“Sayang, kamu mau ke mana?!” Oliver terlonjak dari tidurnya kala ia melihat Yara bangkit dari kasur.Yara yang tak menyadari bahwa suaminya sudah bangun, terkejut dan menoleh ke arah pria itu. “Aku cuma mau ke kamar mandi,” jawab Yara sambil meringis kecil.Oliver buru-buru beranjak dari sofa dan menghampiri ranjang pasien sambil mengomel, “Seharusnya kamu bangunin aku, Sayang. Bukannya malah melakukannya sendiri.”Yara terkekeh kecil melihat raut muka suaminya yang masih setengah mengantuk itu tapi dipaksakan untuk menunjukkan ekspresi tegas.“Kamu lagi tidur. Mana bisa aku ganggu tidur kamu,” gerutu Yara. Selama dalam penerbangan dari Maldives Oliver tidak tidur karena menemani Yara yang terus muntah-muntah. Jadilah sore ini Oliver ketiduran di sofa. Dan Yara tidak tega untuk mengganggu tidurnya.Oliver melepas infusan dari tiangnya. Lalu mengangkat Yara ke pangkuan. Secara spontan Yara mengalungkan lengannya di leher Oliver.“Kamu nggak boleh melakukan aktifitas berat dulu, walaupu
Oliver akhirnya memutuskan membawa Yara keluar untuk menikmati udara segar. Dengan izin dokter, Oliver mendorong kursi roda yang diduduki Yara menuju taman rumah sakit yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran.“Sayang...,” panggil Oliver, yang membuat Yara mendongak ke belakang untuk menatapnya. “Kamu tahu nggak?”“Nggak.” Yara menggeleng polos, membuat Oliver tertawa.“Astaga... aku belum selesai.” Oliver mengusap wajah Yara dengan mesra sambil tertawa kecil. “Kamu tahu nggak? Bunga mawar itu memang indah, tapi kalah indah sama senyuman kamu.”Ya Tuhan... Yara merasakan pipinya memanas seketika saat mendengar gombalan Oliver yang terdengar cringe itu.Yara tertawa kecil, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Astaga, Oliver. Kalau orang lain dengar, mereka pasti bakal muntah karena dengar gombalan kamu.”“Biarin aja,” balas Oliver santai sambil terus mendorong kursi roda Yara. “Yang penting istriku tersenyum.”Yara kembali tertawa.Mereka berhenti di bawah pohon besar yang rindang. Caha
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, dokter akhirnya mengizinkan Yara pulang. Namun meski begitu, dokter mengharuskan Yara agar bedrest selama beberapa waktu. Dan hal itu membuat Oliver memutuskan untuk bekerja dari rumah demi menemani Yara di masa awal-awal kehamilannya.Dulu, ia sudah membuang banyak waktu di masa kehamilan Yara. Sehingga sekarang Oliver tidak ingin melewatkannya lagi dan ingin menjadi suami yang benar-benar selalu ada untuk istrinya kapanpun dibutuhkan.Kini Oliver baru keluar dari kamar mandi ketika melihat Yara tengah menatapnya dengan tatapan penuh permohonan, di atas kasur. Meski Yara tidak berkata apa-apa, tapi Oliver tahu bahwa wanitanya itu tengah menginginkan sesuatu.“Sayang, ada yang kamu inginkan, ya?” tanya Oliver sambil menghampiri ranjang. Lalu duduk di tepian, tepat di samping Yara yang sedang terbaring setengah duduk.Yara menghela napas panjang. Menatap Oliver dengan ragu-ragu, sebelum akhirnya ia mengangguk dan berkata, “Iya, aku menginginkan
[Marshall, bisa datang ke rumahku sekarang juga? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.]Oliver menunjukkan pesan itu kepada Yara, yang membuat senyuman Yara mengembang lebar. Dan melihat istrinya tersenyum selebar itu, hati Oliver terasa menghangat, meski jauh di dalam hatinya ia mulai merasa waswas akan pertemuan Yara dengan Marshall nanti.“Sayang, lihat, ‘kan? Aku sudah kirim pesan ke Marshall,” ujar Oliver, “sekarang kamu boleh merasa sedikit lebih tenang.”Yara mengangguk kecil. Lalu ia mengulurkan kedua tangannya, memeluk pinggang Oliver dan menyandarkan kepala di dada bidangnya. “Terima kasih. Kamu memang suami terbaik. Aku beruntung punya kamu dan aku sangat mencintai kamu.”Mendengar kata-kata Yara tersebut, Oliver merasakan jantungnya berdebar-debar. Ia berusaha mengatur napasnya dan berbisik di telinga Yara, “Jangan menggombaliku terus menerus, Sayang. Aku jadi ingin memakanmu.”Yara terkekeh pelan. Ia mendorong dada Oliver dengan jari telunjuknya. “Ingat kata dokter? Kita
Oliver menatap mata Yara yang terpejam dan bibirnya bergantian. Tangannya terulur, menangkup pipi Yara dengan hangat. Melihat wajah istrinya dari jarak sedekat ini membuat jantung Oliver berdetak kencang. Wanita itu terlalu menggoda, bahkan dalam tidurnya sekalipun, seperti sekarang.Wajah Oliver semakin mendekat ke wajah Yara. Mengikis jarak di antara mereka. Bibir mereka bertemu, Oliver bisa merasakan sesuatu yang lembut dan dingin menempel di bibirnya.“Mommy...! Daddy...! Boleh aku masuk?!”Seruan Airell dari luar sana membuat Oliver secara spontan menjauhkan wajahnya dari Yara. Ia memejamkan matanya sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang.Dengan perlahan ia menarik tangannya yang dijadikan bantal kepala Yara. Membuat Yara akhirnya terbangun.Yara mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya lampu kamar yang temaram. Wajah Oliver yang begitu dekat membuatnya terkejut.“Kamu kenapa? Kok bengong begitu?” tanya Yara dengan suara serak, masih setengah mengantuk
Yara merasa gelisah. Pasalnya, sampai saat ini Oliver tak kunjung pulang, padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul tiga dini hari. Ia berguling ke kiri dan kanan, mencari kenyamanan dalam tidurnya. Namun Yara merasa tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Hingga tak lama kemudian, Yara mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Seketika itu juga Yara terlonjak dari tidurnya, merasa lega. Tidak perlu melihat siapa yang datang, karena Yara sudah mengenali bagaimana halusnya deru mobil suaminya itu. Yara duduk bersandar di headboard, menanti Oliver tiba di kamar. Sampai akhirnya tak lama kemudian pintu kamar terbuka dan muncul sosok Oliver dengan wajah kusut di sana. “Oliver, kenapa kamu baru pulang? Apa masalahnya benar-benar serius?” tanya Yara dengan nada khawatir. Oliver mendekati Yara seraya memandangnya dengan tatapan dalam. “Kenapa kamu bangun, Sayang? Atau kamu nggak tidur karena nungguin aku?” tanyanya sebelum merundukan badan dan mengecup kening Yara deng
Yara tengah berjemur di balkon lantai dua sambil memperhatikan Zio, Arthur dan Airell yang sedang berenang ketika Zara datang.Yara cukup terkejut mendapati kedatangan saudari kembarnya itu. Lisa membawa Zara mendekati Yara.“Hai,” sapa Zara dengan canggung. “Boleh aku menemui Zio?”Yara berusaha menyunggingkan senyuman kecil, lalu mengangguk. “Tentu saja,” jawabnya, ia menunjuk kolam renang yang ada di bawah mereka. “Zio lagi berenang sama anak-anakku.”Anak-anakku.Zara tertegun. Ia mengalihkan tatapannya dari Yara ke arah dua bocah kecil yang tampak seumuran di bawah sana. “Anak-anakmu... kembar?”“Mm-hm. Mereka kembar. Namanya Arthur dan Airell. mereka keponakanmu, Zara.”Zara kembali tampak tertegun.Yara menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Duduklah.” Lalu menatap Lisa dan berkata, “Bik, tolong siapkan minuman untuk Zara. Zara, kamu mau minum apa?”Zara menggelengkan kepala. “Apa saja, asal nggak terlalu manis,” jawabnya singkat.Lisa mengangguk sebelum meninggalkan balkon untuk
Selepas kepergian Zara beberapa saat kemudian, Davin dan Jingga menjemput Zio, Arthur dan Airell untuk diajak pergi jalan-jalan. Jadilah saat ini Yara ditinggal sendirian di rumah bersama Lisa.Yara menghabiskan waktunya di kamar dengan menonton televisi. Sejujurnya ia merasa bosan terus menerus diam di kamar, tapi ia berusaha patuh pada apa yang dikatakan suaminya. Yara tidak mau mengambil risiko terjadi sesuatu pada kehamilannya akibat ia yang tidak mendengarkan apa kata Oliver.Pada saat yang sama, ketukan di pintu terdengar. Yara mengalihkan tatapannya dari layar televisi ke arah pintu.“Masuk!”Detik berikutnya Lisa muncul di sana dengan senyuman ramah. “Nona, orang yang akan memasang AC di kamar Non Airell sudah datang.”“Oh? Oke. Tolong awasi ya, Bik,” pinta Yara dengan sopan.“Baik, Non.”Lisa mengangguk dan bergegas meninggalkan kamar Yara. Namun, sebagai orang yang sudah lama bekerja di keluarga itu, instingnya tidak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang terasa janggal dengan tuk
“Siapa yang kirim bunga untuk Airell?!” seru Oliver dengan galak saat ia mendengar Lisa berbicara dengan kurir yang mengantarkan seikat bunga mawar merah dan menyebut-nyebut nama Airell.Oliver kemudian merebut seikat bunga itu dari tangan Lisa dan membaca pesan yang tertulis dalam secarik kertas.‘Bunga ini memang cantik, tapi kalah cantik sama kamu, Airell. —Ben—‘“Ben? Siapa Ben?” geram Oliver. Berani-beraninya bocah ingusan bernama Ben itu menggombali Airell!“Kenapa, Sayang?” tanya Yara yang baru saja menghampiri suaminya dengan kening berkerut.Oliver menunjukkan bunga itu. “Lihat, Sayang. Ada yang kirim bunga buat Airell. Namanya Ben. Astaga, anak jaman sekarang, pipis aja belum lurus tapi sudah berani menggombali anak orang!”“Hush!” Yara memukul pelan lengan Oliver. “Airell sudah remaja, lho. Kamu lupa?”Justru karena sudah remaja, Oliver jadi semakin protektif pada Airell, begitu pula pada Avery yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Oliver hendak membuang bunga itu ke te
