Indah mondar mandir di depan pintu. Terlihat panik, aku melirik ke arah istriku yang sedang menenangkan Hilda. Hilda kaget dengan suara kakaknya yang bersahutan memanggil."Bang, kalau Abang pulang hanya untuk menyakiti hati anak-anak seperti ini, mending tidak usah pulang!" "Sayang, bukan seperti itu. Aku pulang kare- ... ,""Mas, buka pintunya. Mas! Mba Fitri!"Kalimat terpotong oleh suara Indah yang menggelegar beserta gedoran pintu. Aku termangu melihat Syifa yang sudah menarik Daffa menjauh dan berjalan gontai ke kamar Syifa. Tatapan Fitri mengintimidasi, dan membawa Hilda naik ke kamarnya. "Arrggg ... !" Pasti anak dan istriku salah paham. Kenapa tadi tidak langsung menjelaskan? Lagi-lagi aku menyalahkan kecerobohan diri sendiri. Harusnya begitu sampai tinggal bicara kalau aku dan Indah sudah bercerai. Aku melupakan siapa Indah, tentu dia akan mengejar ke rumah. Sekarang pasti di otak mereka aku dan Indah hanya ingin menoreh luka di hati mereka. "Mas! Buka pintunya! Tolong .
Saat sampai di rumah sakit, Lulu sudah bisa tersenyum. Setelah memastikan Lulu hanya demam biasa, aku pamit pulang. Ternyata hanya drama Indah yang membesarkannya kondisi Lulu. Memanfaatkan kondisi Lulu untuk menahan dan menjeratku. Bapak Indah terus meminta maaf, Lulu tidak menanyakan ku sama sekali. Dia sudah terbiasa dengan Kakek dan Neneknya. Sampai di rumah pukul 21.00 pertama di tuju adalah kamar utama. Pintunya sudah bisa di buka, aku lihat sekeliling. Hilda sudah tertidur pulas, sementara Fitri juga sudah terlelap. "Sayang, air matamu masih tersisa dan masih basah. Maafkan Abang, yang terus menerus menyakitimu. Abang bersungguh-sungguh kepulangan kali ini. Abang sudah bercerai dengan Indah. Maaf, kalau tadi abang tidak langsung cerita," ucapku lirih. Setelah puas memandangi Fitri, aku putuskan untuk ke kamar anak-anakku. Kedua kamar masing-masing kondisi terkunci, mungkin sudah tidur. Padahal tidak biasanya kamar mereka di kunci. Aku berjalan gontai menuju kamar kami, memb
"Lihat tulisan yang di tinggalkan Syifa!" Kami membaca bergantian, tertulis dengan jelas dan rapi. 'Awalnya Syifa sudah bahagia mendapat kejutan ayah bisa pulang cepat dirumah, tapi ternyata rasa senang hanya sementara. Syifa sadar, hati ayah bukan lagi milik bunda dan kami, jadi biarlah Syifa pergi. Meskipun Syifa di dekat ayah tapi, keberadaan Syifa dan adik-adik tidak ada arti apa-apa di banding wanita itu. Wanita itu terus menghantuiku, biarlah Syifa yang mengalah. Rencana mau pergi sendiri, eh ... adikku Daffa yang bandel berniat melindungiku. Memaksa ikut, bukankah dia justru merepotkan ... maaf Bunda. Tidak perlu khawatir, kakak akan mengabari secepatnya ketika kami sudah sampai. Aku sayang sama Bunda, sama Ayah sebenarnya juga sayang tapi jangan bilang ya, Bun. Love Bunda dari Syifa dan Daffa'"Maaf, maaf ... ," aku tak kuasa menopang tubuhku sendiri. Pikiranku kacau, kemana anakku pergi."Kak, coba telpon Mama, aku tak bisa bicara sama mama sementara suaraku seperti ini," uca
"Kamu kirim nomornya sama kakak!" titah Farid. Aku segera menyalin dan mengirimkan nomor itu kepada Kak Farid. Kak Farid membidangi IT jadi tidak heran dengan mudah melacak keberadaan si pemilik nomor. "Posisi ada di dekat rumah kamu, Akram," Farid berkata dengan serius setelah mengutak atik ponsel miliknya beberapa saat. "Nggak usah panik, orang Papa mengawasi Fitri. Tidak perlu khawatir," ucapnya lagi melihat raut kekhawatiran tergambar jelas di wajahku. "Pulanglah dulu, Akram! Urusan Syifa biar Papa dan Farid yang mecari tau keberadaannya," "Pah, maaf ... ," "Papa tidak mau mendengar kata maafmu, yang papa mau bahagiakan Fitri dan anak-anakmu! Papa sudah sangat tidak tega melihat anak perempuanku menderita. Andai bukan permintaan Fitri, aku sudah menjauhkan kamu dari kehidupan Fitri dan cucu-cucuku. Papa tidak mau kamu mengecewakan mereka, Akram. Pulanglah, selesaikan masalahmu dengan Indah!" titah Papa. Aku meninggalkan Kak Farid dan Papa menuju rumah. Tiga puluh menit perja
"Mba Fitri, aku pamit. Maaf sudah mengganggu waktunya," kalimat yang terlontar dari bibir Indah sangat gugup. Dia mengenakan tas selempangnya yang tadinya berada di pangkuannya. Indah tidak menyangka, sebelum Akram datang tadinya Fitri menyambutnya dengan baik. Benar yang di sampaikan Fitri, mereka sama-sama wanita, dalam hati kecilnya dia menyalahkan diri sendiri kenapa dia berani masuk menjadi bagian dari laki-laki beristri. Harusnya dia minimal mengenal siapa yang menjadi orang tua calon suaminya. Semua yang dikatakan Fitri benar namun, Indah menepis itu semua. "Arrrggg ... ayo jalan!" ucap Indah dengan seseorang yang sudah menunggunya sejak tadi. "Ada apa denganmu, sewaktu kamu masuk rumah itu begitu percaya diri!" ujar Aldo menyindir saat Indah memasuki mobilnya. "Siapa yang tidak kesal coba, aku selalu kalah dengan Fitri!" Indah bergidik ngeri membayangkan dirinya sebagai burung yang di bidik dari jarak jauh. "Sudahlah, kita mampir bersenang-senang dulu di Hotel Mandala. Apa
Ari bimbang, dia membayangkan bagaimana dia menjadi orang tua nona kecilnya. Tentu saat ini sedang kalangkabut mencari keberadaan anak-anak mereka. Ari mempir di konter untuk membeli nomor baru. Mengirimkan rekaman suara kegembiraan, keputusan dipikir nanti setelah sampai Jakarta.Fitri berbinar mendapati pesan rekaman dari anak-anaknya, beberapa saat setelah Indah meninggalkan rumah mereka."Sayang, ada apa senyum tidak jelas? Anak saja tidak jelas keberadaannya malah bisa-bisanya senyum sendiri," tanyaku melihat kelakuan Fitri."Bang! Kamu mengira aku senang, mereka menghilang?" Aku tersentak menyadari ucapanku menyinggung perasaan istriku, "Tidak, Sayang. Maaf aku salah," "Bang, menghilangnya mereka aku yang paling sedih. Selama ini akulah yang paling dekat dengan mereka. Kamulah penyebab semua kekacauan ini!"Aku hanya menunduk malu dengan sebuah kenyataan "Iya ... aku tau," "Satu hal yang aku tidak inginkan saat ini adalah bertemu denganmu. Aku kecewa sama kamu, biarkan aku se
Kakak mengatakan kalau posisi si pengirim Cirebon. Maka aku akan telusuri saudara dari Papa yang ada di Indramayu, setahuku ada satu saudara di Indramayu, ada yang di Purwokerto dan di Semarang. Dari Jakarta kita berangkat selepas Dzuhur, sampai di rumah Om Idris menjelang Maghrib. Aku di sambut hangat oleh Om Idris, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan anakku. "Akram, masyaAllah lama kita tidak bertemu," sambut Om Idris ketika aku memasuki rumahnya. "Iya, Om. Terakhir aku kesini saat Syifa masih kecil ya, Om," sahutku."Bagaimana kabar anak gadismu, sudah berapa tahun sekarang?""Syifa sudah besar, Om. Sudah sembilan tahun lebih. Hampir sepuluh tahun, Om apa kabarnya sekeluarga. Mana Adrian, Om?" tanyaku sejak tadi baru ketemu Om dan Tante Idris saja."Bocah nakal itu jam segini masih di kantor, paling tidak betah berada di rumah. Om sudah kepengin punya cucu, malah masih betah melajang," seloroh Om Idris."Masih ingin menikmati kesendiriannya, Om. Fokus sama karirnya," sahutku.
"Astagfirullah, hampir saja nabrak kucing!" ucap Ihsan spontan."Konsentrasi! Bicara terus dari tadi. Eh ... tadi kamu ngomong sengaja apa?" tanyaku penasaran mengingat Ihsan mau mengatakan sesuatu."Maaf, aku tidak sengaja mau nabrak kucing. Kata orang jika kita nabrak kucing harus mengurusnya agar kita tidak celaka. Sumpah ... aku takut banget, Akram," "Hee ... hati-hati nanti jatuhnya dosa syirik, bahaya loh. Memang kita dianjurkan memperlakukan semua makhluk hidup dengan baik tapi soal menimbulkan celaka itu tidak benar, itu syirik!" ucapku bersemangat meluruskan."Aku tau itu dari orang, katanya begitu,""Iya, aku juga pernah mendengar. Jangan sampai kita jatuh pada dosa tathayyur," ucapku."Akram, tathayyur itu seperti apa?" tanya Ihsan menggambarkan kebingungan. "Tathayyur artinya sangkaan dalam hati bahwa akan terjadi kesialan. Contohnya seperti tadi, kamu takut nabrak kucing. Jika nabrak kucing kamu akan celaka, terus ada lagi merasa sedang di gosipi karena telinga panas at
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve