"Indah, kakak madumu ini menikah sudah lebih dari 10 tahun jadi sebelum kamu hadir tentunya aku bisa menyimpan. Kalau sekarang jatahku jelas berkurang banyak jadi boro-boro menyimpan. Yang penting kebutuhan anak-anakku tercukupi. Kamu kan tau sendiri anakku tiga," ucap Fitri menerangkan dengan logika agar tak timbul salah paham. "Maaf, Mba. Aku sudah berprasangka. Tolong jangan minta Mas Akram untuk menceraikan aku,""Baiklah aku pulang dulu, tak enak juga dengan temanku menunggu di depan. Kamu langsung pulang?""Kesini sama teman?""Temanku pemilik kafe ini, dulu aku sering kesini sebelum ketemu dengan suamiku, ayo apa kamu masih betah disini?""Aku mau pulang juga, terimakasih traktirannya,""Indah, terimakasih kamu sudah menyepakati permintaanku," aku memeluk maduku. Ada perasaan aneh di dada entah apa aku sendiri tak bisa mengartikan. Sesak, tenggorokan tercekat, ah ... adik maduku. Kami beriringan berjalan keluar. "Indah, kamu duluan saja. Aku mau pamit sama temanku," Indah men
Bukan hanya kaget tapi lebih tepatnya malu. Malu dengan posisi masih di pangkuan suaminya."Kak Farid!" Aku berusaha berdiri namun masih ditahan sama Bang Akram. "Bang, lepasin. Aku malu sama Kakak," Akram menahan istrinya bukan tanpa alasan. Untuk menutup asetnya yang sudah mengembang. Nanti ketika sudah kembali ke bentuk semula akan diijinkan istrinya pindah. "Jangan bergerak, tunggu sebentar saja," aku paham dengan kondisi suamiku. Aku merasakan dibawah sana mulai mengecil aku baru bangkit. "Kalian ya, nggak ada malu-malu nya bermesraan dihadapan Kakak," seloroh Kak Farid sangat paham dengan kebiasaan mereka yang selalu menempel jika bersama. Sampai dia bingung situasi macam apa yang mereka ciptakan. Setelah penghianatan suaminya Fitri masih menempel seperti itu. "Kak, biar nggak panas lihat kita bermesraan aku jodohkan dengan temanku ya, itu loh yang dulu sering kesini. Dia masih menjomblo menunggu Kakak melamarnya. Dia sudah tau kalau Kakak ipar sudah nggak ada, jadi semakin
"Sayang, ini pilihan yang sangat sulit. Tapi tentunya aku harus memilih, dan aku yakin kamu lebih bijak dariku. Aku memilih tanggung jawab utamaku saat ini yaitu bersama Indah dan Lulu," mendengar jawaban dari Bang Akram serasa tersengat listrik di bagian ulu hatiku, astaghfirullah jadi dia akan mengabaikan anakku. Aku tarik nafas panjang untuk mengatur emosiku, "Baiklah, aku jadi tau posisi anak-anakku di hatimu. Tak usah memanggilku sayang jika berujung seperti ini, tapi tak apa, semoga harimu menyenangkan diatas penderitaan anak-anakmu," ucapku sembari tersenyum menunjukkan ketegaranku. Aku yang plin plan atau suamiku? Aku tentunya, sudah tau laki-laki seperti itu masih juga diperjuangkan. "Baiklah, silahkan pergi sekarang saja. Tak usah pamit dengan anak-anak mereka baik-baik saja, banyak yang menyayangi mereka. Kamu pamit justru membuat mereka mengingat luka," "Jangan seperti ini, Sayang. Aku jadi ragu untuk melangkah, lantas siapa yang akan mengantar kamu ke dokter?""Memang
Kacau lah rencana kita bersenang-senang, kenapa mesti bertemu mereka padahal disini cukup jauh dengan rumah mereka."Syifa, sini sama Ayah,""Syifa sama Uncle saja, Yah. Ayah sudah sama anak yang lain," Bang Akram mendekati Syifa dengan tangan masih menggenggam Lulu."Dengerin ayah bicara, Sayang. Ayah sama Lulu karena dia adik kecil yang kasihan tidak punya ayah, lucu kan Lulu. Coba sini kenalan,""Iya, Ayah. Syifa sudah paham, ayah kasihan sama Lulu karena tidak punya ayah. Tapi ayah sudah membuat Syifa dan adik-adik tidak mendapatkan kasih sayang seperti Lulu. Lucu kan? Lulu sekarang punya Ayah, sedangkan kami kehilangan Ayah. Kaya orang-orang bilang, aku pernah mendengar ibu-ibu bicara gini. 'Jeng suamiku menikah lagi alasannya menolong janda, tapi malah sekarang menelantarkan aku menjadi janda' haha ... lucu kan? Orang dewasa ternyata punya banyak cara. Katanya sayang, katanya cinta," air mata Syifa bercucuran, aku tak percaya kata-kata seperti itu keluar dari mulut anak gadisku.
"Astaghfirullah, Indah. Aku tidak mengerti dengan ucapan kamu. Kamu begitu pedulinya dengan ucapan tetangga. Berhentilah bersikap konyol, Indah. Hidupmu tidak akan bahagia jika caramu menjalaninya seperti ini," "Mas, aku tidak peduli. Mau motor baru tapi tidak dengan menjual mobil kamu. Aku nggak mau di hina terus menerus oleh tetanggaku. Aku bosan hidup dalam kekurangan, Mas!" Akram semakin mengepalkan tangannya. Ia sangat kesusahan mengontrol emosinya jika berurusan dengan Indah, tapi percuma juga berdebat dengan Indah yang pemikirannya selalu egois, selalu mementingkan apa kata orang lain. Akram keluar dari kamarnya membiarkan istrinya meraung dengan tangis pilunya, berjalan gontai dan tiduran di sofa usang milik mertuanya. Akram sangat malu dengan tetangganya, bersama Fitri tak pernah sekalipun bertengkar konyol seperti ini. Dia meratapi penyesalan poligami dengan cara salah, imbasnya sangat banyak. Syifa gadis cerdas, penurut sudah mendapat bentakan darinya. Netra Akram tak sang
"Masuk, Pak Akram. Silahkan duduk," "Terimakasih," Pak Handoko berjalan menuju sofa tempat duduk tamu. "Pak, sudah hampir empat bulan ini saya perhatikan kinerja kamu semakin menurun, sebelum membuat peringatan saya ingin tau apa alasan kamu sehingga sering tak masuk, dan ijin pulang cepat, mohon maaf saya melihat Pak Akram jauh berbeda dengan sebelumnya. Sesuai peraturan harusnya Pak Akram sudah dapat SP, tapi saya masih menimbang mengingat pertemanan ku dengan mertua Pak Akram. Memang tidak boleh mencampuradukan urusan pribadi dan perusahaan, namun aku tak tega jika bertindak tanpa bertanya terlebih dahulu. Pak Akram kinerjamu sangat bagus dulu, bahkan menjadi karyawan teladan kami," ucap Pak Handoko panjang lebar. Aku malu hendak menjawab. "Pak Handoko, terimakasih atas pengertian Bapak. Mohon maaf akhir-akhir ini saya lagi kurang fokus,""Tidak masalah, yang terpenting kedepannya kamu bisa memperbaiki diri. Mertua kamu adalah sahabat baikku, maka kamu sudah seperti anakku. Jad
Akram bangkit bergegas menemui tamu, matanya tertegun melihat siapa yang datang. "Apa kabarnya, Akram. Baru dua hari tidak bertemu tampang kamu berubah sekali. Memalukan sekali istri sampai dua malah tampilan semakin semrawut, nanti sebelum pulang pangkas rambut dulu supaya agak mending,""Kak, jangan meledek. Efek lapar mungkin jadi kelihatannya lesu," ucap Akram kikuk, Farid bukan orang pertama yang menegur penampilannya. "Aku serius bicaranya, jangan sampai orang lain menegur. Nanti habis ini kamu ngaca deh. Biar nggak penasaran dikira aku hanya berniat mengejek kamu. Aku benar-benar peduli sama kamu. Aku kesini mau menyampaikan kalau Fitri barusan aku antar pulang, memilih ketemu karena ada urusan juga dengan Pak Handoko jadi sekalian jalan,""Terimakasih, Kak Farid. Aku lanjut bekerja dulu,""Ngaca dulu, biar kamu yakin omonganku karena peduli bukan mengejek," ucap Farid serius.Meskipun aslinya Farid kesal dengan dengan Akram namun melihat penampilan Akram yang seperti itu rasa
Kedua bocah kecil itu hanya saling pandang tanpa menghiraukan kehadiran Ayahnya. Biarpun anak kecil tetap punya perasaan, Syifa masih belum bisa melupakan kejadian yang baru satu hari berlalu sementara Daffa mendukung penuh aksi yang dilakukan Kakaknya. Meski mendapat penolakan Akram tidak menyerah begitu saja, dia hendak mengambil alih Hilda namun balita itu tidak mau lepas dari Kakeknya. Akram sangat malu dengan dirinya sendiri, ternyata mereka bisa bahagia tanpa dirinya, Hilda ada sosok penggantinya namun dia yang tak mendapat ganti. "Akram, yang sabar. Mereka kecewa karena sering tidak melihat ayahnya pulang," kata Ibu. Batin Akram mengatakan bukan itu penyebabnya Bu, anak-anak kecewa karena kemarin aku membentak Syifa."Iya, Bu. Mereka masih marah denganku, tidak apa mereka punya hak untuk itu. Aku memaklumi, Bu," ujar Akram.Fitri mendekati keluarganya yang sedang berkumpul membawa minuman beserta kudapan. Celoteh mereka membuat semua bahagia, Akram merasa asing ditengah anak-a
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve