Melani menatap penuh curiga pada Haikal, dia melihat keponakanya itu seperti menaruh harapan besar agar mendapat persetujuan darinya."Kal, kamu kenapa tiba-tiba saja kepikiran hal ini? Padahal ini nggak pernah kita bicarakan, loh! Jangan bilang kalau kamu ..." Melani menjeda ucapannya. Haikal gelagapan mendengar pertanyaan istri dari Omnya itu."A-apa, Tan? Aku ... Eum ... Aku benar-benar cuma mau ngebantu, kok! Kenapa Tante bertanya seperti ini?" bohongnya. Haikal tampak salah tingkah. Dan cara menjawabnya itu membuat Melani semakin menaruh curiga."Jujur saja! Kamu suka padanya?" desak Melani."Eng ... Apa, sih, Tan? Haikal permisi dulu, ada urusan," kilahnya dan segera bangkit, tapi Melani malah mencegahnya."Duduk dulu! Tante mau bicara serius denganmu. Tante nggak suka ada kebohongan!" tahan Melani. Haikal terpaksa kembali duduk, dia pasrah jika harus mendapat desakan pertanyaan dari Tantenya yang mulai curiga itu. Salahnya juga, kenapa harus mengajukan rencana itu. Padahal jel
Haikal terdiam mendengar penuturan Melani, dia membenarkan apa yang dikatakan Tantenya itu. Selama ini rumah tangga Melani dan Brata selalu harmonis, tak pernah mereka terlibat cekcok yang menyebabkan pertengkaran hebat. Bahkan mereka selalu menjadi pasangan romantis di keluarga besar mereka, Haikal saja tak pernah menyangka jika adik dari ayahnya itu tega mengkhianati sucinya pernikahan mereka."Maaf, Tan ... Aku ..." Haikal menunduk dalam. Dia sangat merasa bersalah, sebab ucapannya tadi pasti sudah menyinggung perasaan Tantenya."Tante paham! Konon kata mereka, orang yang sedang jatuh cinta itu memang tak ingin disalahkan. Bahkan nasehat pun tak akan mampu mereka cerna," kata Melani terkekeh, demi mencairkan suasana yang sempat menegang."Bukan begitu, Tan. Tapi, aku buntu. Tante tau sendiri, aku tak pernah jatuh cinta. Bahkan bisa dikatakan ini pertama kalinya," Haikal kembali menunduk. Ada desir saat dia mengakui sedang jatuh cinta. Karena memang selama ini dia seolah anti dekat
Selesai sarapan, Bu Maya meminta agar diantar ke kamar oleh Pak Hendra. Sebelum keduanya beranjak, Bian mencegah lebih dulu."Ma, Pa. Bian pamit dulu, ya?" katanya menatap Pak Hendra dan Bu Maya bergantian."Loh? Bukannya hari ini libur? Terus kamu mau kemana?" tanya Bu Maya bingung."Eee ... Bian mau ... Diajak Marissa untuk fitting baju pengantin, Ma," sahut Bian menunduk. Ada perih di hatinya, mengingat beberapa hari lagi dia akan menikahi wanita yang tak ia inginkan itu."Hhh ... Bagaimana dengan Evelyn? Kamu sudah mengurus perceraian kalian di pengadilan?" Giliran Pak Hendra yang bertanya.Bian lantas menggeleng, "Belum, Pa. Bian belum siap jika harus benar-benar putus hubungan dengan Evelyn." Lelaki itu menunduk sangat dalam."Jadinya bagaimana? Itu artinya kamu menggantung Evelyn, Bi! Itu lebih menyakitkan bagi Evelyn," timpal Bu Maya. Bian mendengkus kasar, tak tahu harus berbuat apa."Bian tau, Ma! Tapi ... Bian berharap kami akan kembali berjodoh," kata Bian menatap kedua or
Marissa mendekati Bian, wanita itu tersenyum lebar. Bian sendiri tetap saja menampakkan raut wajahnya yang datar, tak sedikit pun ia membalas senyuman Marissa."Mas, kamu tampan sekali!" puji Marissa, berharap Bian melambung saat mendengar pujiannya. "Aku jadi tak sabar, Mas. Apalagi menyaksikan kamu mengucapkan ijab kabul kedua untukku." Marissa bergelayut manja di lengan Bian.Dia tak merasa malu atau pun risih, padahal beberapa karyawan yang tadi ikut membantu ada disana."Jangan seperti ini, Ris! Sudah berapa kali kubilang?" sentak Bian. Marissa tercengang, tak menyangka jika Bian akan berlaku seperti itu padanya dihadapan semua orang. Wajah Marissa merah padam menahan malu, apalagi saat melihat para karyawan butik itu saling melirik dan berbisik sambil menahan senyum..."Assalamu'alaikum," seru Evelyn didepan pintu rumah Bu Maya.Bu Maya dan Pak Hendra yang memang sedang menunggu kedatangan Evelyn di ruang tengah tersenyum senang, saat mendengar suara orang yang ditunggu datan
Bian dan Marissa sedang makan siang di kafe yang tak jauh dari butik tempat mereka fitting baju pengantin tadi. Awalnya Bian menolak, tapi Marissa memaksa, akhirnya dari pada ribut didepan umum, Bian memilih mengalah dan menuruti mau wanita itu."Mas," panggil Marissa. Bian sedang fokus pada ponselnya, sekarang mereka sedang menunggu pesanan tiba. Marissa kesal, sebab sejak datang tadi, ponsel seakan enggan Bian lepaskan. Bahkan ia hanya bergumam atau mengangguk saat Marissa mengajak bicara."Hm?" Gumam Bian tanpa menoleh."Kamu itu bisa nggak, sih, kalo lagi bareng aku itu jangan sibuk sama ponsel terus? Aku malah dicuekin!" ketus Marissa, berharap Bian mengerti.Bian hanya menoleh sekilas, tapi kembali sibuk dengan ponsel di tangannya. Marissa menggerutu kesal, dia ingin kembali buka suara, tapi kedatangan pelayan kafe membuatnya mengurungkan niat."Silahkan, Mas, Mbak!" kata pelayanan kafe ramah. Bian menoleh dan tersenyum."Terimakasih!" kata Bian, pelayan itu hanya mengangguk da
Bian baru saja tiba di rumah, dia menyandar sambil memejamkan mata di sofa. Dia sangat merasa lelah, bukan hanya tubuhnya saja yang lelah, tapi pikirannya juga.Pak Hendra yang mendengar suara mobil sang putra sampai, keluar menemui anak satu-satunya itu. Saat keluar, dia melihat Bian yang sedang menyandar dengan mata memejam, Pak Hendra bisa merasakan, betapa pusingnya Bian saat ini. Dia merasa kasihan, dan berharap masalah ini cepat usai, dan Evelyn bersedia kembali menjalani rencana awalnya.Pak Hendra berjalan mendekati Bian, "Kamu kenapa, Bi? Sepertinya ada yang sedang kamu pikirkan," tanya Pak Hendra duduk disamping Bian."Eh? Enggak, Pa! Bian cuma capek aja," dusta Bian. Dia tak ingin membagi keluh kesahnya dengan sang Papa. Cukup masalah kondisi Bu Maya saja yang beliau pikirkan, jangan ditambah lagi dengan masalah yang tengah ia pikirkan sekarang, pikir Bian."Yaudah kalau memang kamu nggak mau cerita. Padahal Papa hanya ingin meringankan sedikit bebanmu saja, dengan kamu men
Besok akad nikah Bian dan Marissa akan digelar, sesuai permintaan Bian, mereka hanya akan mengadakan akad tanpa resepsi. Bian tak ingin ada kemewahan, beralasan karena perceraiannya dengan Evelyn belum selesai."Ini salah kamu, Mas! Coba saja kamu selesaikan perceraianmu dengan wanita itu sejak awal, pasti pernikahan kita nggak akan sesederhana ini!" ketus Marissa tempo hari."Mau bagaimana lagi? Bukankah yang penting bagimu adalah segera aku nikahkan? Jadi tak perlu kamu merengut begitu! Aku juga terlalu sibuk, mengurus pernikahan ini saja sudah membuatku pusing!" balas Bian tak kalah ketus.Bian menatap ruang tamu rumah orang tuanya, yang sudah disulap dengan decor bunga berwarna peach bercampur putih disetiap sudutnya. Dindingnya sudah tertutup tirai berwarna putih, disana juga sudah disusun satu buah meja kecil untuk tempatnya mengucap ijab kabul besok pagi.Tiba-tiba saja ada sesak yang memenuhi rongga dada lelaki itu, Bian tak bisa membayangkan jika dia akan kembali merajut kasi
Melani bangkit, dan beralih duduk disamping Evelyn, wanita itu merengkuh tubuh Evelyn yang berguncang hebat. Wanita itu paham apa yang dirasakan Evelyn, dia tau jika Evelyn memiliki hati yang lembut, dan orangnya sangat tidak tegaan.Melani mengusap-usap punggung Evelyn, dia berusaha menenangkan Evelyn. Tapi tidak dengan Karina, gadis itu tetap tak beranjak dari duduknya meski untuk sekedar menenangkan sahabatnya itu. Pasalnya dia sudah kelewat kesal, sudah berulang kali dia mengatakan agar Evelyn tak terlalu memikirkan nasib orang lain.Setelah tenang, Evelyn menghapus jejak air matanya. Karina menyodorkan botol air mineral kehadapan Evelyn tanpa sepatah kata pun. Melani tersenyum melihat itu, meski Karina masih sangat kesal pada Evelyn, tapi gadis itu tetap memperlihatkan perhatiannya.Evelyn meraih botol itu dan meneguknya sedikit, kemudian dia menyimpannya kembali diatas meja."Sudah tenang?" tanya Melani lembut. Evelyn mengangguk. "Jadi apa yang kamu inginkan? Membatalkan rencana
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel