Home / Urban / Penyesalan Setelah Poligami / 46. Bicara dengan Anak-anak

Share

46. Bicara dengan Anak-anak

Author: Pujiati
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Baiklah, Papa serahkan semua keputusan sama kamu. Tapi kalau kamu butuh bantuan, Papa siap membantu," ucap Papa sambil mengusap kepala putrinya dengan penuh cinta.

"Ijinkan Papa bicara sama Akram, Sayang. Papa tidak akan ikut campur urusan kalian. Tenang saja," ucap Papa. Aku melihat dengan jelas, kekhawatiran tergambar jelas di wajah Papa.

Maafkan aku Pah. Sudah menyia-nyiakannya anak perempuanmu. Aku akan berbuat adil, Pah.

"Akram, aku titip putri dan cucu-cucuku. Saat dulu kamu mengucap ijab qobul maka saat itu pula tanggungjawab berpindah ke pundakmu, jika kamu sudah tidak mencintainya lagi jangan kamu katakan sama Fitri, katakan langsung sama Papa. Biarkan Papa yang menyampaikan sama dia, Papa tidak sanggup melihat kesedihannya. Sekarang Papa sudah cukup melihat kesedihan dia dan anaknya kemarin," ucap Papa dengan penekanan. Nyaliku menciut, artinya saat ini Papa sudah mengetahui semuanya.

"Iya, Pah. Akram janji, dan itu tidak akan terjadi. Doakan Akram agar tidak semakin ba
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tika lia
Hayo loh, jangan buat kecewa lagi ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Penyesalan Setelah Poligami   47. Obat Kuat

    Bismillah semoga berjalan sesuai rencana. Bisa memenuhi undangan sekolah untuk menghadiri acara anak-anak. Hari ini cuti telah usai, rutinitas kantor kembali menunggu. Paginya sudah disiapkan semua keperluan oleh istri, aku tinggal pakai semua sudah beres. Di meja makan aku bercengkerama sebentar dengan buah hatiku."Kalian sudah siap ke sekolah? Mau ikut ayah, atau mau diantar Bunda?" Sesuai kesepakatan tadi malam yang kami buat jika aku sedang di rumah Indah, anak-anak berangkat dengan sopir yang disiapkan Fitri. Aku malu sebenarnya, Fitri masih punya uang simpanan selama kami menikah. Dia mampu memanage uang baik. Nafkah yang aku kasih selalu lebih, entah bagaimana mengaturnya. Aku pernah melihat catatatnya begitu rapi. Berbeda dengan Indah, seberapapun yang aku kasih akan habis bahkan sering minta lagi. Sehingga aku akan memakai uang jatah makan dan bensinku. Lagi-lagi aku membandingkan, mereka tidak sepadan."Tentu, Ayah. Kami ikut ayah. Sudah lama nggak naik motor. Apalagi kit

  • Penyesalan Setelah Poligami   48. Bilangnya, ogah

    Saat istirahat Akram menagih janji Ihsan yang akan memberikan sebuah tips. Dia sudah menunggu di kantin, duduk menanti sahabatnya di pojok ruangan yang terlihat lebih sepi."Ckk ... lama banget kamu, San. Di toilet ngapain saja, seperti cewek aja yang mesti mengoles ulang lipstiknya," ucapku saat mendapati Ihsan mendudukkan bokongnya di kursi tepat di depanku. "Suka-suka aku lah, yang penting tidak merugikan orang lain," ucap Ihsan cuek. "Banyak yang di rugikan, pertama orang yang mengantri di belakangmu, kedua aku yang menunggumu, ketiga pemilik perusahaan," ucapku kesal sudah menanti jawaban sejak sebelum dia ke toilet selalu saja ditunda. "Serius banget kamu, Akram. Makan dulu, baru nanti aku ngomong," kilahnya. Aku jadi curiga dengan sahabatku ini. "Ihsan, buruan. Waktu istirahat sudah mau selesai, kelamaan,""Akram, giliran urusan selangkangan ngebet banget,""Memang kamu ya? Kita itu laki-laki jadi mau tidak mau menerima kalau yang ada di pikiran kita hal mesum. Kalau saja ka

  • Penyesalan Setelah Poligami   49. Talak

    Aku sengaja membiarkan dia menggerayangiku, memagutku. Andai yang melakukannya Fitri, aku pasti sudah terbakar gairah. Sudah lebih dari sepuluh menit Indah berusaha membakar gairahku. "Mas, puaskan aku. Pleace ... ," ucap Indah dengan tatapan memohon. "Mas, obat kuatnya beli yang ampuh. Tolong ... aku ingin sekali, Aghhh ... sentuh aku, Mas," ucap Indah dengan frustasi. "Maaf, ... aku sudah meminumnya. Dan sudah aku oles dengan gel perangsang juga, Indah," ucapku dengan tegas. "Kamu, tidak berusaha, Mas! Besok kamu tidak boleh ke kantor sebelum bisa memuaskan aku, Mas!" ucap Indah sewot. Indah memakai kembali bajunya dengan kesal, dan tertidur memunggungiku. Akupun mengancingkan kembali baju dan mengenakan celana yang tadi sudah dilepaskan Indah. "Indah, aku minta maaf. Sini aku puaskan pakai tangan, yang penting besok kamu mengijinkan aku pergi kerja," "Tidak! Tidak boleh, aku sudah kesal sekarang!" "Indah, sejak menikah sama kamu bonus tidak pernah cair. Ekonomi semakin kesus

  • Penyesalan Setelah Poligami   50. Terlambat Lagi Kan?

    "Ibu!" ucapku dan Indah bersamaan."Kalian itu, apa tidak malu? Ribut terus kalau kumpul. Mana janjimu mau membahagiakan anakku, Akram?" ucap Ibu dengan tenang."Bu, boleh Akram bicara. Aku mau bicara sama Bapak dan Ibu," ucapku lembut."Kemarilah, kita bicara di ruang tengah," Aku dan Indah mengekor di belakang Ibu. "Duduklah, Ibu panggilkan bapak," ucap Ibu meninggalkan kami berdua. Tidak menunggu lama Ibu sudah kembali bersama Bapak. Bapak duduk berdampingan dengan Ibu, sementara aku duduk di hadapannya, Indah di sampingku dengan berjarak. Mengingat sekarang dia bukan istriku lagi. "Pak, Bu. Akram mau minta maaf, selama saya disini kalian tidak pernah mendapat ketenangan. Rumah tangga kami terasa tidak sehat," ucapku memberanikan diri. "Astaghfirullah, ... ," ucap Bapak menunduk sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Pak, Bu. Empat bulan yang lalu Akram kemari, meminang Indah menjadi istri dengan baik. Terimakasih atas kemurahan hati Bapak dan Ibu. Sejujurnya saya malu dengan

  • Penyesalan Setelah Poligami   51. Ihsan Penasaran

    "Iya, bagaimana?" tanyaku penasaran." ... ""Sekarang bukan pelajaran Bahasa Indonesia, tidak perlu mengarang membuat cerita bebas. Sebentar lagi masuk, aku harus kerja kembali," sahutku.Aku menutup sepihak telpon dari mantan istriku, empat bulan bersama sudah sedikit paham siapa Indah."Pffff ... rupanya kamu pandai melawak. Siapa yang telpon, sepertinya kamu sangat terganggu?" Ihsan menyelidik."Tanya terus, kapan makannya!" "Ampun, kiler banget sekarang kamu, Akram! Seperti guru matematikaku sewaktu SMA," selorohnya.Setelah istirahat, siap berkutat dengan pekerjaan kembali. Ihsan masih aku biarkan dalam mode penasaran. "Akram, kamu main tinggalin saja. Kenapa buru-buru sekali? Biasanya kamu tidak bersemangat jika pulang ke Depok," tegur Ihsan saat melihatku menenteng ransel. Bukan karena tidak mau menjelaskan, tapi posisi kami di kantor, tidak etis jika menceritakan hal seperti ini. Dia masih terus mengikuti, berusaha mensejajarkan posisiku."Ups ... pantas saja terburu-buru,

  • Penyesalan Setelah Poligami   52. Lulu Sakit

    Indah mondar mandir di depan pintu. Terlihat panik, aku melirik ke arah istriku yang sedang menenangkan Hilda. Hilda kaget dengan suara kakaknya yang bersahutan memanggil."Bang, kalau Abang pulang hanya untuk menyakiti hati anak-anak seperti ini, mending tidak usah pulang!" "Sayang, bukan seperti itu. Aku pulang kare- ... ,""Mas, buka pintunya. Mas! Mba Fitri!"Kalimat terpotong oleh suara Indah yang menggelegar beserta gedoran pintu. Aku termangu melihat Syifa yang sudah menarik Daffa menjauh dan berjalan gontai ke kamar Syifa. Tatapan Fitri mengintimidasi, dan membawa Hilda naik ke kamarnya. "Arrggg ... !" Pasti anak dan istriku salah paham. Kenapa tadi tidak langsung menjelaskan? Lagi-lagi aku menyalahkan kecerobohan diri sendiri. Harusnya begitu sampai tinggal bicara kalau aku dan Indah sudah bercerai. Aku melupakan siapa Indah, tentu dia akan mengejar ke rumah. Sekarang pasti di otak mereka aku dan Indah hanya ingin menoreh luka di hati mereka. "Mas! Buka pintunya! Tolong .

  • Penyesalan Setelah Poligami   53. Ceroboh Lagi

    Saat sampai di rumah sakit, Lulu sudah bisa tersenyum. Setelah memastikan Lulu hanya demam biasa, aku pamit pulang. Ternyata hanya drama Indah yang membesarkannya kondisi Lulu. Memanfaatkan kondisi Lulu untuk menahan dan menjeratku. Bapak Indah terus meminta maaf, Lulu tidak menanyakan ku sama sekali. Dia sudah terbiasa dengan Kakek dan Neneknya. Sampai di rumah pukul 21.00 pertama di tuju adalah kamar utama. Pintunya sudah bisa di buka, aku lihat sekeliling. Hilda sudah tertidur pulas, sementara Fitri juga sudah terlelap. "Sayang, air matamu masih tersisa dan masih basah. Maafkan Abang, yang terus menerus menyakitimu. Abang bersungguh-sungguh kepulangan kali ini. Abang sudah bercerai dengan Indah. Maaf, kalau tadi abang tidak langsung cerita," ucapku lirih. Setelah puas memandangi Fitri, aku putuskan untuk ke kamar anak-anakku. Kedua kamar masing-masing kondisi terkunci, mungkin sudah tidur. Padahal tidak biasanya kamar mereka di kunci. Aku berjalan gontai menuju kamar kami, memb

  • Penyesalan Setelah Poligami   54. Suasana Panik

    "Lihat tulisan yang di tinggalkan Syifa!" Kami membaca bergantian, tertulis dengan jelas dan rapi. 'Awalnya Syifa sudah bahagia mendapat kejutan ayah bisa pulang cepat dirumah, tapi ternyata rasa senang hanya sementara. Syifa sadar, hati ayah bukan lagi milik bunda dan kami, jadi biarlah Syifa pergi. Meskipun Syifa di dekat ayah tapi, keberadaan Syifa dan adik-adik tidak ada arti apa-apa di banding wanita itu. Wanita itu terus menghantuiku, biarlah Syifa yang mengalah. Rencana mau pergi sendiri, eh ... adikku Daffa yang bandel berniat melindungiku. Memaksa ikut, bukankah dia justru merepotkan ... maaf Bunda. Tidak perlu khawatir, kakak akan mengabari secepatnya ketika kami sudah sampai. Aku sayang sama Bunda, sama Ayah sebenarnya juga sayang tapi jangan bilang ya, Bun. Love Bunda dari Syifa dan Daffa'"Maaf, maaf ... ," aku tak kuasa menopang tubuhku sendiri. Pikiranku kacau, kemana anakku pergi."Kak, coba telpon Mama, aku tak bisa bicara sama mama sementara suaraku seperti ini," uca

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

  • Penyesalan Setelah Poligami   91. Urusan Indah Menjadi Urusanku

    "Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L

  • Penyesalan Setelah Poligami   90. Mamamu=Mamaku

    Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb

  • Penyesalan Setelah Poligami   89. Siapa Dia?

    Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve

DMCA.com Protection Status