" A-ada apa ini, Pak? Kok ramai-ramai? " tanya Bian pada lelaki paruh baya yang tak lain adalah ketua RT di komplek perumahannya.
Bian bingung bukan sebab melihat ketua RT yang sudah berdiri di depan rumahnya, namun beberapa warga yang ikut hadir disana yang membuat lelaki itu bingung dengan apa yang terjadi." Ehem! " sang ketua RT berdehem seraya melirik beberapa warga yang sudah berdiri dibelakangnya." Sebenarnya begini, Pak! Tadi ada warga yang memberi tahu saya jika Bu Evelyn sedang tidak dirumah, sedang bapak malah membawa masuk perempuan lain ke dalam rumah. Warga yang memberi tahu tadi meminta saya agar menegur Bapak, karena takut malah terjadi fitnah. " Ketua RT berusaha menjelaskan maksud kedatangannya." Betul itu, Pak Bian! Emang Bu Evelyn kemana? Tadi sore saya liat dia bawa koper besar dan dijemput taksi. Kalian ada masalah? " salah satu tetangga Bian yang ikut turut menimpali." Tau, nih, Pak Bian! Seharusnya kalo lagi ada masalah itu ngomongin baik-baik! Apa jangan-jangan Bapak selingkuh, ya? Dan ini selingkuhan bapak? Kalian mau berzi*a disini? Hah? " Ibuk-ibuk yang lain ikut menimpali, kali ini ucapannya terdengar sinis. Mendengar tuduhan yang dilempar tetangga Bian itu membuat Marissa emosi." Eh, Buk! Kalo ngomong jangan asal ceplos. Itu sama saja kalian sedang memfitnah kami, lagian saya ini mantan istrinya Bian. Dia dan Evelyn juga sudah bercerai, makanya perempuan itu pergi dari rumah ini. Saya kesini bukan seperti tuduhan anda itu! Saya cuma bawa anak saya yang ingin ketemu Papi nya, emang salah?! " Marissa menyahut penuh emosi. Bian mencoba menahan perempuan itu dengan memintanya tenang." Kamu diam dulu, Marissa. Jangan memperkeruh suasana! " bentak Bian.Marissa mendelikkan mata dan menatap sinis para tetangga wanita Bian yang ikut dengan ketua RT mereka." Gimana aku bisa diam, Mas? Mereka udah kurang aj*r. Nuduh kita zin* segala! Kamu kira aku bakal diam aja? " sentak Marissa.Bian dan juga ketua RT serta bapak-bapak yang ada disana hanya bisa menghembuskan nafas. Begitulah jika sudah berurusan dengan para wanita." Kita itu bukan nuduh! Mungkin aja benar, kan? Lagian kamu itu hanya mantan istrinya. Kamu juga tau jika Bu Evelyn tidak ada disini, jadi ngapain malah sengaja berkunjung? " sahut salah satu ibu-ibu disana." Ternyata benar, ya, kata Buk Evelyn selama ini, kalau mantan istrinya Pak Bian itu seperti sengaja masuk kembali dalam rumah tangga mereka, mana bawa-bawa anak lagi! " bisik salah satu warga, namun masih bisa terdengar jelas ditelinga Marissa. Dia kembali meradang mendengar tuduhan demi tuduhan yang dilempar tetangga Bian itu.Sedang ibu-ibu disana melirik sinis wanita yang berpakaian seksi itu, mereka semua berbisik-bisik sambil mencemooh.Marissa hendak maju melawan orang-orang yang sudah berani membicarakannya itu, namun lengannya langsung dicekal kuat oleh Bian yang seketika membuatnya meringis." Tetap disini! Jangan malah menambah rumit masalah! " bentak Bian dengan keras.Marissa terdiam begitu mendengar bentakan Bian yang jarang terdengar. Baru kali ini lelaki yang sudah menjadi mantannya itu berani membentaknya, bahkan saat masih berumah tangga dulu lelaki itu termasuk suami yang penyabar." Maaf, Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Sebaiknya kita bicarakan ini baik-baik, silahkan masuk dulu. " ucap Bian dengan mempersilahkan orang-orang masuk ke dalam.Evelyn yang baru saja tiba dirumah disambut antusias oleh Karina dan juga Bu Dena. Karina adalah sahabat Evelyn sejak kecil, dan sekarang dia dan ibunya tinggal dirumah peninggalan kedua orang tua Evelyn yang sudah di renovasi agar lebih luas dan nyaman. Semua Bian yang membiayai, alasannya sederhana saja, agar Evelyn merasa lebih nyaman jika sedang menginap disana.Mengingat Bian membuat Evelyn kembali merasakan sesak, dia mencoba mengusir rasa itu dengan mengajak Bu Dena dan juga Karina masuk." Bian, mana Lyn? Dia nggak ikut? " tanya Karina begitu menyadari jika suami dari sahabatnya itu tak ikut.Evelyn tak menjawab, dia memilih langsung masuk kedalam dengan menarik kopernya. Perempuan itu langsung membuka pintu kamar, dan menaruh koper disudut lemari. Karina yang hendak menyusul Evelyn dicegah Bu Dena." Jangan, Karin! Mungkin Evelyn sedang ada masalah dan belum ingin menceritakannya pada kita. Jadi jangan dipaksa, lebih baik kita siapkan makan malam saja, kali aja Evelyn sudah lapar. " ucap Bu Dena.Karina hanya bisa mengangguk pasrah, sebetulnya dia paham jika sang sahabat sedang ada masalah, dari raut wajahnya saja sudah bisa gadis itu baca. Dengan berat hati dia melangkahkan kaki menuju dapur, sesuai permintaan sang Ibu agar dibantu menyiapkan makanan.Didepan jendela kamar, Evelyn duduk termenung menatap langit yang sudah menghitam. Suasana sunyi dan sepi begitu terasa, terlebih lagi saat ini dia hanya duduk sendiri dikamar yang biasa ia tempati bersama sang Suami. Perlahan airmata mengalir membasahi pipinya, Evelyn memejamkan mata begitu kuat seolah ingin mengubur rasa sakit yang kini mendera.Ia tak menyangka, rumah tangga yang selama setahun ini harus kandas begitu saja. Ditambah lagi dengan alasan yang dilontarkan Bian semakin membuat hati Evelyn berdenyut nyeri, dia menyesal sudah membiarkan Marissa kembali. Awalnya dia hanya ingin hubungan antara sang suami dengan mantan istrinya dulu membaik saja, dia hanya tak ingin Chika harus kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua kandungnya. Dan ternyata niatnya itu disalah gunakan oleh Marissa, dengan tak tau dirinya dia malah merebut kembali apa yang sudah dia lepaskan dulu.Pikiran Evelyn dipenuhi sesal, di satu sisi dia ingin berjuang demi rumah tangganya agar tak kandas begitu saja, namun di sisi lainnya dia ingin menyerah karena merasa sudah dikhianati.Ketukan di pintu membuat Evelyn cepat-cepat menyeka jejak air mata yang mengalir di pipi nya tadi, setelah menarik nafas dalam, dia berjalan membuka pintu. Karina menyembul dari sana dengan membawa segelas teh yang masih mengepulkan asap. Evelyn tersenyum dan meminta Karina masuk.Sekarang keduanya duduk disofa kamar, tak ada yang memulai membuka suara. Keduanya hanya diam dengan pikiran masing-masing, Karina ingin bertanya tapi tak tau harus memulai dari mana, sedangkan Evelyn sibuk dengan pikirannya sendiri." Ehem! " Karena tak tahan dengan keheningan yang tercipta, Karina berdehem demi menarik perhatian Evelyn. Dan benar saja, Evelyn yang tadi hanya diam termenung mengalihkan pandang pada Karina." Lyn. Ng ... Boleh aku bertanya? " tanya Karina hati-hati sambil memainkan jemarinya." Sejak kapan kamu mau nanya pake izin segala, heh? " kelakar Evelyn disertai kekehan. Karina yang sejak tadi menunduk memandangi jemarinya mendongak, melihat raut wajah sang sahabat yang dipaksa tersenyum. Dia yakin ada masalah besar yang saat ini dihadapi Evelyn." Aku serius. Apa kamu akan menyembunyikan masalah yang sedang kamu hadapi dari aku dan Ibu? " tanya Karina.Evelyn memalingkan wajah, berusaha tegar dan tak mengeluarkan cairan bening lagi. Berkali-kali dia menarik nafas, dan hal itu tak luput dari perhatian Karina yang duduk didepan nya." Berat, Rin! " lirih Evelyn sembari menghempaskan tubuhnya ke badan kursi. Matanya terpejam begitu erat, dadanya naik turun seperti menahan sesak yang teramat. Melihat kondisi sang sahabat, Karina bergegas bangkit dan duduk disamping Evelyn." Jangan ditahan, Lyn! Keluarin semuanya, kalau mau nangis, nangis aja. Mana tau dengan itu sesak didada kamu akan sedikit berkurang, " ucap Karina sambil meraih jemari Evelyn masuk dalam genggamannya.Air mata yang sejak tadi ditahan meluncur sudah, niat hati ingin terlihat tegar dihadapan Karina malah sebaliknya. Sekarang Evelyn terlihat begitu rapuh, suara isakan menggema didalam ruangan itu, Karina sendiri tetap diam membiarkan sang sahabat menumpahkan segala sedihnya yang entah sejak kapan ditahan." Nangis aja sepuasnya, Lyn! Tapi janji, setelah ini jangan ada lagi airmata kesedihan yang keluar, selesaikan sekarang. " ucap Karina sembari mengelus lembut punggung tangan Evelyn, membuat tangisan Evelyn kian menjadi.Beberapa menit dalam tangisan, perlahan isakan itu mulai mengecil. Evelyn mencoba menenangkan diri lewat tarikan nafas dalam, kemudian dia menatap sang sahabat yang sejak tadi setia menemaninya." Udah tenang? " tanya Karina begitu melihat Evelyn tersenyum meski terpaksa. Evelyn mengangguk. " Udah siap ceritain semuanya? Aku siap menjadi pendengar meski sepanjang jalan tol. " kelakar Karina membuat keduanya terkekeh bersama.Drrtt ...Ponsel Evelyn yang tergeletak dimeja tak jauh dari sofa yang mereka tempati bergetar, awalnya Evelyn tak ingin tau siapa yang mengirimnya pesan, tapi Karina memaksanya untuk melihat dulu, siapa tau penting. Evelyn bangkit dan meraih ponsel dengan malas, kemudian langsung membuka aplikasi hijau dan melihat siapa yang mengirim pesan.Matanya membulat melihat foto yang dikirim di ponselnya, dia menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum getir." Ada apa, Lyn? " tanya Karina yang tak sabar." Ini ... "" Siapa? " Karina yang tak sabar menunggu memilih bangkit dan menyusul Evelyn untuk melihat siapa yang mengirim pesan." Apa maksudnya ini, Lyn? " tanya Karina tak mengerti. " Ini Bian, kan? Terus ini siapa? " cecar Karina.Evelyn mengangguk dan kembali ke sofa dan diikuti Karina yang masih menatap bingung foto yang ada diponsel Evelyn." Itu ... Mantan istrinya Mas Bian, Rin! " ungkap Evelyn. " Dan dia yang jadi alasan aku pulang kembali, karena ditalak oleh Mas Bian. " sambung Evelyn dengan suara bergetar." A-apa? Kamu ... Becanda, kan? " tanya Karina seolah tak percaya." Evelyn! Jawab aku! Kamu becanda, kan? " desak Karina sebab Evelyn tak kunjung menjawab. Bahu gadis itu merosot ketika melihat gelengan sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi." Kamu serius? Bian talak kamu karena kehadiran wanita itu? " Karina mengulang lagi demi meyakinkan dirinya. Lagi dan lagi hanya anggukan yang diberi Evelyn sebagai jawaban." Tapi kenapa? Kenapa dia bisa setega itu sama kamu, Lyn? Aku ...
" Sepertinya aku tak bisa menuruti keinginan Chika, Ris! Aku minta maaf ... " ucap Bian. Marissa melongo tak percaya mendengar ucapan Bian. Kenapa dia bisa berubah pikiran, padahal kemarin saja dia menyetujui dan sudah menceraikan istrinya." Mas? Kamu becanda, kan? " Evelyn menatap Bian dengan lekat. Bian menggeleng untuk menegaskan jika yang didengar Marissa memang sudah keputusannya." Tidak, Ris. Aku serius ... " Sahut Bian. " Aku menyesal karena sudah menceraikan Evelyn. Aku baru menyadari jika tak akan ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku, " ucap Bian.Marissa terkekeh, wanita itu menatap tajam kearah Bian. Dia juga menyumpah Evelyn dalam hati, sebab perempuan itu dia anggap menjadi penghalang baginya untuk kembali mendapatkan Bian.Dulu, Marissa lebih memilih bercerai ketika Bian memintanya memilih tetap bekerja atau berhenti. Jika dia memilih bekerja, itu artinya dia siap melepas Bian. Dan wanita itu lebih memilih bekerja karena pada saat itu Bian belumlah sesukses
Karena penasaran dengan tamu yang dibilang Bu Dena, Evelyn bergegas bangkit dan menuju ruang tamu yang diikuti Karina dibelakang. " Fattan? " panggil Evelyn begitu tiba di ruang tamu.Lelaki yang duduk di sofa membelakangi Evelyn pun spontan berbalik, kemudian menyunggingkan senyum yang siapa pun melihat pasti merasa terpana. Namun, tidak dengan Evelyn." Kapan kamu datang? " tanya Fattan dengan senyum yang tetap tersungging." Tadi sehabis magrib. Kamu tau dari mana aku datang? " tanya Evelyn. Evelyn duduk di sofa dengan ditemani Karina. Gadis manis disamping Evelyn itu tampak tak nyaman, berkali-kali dia menunduk dan memainkan jari-jarinya. Sesekali dia mencuri tatap lelaki dihadapannya itu." Tadi dikasih tau sama Suci. Katanya ngeliat kamu pas balik dari mushola, makanya aku mampir. Soalnya udah lama juga kita nggak ketemu, " sahut Fattan. Evelyn mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Fattan." Iya juga, ya? Terakhir ketemu 5 bulan lalu, kan? " tanya Evelyn mengingat ka
Pagi-pagi sekali, Evelyn sudah keluar dari kamar. Subuh tadi dia bangun dari tidurnya yang semalam tak begitu lelap, setelah menunaikan dua rakaatnya, dia memilih keluar.Begitu pintu kamar dia buka, tercium aroma masakan dari arah dapur. Evelyn berjalan menuju dapur untuk sekedar membasahi kerongkongannya dengan meminum segelas air putih.Sesampainya disana, ternyata Bu Dena sedang sibuk memasak seorang diri. Tak terlihat Karina disana, kemana gadis itu? " Bu? Karina mana? " tanya Evelyn." Eh? Kayaknya masih di kamar, Lyn! Ibu juga nggak tau kenapa tumben-tumbenan tuh anak belum keluar jam segini, " sahut Bu Dena yang kembali fokus pada pekerjaannya.Evelyn hanya manggut-manggut, dan membantu Bu Dena menyiapkan sarapan. Awalnya Bu Dena sudah melarang, namun tak diindahkan oleh Evelyn.Sarapan sudah matang, Evelyn membantu membawanya ke meja makan. Menu makanan yang menggugah itu sudah tersaji diatas meja makan yang berbentuk bundar, disana sudah ada ayam kecap, cah kangkung dan jug
Bian mengangguk dan meminta Kevin agar menggantikannya sebentar." Hmm ... Maaf, Pak Fattan. Saya izin keluar sebentar, ada urusan. Sementara ada Kevin yang akan menemani anda berdua sembari menunggu saya kembali, " Bian menyampaikan maksudnya dengan berat hati." Oh, baik. Tidak masalah, Pak Bian. Silahkan selesaikan dulu urusannya, kami akan menunggu, " Sahut Fattan dengan sopan. Bian mengangguk lega dan segera berlalu dari sana.Begitu pintu ruangan dia buka, nampak Marissa yang sedang berdiri dengan angkuh disana. Dia tak sendiri, ada dua karyawan Bian yang ikut berdiri disana. sepertinya mereka berusaha menghalangi Marissa yang ingin masuk ke ruangan Bian." Ada apa ini? " ucap Bian dengan suara datar.Kedua karyawan yang semula berdiri disana langsung menunduk begitu melihat Bian, sedang Marissa tersenyum penuh kemenangan. Seolah kedatangan Bian untuk membelanya dari para karyawan itu." Akhirnya kamu keluar juga, Mas! Mereka ini ngehalangin aku dari tadi. Pecat aja mereka, Mas!
" Biar nanti kamu tau sendiri, Lyn! Sekarang bukan waktunya, " sahut Karina.Evelyn menoleh dan menatap Karina yang memalingkan wajah." Kenapa? Aku nggak berhak tau, ya? " tanya Evelyn." Bukan! Sudahlah, yang penting aku sudah cerita, kan? Mengenai siapa orangnya, mending jangan ada yang tau dulu. Termasuk kamu, aku malu. Sebab rasaku sepertinya tidak berbalas, " Karina menyahut dan terkekeh pelan.Evelyn hanya menghembuskan nafas, dia paham apa yang dirasakan sahabatnya itu. Evelyn berusaha menghibur Karina, dengan mengajaknya bermain air. Karina menyanggupi dan menuruti ajakan Evelyn.--------" Sudah, deal, ya, Pak! " ucap Bian sambil menjabat tangan Fattan.Mereka memang berniat bekerja sama untuk membangun kafe baru, rencananya tempatnya akan dipilih oleh Fattan. Daerah yang dipilih oleh Fattan juga sudah disetujui Bian, rencananya beberapa hari lagi mereka akan meninjau lokasinya." Baik, Pak! Semoga rencana kita segera terealisasi, " sahut Fattan menyambut jabatan tangan Bia
Sesampainya di kafe, Bian kembali mencoba menghubungi Evelyn, berharap kali ini sang istri bersedia menerima panggilannya. Namun, tetap saja Bian harus menelan paksa kekecewaan, sebab beberapa kali mencoba, tetap tak ada tanda-tanda Evelyn akan mengangkatnya." Sayang ... Apa kamu semarah itu padaku? " lirih Bian. Dia menjambak rambut frustasi, pikirannya kali ini bercabang. Antara memikirkan pekerjaan dengan nasib rumah tangganya. Bian mengakui, semua itu terjadi sebab kebodohannya sendiri. Sedang Evelyn baru saja selesai mencuci piring dibantu Karina, kemudian keduanya melanjutkan berbincang di teras, sambil memandang anak-anak tetangga yang asik bermain di halaman rumah.Pemandangan yang jarang ia temui saat di kota, jika disana rumah-rumah tetangga selalu tertutup rapat, jauh berbeda jika dikampung. Disini juga tetangganya suka duduk berkumpul dengan tetangga lainnya, sekedar berbincang atau mungkin ... Bergosip?" Jadi ... Apa langkah yang akan kamu tempuh selanjutnya, Lyn? " Ti
" Mas Bian? Karina? " Evelyn terkejut dengan kedatangan suami serta sahabatnya itu.Begitu juga dengan Fattan, lelaki itu sama terkejutnya dengan Evelyn, melihat siapa yang saat ini berdiri didepan rumahnya. Dia juga tak menyangka ternyata lelaki yang bekerja sama dengannya itu adalah suami sahabatnya." Kenapa kamu kaget? Ternyata ini kelakuan kamu? Ini alasan kamu nggak angkat telepon aku? Iya? " hardik Bian dengan suara lantang. Evelyn kaget, jantungnya berdentum hebat. Bukan hanya karena suara lantang Bian yang membuatnya kaget, tapi tuduhan yang dilontarkan sang suami yang membuatnya menatap sang lelaki tak percaya." Em ... Ma-maaf Pak Bian. Ini salah paham, " sahut Fattan mencoba menengahi, dia tak ingin dituduh sebagai perusak rumah tangga orang." Dan kamu?! Ternyata kamu juga pengkhianat! Aku datang kemari untuk kembali menjemput istriku! Dan apa yang kalian lakukan? " Bian semakin membabi buta. Dia bahkan tak menghiraukan para tetangga Fattan yang berhamburan dari rumah mas
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel