"Kal ...," panggil Marissa serupa desisan. Haikal bangkit menyambut wanita itu. Mata Haikal tak berpaling sedikit pun dari wanita didepannya."Apa ... Kabar?" tanya lelaki itu pelan."Kenapa kamu tak pernah datang lagi, Kal? Apa ... Aku benar-benar sudah membuatmu sakit hati?" tanya Marissa dengan suara parau.Selama Haikal tak pernah lagi datang menemuinya, Marissa merasa hampa. Kekosongan di hatinya makin lebar saat lelaki itu memutuskan untuk tak menemuinya lagi. Tak ada lagi dendam yang Marissa pikirkan, yang dia ingat dan inginkan hanya kehadiran Haikal seperti biasa."A-aku ... Aku takut ... Kamu tak suka dengan kedatanganku," kata Haikal tertunduk."Maaf! Aku benar-benar minta maaf, Kal. Aku tau ... Ucapanku waktu itu sudah menyinggung perasaanmu. Aku ... Menyesal karena sudah membenarkan kesalahanku. Dan bodohnya malah tutup mata dengan nasehat yang kamu beri. Aku ... Malah menuduhmu yang tidak-tidak. Aku minta maaf, Kal. Aku mohon ... Maafkan aku." Tangis wanita itu pecah. D
"Eum ... Mungkin ... Dia memang sedang mengunjungi temannya. Kali aja dia ada temen yang sedang kena kasus, kan? Kita, kan, nggak tau!" sahut Mama Haikal mencoba berpikir positif."Jangan khawatir. Nanti saat dia pulang kita coba tanyakan." Wanita itu mencoba menenangkan sang putri, meski dalam hati ia pun sama bingungnya.Di kantor polisi, Haikal berpamitan pada Marissa. Waktu kunjungannya sudah habis, meski rasanya pria itu ingin lebih lama disana, tapi dia tetap harus mematuhi aturan.Haikal memutuskan segera pulang. Hatinya sedang berbunga-bunga, sikap Marissa yang sekarang mulai membaik padanya membuat lelaki itu bahagia bukan main. Bahkan ia selalu menyunggingkan senyum, ia lupa beberapa hari ini tak lagi pernah tersenyum selebar ini.Lelaki itu mengernyit melihat mobil yang berjejer di halaman rumahnya yang luas. Dia menebak-nebak apa yang terjadi, dan di detik berikutnya ia baru ingat, jika keluarga besarnya akan mengadakan arisan di rumahnya. Haikal melirik jam yang melingkar
Hari terus berlalu, dan hari ini pernikahan Karina dan Fattan akan digelar. Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing. Evelyn sedang menemani Karina yang sedang dirias, Karina tampil cantik dalam balutan kebaya berwarna putih.Bu Dena dan bu Maya pun sudah bersiap, mereka tampil kompak mengenakan kebaya serupa. Karena mereka sudah selesai, bu Dena mengajak bu maya keluar menyambut para tamu undangan.Karina juga sudah selesai dirias, bibir gadis itu tak henti menyunggingkan senyum, apalagi Evelyn tak berhenti memujinya, mengatakan dia sangat cantik dan pasti akan membuat Fattan pangling."Cantik banget, sih? Fattan bakal pangling ini, dan nggak nyangka dia bisa nikahin bidadari," puji Evelyn memandang Karina dengan senyuman."Ihh, kamu ini kebiasaan, Lyn! Memuji terlalu tinggi, ntar aku jatuh sakit, deh!" canda Karina terkekeh. Keduanya saling tertawa, bahagia. Evelyn memeluk Karina penuh haru, tak henti mengucapkan selamat untuk sahabat sekaligus saudara untuknya. Keduanya saling
Dengan menjabat tangan penghulu, dan disaksikan oleh para tamu undangan. Fattan mengucapkan ijab kabul dengan lancar dan lantang. Dalam satu tarikan napas, lelaki itu berhasil menghalalkan sang kekasih hati. Ucapan syukur menggema di seluruh ruangan, Fattan mengusap wajah dengan lega. Wajah yang tadi terlihat tegang, langsung berubah berseri.Karina dijemput oleh bu Dena ke kamar. Wajah wanita itu bersemu merah, dengan langkah pelan, ia berjalan keluar dengan diapit bu Dena dan Evelyn.Jantung Karina semakin berdebar saat mereka sudah mencapai ruang tamu yang sudah disulap menjadi tempat yang menjadi saksi sahnya hubungan mereka. Terlebih lagi saat semua pasang mata tak beralih sedikit pun darinya, ia merasa sangat malu karena menjadi pusat perhatian semua orang. Fattan langsung menoleh saat Karina didudukkan disisinya, mata lelaki itu tak berkedip sedikit pun. Ia merasa takjub dengan salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang sudah halal baginya itu. Karina menoleh malu-malu, dan meraih
Pukul lima sore, acara pernikahan Karina selesai. Para tamu undangan yang tadi datang silih berganti, sudah mulai membubarkan diri. Karina kembali ke kamar dengan ditemani Evelyn, sedang Fattan masih diluar dengan keluarga yang masih tinggal."Kamu nggak mau mandi dulu, Rin? Biar seger," kata Evelyn yang sedang membantu Karina melepas aksesoris yang melekat."Kayaknya iya, deh! Lengket banget ini badan. Mana kepala aku juga pusing banget lagi," sahut Karina mengangguk. "Yaudah. Kalau gitu, aku keluar dulu, ya? Ini udah selesai. Kalau butuh apa-apa, panggil aku aja," kata Evelyn lagi. Karina mengangguk saja, dia lantas bangkit dan meraih handuk kemudian berjalan masuk ke kamar mandi. Sedang Evelyn keluar dari sana, dia menunggu Karina dengan duduk bergabung bersama yang lain.Saat sampai diluar, Evelyn melihat Chika yang tampak kelelahan, gadis kecil itu tampak beberapa kali menguap. Evelyn memutuskan mengajak sang putri ke kamar, untuk menyegarkan diri lebih dulu. "Sayang, kita mand
Kebiasaan Evelyn sekarang ialah, menunggu kepulangan suaminya bersama putri mereka. Biasanya, sehabis mandi dan siap-siap, Evelyn akan mengajak Chika untuk duduk di teras depan, sembari menunggu sang suami dia akan mengajak sang putri berbincang-bincang. Tak salah jika Chika merasa nyaman dan aman berada didekat Evelyn, meski wanita itu bukanlah ibu kandungnya. Evelyn selalu punya cara untuk dekat dengan Chika, apa pun dia lakukan untuk kenyamanan putri sambungnya itu.Saat bersama Marissa dulu, tak pernah Chika merasakan yang namanya berbincang lama dengan sang mami, wanita itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, hingga lupa jika ia memiliki seorang anak yang butuh perhatian. Marissa memang sangat menyayangi Chika, bahkan dia begitu memanjakannya, apa pun yang putrinya itu inginkan, Marissa akan berusaha mengabulkannya. Chika manja, dengan harta tapi tidak dengan waktu dan kebersamaan. Hanya dengan Evelyn lah Chika baru merasakan bahagia yang sebenarnya.Banyak hal yang dapat Chi
Evelyn berjalan mendekat kearah Chika dan Bian. Bian yang menyadari kedatangan sang istri hanya tersenyum mengangguk. Evelyn mengelus rambut sang putri, membuat Chika mendongak menatapnya."Bunda? Maafin Chika, ya? Chika nggak bermaksud bikin Bunda sedih," ucap Chika. Evelyn hanya tersenyum lembut, dia membawa sang putri dalam pelukan, kemudian mengajaknya duduk di ranjang."Chika nggak salah, kok! Wajar kalau Chika merajuk, itu artinya Chika sudah bisa mengekspresikan perasaan. Bunda yang salah, karena terlalu memaksa kamu," tutur Evelyn lembut. Dia menatap Chika, gadis kecil itu hanya menunduk.Evelyn tak ingin menyalahkan Chika. Karena dia berpikir jika sikap Chika itu adalah hal yang wajar. Meski seorang anak, dia sudah seharusnya bebas menentukan pilihan. Ingin menerima, atau bahkan menolak. Hanya kita sebagai orang tua yang sudah seharusnya peka terhadap perasaan anak, tak seharusnya memaksakan kehendak kita hanya karena berstatus sebagai orang tua yang harus dihormati."Sayang,
Marissa nyaris melompat dari tempat duduknya saat namanya dipanggil, dan dikatakan ada yang ingin berkunjung. Wajah yang tadi muram, langsung berubah sumringah. Apalagi saat petugas mengatakan, yang berkunjung adalah sepasang suami istri dengan membawa anak kecil. Sudah bisa dia tebak, yang datang adalah Bian dan Evelyn serta Chika, putri yang amat ia rindukan.Bian dan Evelyn saling pandang begitu melihat penampilan Marissa. Tak ada lagi pakaian ketat dan kurang bahan, berganti dengan baju longgar dan sopan serta hijab yang melekat menutupi rambut indah wanita itu. Melihat perubahan yang begitu signifikan dari Marissa, tentu membuat Evelyn ikut senang.Dengan senyum lebar, Marissa langsung merentangkan tangan, begitu melihat putrinya berdiri disana. Chika bergeming. Gadis kecil itu tak sedikit pun bergerak, menyambut uluran tangan sang Mami. Dan sikapnya itu, membuat senyum yang tadi tersungging di bibir Marissa luntur bersamaan dengan perihnya hati wanita itu.Evelyn menyentuh lembu
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel