"Begitulah awal kejadiannya, Pa. Mama benar-benar nggak tau harus apa saat itu. Dan nggak tau juga kenapa Mama bisa setuju dengan rencana Marissa, padahal tanpa Mama sadari dia hanya sedang menjebak Mama, dan menjadikan Mama sebagai alat untuk dia bisa memperalat Bian." isak Bu Maya. Wanita itu sungguh menyesali kebodohannya."Hhh ... Kenapa Mama harus mengorbankan anak dan menantu sendiri? Kalau memang dia ingin menuntut kita, biarkan saja! Bahkan Papa rela jika harus menyerahkan rumah ini dari pada harus menukar Evelyn dengannya!" tekan pak Hendra begitu marah."I-iya, Pa. Mama yang bodoh, rela menyakiti menantu yang begitu menyayangi kita karena takut dengan ancaman Marissa." sahut Bu Maya semakin tergugu. Penyesalan tampak begitu nyata di wajahnya. "Sudahlah, Ma. Menyesal pun tak ada gunanya. Sekarang, tinggal kita pikirkan, bagaimana caranya agar Evelyn dan Bian bisa kembali bersatu. Papa nggak tega melihat keadaan Bian saat ini, meski pun ini semua juga sebab kebodohannya. Yang
"Emm ... Kalau Ibu tidak keberatan, saya bermaksud ingin menjodohkan Fattan dengan ... Neng Karina," sahut Bu Dewi.Karina yang sedari tadi menunduk dengan debar di dada, langsung mendongak begitu mendengar ucapan Bu Dewi. Ekspresi terkejut sangat kentara sekali di wajahnya.Karina menoleh pada Evelyn, ternyata sahabatnya itu sedari tadi sedang mengulum senyum. Jujur saja, Karina sangat terkejut, karena dari awal dia pikir Bu Dewi akan menjodohkan Fattan dengan Evelyn, apalagi mungkin beliau sudah tau keadaan yang menimpa rumah tangga Evelyn."Ta-tapi, Bu ..." Karina menyahut ragu. Dia melirik sang ibu."Kenapa, Nak? Apa kamu tidak setuju dengan rencana Ibu ini? Kamu keberatan?" cecar Bu Dewi.Semua mengalihkan pandangan pada Karina, menunggu jawaban gadis manis itu."Em ... Bukan gitu, Bu. Tapi ... Takutnya Fattan nggak suka. Apalagi mungkin dia masih ada rasa dengan ..." Karina tak melanjutkan ucapannya. Tapi matanya melirik Evelyn sesaat.Bu Dewi terkekeh, seakan paham apa yang dim
"Lyn, kamu bener nggak apa-apa ditinggal Ibu sama Karin? Mending kamu ikut saja, ya? Ibu nggak enak kalau harus tinggalin kamu sendiri." kata Bu Dena begitu Evelyn membuka pintu kamar."Ibu ini kenapa nggak enakan gitu, sih? Evelyn sudah besar, loh, Bu. Sudah jadi istri orang juga malah, yaa ... Walau pun nggak lama lagi mau pisah, sih." kekeh Evelyn sok tegar."Ih, kamu ini! Ibu serius, loh!" sahut Bu Dena gemas, Evelyn terkekeh dibuatnya."Iya, serius, Bu! Udah, Ibu nggak usah khawatir. Ibu temenin Karin aja. Lagian, kan, nggak lama. Iya, kan, Rin?" kata Evelyn menoleh pada Karina."Eh? I-iya." sahut Karina singkat. Fokusnya saat ini sedang terbagi, dia benar-benar memikirkan apa yang dikatakan Evelyn tadi. Dia juga menyesal, kenapa bisa sembarangan mengiyakan ajakan Bu Dena. Padahal Fattan saja belum tentu bersedia."Kamu ini kenapa, Rin? Kok lesu gitu?" tanya Bu Dena menyadari perubahan raut wajah sang putri. Karina yang tadi sempat tertangkap bersemu saat mendengar rencana Bu Dew
Selepas shalat magrib, Evelyn duduk di ruang tengah dan menyalakan TV. Dia menoleh begitu mendengar suara pintu kamar Bu Dena berderit."Mau berangkat sekarang, Bu?" tanya Evelyn saat melihat Bu Dena yang sudah rapi."Iya, Lyn. Takutnya Bu Dewi kelamaan nunggu. Karin belum keluar?" sahut Bu Dena sembari duduk disamping Evelyn."Belum, Bu. Kayaknya lagi siap-siap." sahut Evelyn. Dia memang belum melihat Karina sejak keluar dari kamar tadi."Lama banget, ya? Biar Ibu panggil dulu," kata Bu Dena berdiri. Evelyn hanya mengangguk dan kembali fokus pada layar TV didepannya.Sementara didalam kamar, Karina sedang gelisah dan berjalan mondar mandir sambil menggigit ujung jarinya. Jantungnya berdebar begitu pintu diketuk dari luar, dia yakin itu pasti sang Ibu yang akan menanyakan apakah dia sudah selesai bersiap atau belum."Iya," sahut Karina dari dalam. Dia membuka pintu dan disambut Bu Dena yang melotot."Kamu, kok, belum siap-siap, sih? Nanti Bu Dewi kelamaan nunggu, loh! Ibu jadi nggak e
Fattan tak kunjung menjawab, dia malah menatap Karina membuat gadis itu tertunduk tanpa berani membalas tatapannya."Fattan terserah Ibu saja. Kalau Ibu setuju, Fattan nurut. Pilihan Ibu pasti yang terbaik,"Karina langsung mendongak mendengar jawaban Fattan. Gadis itu tak menyangka, Fattan menyetujui? Apakah dia merasa terpaksa? Dia menatap Fattan sekilas, lelaki itu membalas tatapannya dan tersenyum manis sekali, hampir saja membuat Karina diabetes."Tuh, kan! Ibu bilang juga, apa! Fattan pasti setuju," seru Bu Dewi sumringah."Ehem! Tapi, apa Nak Fattan setuju karena terpaksa? Ibu nggak mau nanti kalian tidak saling membahagiakan jika bersama, sebaiknya jangan terburu-buru memutuskan, lebih baik dipikirkan dulu matang-matang. Supaya tidak ada yang tersakiti," usul Bu Dena.Semua mata kini memandang wanita itu, sejujurnya, meski pun senang saat tau Fattan tak menolak, hati Karina pun gelisah, merasa sama seperti yang Ibunya ucapkan.Bu Dewi melirik Fattan. "Mmm ... InsyaAllah Fattan
Setelah panggilan terputus, Bu Maya keluar dari kamar dan berniat menghampiri pak Hendra yang sedang duduk di teras, sambil menikmati secangkir kopi buatan sang istri. "Pa," panggil Bu Maya sembari duduk di kursi satunya."Hm? Kenapa, Ma?" balas Pak Hendra."Mmm ... Mama sudah menghubungi Evelyn, Pa. Mama sudah minta maaf, dia juga sudah memaafkan meski ... Seperti masih ada benci. Tapi, itu wajar. Dan yang ingin Mama sampaikan bukan hanya itu," Bu Maya menjeda sejenak penjelasannya. "Selain minta maaf, Mama juga sudah bilang, kalau Mama ingin kembali memperbaiki semuanya. Tapi ... Evelyn tetap menolak rujuk dengan Bian, Pa." sambungnya dengan wajah sendu."Hhh ... Dia butuh waktu itu, Ma. Apalagi keputusan sebesar ini, nggak mungkin main langsung putuskan begitu saja. Meski mungkin masih saling mencintai, tetap saja harus ada pertimbangan yang tepat!" sahut Pak Hendra menanggapi. Lelaki itu kembali menyesap sedikit kopinya, kemudian kembali menaruh gelas diatas meja. "Ingat, Ma! Mam
Evelyn baru saja bersiap-siap, awalnya dia pikir Bu Maya akan ke rumah saja. Tapi, pagi-pagi sekali wanita itu sudah menghubungi Evelyn dan memberi tahu agar bertemu diluar saja. Evelyn menyetujui dan mengajak bertemu disebuah kafe. Setelah memberi alamatnya pada Bu Maya, Evelyn bergegas untuk segera bersiap."Kamu berangkat sama apa, Lyn? Aku temani, ya?" kata Karina saat mereka sedang sarapan."Nggak usah, Rin! Sepertinya Mama ingin bicara berdua saja denganku. Makanya dia mengajak ketemu diluar," tolak Evelyn lembut."Gimana kalau dia kasar lagi? Atau lebih parahnya akan bertindak sesuatu yang membuatmu celaka? Siapa yang akan membantu? Kenapa, sih, kamu malah setuju bertemu diluar? Kenapa nggak disini aja? Kan bisa aku sama Ibu yang kontrol!" cecar Karina sambil menggerutu kesal.Evelyn hanya menanggapi dengan senyuman, dia paham dengan kekhawatiran sahabatnya itu."Sudah ... Kamu tenang saja. Nggak mungkin juga dia berani bertindak yang membuat dia sendiri malu, kan? Apalagi ini
"Mamaaaa ... Maafkan, Elyn!" Evelyn terus meraung sambil memeluk tubuh Bu Maya, tak ia pedulikan bajunya yang terkena darah sang mertua. Dia menangis dan menjerit, membuat orang-orang yang ada disana menatapnya penuh iba."Neng, sabar, ya! Kita sudah menghubungi ambulance," kata seseibuk yang berada didekat Evelyn. Wanita itu mengusap-usap punggung Evelyn yang terus menangis, hingga suara mobil ambulance membubarkan orang-orang yang tadi berkerumun hanya untuk menonton, enggan menolong.Para petugas bergegas mengangkat tubuh Bu Maya yang sudah terkapar, membawanya masuk ke dalam mobil yang kemudian diikuti Evelyn dan salah satu warga yang tadi menghubungi ambulance."Neng, apa sudah menghubungi keluarga yang lain?" tanya warga yang ikut mengantar.Evelyn baru sadar, kemudian menggeleng pelan. Otaknya tiba-tiba saja buntu, entah karena melihat kondisi Bu Maya membuatnya tak mampu berpikir kesana.Dia bergegas mengeluarkan ponsel, kemudian menghubungi Bian dengan tangan yang sudah gemet
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel