Oliver terlihat tidur dengan pulas. Zara tidak tega untuk membangunkannya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Namun, ia tetap harus membangunkan pria itu karena katanya ada acara yang sangat penting sore ini. Zara penasaran, acara apa hingga Oliver harus memaksakan diri untuk pergi?Zara turun dari tempat tidur. Menghampiri Oliver. Menatap wajahnya dengan tatapan penuh kerinduan. Saat ia akan menyentuh wajah Oliver, ponsel Oliver tiba-tiba berdenting. Zara menoleh, menatap layar ponsel yang menyala di atas meja.Yara?Zara tertegun melihat nama kakak kembarnya di layar ponsel.Karena penasaran, Zara pun meraih ponsel Oliver dan memasukkan tanggal pernikahan mereka sebagai password. Dulu, Zara sempat meminta Oliver untuk menggunakan password yang sama dengannya, yaitu tanggal pernikahan.Namun, password itu salah. Oliver sudah menggantinya.Zara m
Oliver kembali ke rumah dengan langkah berat. Surat gugatan cerai dari Yara yang baru saja ia terima masih tergenggam erat di tangannya. Surat itu seperti bom yang meledak di tengah kebingungan dan perasaannya yang kacau. Setiap kata di dalamnya seolah menjadi tamparan keras yang menyadarkannya bahwa Yara benar-benar ingin pergi dari hidupnya. Oliver menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu, tatapan kosong mengarah ke surat yang kini tergeletak di meja. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi Yara sekali lagi. Namun, suara monoton operator yang mengatakan nomor tujuan tidak aktif membuatnya semakin frustrasi. "Yara... tolong angkat teleponku. Kita bisa bicara. Aku mohon..." gumam Oliver lirih, seolah berharap Yara bisa mendengarnya di suatu tempat. Namun, harapan Oliver sia-sia. Tak ingin menyerah begitu saja, Oliver kemudian menelepon seseorang. P
Keesokan harinya, Zara bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Namun perasaan kecewa dan sakit hati terus menghantui dirinya. Apalagi saat Zara ingat, ketika semalam ia mencium Oliver, saat itu juga Oliver mendorongnya dengan kasar sambil meracau, “Kamu bukan Yara. Yara nggak pernah menggodaku.” Membuat hati Zara semakin terasa sesak.Hari-hari berikutnya, Zara mulai merasakan dampak dari tindakan cerobohnya tersebut.Oliver semakin dingin terhadapnya. Bahkan saat mereka berbicara, tatapan Oliver sering kosong, seolah pikirannya melayang jauh. Zara mulai merasa kehilangan kendali atas situasi mereka berdua.Hari ini Zara kembali ke rumah Oliver. Tangannya mengepal kuat saat melihat foto pernikahan Oliver dan Yara yang belum diturunkan. Zara sudah mengetahui tentang surat gugatan cerai yang dilayangkan Yara, tapi sampai saat ini sepertinya Oliver belum menyetujui surat gugatan tersebut.Zara berinisi
“Oliver, gimana menurut kamu gaun yang ini? Apa ini cocok untukku?” Oliver tidak menjawab. Pria itu hanya duduk melamun, menatap meja dengan tatapan kosong. Zara menghela napas panjang, ia semakin kesal dengan sikap Oliver yang terus mengabaikannya. Padahal saat ini mereka tengah berada di butik, membeli gaun untuk Zara kenakan di acara perusahaan Oliver hari Sabtu nanti. “Oliver...,” tegur Zara dengan suara yang lebih keras, yang mampu mengeluarkan Oliver dari lamunan. “Ya? Apa?” Oliver mendongak, menatap Zara tanpa ekspresi. “Gaun ini cocok di aku nggak?” tanya Zara sekali lagi. Oliver menatap gaun yang dikenakan Zara sesaat, sebelum menjawab, “Iya. Kurasa cocok.” Zara menghela napas panjang kembali, ia merasa Oliver seperti terpaksa menjawab, dan hal itu membuat Zara merasa semakin diabaikan. “Baik, kalau menurutmu cocok, aku akan pilih yang ini.” Zara berusaha menyunggingkan senyuman lembut, lalu bicara pada staf butik bahwa ia memilih gaun tersebut. Setelah be
Zara merasa gelisah. Pasalnya, Oliver terus menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Tatapan itu membuat Zara tidak nyaman, ia merasa seperti seorang tersangka yang tengah diselidiki oleh seorang detektif. “Oliver, kenapa menatapku terus seperti itu?” tanya Zara sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Oliver mengembuskan napas kasar. “Nggak apa-apa, aku cuma penasaran tentang satu hal yang nggak bisa aku abaikan.” Zara mengangkat wajahnya, menatap Oliver dengan pandangan bingung. “Tentang apa?” Oliver terdiam sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk bicara. “Tentang jaket tadi. Aku yakin, jaket itu dulu milikku. Aku memberikannya pada seseorang di masa lalu. Tapi kalau benar itu milik Yara…” Oliver menggantung kalimatnya, menatap Zara dengan tajam. “Kenapa bisa berada di tangannya?” Zara terdiam, berusaha mencerna ucapan Oliver. ia lalu menggeleng bingung. “Mungkin cuma kebetulan, Oliver. Mungkin desainnya mirip saja. Kamu tahu, banyak barang yang terlihat sama, kan?” Oli
“Oliver, kenapa kita berhenti di sini?” tanya Zara saat Oliver menghentikan kendaraan di pinggir sebuah lapangan yang tidak begitu ramai malam itu. Oliver tidak menjawab, ia mematikan mesin mobil dan berkata, “Ikut aku.” Lalu turun setelah melepas sabuk pengaman. Dengan penuh kebingungan, Zara ikut turun saat Oliver membukakan pintu untuknya. Namun saat melihat banyak pasangan yang mengobrol di pinggir lapangan itu, seulas senyum tersungging di bibir Zara. Ia berpikir, mungkin Oliver ingin berjalan kaki bersamanya seperti pasangan-pasangan yang lain. Zara berjalan di depan Oliver masih dengan senyuman lembutnya, lalu berbalik menghadap Oliver. Dan saat itu juga senyuman Zara lenyap kala mendapat tatapan tajam dari pria itu. “Oliver, kenapa menatapku seperti itu?” tanya Zara, bingung. Jantungnya mulai berdebar kencang, tak karuan. Tanpa menjawab, Oliver mendekat dengan gerakan cepat dan tiba-tiba mengangkat tangannya, seperti akan memukul. Zara terkejut dan mundur beberapa langka
Zara menangis tersedu-sedu di samping ranjang pasien. Bukan. Ia bukan sedang menangisi Zio. Sebab putranya itu sudah terlihat baik-baik saja setelah tadi malam mendapat tindakan medis di bagian kepalanya yang sobek. Namun, Zara menangisi sikap Oliver yang semakin dingin terhadapnya. Bahkan sejak mereka datang ke rumah sakit tadi malam, Oliver tidak berbicara pada Zara satu patah katapun. Pria itu seolah-olah menganggap Zara tidak ada. Dan hal itu membuat dada Zara terasa sesak. Siang ini Zara sendirian menunggu Zio di ruang perawatannya. Sementara Oliver sudah pergi ke kantor pagi tadi. “Bagaimana kondisinya?” Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Zara menghentikan isak tangisnya. Suara itu.... Wajah Zara seketika memucat kala mendengar suara yang tak asing di telinga. Itu bukan suara Oliver. Melainkan suara seseorang yang tidak Zara harapkan kehadirannya. Zara menoleh dengan tatapan waspada. Ia melihat seorang pria berpakaian kasual sudah berdiri di belakangnya, entah sejak k
Oliver hilang. Kabar itu membuat geger seluruh keluarga Davin. Sejak kemarin malam Oliver tidak ditemukan keberadaannya. Jingga duduk di ruang tamu dengan gelisah. Sementara Davin sibuk menelepon kesana kemari sambil berusaha menyembunyikan kepanikannya. “Mas, masih belum ada kabar juga dari Oliver?” tanya Jingga dengan suara bergetar. Ia menatap suaminya dengan cemas. Davin menurunkan ponsel dari telinga, menghampiri Jingga dan berusaha menenangkannya. “Masih belum, Sayang,” jawab Davin, “yang jadi masalahnya, Oliver meninggalkan handphone-nya di rumah. Dia seperti sengaja ingin menghilang.” Davin mengusap wajah dengan kasar. Saat ini ia berada di rumah Oliver. “Lisa,” panggil Davin pada Lisa. “Apa ada tanda-tanda sebelum kepergian Oliver? Apa dia mengatakan sesuatu padamu?” Lisa yang tampak cemas pun menggeleng. “Tuan Oliver tidak mengatakan apapun, Tuan,” jawabnya, “tapi sikap Tuan Oliver sejak kepergian Nona Yara memang berbeda. Beberapa hari terakhir beliau hampir
Yara keluar dari apartemen Zara, ia menghampiri Oliver yang dengan sabar menunggunya di lobi. Saat menyadari kedatangan Yara, Oliver langsung mengunci ponsel yang sejak tadi ia mainkan, kemudian berdiri. Oliver menghampiri Yara dan merangkulkan lengannya di pinggang wanita itu. “Bagaimana pertemuannya?” tanya Oliver sebelum melabuhkan kecupan mesra di kening Yara, membuat Yara tersipu malu. “Nggak buruk,” jawab Yara, “tapi aku cukup merasa lelah.” Yara merasa lelah secara mental, bukan fisik. Oliver merapatkan pelukannya dengan protektif. “Gimana kalau setelah ini aku buat rasa lelah kamu hilang?” tanyanya dengan nada menggoda. Mata Yara mengerling. “Dengan cara apa?” Sambil berjalan keluar lobi, Oliver berbisik di dekat telinga Yara, “Dengan membawamu ke rangjangku.” “Astaga....” Yara memukul pelan dada Oliver. “Itu, sih, bikin makin lelah, tahu?” Oliver terkekeh-kekeh. “Lelah tapi menyenangkan, bukan?” Yara merotasi matanya dengan malas, lantas keduanya tertawa seolah-olah
Yara menekan bel berulang kali, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan membuka pintu dari dalam. Mungkin dirinya datang di waktu yang tidak tepat, pikir Yara. Mungkin saja saat ini Zara sedang pergi.Karena tak kunjung mendapat sahutan, Yara akhirnya berbalik untuk kembali kepada suaminya yang menunggu di lobi.Namun, belum lima langkah Yara berjalan, pintu di belakangnya tiba-tiba terbuka, membuat langkah kaki Yara seketika terhenti.“Siapa?”Yara tertegun kala mendengar suara yang barusan bertanya kepadanya. Nada suaranya terdengar datar, seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup.Setelah memantapkan hatinya, Yara pun berbalik menghadap orang itu, yang tak lain adalah Zara. Yara bisa melihat Zara terkejut saat menatapnya.“K-Kamu...,” bisik Zara dengan lirih. Matanya membulat, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Hai!” Yara berusaha menampilkan senyumnya dengan canggung. “Apa kabar? Boleh aku masuk?”Zara terdiam sejenak, membuat Yara merasa bahwa adiknya itu ak
Oliver menatap Yara yang tengah terlelap dengan damai. Senyuman Oliver mengembang lebar melihat betapa cantik dan polos wanitanya itu, seperti bayi yang tidak berdosa. Deru napas Yara terasa halus, membuat Oliver merasakan ketenangan yang hanya didapatkan di kala sedang bersama Yara. “Sayang, bangun,” bisik Oliver nyaris tak terdengar, seolah enggan mengganggu tidur sang istri. Ia menyapukan jemarinya di pipi yang terasa halus di bawah sentuhannya itu. Mata Yara perlahan bergetar, lalu terbuka hingga Oliver bisa menatap mata coklatnya yang indah. Tatapan mata Yara selalu membius Oliver, hingga ia merasa jatuh cinta lagi dan lagi pada orang yang sama setiap waktu. “Sudah siang? Jam berapa sekarang?” tanya Yara dengan suara serak sembari menggeliatkan tangannya ke atas. “Baru jam tujuh, Sayang,” jawab Oliver sambil tersenyum. Sontak, mata Yara terbelalak. “Jam tujuh? Astaga... kenapa kamu nggak bangunin aku? Aku harus pergi ke kantor! Ini gara-gara kamu nggak ngebiarin aku tidur t
“Sayang, hari ini aku mau ngajak kamu pacaran dulu ,” kata Oliver setelah kendaraan yang mereka tumpangi berlalu dari rumah Rianti.Tampak kerutan di kening Yara. “Pacaran?” tanyanya tak percaya.“Mm-hm.” Oliver mengangguk, ia meraih tangan Yara dan menggenggamnya, sementara tangan yang lain memegangi stir. “Banyak waktu kita yang terbuang di masa lalu, Sayang. Kita bahkan nggak sempat pacaran dulu. Jadi mulai sekarang, kita harus sering meluangkan waktu untuk berkencan berdua, tanpa anak-anak.”Mendengarnya, Yara pun terkekeh kecil. ia beringsut mendekati suaminya, menyandarkan kepala di bahu bidang pria itu. “Bukankah sekarang kita sedang pacaran?”“Iya, tapi kayak gini saja nggak cukup.”“Lalu? Memangnya kamu mau apa lagi?”“Yaa pacaran seperti orang kebanyakan, lah.” Oliver melabuhkan kecupan mesra di puncak kepala Yara. “Aku mau mengajakmu pergi ke suatu t
Genggaman lembut di tangan mengeluarkan Yara dari lamunannya. Yara menoleh dan mendapati suaminya tengah menatapnya sambil tersenyum manis. Senyuman yang membuat Yara lupa bagaimana caranya bernapas.“Kita sudah sampai, Sayang,” ucap Oliver.“Oh?”Yara mengerjap, ia menoleh ke sisi kiri dan baru menyadari bahwa kini mereka berada di halaman rumah ibunya, Rianti.“Sudah sampai ternyata,” gumam Yara sembari hendak melepas sabuk pengaman. Namun, Oliver sudah melakukannya lebih dulu untuknya.“Kamu lagi mikirin apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu banyak melamun.” Oliver menatap Yara dengan sorot matanya yang dalam dan membius.Tatapan itu membuat jantung Yara berdebar-debar. Yara menghela napas panjang. “Aku cuma lagi mikirin gimana pertemuan aku dan Zara nanti,” ujarnya dengan tatapan menerawang. “Kami saudari kembar, tapi rasanya kami seperti orang asing. Ada
“Aku masak sup kesukaan kamu,” kata Yara sambil memeluk Oliver dari belakang. Mereka berjalan menuju dapur dengan posisi seperti itu setelah Oliver berhasil lolos dari dua bocah kecil yang sejak tadi mengerumuninya.Oliver mengerutkan kening, sedikit terkejut. Tangannya menggenggam tangan Yara yang melingkar di depan perutnya.“Whoaa serius? Aku nggak sabar mau coba,” kata Oliver sembari tersenyum lebar.Yara terpaksa melepaskan pelukannya saat tiba di meja makan. Si kembar berlarian menuju meja makan sambil tertawa, lalu sama-sama memeluk kaki ayahnya di kiri dan kanan.Oliver kemudian mendudukkan mereka di kursi berdampingan, lalu Oliver duduk di kursi utama dan menuangkan makanan khusus anak-anak ke piring mereka masing-masing. Sementara itu Yara yang duduk di samping Oliver, berhadapan dengan si kembar, menyiapkan roti panggang dan sup untuk Oliver.Yara menatap Oliver dengan penuh harap saat pria itu mengambil sendok pertama supnya.Oliver memasukannya ke mulut, mengunyah perlaha
Yara tersenyum bahagia melihat Airell dan Arthur berlarian di ruang tengah dengan riang. Saat ini mereka sudah berada di rumah baru Oliver setelah pindah beberapa hari yang lalu.Anak-anak terlihat bahagia sekali. Apalagi saat mereka melihat ruangan khusus bermain yang dipenuhi mainan anak laki-laki dan perempuan. Tak hanya itu, bahkan Oliver menyediakan kolam renang dengan fasilitas lengkap seperti perosotan dan ember tumpah.Selain itu ada lapangan bola basket dan sepak bola di halaman belakang. Fasilitas lengkap yang disediakan membuat anak-anak betah bermain di rumah. Yara merasa bersyukur, terharu dan juga bahagia dengan segala fasilitas yang Oliver berikan untuk mereka.Oliver juga membawa Zio pindah ke rumah ini, dan tentu saja Yara tidak keberatan. Bagaimanapun, Zio adalah keponakannya sendiri, ia menyayangi anak itu seperti anaknya. Namun hari ini, Zio sedang tidak ada di rumah. Anak berusia 8 tahun itu kini berada di rumah Jingga. Meski tahu Zio bukan anak kandung Oliver, ta
Yara tertegun kala melihat banyaknya bukti yang dikumpulkan Oliver mengenai kepalsuan video yang dikirimkan Leonard. Lantas, Yara menatap Oliver dengan mata berkaca-kaca.“Oliver...,” panggilnya lirih, yang membuat Oliver membuka matanya. Kini mata yang indah dan menghipnotis itu menatap Yara dengan lembut. “Tanpa kamu mengumpulkan semua bukti ini juga aku sudah percaya sama kamu, Oliver. Tapi terima kasih, aku sangat menghargai usaha kamu.” Yara tersenyum penuh haru.Oliver menegakkan punggungnya yang semula bersandar di sofa. Lalu memutar tubuh, menghadap Yara sepenuhnya yang duduk di sampingnya.“Aku tahu kamu mempercayaiku, Sayang,” kata Oliver sembari menangkupkan sebelah tangan di pipi kiri Yara. “Tapi aku juga ingin membuktikan padamu bahwa aku nggak pernah mengkhianati kamu selama kamu pergi.”Yara mengangguk. Ia mendekati Oliver, melingkarkan kedua tangan di pinggang pria itu dan menenggelamkan wajah di dada bidangnya. “Aku makin percaya sama kamu. Sekali lagi, terima kasih.”
“Oliver, ada yang mau aku bicarakan.” Yara berusaha mendorong dada bidang Oliver agar pria itu menghentikan aktifitasnya.Namun, sepertinya Oliver tak ingin berhenti. Ia justru malah memperdalam ciumannya, membuat Yara kewalahan. Oliver mengungkung Yara di kursi penumpang dengan mesin mobil yang masih tetap menyala. Pagi ini ia kembali mengantarkan Yara ke Infinity Events setelah sebelumnya mereka mengantar anak-anak ke sekolah.“Tentang?” tanya Oliver akhirnya setelah beberapa saat kemudian. Pria itu dengan enggan menjauhkan wajah mereka.“Leonard.”“Leonard?” Sontak, Oliver menatap Yara dengan kening berkerut. “Kenapa dengan laki-laki itu? Dia mengganggumu lagi?”Yara menggeleng, ia menangkup rahang suaminya yang kasar di bawah sentuhannya. “Nggak ada, kok,” timpalnya, “tapi semalam, aku dengar dari Airell, kalau Leonard yang memberitahu Airell bahwa kamu nggak sayang dia. Sepertinya Leonard waktu datang ke sekolah, memprovokasi Airell.”“Leonard pernah datang ke sekolah anak-anak?”