Karena penasaran dengan tamu yang dibilang Bu Dena, Evelyn bergegas bangkit dan menuju ruang tamu yang diikuti Karina dibelakang. " Fattan? " panggil Evelyn begitu tiba di ruang tamu.Lelaki yang duduk di sofa membelakangi Evelyn pun spontan berbalik, kemudian menyunggingkan senyum yang siapa pun melihat pasti merasa terpana. Namun, tidak dengan Evelyn." Kapan kamu datang? " tanya Fattan dengan senyum yang tetap tersungging." Tadi sehabis magrib. Kamu tau dari mana aku datang? " tanya Evelyn. Evelyn duduk di sofa dengan ditemani Karina. Gadis manis disamping Evelyn itu tampak tak nyaman, berkali-kali dia menunduk dan memainkan jari-jarinya. Sesekali dia mencuri tatap lelaki dihadapannya itu." Tadi dikasih tau sama Suci. Katanya ngeliat kamu pas balik dari mushola, makanya aku mampir. Soalnya udah lama juga kita nggak ketemu, " sahut Fattan. Evelyn mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Fattan." Iya juga, ya? Terakhir ketemu 5 bulan lalu, kan? " tanya Evelyn mengingat ka
Pagi-pagi sekali, Evelyn sudah keluar dari kamar. Subuh tadi dia bangun dari tidurnya yang semalam tak begitu lelap, setelah menunaikan dua rakaatnya, dia memilih keluar.Begitu pintu kamar dia buka, tercium aroma masakan dari arah dapur. Evelyn berjalan menuju dapur untuk sekedar membasahi kerongkongannya dengan meminum segelas air putih.Sesampainya disana, ternyata Bu Dena sedang sibuk memasak seorang diri. Tak terlihat Karina disana, kemana gadis itu? " Bu? Karina mana? " tanya Evelyn." Eh? Kayaknya masih di kamar, Lyn! Ibu juga nggak tau kenapa tumben-tumbenan tuh anak belum keluar jam segini, " sahut Bu Dena yang kembali fokus pada pekerjaannya.Evelyn hanya manggut-manggut, dan membantu Bu Dena menyiapkan sarapan. Awalnya Bu Dena sudah melarang, namun tak diindahkan oleh Evelyn.Sarapan sudah matang, Evelyn membantu membawanya ke meja makan. Menu makanan yang menggugah itu sudah tersaji diatas meja makan yang berbentuk bundar, disana sudah ada ayam kecap, cah kangkung dan jug
Bian mengangguk dan meminta Kevin agar menggantikannya sebentar." Hmm ... Maaf, Pak Fattan. Saya izin keluar sebentar, ada urusan. Sementara ada Kevin yang akan menemani anda berdua sembari menunggu saya kembali, " Bian menyampaikan maksudnya dengan berat hati." Oh, baik. Tidak masalah, Pak Bian. Silahkan selesaikan dulu urusannya, kami akan menunggu, " Sahut Fattan dengan sopan. Bian mengangguk lega dan segera berlalu dari sana.Begitu pintu ruangan dia buka, nampak Marissa yang sedang berdiri dengan angkuh disana. Dia tak sendiri, ada dua karyawan Bian yang ikut berdiri disana. sepertinya mereka berusaha menghalangi Marissa yang ingin masuk ke ruangan Bian." Ada apa ini? " ucap Bian dengan suara datar.Kedua karyawan yang semula berdiri disana langsung menunduk begitu melihat Bian, sedang Marissa tersenyum penuh kemenangan. Seolah kedatangan Bian untuk membelanya dari para karyawan itu." Akhirnya kamu keluar juga, Mas! Mereka ini ngehalangin aku dari tadi. Pecat aja mereka, Mas!
" Biar nanti kamu tau sendiri, Lyn! Sekarang bukan waktunya, " sahut Karina.Evelyn menoleh dan menatap Karina yang memalingkan wajah." Kenapa? Aku nggak berhak tau, ya? " tanya Evelyn." Bukan! Sudahlah, yang penting aku sudah cerita, kan? Mengenai siapa orangnya, mending jangan ada yang tau dulu. Termasuk kamu, aku malu. Sebab rasaku sepertinya tidak berbalas, " Karina menyahut dan terkekeh pelan.Evelyn hanya menghembuskan nafas, dia paham apa yang dirasakan sahabatnya itu. Evelyn berusaha menghibur Karina, dengan mengajaknya bermain air. Karina menyanggupi dan menuruti ajakan Evelyn.--------" Sudah, deal, ya, Pak! " ucap Bian sambil menjabat tangan Fattan.Mereka memang berniat bekerja sama untuk membangun kafe baru, rencananya tempatnya akan dipilih oleh Fattan. Daerah yang dipilih oleh Fattan juga sudah disetujui Bian, rencananya beberapa hari lagi mereka akan meninjau lokasinya." Baik, Pak! Semoga rencana kita segera terealisasi, " sahut Fattan menyambut jabatan tangan Bia
Sesampainya di kafe, Bian kembali mencoba menghubungi Evelyn, berharap kali ini sang istri bersedia menerima panggilannya. Namun, tetap saja Bian harus menelan paksa kekecewaan, sebab beberapa kali mencoba, tetap tak ada tanda-tanda Evelyn akan mengangkatnya." Sayang ... Apa kamu semarah itu padaku? " lirih Bian. Dia menjambak rambut frustasi, pikirannya kali ini bercabang. Antara memikirkan pekerjaan dengan nasib rumah tangganya. Bian mengakui, semua itu terjadi sebab kebodohannya sendiri. Sedang Evelyn baru saja selesai mencuci piring dibantu Karina, kemudian keduanya melanjutkan berbincang di teras, sambil memandang anak-anak tetangga yang asik bermain di halaman rumah.Pemandangan yang jarang ia temui saat di kota, jika disana rumah-rumah tetangga selalu tertutup rapat, jauh berbeda jika dikampung. Disini juga tetangganya suka duduk berkumpul dengan tetangga lainnya, sekedar berbincang atau mungkin ... Bergosip?" Jadi ... Apa langkah yang akan kamu tempuh selanjutnya, Lyn? " Ti
" Mas Bian? Karina? " Evelyn terkejut dengan kedatangan suami serta sahabatnya itu.Begitu juga dengan Fattan, lelaki itu sama terkejutnya dengan Evelyn, melihat siapa yang saat ini berdiri didepan rumahnya. Dia juga tak menyangka ternyata lelaki yang bekerja sama dengannya itu adalah suami sahabatnya." Kenapa kamu kaget? Ternyata ini kelakuan kamu? Ini alasan kamu nggak angkat telepon aku? Iya? " hardik Bian dengan suara lantang. Evelyn kaget, jantungnya berdentum hebat. Bukan hanya karena suara lantang Bian yang membuatnya kaget, tapi tuduhan yang dilontarkan sang suami yang membuatnya menatap sang lelaki tak percaya." Em ... Ma-maaf Pak Bian. Ini salah paham, " sahut Fattan mencoba menengahi, dia tak ingin dituduh sebagai perusak rumah tangga orang." Dan kamu?! Ternyata kamu juga pengkhianat! Aku datang kemari untuk kembali menjemput istriku! Dan apa yang kalian lakukan? " Bian semakin membabi buta. Dia bahkan tak menghiraukan para tetangga Fattan yang berhamburan dari rumah mas
"Kamu dimana, Mas?" Suara Marissa terdengar diseberang sana."Bukan urusanmu! Untuk apa menelpon?" sahut Bian datar.Marissa terdengar berdecak."Ck, Chika dari tadi nangis karena kamu tinggal di mall! Aku bawa dia ke rumah, tapi kosong. Sekarang aku lagi di rumah Mama. Tapi kata Mama kamu juga nggak kesini, terus sekarang kamu lagi dimana?"Bian kaget mendengarnya. Apa dia tidak salah dengar? Marissa ke rumah Mamanya? Bahkan selama berumah tangga dengan Bian dulu saja perempuan itu tak pernah mau jika diajak kesana. Ada gerangan apa yang membuat dia tiba-tiba terpikir mencari Bian kesana? Segala tanya bergelayut dalam pikirannya."Bilang sama Chika. Aku lagi di kampung. Jemput Evelyn," sahut Bian. "Apa? Kamu nyusul perempuan itu, Mas?" Bian sampai menjauhkan ponsel dari telinganya sebab suara Marissa yang begitu mengganggu indra pendengarannya."Hm," Bian hanya bergumam. Namun, tak lama suara sang Mama terdengar menggantikan."Kamu pulang sekarang, Bi. Mama mau bicara," Bian mengern
Bian langsung menoleh pada Marissa begitu mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Mamanya, perempuan itu melempar senyum, Bian langsung bisa tau jika dia yang memberi tahu Bu Maya."I-iya, Ma. Tapi ... Bian akan kembali rujuk dengan Evelyn, kok, Ma. Bian minta maaf," sahut Bian. Hati Marissa memanas mendengarnya, hal yang paling dia benci saat ini adalah Evelyn."Rujuk?" tanya Bu Maya, dalam hati dia tak ingin Bian dan Evelyn bercerai, bagaimana pun juga Evelyn ada menantu idaman, sangat berbeda jauh dengan Marissa yang memiliki sifat egois, dan suka bersikap semaunya.Bian mengangguk cepat, dia mencoba meyakinkan sang Mama. Wanita itu langsung menoleh pada Marissa yang tersenyum, padahal dalam hati dia sudah mengutuk Bian."Kalau kamu rujuk dengan Evelyn, bagaimana dengan Marissa dan juga Chika?" Bian kaget mendengar pertanyaan tak biasa dari sang Mama."Maksud Mama? Memangnya kenapa mereka?" tanya Bian, dia heran dengan sikap Mamanya hari ini."Bukannya kamu akan kembali denga
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel