"Naima? Kamu Naima, kan?" Seorang wanita paruh baya terhenyak saat melihatku turun dari mobil. Wanita itu adalah Bu Halimah, ibu panti yang telah membesarkanku sejak kecil. Aku memang durhaka padanya. Sudah dirawat sedari kecil, tetapi setelah menikah dengan Mas Ilham aku tidak pernah berkunjung ke sini. "Iya, Bu. Maafkan Naima nggak pernah main ke sini." Kupeluk tubuh Bu Halimah yang terlihat sudah rapuh karena memang usianya sudah tidak lagi muda. "Ya Allah, Naima. Ibu kangen banget sama kamu." Bulir bening mulai menetes membasahi pipi. "Kenapa kamu nggak pernah ke sini? Ibu kehilangan kontakmu juga, jadi ibu nggak bisa menghubungimu." Ucapan Bu Halimah membuatku merasa sangat berdosa. "Maafkan Naima, Bu. Aku memang anak yang tidak tahu malu. Di saat bahagia, aku melupakan keluargaku yang sebenarnya. Dan kini, saat dalam masalah, aku baru mencari mereka lagi. "Sudah, sudah. Yang penting sekarang Ibu bisa lihat kamu lagi. Ibu sudah sangat senang." Bu Halimah tersenyum bahagia. "
Hari pertamaku kembali tinggal di panti. Pagi-pagi sekali Bu Halimah sudah menyiapkan sarapan dibantu dengan tiga wanita pengurus lain, yang aku tidak mengenalnya. Mereka bukan pengurus waktu aku tinggal di sini dulu. Aku menghampiri Bu Halimah yang sedang duduk sambil memotong sayur. Aku ingin membantu-bantu dan menyampaikan niat ingin buka usaha brownies di sini. Dengan menerima pesanan dari luar seperti yang kulakukan sebelumnya. "Sini, Nai." Bu Halimah menyambutku dengan senyuman.Beliau mengenalkanku pada tiga perempuan yang sedang memasak dengannya. Ada Bu Ida yang jika kulihat wajahnya mirip Bu Ratih, mantan mertuaku. Ada Bu Kasih, wanita berkulit putih yang ternyata di sini tinggal bersama suaminya. Dan satu lagi Mbak Salma, wanita manis yang kutaksir usianya kurang lebih denganku. Bisa jadi malah lebih muda dariku, jika dilihat dari wajahnya yang bersih terawat.Menurut cerita Bu Halimah, Mbak Salma adalah anak salah satu donatur tetap panti yang ingin mencari pengalaman d
"Aku benar-benar minta maaf, Nai." Malik kembali memohon. Hatiku masih sangat sakit dan kecewa, tetapi aku tidak berhak untuk mengabaikan permintaan maaf Malik. Allah Yang Maha Besar saja Maha Pengampun, siapalah aku yang hanya ibarat sebutir debu. Malik melakukannya karena saat itu ia sedang kesulitan. Anak pertamanya tengah kritis di rumah sakit dan harus segera mendapatkan perawatan. Selain itu, pekerjaannya yang hanya butuh panggul pasar pastilah tidak cukup untuk biaya semua itu. Jangankan membayar rumah sakit, untuk makan sehari-hari saja, ia kekurangan. Ada rasa iba di hati saat ia cerita tentang kehidupannya. Aku sama sekali tidak tahu jika ternyata Malik sudah berkeluarga dan dikaruniai dua orang putri. Benar saja, karena aku memang tidak pernah berkunjung ke panti, sehingga aku tidak tahu keberadaan Malik selamat ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Toh pernikahanku dengan Mas Ilham sepertinya tidak akan bisa bahagia karena keluarga yang selalu ikut campur. Meski begitu,
Mbak Salma menarik kuat lenganku, dan membawaku masuk ke kamar. Wajahnya datar tanpa senyum dan tak mau menatap ke arahku. Dan yang membuatku bingung, ada apa dengan penampilannya? Kenapa wanita ini masih belum siap? Mbak Salma masih memakai daster panjang yang ia kenakan tadi pagi. "Mbak Salma, sebenarnya ini ada apa?" Aku sangat bingung. Mungkinkah aku melakukan kesalahan, sehingga membuatnya terlihat marah? Wanita cantik itu melirikku seraya tersenyum kecil. "Udah, nggak usah banyak protes. Mbak Nai duduk aja," titahnya, yang entah mengapa aku langsung menurut. Mbak Salma membuka tas miliknya, dan dengan cepat mengeluarkan satu pouch yang berisi peralatan make-up. Tanpa berkata-kata lagi, Mbak Salma mulai beraksi dengan peralatan itu di wajahku. Beberapa kali aku bertanya ada apa, tetapi ia tidak mau menjawab. Mbak Salma hanya tersenyum sekilas, kemudian fokus lagi merias wajahku."Sudah, sekarang ganti bajumu dengan ini," titah Mbak Salma lagi sambil meraih tas miliknya dan m
"Bagaimana, Nai? Kamu menerima lamaran Nak Hakim, atau tidak?" tanya Pak Burhan dengan menggunakan pengeras suara, membuatku terhenyak dari lamunan. Bukannya aku tidak tertarik dengan pria yang duduk dengan menatap sendu ke arahku itu, tetapi karena aku bingung. Kenapa Mas Hakim tiba-tiba berubah pikiran dan melamarku? Aku juga takut menyakiti hati Mbak Salma. "Mbak Nai, terimalah lamaran Mas Hakim. Dia benar-benar mencintaimu," bisik wanita yang entah sejak kapan sudah duduk di belakangku. Dengan cepat aku menoleh ke arahnya. "Mbak, sebenarnya apa yang terjadi?" Mbak Salma tersenyum, lalu kembali berbisik, "Maafkan kami sudah membuat Mbak Salma bingung. Sebenarnya aku sendiri sudah punya kekasi. Kami sama-sama dokter di klinik yang sama. Jadi, Mbak Naima tidak perlu merasa tidak nyaman denganku," jelas Mbak Salma yang membuatku kembali terperangah. "Benarkah? Kenapa Mbak Salma nggak ngomong?""Nanti aja penjelasannya nunggu dari Mas Hakim langsung. Yang terpenting sekarang, Mbak
Naima, wanita berkerudung berwajah ayu itu mampu menghipnotis hati dan pikiranku. Aku yang sudah kembali bekerja di Negeri Sakura ini terus saja teringat wajahnya. Awal pertemuan yang tak terduga saat ia mengantarkan jualannya ke rumah. Aku tak sengaja menabraknya karena saking terburu-buru mengambil sesuatu di dalam mobil. Ia tersenyum padaku yang membuat jantungku berdegup kencang. Sebelumnya aku tidak tahu tentang statusnya dan bagaimana dia dibesarkan, setelah pertemuan pertama pun kuanggap catatan hatiku hanya rasa suka yang wajar, tetapi karena kejadian yang tak sengaja malah menuntunku untuk lebih mengenalnya. Saat siang hari, aku tak sengaja lewat di depan satu rumah ketika aku sedang berjalan santai mengitari komplek. Aneh memang, karena tidak ada orang yang berolahraga di siang bolong. Entah mengapa saat itu aku ingin, dan langsung keluar rumah tanpa berpikir dua kali. Mungkin karena suntuk selalu menghabiskan waktu di rumah, membuatku ingin menghabiskan hari ini untuk ja
"Ini dengan Mas Hakim?" Suara lembut seorang wanita menanyakan namaku lewat sambungan telepon. Aku tahu dia adalah Salma, teman Naima yang ingin dikenalkannya padaku.Aku pun memenuhi keinginan Naima untuk berteman dengan Salma. Pada awalnya kami hanya berbalas pesan, karena aku hanya sekadar membalas dan menjawab apa yang ia tanyakan. Dari pengakuan Salma, ia mengaku sudah memiliki kekasih, bahkan mereka sudah berencana menikah. Namun, karena meras tidak enak hati dengan Naima, Salma pun tetap mengikuti saran temannya itu. Ia memberikan nomornya padaku, dan menerima nomorku dari Naima.Salma mulai menghubungiku dan menanyakan pendapatku tentang Naima. Sebenarnya aku segan untuk berbagi cerita tentang perasaanku, tetapi Salma selalu mendesak dan mengatakan akan membantuku jika aku memiki perasaan pada Naima. Dari situlah aku mulai berterus terang pada wanita yang belum begitu kukenal, tetapi entah mengapa aku sangat mempercayainya.Salma terdengar sangat bahagia dengan pengakuanku,
"Baiklah, Mas. Aku Terima lamaranmu. Aku bersedia menjadi istrimu."Setelah hampir satu bulan aku meminta waktu pada Mas Hakim, akhirnya aku memutuskan pilihanku. Bukan waktu yang sedikit untuk menunggu, dan itu membuat hatiku semakin yakin bahwa dia adalah pria yang benar-benar tulus. "Kamu serius, Naima?" Wajah Mas Hakim terlihat tak percaya. "Alhamdulillah, ya Allah. Kalau begitu aku ... eh, Mas. Mas akan menyiapkan semua keperluan pernikahan secepat mungkin." Mengetahui perubahan sikap pria yang akan menjadi suamiku ini membuatku merasa lucu, gemas. Ada getaran yang lama tak kurasakan kembali muncul. Rasa yang dulu hadir saat Mas Ilham menggodaku. Astaghfirullah, Naima ... sadar! "Iya, Mas." Aku kembali menjawab dengan mengangguk. Di kejauhan, ternyata ada seseorang yang memperhatikan kami. Dia adalah Malik, teman yang sudah menghancurkan rumah tanggaku dulu. Pria itu berdiri sambil bersandar dinding ruangan, menatap tajam ke arahku yang duduk di depan kantin bersama Mas Hakim.
POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda
Mas Hakim terbelalak. "Cowok!?""Lho, kenapa, Pak? Biasanya bapaknya pengen anak cowok. Ini kok malah kaget?" tanya Dokter Rossa diselingi tawa renyah. Aku hanya tersenyum melihat sikap Mas Hakim yang kebingungan, karena mimpinya semalam dan hasil pemeriksaan hari ini berbeda.Pria itu mendekat padaku seraya tersenyum. "Benar katamu, Dek. Mungkin mimpi Mas cuma bunga tidur karena terlalu semangat pengen ketemu anak kita.""Tapi Mas nggak kecewa, kan?" Kuamati wajah Mas Hakim yang kini sudah berdiri di sampingku."Enggaklah, Dek ... mau cowok atau cewek, yang penting sehat. Lahir dengan selamat. Itu sudah lebih dari cukup untuk Mas. Alhamdulillah, banyak di luaran sana pasangan yang mendambakan keturunan, tetapi tak kunjung dikabulkan," jelas Mas Hakim lagi yang kutanggapi dengan senyuman manis. "Jadi, karena mimpi punya anak perempuan?" Dokter Rossa yang sedari tadi diam ikut menyahut. "Hehe, iya, Dok. Cuma ingin memastikan saja," jawab Mas Hakim dengan sopan. Tidak sampai satu ja
Mas Ilham?!Aku benar-benar terperangah melihat mantan suamiku berdiri di halaman rumah. Dia sedang berbincang dengan Mas Hakim di sana. Tampak sangat serius yang membuatku semakin penasaran. Langkahku terhenti di depan jendela, tetapi aku masih tetap mengintai mereka. Mas Ilham tiba-tiba berlutut di hadapan Mas Hakim yang sedang berdiri di samping mobil. Seakan begitu merasa bersalah, hingga membuat Mas Ilham tidak memperdulikan celananya kotor terkena tanah. "Tolong beri kesempatan untuk saya, Pak! Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang sudah kuperbuat!"Mas Hakim berkacak pinggang. "Bagaimana caranya? Hah!?" Terlihat sombong sekali suamiku. Namun, aku tahu pasti ada hal yang membuatnya sangat marah begitu. "Saya akan mengganti semua uang yang sudah saya gunakan, Pak," balas Mas Ilham dengan tertunduk menyesal. Mas Ilham akan mengganti uang yang dipakainya? Apakah ini tentang apa yang dikeluhkan Mas Hakim kemarin? Tentang karyawan yang menggelapkan dana proyek?Mas Hakim be
"Sayang, hari ini jadi ke klinik, kan?" Mas Hakim yang habis salat subuh menghampiriku di dapur. Saat ini aku sedang menyeduh kopi untuknya. "Jadi, Mas." Aku menjawab dengan santai. Setelah kopi buatanku siap, aku meletakkannya di atas meja makan. "Ini kopinya, Mas.""Terima kasih, Sayang ...." Pria yang hampir setahun menikahiku ini tersenyum manis sambil mengelus-elus perut besarku. "Nanti kita ketemu lagi, Sayang. Papa nggak sabar deh, pingin lihat kamu," ucapnya dengan logat dibuat-buat seperti anak kecil. "Iya, Papa ... aku juga pengen banget ketemu sama Papa." Aku menyahut dengan ekspresi yang sama. Mas Hakim sama sekali tidak merasa lucu. Dia malah semakin bersemangat mengajak perutku berbicara. "Baik-baik di sana ya, Sayang. Jangan nakal! Nendangnya jangan kenceng-kenceng, nanti Mama bisa kesakitan.""Udah ah, Mas. Aku capek, mau duduk juga." Aku mengeluh seraya menarik kursi untukku duduk. "Oh, iya ... Tuan Putri, duduklah," balas Mas Hakim yang terus saja menyunggingk