Dengan wajah lelah, Oliver keluar dari mobil sambil menenteng jas hitam di tangan kanan dan tas di tangan kiri. Di tengah-tengah rasa lelahnya ia berharap dapat sambutan hangat dari istrinya.Dan harapan Oliver terkabul saat ia melihat seseorang membuka pintu dari dalam. Ia menyunggingkan senyuman kecil. Lalu pintu terbuka dan muncul sosok yang tak asing di sana tengah tersenyum lebar menyambut kedatangannya.“Oliver! Kamu sudah pulang?! Selamat datang di rumah...!”Senyuman Oliver perlahan lenyap kala melihat siapa yang menyambutnya itu.Oliver berhenti melangkah, ia terdiam, meraba-raba perasaannya sendiri dan berusaha mencari tahu apa yang tengah ia rasakan saat ini.Namun, alih-alih merasa senang Zara menyambutnya, Oliver justru kecewa.Kecewa karena bukan Yara yang ada di hadapannya.“Zara?” gumam Oliver dengan penuh kebingungan. “Sedang apa kamu di sini?”“Oliver.” Zara mendekati Oliver. Lalu berinisiatif mengambil tas dan jas dari tangan pria tampan itu. “Aku sudah minta izin Y
Keesokan paginya Yara bangun dengan perasaan hampa. Ia enggan keluar kamar, enggan bertemu Zara dan Oliver. Namun, Yara tidak mau mereka menganggap dirinya lemah. Yara pun keluar kamar, turun ke dapur dan mendapati pemandangan yang menyesakkan dada. Di depan kompor itu terlihat Zara sedang sibuk berjibaku dengan peralatan masak. Tangannya tampak cekatan, seakan-akan Zara adalah koki yang handal. “Selamat pagi,” gumam Yara sambil menuangkan air ke gelas kosong dan meneguknya. “Oh? Yara!” seru Zara dengan senyuman hangat. “Selamat pagi. Tidurmu nyenyak?” “Lumayan.” Yara mengedikkan bahu. “Ngomong-ngomong, kamu masak?” “Iya. Aku sedang masak makanan kesukaan Oliver dan kamu.” Wajah Zara berseri-seri. “Sudah lama sekali aku nggak masak di dapur ini. Rasanya aku benar-benar seperti hidup kembali.” Yara terdiam. Melihat wajah Zara yang tampak cerah hari ini membuat pikirannya berkelana ke arah hal yang negatif. Apa yang telah Oliver dan Zara lakukan tadi malam di belakangnya? Tidak m
“Tuan, Anda baik-baik saja?” Wanda berbisik pada Oliver yang tampak melamun dan tidak memperhatikan seorang direktur yang tengah melakukan presentasi di ruang rapat itu.Oliver tidak menjawab pertanyaan Wanda. Pria itu hanya menatap kosong pada ponsel yang tergeletak di atas meja, dengan tangan terlipat di dada. Wanda berpikir, Oliver mungkin sedang menunggu pesan dari seseorang, tapi Wanda tidak tahu pesan dari siapa yang Oliver tunggu. Tidak biasanya bosnya itu memainkan ponsel di kala rapat sedang berlangsung.“Tuan...,” bisik Wanda lagi, kali ini seraya menepuk lengan Oliver pelan, yang berhasil mengeluarkan Oliver dari lamunannya.“Ya, ada apa?” Oliver mengerjap, menatap Wanda bingung.“Presentasi Pak Gibran sudah selesai, apakah ada tanggapan dari Anda?” Wanda mengulas senyum profesional.Oliver mengalihkan tatapannya ke arah audiens. Dan baru ia sadari bahwa semua mata kini tertuju ke arahnya.Oliver mengembuskan napas berat. Sial. Tidak biasanya ia melamun di kala sedang rapat
Oliver menunduk, tangannya terkepal di atas lututnya. “Aku nggak ingin menyakiti siapa pun. Tapi semuanya jadi begitu rumit.”Davin dengan nada tegas kembali berkata, “Kamu nggak bisa lari dari tanggung jawab. Jika Zara ingin mempertahankan statusnya sebagai istri sahmu, kamu harus membuat keputusan. Jika tidak, itu hanya akan menghancurkan semua orang yang terlibat, termasuk dirimu sendiri.”Haris kemudian menambahkan, “Saya sarankan untuk segera berkonsultasi dengan Zara dan Yara secara terpisah. Jika Zara berniat untuk tetap bersama Anda, maka kita perlu mempertimbangkan langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk menangani masalah ini.”Oliver berdiri tiba-tiba, membuat semua orang di ruangan itu terdiam. “Berikan aku waktu. Aku perlu berpikir,” ucapnya tegas. “Semua ini terlalu berat bagiku.”Jingga bangkit dari sofa, menyentuh lengan Oliver dengan lembut. “Waktu nggak akan mengubah apa pun, Nak. Pada akhirnya, kamu harus membuat pilihan. Jangan sampai pilihan itu dibuat oleh ora
[“Yara, beri aku waktu untuk bicara berdua denganmu. Aku mohon jangan mendiamkan aku.”][“Bisakah kita bicara setelah aku pulang nanti?”]Yara menatap dua pesan terakhir dari Oliver dengan ekspresi datar. Pesan itu dikirimkan kemarin siang, tapi sampai saat ini Yara tak ingin membalasnya.Menghela napas panjang, Yara memutuskan untuk menonaktifkan mode pesawat yang menyala sejak kemarin sore.Dan tak disangka-sangka, banyak panggilan masuk yang tak terjawab dan beberapa pesan dari Oliver yang baru saja masuk saat ponselnya terhubung ke data seluler. Namun, Yara tak berani membuka pesan-pesan tersebut. Ia memilih mengabaikannya.Ibu jari Yara bergerak mencari nama Zara dalam daftar kontaknya. Setelah menimbang beberapa saat, ia lantas mengetik pesan pada adik kembarnya tersebut.[“Zara, aku ingin ketemu kamu hari ini. Ada yang ingin aku bicarakan. Bisa?”]Beberapa menit kemudian Zara membalas pesannya.[“Boleh. Kalau sekarang gimana? Kebetulan aku lagi di luar. Mau ketemu di mana?”] ba
Suasana di antara mereka seketika menjadi tegang. Yara menatap Zara dengan mata yang berkaca-kaca, tak percaya dengan pengakuan itu. Kata-kata Zara menusuk hatinya lebih dalam daripada yang ia bayangkan. "Zara, aku nggak pernah merasa aku lebih baik dari kamu," kata Yara dengan suara lirih. "Kamu adalah adikku, dan aku selalu menganggap kita sama istimewanya." "Tapi kenyataannya nggak begitu," jawab Zara dengan nada penuh emosi. "Kamu selalu menjadi yang pertama. Orang-orang selalu membicarakan Yara yang ceria, Yara yang pintar, Yara yang hebat. Sedangkan aku? Aku cuma bayangan kamu. Bahkan Oliver—orang yang kamu sukai—mungkin nggak akan pernah melihatku jika aku nggak berpura-pura jadi kamu." Yara tersentak mendengar pengakuan Zara tersebut. "Jadi, kamu benar-benar mengaku sebagai aku demi mendekati Oliver?" Zara mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku nggak tahu apa yang merasukiku saat itu. Aku hanya ingin tahu rasanya menjadi kamu, Yara. Dan aku tahu itu salah, tapi
Sudah satu minggu Yara keluar dari rumah Oliver. dan selama itu pula Yara menolak bertemu dengan pria itu. Meskipun begitu, Oliver seakan tidak bosan datang setiap hari ke rumah Rianti dan terus menerus menghubungi Yara. Namun tidak sekalipun Yara membalas pesan ataupun mengangkat panggilannya. ‘Sampai kapan kamu akan mendiamkan Oliver terus, Nak? Masalah yang dibiarkan berlarut-larut juga nggak baik. Mama mohon, temui Oliver sekali saja dan beri dia kejelasan. Apakah kamu ingin melanjutkan hubungan dengan Oliver atau melepaskannya?’ Kata-kata Rianti tadi malam kembali terngiang di kepala Yara, membuat Yara akhirnya bangkit dari tidurnya dan meraih ponselnya yang menelungkup di bawah bantal. Setelah melamun cukup lama, Yara akhirnya membuka chat room-nya dengan Oliver. Melihat foto profil pria itu, rasa rindu yang beberapa hari terakhir memenuhi relung hati Yara kembali mencuat.Ia rindu mendengar suara pria
[“Aku akan menunggumu.”] Yara mengirim pesan tersebut kepada Oliver.Lima menit kemudian, centang dua pada pesannya itu berubah menjadi centang biru.Yara datang ke Kana Restaurant 10 menit lebih awal. Ia tampil sederhana dengan gaun berwarna merah muda. Matanya menatap kosong pada segelas air putih di hadapannya.Bagaimana jika ia mendapatkan kemungkinan terburuk? Apa yang akan ia lakukan jika Oliver tidak datang? Bagaimana jika yang Oliver pilih adalah Zara?Menghela napas panjang, Yara meraih gelas tersebut dan meneguk air putihnya untuk melegakan tenggorokan yang terasa kering.Bunyi lonceng terdengar saat pintu terbuka. Cepat-cepat Yara menoleh ke arah pintu. Lalu menghela napas kecewa ketika yang datang ternyata pengunjung lain.Pukul 17:00, Yara merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Seorang waiter datang membawa makanan pembuka dan menghidangkannya di meja.Pada saat yang sama, pintu restoran kembali terbuka dan muncul sosok pria berbadan tegap yang mengenakan jas
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw