" Maaf, Evelyn! " ucap Bian dengan kepala yang sudah menunduk usai mengucapkan kata talak pada sang istri.
Tak ada air mata yang keluar. Namun, siapa yang tau betapa sesaknya dada perempuan muda itu sekarang? Dia hanya tak ingin memperlihatkan kesedihannya dihadapan sang suami. Ah, mantan suami maksudnya." Untuk apa maaf-mu itu, Mas? " tanya Evelyn dengan suara dingin. Bukan apa dia hanya merasa konyol dengan permintaan maaf sang suami yang baru beberapa detik lalu menjadi mantannya. Bukankah dia sudah mengucap talak dari hati? Tapi kenapa seolah ada penyesalan disana dengan cara meminta maaf? Pikir Evelyn." Ma-maaf ... Mas terpaksa melakukan ini. Karena ... "" Karena mantan-mu yang kembali itu, bukan? " potong Evelyn. Bian mendadak gugup mendengar ucapan istri yang baru saja ia talak. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya." Bu-bukan. Marissa tidak ada kaitannya dalam hal ini. " sahut Bian sedikit tergagap.Evelyn memejamkan mata dengan pedih saat mendengar Bian mengucapkan nama Marissa mantan istrinya. Seperti ada pembelaan disana, dia juga merasa jika cinta masih ada diantara mereka.Dia bukan tak memikirkan ini sejak dulu. Bahkan, sejak pertama kali tau jika Bian seorang duda cerai hidup, Evelyn sempat ingin mundur dari hubungan mereka. Tapi lelaki itu selalu meyakinkan Evelyn jika antara dia dan Marissa benar-benar sudah usai.Namun, belakangan ini mantan istri suaminya itu seolah sengaja menampakkan diri kembali dihadapan Bian. Beberapa kali dia mencoba bertamu kerumah yang Evelyn tempati dengan Bian, beralasan jika buah cintanya dengan Bian yang meminta diantar langsung olehnya. Awalnya Evelyn merasa biasa saja, dia juga mencoba menerima masa lalu suaminya itu dengan baik, begitu pun dengan anaknya, sebagaimana dia menerima Bian dulu. Dan Evelyn sudah tau konsekuensinya seperti apa.Kedatangan Marissa kerumah bukan hanya itu sekali, dia kembali berulang mengunjungi mereka dengan dalih sang anak. Dia juga selalu datang di saat Bian ada dirumah, misalnya di hari libur atau di jam pulangnya Bian dari kantor. Pernah sekali, Evelyn memergoki keduanya sedang berpandangan, seperti ada yang belum usai antara mereka. Evelyn mencoba meneguhkan hatinya jika itu hanya praduganya saja.Sekarang sangkaan yang selama ini menggelayut dalam hatinya terbukti. Bian mengucap talak padanya, dan dia tau apa alasan semua itu, meski sang pengucap tak mengakui.Beberapa minggu lalu, Evelyn mengajak Marissa bertemu. Mereka bertemu di cafe dekat kantor tempat Marissa bekerja. Masih teringat jelas oleh Evelyn tentang ucapan Marissa saat itu." Kenapa tiba-tiba saja kamu meminta aku menjauhi Mas Bian? " tanya wanita cantik itu." Bukan menjauhi. Tapi aku meminta agar Mbak lebih menjaga jarak dengan suamiku, takut terjadi fitnah. Karena bagaimana pun juga kalian itu pernah berumah tangga, orang-orang akan berpikir buruk jika Mbak terlalu sering terlihat mengunjungi kami, " sahut Evelyn dengan tenang.Marissa terdengar berdecih saat Evelyn mengungkap alasannya. Senyum sinis terbit dari sudut bibir wanita cantik yang berpakaian super ketat itu." Itu hanya alasanmu saja, kan? Aku tau, kamu takut mas Bian akan kembali padaku, bukan? " sinisnya. Evelyn tersenyum samar, sifat asli wanita itu sudah mulai terlihat. Dia yang selama ini terlihat sangat baik dan lemah lembut hari itu mendadak berubah 180 derajat." Aku sama sekali tak merasa takut jika hal itu terjadi, jika memang mas Bian kembali padamu, itu artinya dia bukan lelaki yang baik dan pantas untuk diperjuangkan. Jadi untuk apa aku takut, Mbak? " tanya Evelyn dengan tenang. Jika ingin, dia bisa saja mengumpat wanita didepannya itu. Tapi itu bukanlah caranya dalam menghadapi masalah." Jika kamu tidak takut dengan itu, kenapa terus mendesakku menjauhi Ayah dari anakku sendiri? Atau ... Kamu ingin memisahkan Chika dengan Mas Bian? Iya? " sembur Marissa.Evelyn menggeleng-gelengkan kepala mendengar tuduhan tak berdasar dari Marissa." Kenapa masalahnya jadi meluber kemana-mana, sih, Mbak? Aku hanya meminta kamu menjaga jarak dengan suamiku! Bukan menjauhkan dia dengan anaknya! Kenapa pikiran kamu sesempit ini, sih? Bukan kah kamu itu berpendidikan? Seharusnya bisa berpikir, bukan? Apa selama berbicara tadi aku pernah menyebutkan ingin memisahkan anakmu dengan ayahnya? " Evelyn yang tak tahan dengan tuduhan buruk Marissa akhirnya meledak juga." Halah ... Kamu memang nggak ucapin secara langsung! Tapi dengan meminta aku menjaga jarak dengan mas Bian artinya sama saja dengan kamu ingin menjauhkan Chika darinya! Bahasamu itu nggak usah sok lembut, kalau tetap saja tersirat niat jahat didalamnya! " ucap Marissa dengan lantang. Orang-orang yang ada disekitar mereka sempat menoleh memperhatikan perdebatan antara keduanya." Terserah pikiranmu, Mbak! Susah kalau ngomong sama orang egois! " balas Evelyn sambil mengemas barangnya hendak berlalu dari sana." Siapa yang kamu bilang egois? Hah? " pekik Marissa seraya bangkit dari duduknya dan berdiri dengan wajah memerah." Siapa lagi? Aku sedang berbicara denganmu di sini, " sahut Evelyn dengan tatapan meremehkan.Marissa semakin meradang saat mendapat tatapan remeh dari istri lelaki yang masih ia cintai itu." Kamu! " ucap Marissa dengan gemas. Telunjuknya sudah menuding wajah perempuan ayu didepannya itu." Jika kamu berpendidikan, seharusnya tau malu, Mbak! Lihat sekelilingmu, semua orang sedang menatap kearah sini. Atau memang urat malumu sudah putus? Ah, aku lupa, sepertinya memang kau sudah tak tau malu lagi, ya? Jika kau tau malu, tidak mungkin juga terus mendekati suami orang, bukan? " ucap Evelyn santai tapi penuh penekanan.Marissa baru saja akan membalas, namun manager cafe sudah mendatangi mereka dan meminta pergi." Maaf! Jika anda berdua ingin ribut, silahkan keluar dari sini! Jangan menganggu ketenangan pengunjung lainnya! " tegas sang manager." Maafkan saya, Pak! " ucap Evelyn seraya menunduk sopan kemudian segera berlalu dari sana.Marissa yang masih menahan emosi segera menarik tasnya dan mulai mengejar Evelyn yang sudah lebih dulu keluar dari cafe. Dengan amarah yang sudah membuncah, dia memanggil Evelyn yang ingin membuka pintu mobil.Evelyn berbalik begitu mendengar panggilan Marissa, dia menatap wajah wanita yang dulu sempat ia kagumi kecantikannya. Evelyn yang seorang perempuan saja begitu memuja kecantikan wanita didepannya itu, apalagi dengan para pria." Apa lagi? " tanya Evelyn dengan wajah datar.Dengan wajah licik, Marissa mengucapkan kalimat yang mampu membuat tubuh Evelyn menegang saat itu juga. Sedangkan Marissa langsung menjauh dari sana setelah melempar senyum sinis pada Evelyn." Elyn ... " panggilan sayang dari Bian menyentaknya kembali dari ingatan beberapa minggu lalu." Mohon pengertiannya, Chika meminta agar kami kembali mengasuhnya bersama-sama, dia masih terlalu dini untuk memahami kenapa kedua orangtuanya tinggal terpisah, dan kenapa dia harus memiliki dua ... Ibu. " Alasan yang tak masuk akal bagi Evelyn. Perempuan itu mendesah pelan kemudian tersenyum sinis." Bukankah dulu kamu pernah bilang? Jika Chika mempertanyakan hal itu, maka itu jadi tanggung jawabmu dan Marissa untuk menjelaskannya? " Tak ada embel-embel 'Mbak' lagi yang Evelyn sematkan untuk mantan istri suaminya itu." I-iya. Tapi ... Kami bingung cara menjelaskannya, " sahut Bian dengan cemas." Kenapa harus bingung? Tinggal jelaskan! Antara kamu dan Marissa sudah usai! Mungkin dia memang masih terlalu kecil untuk memahami ini, tapi jika kita selalu memberi pengertian padanya, bukankah dia akan paham juga? " tegas Evelyn.Lelaki didepannya mendongak sebentar, baru kali ini Evelyn berani
Evelyn meremas ponsel dengan kuat setelah membaca pesan yang dikirim oleh Marissa. [ Hati-hati, Mbak. Jangan berbangga diri dulu. Jangan sampai kamu akan dicampakkan untuk yang kedua kalinya. ] Perempuan itu segera mematikan ponsel setelah mengirim pesan balasan itu. Dia tidak mau tau bagaimana perasaan Marissa saat membacanya. Yang pasti saat ini dia hanya menginginkan ketenangan.Sedangkan Marissa mengumpat ketika membaca balasan pesan dari Evelyn, niat hati ingin menjatuhkan mental perempuan cantik itu, malah dia sendiri yang kena mental karena balasan perempuan itu." Mami, kenapa? " tanya gadis kecil nan lugu itu ketika melihat sang Mama yang sedang mengumpat penuh emosi." Nggak apa-apa, Sayang. Chika mau kerumah Papi, nggak? " tanya Marissa pada gadis kecilnya. Chika mengangguk antusias dengan senyum lebar." Mauuu ... " Marissa terkekeh melihat ekspresi girang yang ditunjukkan sang anak." Yaudah, Chika siap-siap dulu, ya? Mami juga mau siap-siap dulu. " Chika mengangguk dan
" A-ada apa ini, Pak? Kok ramai-ramai? " tanya Bian pada lelaki paruh baya yang tak lain adalah ketua RT di komplek perumahannya.Bian bingung bukan sebab melihat ketua RT yang sudah berdiri di depan rumahnya, namun beberapa warga yang ikut hadir disana yang membuat lelaki itu bingung dengan apa yang terjadi." Ehem! " sang ketua RT berdehem seraya melirik beberapa warga yang sudah berdiri dibelakangnya." Sebenarnya begini, Pak! Tadi ada warga yang memberi tahu saya jika Bu Evelyn sedang tidak dirumah, sedang bapak malah membawa masuk perempuan lain ke dalam rumah. Warga yang memberi tahu tadi meminta saya agar menegur Bapak, karena takut malah terjadi fitnah. " Ketua RT berusaha menjelaskan maksud kedatangannya." Betul itu, Pak Bian! Emang Bu Evelyn kemana? Tadi sore saya liat dia bawa koper besar dan dijemput taksi. Kalian ada masalah? " salah satu tetangga Bian yang ikut turut menimpali." Tau, nih, Pak Bian! Seharusnya kalo lagi ada masalah itu ngomongin baik-baik! Apa jangan-ja
" Siapa? " Karina yang tak sabar menunggu memilih bangkit dan menyusul Evelyn untuk melihat siapa yang mengirim pesan." Apa maksudnya ini, Lyn? " tanya Karina tak mengerti. " Ini Bian, kan? Terus ini siapa? " cecar Karina.Evelyn mengangguk dan kembali ke sofa dan diikuti Karina yang masih menatap bingung foto yang ada diponsel Evelyn." Itu ... Mantan istrinya Mas Bian, Rin! " ungkap Evelyn. " Dan dia yang jadi alasan aku pulang kembali, karena ditalak oleh Mas Bian. " sambung Evelyn dengan suara bergetar." A-apa? Kamu ... Becanda, kan? " tanya Karina seolah tak percaya." Evelyn! Jawab aku! Kamu becanda, kan? " desak Karina sebab Evelyn tak kunjung menjawab. Bahu gadis itu merosot ketika melihat gelengan sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi." Kamu serius? Bian talak kamu karena kehadiran wanita itu? " Karina mengulang lagi demi meyakinkan dirinya. Lagi dan lagi hanya anggukan yang diberi Evelyn sebagai jawaban." Tapi kenapa? Kenapa dia bisa setega itu sama kamu, Lyn? Aku ...
" Sepertinya aku tak bisa menuruti keinginan Chika, Ris! Aku minta maaf ... " ucap Bian. Marissa melongo tak percaya mendengar ucapan Bian. Kenapa dia bisa berubah pikiran, padahal kemarin saja dia menyetujui dan sudah menceraikan istrinya." Mas? Kamu becanda, kan? " Evelyn menatap Bian dengan lekat. Bian menggeleng untuk menegaskan jika yang didengar Marissa memang sudah keputusannya." Tidak, Ris. Aku serius ... " Sahut Bian. " Aku menyesal karena sudah menceraikan Evelyn. Aku baru menyadari jika tak akan ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku, " ucap Bian.Marissa terkekeh, wanita itu menatap tajam kearah Bian. Dia juga menyumpah Evelyn dalam hati, sebab perempuan itu dia anggap menjadi penghalang baginya untuk kembali mendapatkan Bian.Dulu, Marissa lebih memilih bercerai ketika Bian memintanya memilih tetap bekerja atau berhenti. Jika dia memilih bekerja, itu artinya dia siap melepas Bian. Dan wanita itu lebih memilih bekerja karena pada saat itu Bian belumlah sesukses
Karena penasaran dengan tamu yang dibilang Bu Dena, Evelyn bergegas bangkit dan menuju ruang tamu yang diikuti Karina dibelakang. " Fattan? " panggil Evelyn begitu tiba di ruang tamu.Lelaki yang duduk di sofa membelakangi Evelyn pun spontan berbalik, kemudian menyunggingkan senyum yang siapa pun melihat pasti merasa terpana. Namun, tidak dengan Evelyn." Kapan kamu datang? " tanya Fattan dengan senyum yang tetap tersungging." Tadi sehabis magrib. Kamu tau dari mana aku datang? " tanya Evelyn. Evelyn duduk di sofa dengan ditemani Karina. Gadis manis disamping Evelyn itu tampak tak nyaman, berkali-kali dia menunduk dan memainkan jari-jarinya. Sesekali dia mencuri tatap lelaki dihadapannya itu." Tadi dikasih tau sama Suci. Katanya ngeliat kamu pas balik dari mushola, makanya aku mampir. Soalnya udah lama juga kita nggak ketemu, " sahut Fattan. Evelyn mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Fattan." Iya juga, ya? Terakhir ketemu 5 bulan lalu, kan? " tanya Evelyn mengingat ka
Pagi-pagi sekali, Evelyn sudah keluar dari kamar. Subuh tadi dia bangun dari tidurnya yang semalam tak begitu lelap, setelah menunaikan dua rakaatnya, dia memilih keluar.Begitu pintu kamar dia buka, tercium aroma masakan dari arah dapur. Evelyn berjalan menuju dapur untuk sekedar membasahi kerongkongannya dengan meminum segelas air putih.Sesampainya disana, ternyata Bu Dena sedang sibuk memasak seorang diri. Tak terlihat Karina disana, kemana gadis itu? " Bu? Karina mana? " tanya Evelyn." Eh? Kayaknya masih di kamar, Lyn! Ibu juga nggak tau kenapa tumben-tumbenan tuh anak belum keluar jam segini, " sahut Bu Dena yang kembali fokus pada pekerjaannya.Evelyn hanya manggut-manggut, dan membantu Bu Dena menyiapkan sarapan. Awalnya Bu Dena sudah melarang, namun tak diindahkan oleh Evelyn.Sarapan sudah matang, Evelyn membantu membawanya ke meja makan. Menu makanan yang menggugah itu sudah tersaji diatas meja makan yang berbentuk bundar, disana sudah ada ayam kecap, cah kangkung dan jug
Bian mengangguk dan meminta Kevin agar menggantikannya sebentar." Hmm ... Maaf, Pak Fattan. Saya izin keluar sebentar, ada urusan. Sementara ada Kevin yang akan menemani anda berdua sembari menunggu saya kembali, " Bian menyampaikan maksudnya dengan berat hati." Oh, baik. Tidak masalah, Pak Bian. Silahkan selesaikan dulu urusannya, kami akan menunggu, " Sahut Fattan dengan sopan. Bian mengangguk lega dan segera berlalu dari sana.Begitu pintu ruangan dia buka, nampak Marissa yang sedang berdiri dengan angkuh disana. Dia tak sendiri, ada dua karyawan Bian yang ikut berdiri disana. sepertinya mereka berusaha menghalangi Marissa yang ingin masuk ke ruangan Bian." Ada apa ini? " ucap Bian dengan suara datar.Kedua karyawan yang semula berdiri disana langsung menunduk begitu melihat Bian, sedang Marissa tersenyum penuh kemenangan. Seolah kedatangan Bian untuk membelanya dari para karyawan itu." Akhirnya kamu keluar juga, Mas! Mereka ini ngehalangin aku dari tadi. Pecat aja mereka, Mas!
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel