"Untuk apa kamu datang kemari? Ingin mencibirku? Ingin mengatakan jika kamulah pemenangnya, iya?!" teriak Marissa.Evelyn mundur beberapa langkah, dia kaget mendapati sambutan yang luar biasa dari Marissa. Bian sendiri sigap berdiri didepan sang istri, takut Marissa akan berlaku nekat pada Evelyn. Marissa menaikkan sudut bibirnya melihat kekhawatiran Bian, ada yang berdenyut didalam sana, berpikir jika dialah yang harus Bian lindungi."Kenapa, Mas? Kamu takut aku akan menyakiti istrimu?" sindir Marissa, sembari melirik tajam Evelyn."Tentu saja! Karena dia tak pantas untuk diperlakukan buruk!" jawab Bian tegas. Evelyn langsung memegang lengan Bian, memberi isyarat agar suaminya itu tidak meneruskan, karena ada Chika yang turut menyaksikan."Maaf, Ris! Jika kedatangan kami malah membuatmu tak nyaman. Kami datang hanya untuk membawa Chika. Dia mengatakan rindu denganmu, jadi aku dan mas Bian berinisiatif membawanya berjumpa denganmu." Evelyn mengalihkan pembicaraan. Tak ingin terus-mene
Chika berlari sambil menangis, petugas yang ada disana keheranan, dan mencoba menanyakan kenapa dia menangis. Chika terisak-isak, dan meminta diantarkan keluar menemui orang tuanya.Bian dan Evelyn sama-sama terkejut, saat melihat Chika yang sedang menangis dengan diantar oleh petugas. Evelyn langsung mendekati Chika dan membawanya dalam pelukan, agar gadis kecil itu bisa lebih tenang. Bian menanyakan perihal alasan putrinya menangis pada petugas yang tadi mengantar, tapi petugas itu mengatakan tak tau apa-apa. Setelahnya dia langsung pamit, tak lupa Bian mengucapkan terima kasih, dan mulai mendekati Chika."Kenapa, Nak? Cerita sama papi," pinta Bian mengelus rambut putrinya. Bukannya menjawab, Chika malah semakin keras tangisnya."Sudah, Mas! Jangan dipaksa, biarkan Chika tenang dulu," kata Evelyn. Dia berusaha menenangkan Chika, dan mengajaknya untuk pulang segera. Mereka pun berjalan menuju mobil, Evelyn membuka pintu belakang agar Chika bisa masuk. Setelahnya dia menyusul masuk
Haikal memandang Marissa yang menunduk diam. Lelaki itu berharap, wanita itu bisa melunak sedikit saja. "Ris, coba kamu pikirkan lagi. Apa yang aku katakan tadi bukan semata-mata untuk membela siapa pun." Haikal memandang Marissa. Wanita itu tak menjawab, dia hanya diam dan membuang pandang kearah lain."Percuma kamu membalaskan dendam. Ujung-ujungnya nanti akan kemari lagi. Kamu mau, setelah dapat menghirup udara bebas, malah harus kembali kesini? Enggak, kan?""Tak masalah! Aku baru akan tenang, setelah apa yang aku inginkan terkabul. Tak peduli apa pun resikonya, termasuk jika aku harus mendekam di penjara untuk seumur hidup," jawab Marissa."Lantas untuk apa kamu hidup? Hanya untuk mencari musuh, mencelakai orang. Kemudian menjadi beban negara?" sindir Haikal. Lelaki itu berpikir, jika bicara dengan cara lembut tak bisa ditangkap baik oleh Marissa, jadi terpaksa dia memakai cara yang agak kasar.Marissa mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Haikal. Dia menatap tajam lelaki itu,
"Kal, ntar siang kamu nggak sibuk, kan?" tanya Hani–sang kakak."Enggak. Kenapa, Mbak?" Haikal menjawab sembari menggeleng."Nanti kita makan siang bareng, ya? Mbak mau kenalin kamu sama adik temen, Mbak," kata Hani antusias.Haikal menyipitkan matanya, kemudian menggeleng tegas. Lelaki itu sudah paham, akan kemana arah pembicaraan ini."Enggak!" tegas lelaki itu. Hani tercengang mendengar penolakan sang adik."Kenapa? Emangnya kamu masih aja betah sendiri? Umur kamu itu sudah matang, Kal! Sudah pantas untuk berkeluarga. Nggak malu? Diantara teman-temanmu, hanya kamu yang belum menikah! Udah kayak orang yang gagal move on aja!" cecar Hani. Suasana meja makan berubah tegang. Orang tua dan juga suami Hani diam saja, membiarkan kakak beradik itu bicara."Memangnya siapa yang gagal move on? Jangan sembarangan bicara, Mbak!" sanggah Haikal tak terima dengan tuduhan sang kakak."Ya, kamu! Siapa lagi? Kalau kamu nggak gagal move on, nggak mungkin sampai sekarang belum ada gandengan yang kam
Evelyn bergegas masuk untuk siap-siap. Dia menunggu kedatangan Melani, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh wanita itu tentang Marissa.Melani yang saat itu berada di kantor Haikal, langsung bergegas menemui Evelyn. Dia ingin meminta pendapat wanita itu, mengenai Haikal yang menaruh rasa pada Marissa.Saat dalam perjalanan menuju rumah Evelyn, sang putra menghubungi Melani. Setelah menepikan mobilnya dan berhenti, wanita itu mengangkat panggilan dari anak semata wayangnya itu."Halo, Sayang. Ada apa, Nak?" tanya Melani lembut."Mami dimana? Papi nanyain, nih!" jawab sang putra diseberang sana.Melani menghembuskan napas pelan."Mami lagi di jalan. Mau ke rumah temen. Lagian ngapain papimu nanyain mami? Nggak biasanya!" sahut Melani sewot."Lah? Ya, wajar kali, Mi! Dia, kan, nanya istrinya." Sang putra menjawab setengah bercanda, terdengar kekehan kecil disana."Lagian mami juga aneh. Giliran papi perhatian, mami banyak tanya. Giliran cuek kayak biasanya, mami misuh-misuh. D
Marissa tersentak saat petugas memanggilnya. Dia bergegas bangkit, dan tersenyum sumringah. Marissa berpikir ada yang mengunjunginya, dan itu ... Haikal."Ada titipan dari seseorang! Tadi pagi dia datang." Petugas tadi membuka gembok dan menyerahkan kantong plastik tadi pada Marissa. Setelah itu kembali menggembok dan berlalu dari sana.Marissa hendak membuka mulut, ingin bertanya ini semua dari siapa, tapi urung ia lakukan karena petugas tadi sudah berlalu dengan cepat.Dia duduk dan membuka kresek tadi, ternyata isinya adalah makan siap saji dan beberapa cemilan dan juga minuman. Hati Marissa menghangat, dia tersenyum tipis dengan sesak yang tiba-tiba datang. Dia menangis dan berpikir, ternyata masih ada orang yang benar-benar baik dan tulus. Marissa menduga, jika itu semua adalah pemberian Haikal. Tapi, kenapa lelaki tak menjumpainya dan malah memilih menitipkan pada petugas? Apa dia benar-benar tersinggung dan marah dengan ucapan Marissa kemarin?***Haikal duduk disamping Hani d
Haikal tiba-tiba merasa rindu dengan Marissa. Dia berharap Marissa mau membuka hati untuknya. Apalagi desakan dari kakak dan juga orang tuanya untuk segera menikah, semakin menjadi. Mereka bersikeras ingin tetap menjodohkan Haikal dengan Brianna, jika lelaki itu tak jua membawa wanita sebagai calonnya kehadapan seluruh keluarga.Sang mama berulang kali meminta agar Haikal membawa sang tambatan hati ke rumah, beliau juga berjanji akan menerima dengan baik. Tapi lelaki itu melontarkan berbagai macam alasan, karena tak mungkin juga dia mengatakan jika wanita itu sekarang sedang berada di penjara, sebagai narapidana. Dia takut, sang mama meminta agar Haikal menjauhinya."Kal, besok ada arisan keluarga. Kalau kamu memang nggak mau dijodohkan dengan Brianna, bawa wanita yang katamu sekarang dekat denganmu. Karena kalau tidak, terpaksa perjodohan ini dilanjutkan."Ucapan sang mama semalam terngiang di telinga Haikal. Dia bingung, apa yang harus dia lakukan? Sedang acara arisan akan diadakan
"Kal ...," panggil Marissa serupa desisan. Haikal bangkit menyambut wanita itu. Mata Haikal tak berpaling sedikit pun dari wanita didepannya."Apa ... Kabar?" tanya lelaki itu pelan."Kenapa kamu tak pernah datang lagi, Kal? Apa ... Aku benar-benar sudah membuatmu sakit hati?" tanya Marissa dengan suara parau.Selama Haikal tak pernah lagi datang menemuinya, Marissa merasa hampa. Kekosongan di hatinya makin lebar saat lelaki itu memutuskan untuk tak menemuinya lagi. Tak ada lagi dendam yang Marissa pikirkan, yang dia ingat dan inginkan hanya kehadiran Haikal seperti biasa."A-aku ... Aku takut ... Kamu tak suka dengan kedatanganku," kata Haikal tertunduk."Maaf! Aku benar-benar minta maaf, Kal. Aku tau ... Ucapanku waktu itu sudah menyinggung perasaanmu. Aku ... Menyesal karena sudah membenarkan kesalahanku. Dan bodohnya malah tutup mata dengan nasehat yang kamu beri. Aku ... Malah menuduhmu yang tidak-tidak. Aku minta maaf, Kal. Aku mohon ... Maafkan aku." Tangis wanita itu pecah. D
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel