[“Aku akan menunggumu.”] Yara mengirim pesan tersebut kepada Oliver.Lima menit kemudian, centang dua pada pesannya itu berubah menjadi centang biru.Yara datang ke Kana Restaurant 10 menit lebih awal. Ia tampil sederhana dengan gaun berwarna merah muda. Matanya menatap kosong pada segelas air putih di hadapannya.Bagaimana jika ia mendapatkan kemungkinan terburuk? Apa yang akan ia lakukan jika Oliver tidak datang? Bagaimana jika yang Oliver pilih adalah Zara?Menghela napas panjang, Yara meraih gelas tersebut dan meneguk air putihnya untuk melegakan tenggorokan yang terasa kering.Bunyi lonceng terdengar saat pintu terbuka. Cepat-cepat Yara menoleh ke arah pintu. Lalu menghela napas kecewa ketika yang datang ternyata pengunjung lain.Pukul 17:00, Yara merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Seorang waiter datang membawa makanan pembuka dan menghidangkannya di meja.Pada saat yang sama, pintu restoran kembali terbuka dan muncul sosok pria berbadan tegap yang mengenakan jas
Beberapa jam sebelumnya.Oliver berguling ke kiri dan kanan, seakan-akan tidak menemukan kenyamanan dalam tidurnya. Sudah pukul dua dini hari, tapi kantuk tak kunjung menyerang.Merasa tak tahan lagi, Oliver akhirnya bangkit dan menyalakan lampu utama. Ia meraih ponsel dari nakas, lalu mengecek kembali pesan dari Yara siang tadi.[“Jika kamu memilihku, temui aku di Kana Restaurant, besok jam lima sore. Jangan datang jika kamu sudah memutuskan untuk memilih Zara.”]Sampai saat ini Oliver tidak membalas pesan tersebut. Bukan tanpa alasan. Hanya saja Oliver butuh waktu untuk berpikir. Oliver tidak ingin menyakiti siapapun, maka dari itu ia perlu berhati-hati.Oliver merasa ia membutuhkan Zara yang telah menyelamatkannya di masa lalu. Namun di sisi lain, perginya Yara ke rumah Rianti telah menimbulkan rasa kehilangan yang begitu dalam. Membuat Oliver semakin bimbang.Kini, Oliver masuk ke kamar Yara, harum aroma manis dari parfum wanita itu mengingatkan Oliver akan senyuman Yara yang ceri
Oliver terlihat tidur dengan pulas. Zara tidak tega untuk membangunkannya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Namun, ia tetap harus membangunkan pria itu karena katanya ada acara yang sangat penting sore ini. Zara penasaran, acara apa hingga Oliver harus memaksakan diri untuk pergi?Zara turun dari tempat tidur. Menghampiri Oliver. Menatap wajahnya dengan tatapan penuh kerinduan. Saat ia akan menyentuh wajah Oliver, ponsel Oliver tiba-tiba berdenting. Zara menoleh, menatap layar ponsel yang menyala di atas meja.Yara?Zara tertegun melihat nama kakak kembarnya di layar ponsel.Karena penasaran, Zara pun meraih ponsel Oliver dan memasukkan tanggal pernikahan mereka sebagai password. Dulu, Zara sempat meminta Oliver untuk menggunakan password yang sama dengannya, yaitu tanggal pernikahan.Namun, password itu salah. Oliver sudah menggantinya.Zara m
Oliver kembali ke rumah dengan langkah berat. Surat gugatan cerai dari Yara yang baru saja ia terima masih tergenggam erat di tangannya. Surat itu seperti bom yang meledak di tengah kebingungan dan perasaannya yang kacau. Setiap kata di dalamnya seolah menjadi tamparan keras yang menyadarkannya bahwa Yara benar-benar ingin pergi dari hidupnya. Oliver menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu, tatapan kosong mengarah ke surat yang kini tergeletak di meja. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi Yara sekali lagi. Namun, suara monoton operator yang mengatakan nomor tujuan tidak aktif membuatnya semakin frustrasi. "Yara... tolong angkat teleponku. Kita bisa bicara. Aku mohon..." gumam Oliver lirih, seolah berharap Yara bisa mendengarnya di suatu tempat. Namun, harapan Oliver sia-sia. Tak ingin menyerah begitu saja, Oliver kemudian menelepon seseorang. P
Keesokan harinya, Zara bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Namun perasaan kecewa dan sakit hati terus menghantui dirinya. Apalagi saat Zara ingat, ketika semalam ia mencium Oliver, saat itu juga Oliver mendorongnya dengan kasar sambil meracau, “Kamu bukan Yara. Yara nggak pernah menggodaku.” Membuat hati Zara semakin terasa sesak.Hari-hari berikutnya, Zara mulai merasakan dampak dari tindakan cerobohnya tersebut.Oliver semakin dingin terhadapnya. Bahkan saat mereka berbicara, tatapan Oliver sering kosong, seolah pikirannya melayang jauh. Zara mulai merasa kehilangan kendali atas situasi mereka berdua.Hari ini Zara kembali ke rumah Oliver. Tangannya mengepal kuat saat melihat foto pernikahan Oliver dan Yara yang belum diturunkan. Zara sudah mengetahui tentang surat gugatan cerai yang dilayangkan Yara, tapi sampai saat ini sepertinya Oliver belum menyetujui surat gugatan tersebut.Zara berinisi
“Oliver, gimana menurut kamu gaun yang ini? Apa ini cocok untukku?” Oliver tidak menjawab. Pria itu hanya duduk melamun, menatap meja dengan tatapan kosong. Zara menghela napas panjang, ia semakin kesal dengan sikap Oliver yang terus mengabaikannya. Padahal saat ini mereka tengah berada di butik, membeli gaun untuk Zara kenakan di acara perusahaan Oliver hari Sabtu nanti. “Oliver...,” tegur Zara dengan suara yang lebih keras, yang mampu mengeluarkan Oliver dari lamunan. “Ya? Apa?” Oliver mendongak, menatap Zara tanpa ekspresi. “Gaun ini cocok di aku nggak?” tanya Zara sekali lagi. Oliver menatap gaun yang dikenakan Zara sesaat, sebelum menjawab, “Iya. Kurasa cocok.” Zara menghela napas panjang kembali, ia merasa Oliver seperti terpaksa menjawab, dan hal itu membuat Zara merasa semakin diabaikan. “Baik, kalau menurutmu cocok, aku akan pilih yang ini.” Zara berusaha menyunggingkan senyuman lembut, lalu bicara pada staf butik bahwa ia memilih gaun tersebut. Setelah be
Zara merasa gelisah. Pasalnya, Oliver terus menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Tatapan itu membuat Zara tidak nyaman, ia merasa seperti seorang tersangka yang tengah diselidiki oleh seorang detektif. “Oliver, kenapa menatapku terus seperti itu?” tanya Zara sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Oliver mengembuskan napas kasar. “Nggak apa-apa, aku cuma penasaran tentang satu hal yang nggak bisa aku abaikan.” Zara mengangkat wajahnya, menatap Oliver dengan pandangan bingung. “Tentang apa?” Oliver terdiam sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk bicara. “Tentang jaket tadi. Aku yakin, jaket itu dulu milikku. Aku memberikannya pada seseorang di masa lalu. Tapi kalau benar itu milik Yara…” Oliver menggantung kalimatnya, menatap Zara dengan tajam. “Kenapa bisa berada di tangannya?” Zara terdiam, berusaha mencerna ucapan Oliver. ia lalu menggeleng bingung. “Mungkin cuma kebetulan, Oliver. Mungkin desainnya mirip saja. Kamu tahu, banyak barang yang terlihat sama, kan?” Oli
“Oliver, kenapa kita berhenti di sini?” tanya Zara saat Oliver menghentikan kendaraan di pinggir sebuah lapangan yang tidak begitu ramai malam itu. Oliver tidak menjawab, ia mematikan mesin mobil dan berkata, “Ikut aku.” Lalu turun setelah melepas sabuk pengaman. Dengan penuh kebingungan, Zara ikut turun saat Oliver membukakan pintu untuknya. Namun saat melihat banyak pasangan yang mengobrol di pinggir lapangan itu, seulas senyum tersungging di bibir Zara. Ia berpikir, mungkin Oliver ingin berjalan kaki bersamanya seperti pasangan-pasangan yang lain. Zara berjalan di depan Oliver masih dengan senyuman lembutnya, lalu berbalik menghadap Oliver. Dan saat itu juga senyuman Zara lenyap kala mendapat tatapan tajam dari pria itu. “Oliver, kenapa menatapku seperti itu?” tanya Zara, bingung. Jantungnya mulai berdebar kencang, tak karuan. Tanpa menjawab, Oliver mendekat dengan gerakan cepat dan tiba-tiba mengangkat tangannya, seperti akan memukul. Zara terkejut dan mundur beberapa langka
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng
“Oliver, perutku sakit banget.”Bisikan Yara tersebut berhasil menghentikan Oliver yang sedang berbincang-bincang dengan kliennya. Oliver langsung menoleh pada Yara dan melihat wanita itu tengah mengerutkan kening seperti menahan rasa sakit.“Sayang, perut kamu sakit?”Yara mengangguk. “Sakit banget,” katanya sembari mencengkeram lengan Oliver kuat-kuat.Raut muka Oliver seketika berubah menegang. Tangannya menangkup pipi Yara dan berkata dengan tegas, “Kita ke rumah sakit sekarang!”Tanpa basa-basi, Oliver segera mengangkat Yara ke pangkuan. Sikapnya itu mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Namun Oliver tampak tidak peduli. Saat itu juga ia membawa Yara keluar dari ballroom dengan ekspresi panik yang gagal ia sembunyikan.“Oliver, jangan terlalu khawatir. Sekarang sakitnya sudah hilang lagi, kok,” kata Yara, berusaha menenangkan Oliver yang kini tengah mengemudi dengan tatapan kalut.“Sayang, mana bisa aku nggak khawatir,” sergah Oliver sembari mengusap wajah deng
“Oliver, sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri. Astaga....”“Tidak! Selama aku bisa melakukannya untukmu, akan kulakukan!” tegas Oliver, sebelum akhirnya pria itu memangku Yara ke kamar mandi.Yara memutar bola matanya malas, tapi ia tidak menolak lagi. Karena sekali lagi Yara menegaskan, Oliver adalah pria yang tidak menerima penolakan.Sejak awal kehamilan, Oliver selalu memberi perhatian lebih dan memanjakan Yara. Apalagi saat kehamilan Yara sudah membesar seperti sekarang, Oliver bahkan tidak mengizinkan Yara melakukan aktifitas yang sedikit berat. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. memenuhi segala kebutuhan Yara dan melayaninya dengan sepenuh hati.Oliver sering berkata pada Yara bahwa ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu yang tidak menemani Yara sewaktu kehamilan si kembar.“Jangan lihat aku. Aku malu,” protes Yara saat Oliver sudah melepaskan seluruh kain yang membungkus tubuhnya.Oliver tersenyum kecil. “Apa yang membuat kamu malu, Sayang?” tanya
“Daddy! Mommy! Ada tamu!”“Shit!” Oliver mengumpat sambil memejamkan matanya sejenak kala mendengar seruan Airell di luar sana.Namun, hal itu tidak menyurutkan gairah Oliver. Ia berusaha menggerakkan dirinya dengan selembut mungkin agar tidak menyakiti istrinya yang kini berada di hadapannya. Posisi wanita itu memunggunginya.“Oliver...,” desah Yara sambil mencengkeram sprai erat-erat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan desah agar tidak keluar lebih keras lagi. “Airel bilang... ada tamu.” Yara berkata dengan napas terengah-engah. “Itu pasti Zara, dia sudah... datang.”“Ssstt!” Oliver menarik dagu Yara agar menoleh ke arahnya. Lantas dilumatnya bibir sang istri dengan rakus tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan hiraukan, Sayang. Fokus saja padaku,” bisik Oliver sesaat setelah ia menjauhkan bibir mereka berdua.“Daddy! Mommy! Ada Aunty Zara!” seru Airell lagi, kali ini diiringi ketukan pintu.
Lapangan basket yang biasanya dipenuhi suara bola memantul dan teriakan semangat, kini telah berubah menjadi tempat makan malam romantis yang memukau. Lampu-lampu kecil berkelap-kelip menggantung di sepanjang tiang ring basket, menciptakan suasana hangat dan romantis. Sebuah meja bundar berlapis kain putih dihiasi lilin-lilin kecil serta rangkaian bunga matahari—bunga favorit Yara. Kursi-kursi tertata rapi, dan di tengah meja, terdapat dua set hidangan yang tertata indah. Dan alunan musik romantis terdengar merdu. Yara berdiri mematung di tempatnya, matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka, ia tak mampu menyembunyikan kekagumannya. Oliver yang berdiri di sampingnya, hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya itu. “Kamu suka?” tanya Oliver dengan suara lembut. Yara mengangguk perlahan dan keluar dari keterpakuannya. “Oliver... ini keren banget. Kamu benar-benar menyulap lapangan basket jadi tempat makan malam seindah ini?” Oliver tertawa kecil. “Ini bukan sekadar lapangan ba
Yara menatap pantulan dirinya di cermin. Senyuman lebar tersungging di bibir kala ia melihat baby bump-nya sudah sedikit membuncit.Ia jadi teringat dengan ucapan Oliver yang akhir-akhir ini selalu bilang bahwa lelaki itu sangat menyukai bentuk tubuh Yara yang sedang hamil.Dulu, waktu kehamilan pertama, Yara mendapatkan perhatian dari Oliver hanya dalam waktu singkat. Namun kali ini, hampir setiap waktu perhatian Oliver selalu tercurah padanya. Membuat Yara merasa menjadi wanita paling beruntung dan paling bahagia di dunia karena dicintai oleh lelaki seperti Oliver.Sehingga timbul di hati Yara rasa takut ditinggalkan oleh suaminya itu. Yara sudah bergantung padanya. Menjadikan lelaki itu pusat dunianya.Beranjak dari depan cermin, Yara menghampiri meja kerjanya. Di atas meja teronggok sebuah bucket bunga matahari, yang membuat Yara seketika tersenyum cerah. Ia meraih secarik kertas dari sana, dan menemukan tulisan tangan Oliver dalam kertas tersebut.‘Honey, kamu tahu perbedaan mata