa pun ia pulang. Tentu dengan bayaran yang pantas. Sebenarnya bukan uang yang jadi masalah untuk Alisya, tapi kebebasan. Ia menginginkan kebebasan seperti sebelumnya."Maaf, aku masuk kamar duluan," ujar Alisya membuyarkan suasana di meja makan yang sepi."Udah selesai makannya?" tanya Nenek sambil melirik piring Alisya."Udah, Nek," jawabnya dengan meletakkan sendok dan garpu menelungkup di piringnya."Ya, udah." Nenek mengizinkan Alisya naik ke kamarnya.Takut neneknya berubah pikiran, tanpa menunggu lagi Alisya segera melesat ke arah tangga. Ia seger
"Alisya!" Yogi langsung mencekal tangan Alisya sebelum gadis itu berhasil beranjak dari tempat duduknya."Apa sih, Gi?" tanya Alisya malas."Lu sengaja ngejauhin gue, ya?"Alisya memutar bola matanya malas."Gi, gue udah bilang, ya, gue nggak mau dikekang. Jadi stop seolah-olah gue ini pacar yang perlu lu iket kuat-kuat biar gue nggak kabur," ujar Alisya."Gue inget, Sya. Gue paham. Tapi setidaknya lu bisa 'kan ngabarin gue lu kemana aja dan sama siapa.""Emang penting?""Sya, lu tau gue sayang banget sama lu. Lu tuh berharga banget buat gue. Gue nggak banyak ngomong karena gue tau lu nggak suka diposesifin.""Itu lu tau."Yogi menarik napas panjang. Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi kekasihnya itu."Ini beneran lu?" Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya. Disodorkannya telepon genggam yang ia pega
Alisya sampai di tempat kompetisi dengan selamat. Tempat itu sudah ramai oleh para peserta kompetisi. Alisya mencari teman-temannya di antara kerumunan orang-orang itu."Pada kemana sih, tu orang? Apa aku kepagian?" gumamnya seraya melirik pergelangan tangannya. Pukul 07.20. Memang terlalu pagi karena acaranya baru akan dimulai empat puluh menit lagi.Alisya mendengkus. Matanya terus menjelajah, berharap melihat salah satu anggota grup bandnya di sana.Diambilnya smartphone dari dalam tas sambil terus melihat ke kanan dan ke kiri.Dug!"Aduh!" Alisya berteriak sambil mengusap hidungnya yang tidak sengaja menabrak punggung seorang lelaki."Ma-maaf ... aku nggak sengaja," katanya cepat pada lelaki itu.Lelaki itu berbalik. "Kamu!""Lho, Kak Reno?""Ya ampun, Alisya. Pertama k
"Ngajakin makan siang, kok malah ke hotel?" Alisya mulai berpikiran buruk.Reno hanya tertawa kecil."Aku ngajakin makan siang beneran, kok. Tapi makan siangnya di sini," ujar Reno sambil melepas seatbeltnya."Ayo, jadi nggak?" tawarnya lagi.Alisya terlihat ragu. Tangannya mencengkeram seatbeltnya dengan kuat."Kamu takut apa? Ini masih siang tau. Emang aku keliatan kayak penjahat, ya?" tanya Reno."Nggak, bukan gitu, Kak," elak Alisya. "Tapi ....""Aku kasih tau, ya. Aku ajak kamu ke sini buat makan siang. Cuma makan siang. Kenapa makan siangnya di sini, bukan di restoran? Karena di sini ada tempat spesial yang mau aku tunjukin ke kamu." Reno menjeda kalimatnya."Kalau di sini, aku bisa masakin kamu. Spesial buat kamu seorang. Hotel ini punya mamaku," jelas lelaki itu panjang lebar.Mata Alisya membol
"Apakah kamu mau jadi pacarku?" lirih Reno tepat di telinga Alisya.Alisya membeku. Tak percaya dengan apa yang ia dengar."Apakah kamu mau jadi pacarku?" sekali lagi Reno berbisik.Tengkuk Alisya meremang. Keringat dingin pun terasa membasahi punggungnya."Mungkin kamu kaget denger aku ngomong gini sekarang. Tapi aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu. Makanya, aku selalu datang tiap kamu nyanyi di cafe. Aku pengen liat kamu terus, pengen deket sama kamu."Kata-kata manis dari Reno sukses membuat kaki Alisya bagaikan jelly. Rasanya ia tidak menapak tanah saat ini.Belum ada sahutan dari Alisya, membuat Reno memutar tubuh gadis belia itu."Apakah cintaku tak bersambut? Apa kamu nggak suka sama aku?" Reno memberinya pertanyaan beruntun. "Atau karena kamu udah punya pacar?"Alisya langsung menegakkan wajahnya. Tebakan terak
Alisya terbangun ketika langit sudah berganti warna. Ia terbangun dalam keadaan yang sangat memalukan. Tak ada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Dan kini, tubuhnya terasa remuk.Alisya hanya bisa terisak sambil bersandar di headboard tempat tidur. Dan di sampingnya, berbaring lelaki yang baru hari ini resmi menjadi kekasihnya.Ingatannya berputar dan kembali pada peristiwa tadi siang. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia hanya ingat tubuhnya terasa sangat panas, pandangannya tidak fokus, dan tiba-tiba ia merasa hasratnya sangat besar. Ia sangat ingin Reno menyentuhnya, tapi akal sehatnya melarangnya untuk itu. Namun ...Isakan berubah jadi tangis, ketika ia menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Bagaimana mungkin ini bisa menimpanya? Apa dosanya hingga peristiwa ini bisa terjadi?Reno yang mendengar tangis Alisya langsung terbangun. Alisya segera menarik bedcover untuk menutupi tubuhnya hingga seba
"Alisya! Dari mana aja lu?!"Alisya sontak menahan kakinya yang hendak menaiki anak tangga lagi. Ia langsung berbalik ke arah suara itu berasal.Yogi sudah berdiri di dekat tangga dengan Aura berdiri di belakangnya."Kakak macem apa, lu? Lu nggak mikir adek lu khawatir banget sampe nyariin lu kesana kemari?!" Suara Yogi terdengar lantang penuh emosi."Handphone gue ketinggalan di mobil, dan gue pergi sama temen gue pake mobilnya. Udah, gitu doang," jawab Alisya berusaha terdengar datar tanpa masalah."Seenggaknya lu inget kalo lu ninggalin Aura sendiri di rumah. Lu nggak kasian, sama dia? Lu kan bisa ngabarin barang cuma satu dua kata, biar dia tenang!" Yogi masih meluapkan emosinya."Ya, gue salah. Gue minta maaf. Udah, cukup?""Alisya! Lu ....""Udahlah, Gi. Mending lu pulang. Lu nggak ada urusan di sini," potong Alisya.
'Alisya'? Dia bilang 'Alisya'? Gue nggak salah denger, 'kan?Yogi menghentikan langkahnya. Ia berbalik melihat ke arah meja di mana para pemuda itu berkumpul, tapi tak ada kegiatan lain yang menarik, selain tawa dan beberapa ejekan seperti yang terdengar sebelumnya. Tak mereka pedulikan pandangan sinis beberapa pasang mata pengunjung lain yang merasa terganggu.Detik berikutnya, Yogi sudah kembali melangkah."Kayaknya gue salah denger. Lagian kalau bener cowok tadi nyebut 'Alisya', emangnya cuma ada satu nama Alisya di dunia ini?" batin Yogi sambil terus berlalu menuju motornya di tempat parkir.Lelaki itu segera melajukan kuda besinya membelah malam. Hari ini ia sangat lelah, ia hanya ingin berbaring di kasurnya yang nyaman. Semoga mimpi buruk ini segera berlalu, dan besok Alisyanya akan kembali seperti biasa....Alisya keluar dari kelas dengan wajah berseri. Pas
Yogi yang mendapat kiriman video dari Dirga, segera menghubungi sang sahabat. Lelaki itu tidak percaya dengan apa yang sahabatnya kirimkan. Ia berpikir bahwa lelaki yang bersamanya tentu sudah melakukan sesuatu yang jahat pada gadis itu, sehingga Alisya terlihat begitu liar dalam rekaman tersebut. Dengan penuh keyakinan, ia masih saja menganggap Alisya adalah gadis polos yang dimanfaatkan oleh lelaki tak bertanggung jawab. Yogi segera melajukan motor balapnya dengan kencang di malam yang sudah mulai sepi itu. Dalam waktu singkat, ia sudah sampai di hotel milik orang tua Reno. "Dimana Alisya, Ga?" tanya Yogi to the point saat melihat Dirga berdiri di dekat pintu masuk. "Tadi mereka masuk ke dalem. Gue udah minta tolong sama resepsionisnya, nanyain baik-baik, ke kamar mana mereka, tapi nggak dikasih tau," aku Dirga. Dengan langkah lebar, Yogi langsung menemui
Alisya tidak berbohong kali ini. Ia benar-benar belajar ditemani oleh Reno, di kamar tempat mereka bercinta. Dengan kecerdasan yang mumpuni, Alisya dengan mudah dapat menyerap semua pelajaran yang kembali dibahas oleh Reno."Kamu pinter, Sayang," puji Reno sambil mengaitkan beberapa helai rambut Alisya ke telinganya. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Alisya."Tapi aku nggak sepinter Aura," gumam Alisya."Aura?""Iya, Aura, adikku satu-satunya. Dia jauh lebih pinter daripada aku. Bahkan dari dulu papa udah menunjuk Aura sebagai penggantinya suatu saat nanti untuk mengurus perusahaan, bukan aku," kata Alisya sedih."Jangan sedih. Semua orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Adikmu itu, belum tentu punya wajah secantik kamu, 'kan?" hibur Reno. "Dan aku yakin banget, suaranya juga nggak akan sebagus suaramu.""Makasih, Kak. Kata-kata Kakak ngehib
'Alisya'? Dia bilang 'Alisya'? Gue nggak salah denger, 'kan?Yogi menghentikan langkahnya. Ia berbalik melihat ke arah meja di mana para pemuda itu berkumpul, tapi tak ada kegiatan lain yang menarik, selain tawa dan beberapa ejekan seperti yang terdengar sebelumnya. Tak mereka pedulikan pandangan sinis beberapa pasang mata pengunjung lain yang merasa terganggu.Detik berikutnya, Yogi sudah kembali melangkah."Kayaknya gue salah denger. Lagian kalau bener cowok tadi nyebut 'Alisya', emangnya cuma ada satu nama Alisya di dunia ini?" batin Yogi sambil terus berlalu menuju motornya di tempat parkir.Lelaki itu segera melajukan kuda besinya membelah malam. Hari ini ia sangat lelah, ia hanya ingin berbaring di kasurnya yang nyaman. Semoga mimpi buruk ini segera berlalu, dan besok Alisyanya akan kembali seperti biasa....Alisya keluar dari kelas dengan wajah berseri. Pas
"Alisya! Dari mana aja lu?!"Alisya sontak menahan kakinya yang hendak menaiki anak tangga lagi. Ia langsung berbalik ke arah suara itu berasal.Yogi sudah berdiri di dekat tangga dengan Aura berdiri di belakangnya."Kakak macem apa, lu? Lu nggak mikir adek lu khawatir banget sampe nyariin lu kesana kemari?!" Suara Yogi terdengar lantang penuh emosi."Handphone gue ketinggalan di mobil, dan gue pergi sama temen gue pake mobilnya. Udah, gitu doang," jawab Alisya berusaha terdengar datar tanpa masalah."Seenggaknya lu inget kalo lu ninggalin Aura sendiri di rumah. Lu nggak kasian, sama dia? Lu kan bisa ngabarin barang cuma satu dua kata, biar dia tenang!" Yogi masih meluapkan emosinya."Ya, gue salah. Gue minta maaf. Udah, cukup?""Alisya! Lu ....""Udahlah, Gi. Mending lu pulang. Lu nggak ada urusan di sini," potong Alisya.
Alisya terbangun ketika langit sudah berganti warna. Ia terbangun dalam keadaan yang sangat memalukan. Tak ada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Dan kini, tubuhnya terasa remuk.Alisya hanya bisa terisak sambil bersandar di headboard tempat tidur. Dan di sampingnya, berbaring lelaki yang baru hari ini resmi menjadi kekasihnya.Ingatannya berputar dan kembali pada peristiwa tadi siang. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia hanya ingat tubuhnya terasa sangat panas, pandangannya tidak fokus, dan tiba-tiba ia merasa hasratnya sangat besar. Ia sangat ingin Reno menyentuhnya, tapi akal sehatnya melarangnya untuk itu. Namun ...Isakan berubah jadi tangis, ketika ia menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Bagaimana mungkin ini bisa menimpanya? Apa dosanya hingga peristiwa ini bisa terjadi?Reno yang mendengar tangis Alisya langsung terbangun. Alisya segera menarik bedcover untuk menutupi tubuhnya hingga seba
"Apakah kamu mau jadi pacarku?" lirih Reno tepat di telinga Alisya.Alisya membeku. Tak percaya dengan apa yang ia dengar."Apakah kamu mau jadi pacarku?" sekali lagi Reno berbisik.Tengkuk Alisya meremang. Keringat dingin pun terasa membasahi punggungnya."Mungkin kamu kaget denger aku ngomong gini sekarang. Tapi aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu. Makanya, aku selalu datang tiap kamu nyanyi di cafe. Aku pengen liat kamu terus, pengen deket sama kamu."Kata-kata manis dari Reno sukses membuat kaki Alisya bagaikan jelly. Rasanya ia tidak menapak tanah saat ini.Belum ada sahutan dari Alisya, membuat Reno memutar tubuh gadis belia itu."Apakah cintaku tak bersambut? Apa kamu nggak suka sama aku?" Reno memberinya pertanyaan beruntun. "Atau karena kamu udah punya pacar?"Alisya langsung menegakkan wajahnya. Tebakan terak
"Ngajakin makan siang, kok malah ke hotel?" Alisya mulai berpikiran buruk.Reno hanya tertawa kecil."Aku ngajakin makan siang beneran, kok. Tapi makan siangnya di sini," ujar Reno sambil melepas seatbeltnya."Ayo, jadi nggak?" tawarnya lagi.Alisya terlihat ragu. Tangannya mencengkeram seatbeltnya dengan kuat."Kamu takut apa? Ini masih siang tau. Emang aku keliatan kayak penjahat, ya?" tanya Reno."Nggak, bukan gitu, Kak," elak Alisya. "Tapi ....""Aku kasih tau, ya. Aku ajak kamu ke sini buat makan siang. Cuma makan siang. Kenapa makan siangnya di sini, bukan di restoran? Karena di sini ada tempat spesial yang mau aku tunjukin ke kamu." Reno menjeda kalimatnya."Kalau di sini, aku bisa masakin kamu. Spesial buat kamu seorang. Hotel ini punya mamaku," jelas lelaki itu panjang lebar.Mata Alisya membol
Alisya sampai di tempat kompetisi dengan selamat. Tempat itu sudah ramai oleh para peserta kompetisi. Alisya mencari teman-temannya di antara kerumunan orang-orang itu."Pada kemana sih, tu orang? Apa aku kepagian?" gumamnya seraya melirik pergelangan tangannya. Pukul 07.20. Memang terlalu pagi karena acaranya baru akan dimulai empat puluh menit lagi.Alisya mendengkus. Matanya terus menjelajah, berharap melihat salah satu anggota grup bandnya di sana.Diambilnya smartphone dari dalam tas sambil terus melihat ke kanan dan ke kiri.Dug!"Aduh!" Alisya berteriak sambil mengusap hidungnya yang tidak sengaja menabrak punggung seorang lelaki."Ma-maaf ... aku nggak sengaja," katanya cepat pada lelaki itu.Lelaki itu berbalik. "Kamu!""Lho, Kak Reno?""Ya ampun, Alisya. Pertama k
"Alisya!" Yogi langsung mencekal tangan Alisya sebelum gadis itu berhasil beranjak dari tempat duduknya."Apa sih, Gi?" tanya Alisya malas."Lu sengaja ngejauhin gue, ya?"Alisya memutar bola matanya malas."Gi, gue udah bilang, ya, gue nggak mau dikekang. Jadi stop seolah-olah gue ini pacar yang perlu lu iket kuat-kuat biar gue nggak kabur," ujar Alisya."Gue inget, Sya. Gue paham. Tapi setidaknya lu bisa 'kan ngabarin gue lu kemana aja dan sama siapa.""Emang penting?""Sya, lu tau gue sayang banget sama lu. Lu tuh berharga banget buat gue. Gue nggak banyak ngomong karena gue tau lu nggak suka diposesifin.""Itu lu tau."Yogi menarik napas panjang. Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi kekasihnya itu."Ini beneran lu?" Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya. Disodorkannya telepon genggam yang ia pega