“Sayang, kita mau nambah anak lagi nggak?”“Nggak!” jawab Yara galak. “Tiga aja cukup.”Oliver terkekeh di seberang sana. “Kali aja mau. Aku siap, kok. Kalau aku pulang nanti aku siap nambah anak lagi.”“Idih! Itu sih maunya kamu.” Yara memutar bola matanya malas, lalu ikut tertawa saat Oliver tertawa di ujung telepon.“Kamu nggak tanya kapan aku pulang, gitu? Atau maksa aku pulang?” Suara Oliver terdengar menggoda.“Memangnya kenapa? Kan sudah jelas kamu akan pulang tiga hari lagi.”Yara bangkit dari kursi kerja suaminya. Walaupun sebenarnya ia rindu pada Oliver setelah LDR hampir satu minggu. Namun Yara terlalu gengsi untuk mengakui dan memaksa Oliver pulang. Ia bahkan sering duduk di kursi kerja Oliver demi mengobati rasa rindunya pada pria itu.“Paksa aku pulang, kek. Aku kangen kamu dan anak-anak. Tapi pekerjaan di sini belum selesai.” Oliver terdengar menghela napas panjang. Saat ini ia sedang berada di luar kota untuk perjalanan kantor.Belum sempat Yara menanggapi ucapan suami
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng
“Oliver, perutku sakit banget.”Bisikan Yara tersebut berhasil menghentikan Oliver yang sedang berbincang-bincang dengan kliennya. Oliver langsung menoleh pada Yara dan melihat wanita itu tengah mengerutkan kening seperti menahan rasa sakit.“Sayang, perut kamu sakit?”Yara mengangguk. “Sakit banget,” katanya sembari mencengkeram lengan Oliver kuat-kuat.Raut muka Oliver seketika berubah menegang. Tangannya menangkup pipi Yara dan berkata dengan tegas, “Kita ke rumah sakit sekarang!”Tanpa basa-basi, Oliver segera mengangkat Yara ke pangkuan. Sikapnya itu mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Namun Oliver tampak tidak peduli. Saat itu juga ia membawa Yara keluar dari ballroom dengan ekspresi panik yang gagal ia sembunyikan.“Oliver, jangan terlalu khawatir. Sekarang sakitnya sudah hilang lagi, kok,” kata Yara, berusaha menenangkan Oliver yang kini tengah mengemudi dengan tatapan kalut.“Sayang, mana bisa aku nggak khawatir,” sergah Oliver sembari mengusap wajah deng
“Oliver, sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri. Astaga....”“Tidak! Selama aku bisa melakukannya untukmu, akan kulakukan!” tegas Oliver, sebelum akhirnya pria itu memangku Yara ke kamar mandi.Yara memutar bola matanya malas, tapi ia tidak menolak lagi. Karena sekali lagi Yara menegaskan, Oliver adalah pria yang tidak menerima penolakan.Sejak awal kehamilan, Oliver selalu memberi perhatian lebih dan memanjakan Yara. Apalagi saat kehamilan Yara sudah membesar seperti sekarang, Oliver bahkan tidak mengizinkan Yara melakukan aktifitas yang sedikit berat. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. memenuhi segala kebutuhan Yara dan melayaninya dengan sepenuh hati.Oliver sering berkata pada Yara bahwa ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu yang tidak menemani Yara sewaktu kehamilan si kembar.“Jangan lihat aku. Aku malu,” protes Yara saat Oliver sudah melepaskan seluruh kain yang membungkus tubuhnya.Oliver tersenyum kecil. “Apa yang membuat kamu malu, Sayang?” tanya
“Daddy! Mommy! Ada tamu!”“Shit!” Oliver mengumpat sambil memejamkan matanya sejenak kala mendengar seruan Airell di luar sana.Namun, hal itu tidak menyurutkan gairah Oliver. Ia berusaha menggerakkan dirinya dengan selembut mungkin agar tidak menyakiti istrinya yang kini berada di hadapannya. Posisi wanita itu memunggunginya.“Oliver...,” desah Yara sambil mencengkeram sprai erat-erat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan desah agar tidak keluar lebih keras lagi. “Airel bilang... ada tamu.” Yara berkata dengan napas terengah-engah. “Itu pasti Zara, dia sudah... datang.”“Ssstt!” Oliver menarik dagu Yara agar menoleh ke arahnya. Lantas dilumatnya bibir sang istri dengan rakus tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan hiraukan, Sayang. Fokus saja padaku,” bisik Oliver sesaat setelah ia menjauhkan bibir mereka berdua.“Daddy! Mommy! Ada Aunty Zara!” seru Airell lagi, kali ini diiringi ketukan pintu.