Evelyn meraih tangan Bu Maya, mengecupnya berulang kali. Dia ingin menunjukkan pada Bu Maya, betapa dia sangat menghormati serta menyayangi wanita yang sudah melahirkan lelaki yang sangat ia cintai itu.Bu Maya merasakan ketenangan di jiwanya, meski masih sangat lemah karena keadaan ini, namun dia merasa kuat sebab kehadiran Evelyn—menantu kesayangannya.Pak Hendra dan Karina yang menyaksikan hangatnya hubungan mertua dan menantu itu hanya bisa tersenyum senang, keduanya merasa bersyukur karena kesalahpahaman yang terjadi seakan melebur begitu saja, dan semua itu terjadi sebab hati Evelyn yang begitu luas dan mudah memaafkan."Pa, sudah sarapan? Kalau belum Papa sarapan aja dulu. Mumpung Evelyn dan Karina lagi disini," kata Evelyn beralih pada Pak Hendra. Pria itu mengangguk, kemudian meraih bekal yang tadi dibawa Evelyn dan membawanya keluar setelah berpamitan.Evelyn meminta Bu Maya untuk istirahat, sedang dia duduk ditepi ranjang sambil memijiti tangan serta kaki mertuanya itu deng
"Pa, Elyn pamit dulu, ya? Mama lagi istirahat. Baru aja tidur lagi, jadi nggak enak bangunin cuma buat pamitan. Elyn pamit sama Papa aja, ya?" kata Evelyn pada Pak Hendra yang sedang duduk di kursi tunggu."Eh, iya. Makasih banyak, ya, Nak? Sudah mau meluangkan waktu untuk jengukin Mama. Nak Karin juga, terimakasih banyak," sahut Pak Hendra.Evelyn dan Karina mengangguk serentak, kemudian bergantian menyalami tangan Pak Hendra dan berlalu dari sana.Dari arah lain, Bian dan Chika baru saja tiba. Tadi mereka menyempatkan diri untuk membeli makan siang dan juga buah-buahan. Karena Evelyn dan Karina memilih jalan lain untuk keluar, jadi mereka tak bertemu disana."Kakek ..." seru Chika begitu membuka pintu ruang rawat sang Nenek."Wah, cucu Kakek sudah datang! Sini, Sayang," kata Pak Hendra merentangkan tangan.Chika langsung berlari menghambur ke pelukan sang Kakek. Bian yang melihat itu hanya bisa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Lelaki itu menaruh buah-buahan dan juga nasi k
"Kamu sedang apa disini?" tanya Haikal. Ternyata yang ditabrak Marissa di minimarket tadi adalah mantan bosnya."Eum ... Ini, Pak. Saya lagi beli minuman sama cemilan." Marissa menyahut.Haikal manggut-manggut. Karena antrian di meja kasir sudah kosong, Marissa pamit untuk membayar lebih dulu. "Permisi, Pak. Saya mau bayar ini dulu," izin Marissa. Haikal hanya mengangguk dan mempersilahkan Marissa pergi lebih dulu.Haikal memandang Marissa yang sudah berjalan ke meja kasir. Sejak awal bertemu dengan Marissa dulu, Haikal sudah merasa terpikat. Dia diam-diam menaruh perasaan pada karyawannya itu, memperhatikan wanita itu meski dari jarak jauh. Tapi itu dulu, dulu ... Sekali. Sebelum lelaki itu tau bagaimana sikap asli wanita yang ia kagumi itu. Haikal benar-benar merasa kaget dan tak tau harus berekspresi seperti apa, saat satu fakta terkuak. Ternyata selama ini Marissa menjadi simpanan lelaki beristri. Dan lelaki itu adalah Om Haikal sendiri, adik dari almarhum Papanya—yaitu Brata.D
Marissa kebingungan saat mendapati ranjang yang ditempati Bu Maya sebelumnya sudah kosong. Dia keluar dan menahan salah satu perawat disana untuk bertanya."Sus, pasien disini kemana? Kok ranjangnya kosong?" tanya Marissa."Wah, kurang tau saya, Mbak. Coba kebagian administrasi saja, mereka pasti tau itu. Mungkin yang Mbak maksud sudah pulang atau dipindahkan," jawab perawat tadi. Marissa hanya mengangguk, kemudian berlalu setelah mengucapkan terimakasih.Marissa berjalan menuju ruang administrasi. Sepanjang perjalanan, segala tanya bergelayut dalam kepalanya. Kemana Bu Maya sebenarnya? Apa dia sudah siuman? Tapi kenapa Bian tak memberitahunya? Kalau benar perkiraannya itu, Bian sungguh keterlaluan karena sudah menyembunyikan semua dari Marissa."Permisi, Sus. Saya mau tanya, pasien atas nama Maya sudah keluar, kah? Atau dipindah ruang rawatnya?" tanya Marissa."Atas nama Maya? Sebelumnya pasien dirawat dimana, Mbak? Riwayat sakitnya apa?" Perawat tadi bertanya."Diruang ICU. Kebetula
"A-pa ma-maksudnya?" Bu Maya menatap Pak Hendra penuh tanya."Bukan apa-apa, Ma!" sahut Bian cepat. Marissa mendelik sinis kemudian berjalan mendekati ranjang Bu Maya."Mas Bian sudah berjanji padaku. Jika Mama sembuh, dia akan segera menikahiku! Dan sekarang Mama sudah sembuh, kan? Jadi aku sedang menagih janjinya itu," timpal Marissa. Bian melempar tatapan tajam pada Marissa, tapi wanita itu malah melengos tak peduli."Rissa! Keluar sekarang! Mama sedang dalam proses penyembuhan, jangan malah membebani pikirannya!" Bian mengusir Marissa dengan suara lantang. Chika yang sedang tidur di sofa terbangun sebab mendengar suara sang Papi."Membebani gimana maksudmu, Mas? Pernikahan kita akan jadi beban untuk Mama, gitu? Aneh, kamu, ya!" kesal Marissa."Bi! Bawa Marissa keluar. Selesaikan masalah kalian disana. Kalian nggak kasihan liat Chika? Dia sampai kebangun gara-gara perdebatan kalian!" hardik Pak Hendra tertahan.Dengan paksa Bian pun menarik tangan Marissa agar keluar dari ruang raw
Melani menatap penuh curiga pada Haikal, dia melihat keponakanya itu seperti menaruh harapan besar agar mendapat persetujuan darinya."Kal, kamu kenapa tiba-tiba saja kepikiran hal ini? Padahal ini nggak pernah kita bicarakan, loh! Jangan bilang kalau kamu ..." Melani menjeda ucapannya. Haikal gelagapan mendengar pertanyaan istri dari Omnya itu."A-apa, Tan? Aku ... Eum ... Aku benar-benar cuma mau ngebantu, kok! Kenapa Tante bertanya seperti ini?" bohongnya. Haikal tampak salah tingkah. Dan cara menjawabnya itu membuat Melani semakin menaruh curiga."Jujur saja! Kamu suka padanya?" desak Melani."Eng ... Apa, sih, Tan? Haikal permisi dulu, ada urusan," kilahnya dan segera bangkit, tapi Melani malah mencegahnya."Duduk dulu! Tante mau bicara serius denganmu. Tante nggak suka ada kebohongan!" tahan Melani. Haikal terpaksa kembali duduk, dia pasrah jika harus mendapat desakan pertanyaan dari Tantenya yang mulai curiga itu. Salahnya juga, kenapa harus mengajukan rencana itu. Padahal jel
Haikal terdiam mendengar penuturan Melani, dia membenarkan apa yang dikatakan Tantenya itu. Selama ini rumah tangga Melani dan Brata selalu harmonis, tak pernah mereka terlibat cekcok yang menyebabkan pertengkaran hebat. Bahkan mereka selalu menjadi pasangan romantis di keluarga besar mereka, Haikal saja tak pernah menyangka jika adik dari ayahnya itu tega mengkhianati sucinya pernikahan mereka."Maaf, Tan ... Aku ..." Haikal menunduk dalam. Dia sangat merasa bersalah, sebab ucapannya tadi pasti sudah menyinggung perasaan Tantenya."Tante paham! Konon kata mereka, orang yang sedang jatuh cinta itu memang tak ingin disalahkan. Bahkan nasehat pun tak akan mampu mereka cerna," kata Melani terkekeh, demi mencairkan suasana yang sempat menegang."Bukan begitu, Tan. Tapi, aku buntu. Tante tau sendiri, aku tak pernah jatuh cinta. Bahkan bisa dikatakan ini pertama kalinya," Haikal kembali menunduk. Ada desir saat dia mengakui sedang jatuh cinta. Karena memang selama ini dia seolah anti dekat
Selesai sarapan, Bu Maya meminta agar diantar ke kamar oleh Pak Hendra. Sebelum keduanya beranjak, Bian mencegah lebih dulu."Ma, Pa. Bian pamit dulu, ya?" katanya menatap Pak Hendra dan Bu Maya bergantian."Loh? Bukannya hari ini libur? Terus kamu mau kemana?" tanya Bu Maya bingung."Eee ... Bian mau ... Diajak Marissa untuk fitting baju pengantin, Ma," sahut Bian menunduk. Ada perih di hatinya, mengingat beberapa hari lagi dia akan menikahi wanita yang tak ia inginkan itu."Hhh ... Bagaimana dengan Evelyn? Kamu sudah mengurus perceraian kalian di pengadilan?" Giliran Pak Hendra yang bertanya.Bian lantas menggeleng, "Belum, Pa. Bian belum siap jika harus benar-benar putus hubungan dengan Evelyn." Lelaki itu menunduk sangat dalam."Jadinya bagaimana? Itu artinya kamu menggantung Evelyn, Bi! Itu lebih menyakitkan bagi Evelyn," timpal Bu Maya. Bian mendengkus kasar, tak tahu harus berbuat apa."Bian tau, Ma! Tapi ... Bian berharap kami akan kembali berjodoh," kata Bian menatap kedua or
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel