Happy Reading. Hari ini Serly masuk kuliah pagi, ia diantar oleh Papanya karena Fero sudah berjanji akan menebus kesalahannya di masa lalu yang sudah mengabaikan Serly, sehingga putrinya itu kekurangan kasih sayang darinya. "Makasih ya, Pa. Sudah nganterin aku ke kampus," ucap Serly tersenyum lembut, ia sangat bahagia mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari Papanya walaupun sedikit terlambat. "Iya, sudah masuk sana. Nanti kamu terlambat," kata Fero membalas senyuman sang putri tercinta. Tangannya terulur mengusap puncak kepala Serly, membuat wanita cantik itu tercengang. Lagi-lagi Serly diberikan kejutan oleh sikap lembut nan hangat dari sang Papa. Ia pun turun dari dalam mobil dan masuk ke kelasnya yang terletak di lantai dua. Fero tidak langsung pulang, ia tetap menunggu Serly di parkiran kampus. Ada seseorang yang dia tunggu kedatangannya, ia yakin kalau orang itu pasti datang ke sana. Apa lagi tadi Serly menolak untuk dijemput olehnya, pasti ada sesuatu yang membuatnya me
Happy Reading. Zayla tertawa terbahak-bahak melihat wajah sedih Ansel akibat patah hati karena kesepakatannya bersama Serly. Awalnya Zayla sudah marah-marah kepada Ansel karena tidak tahu pokoknya permasalahannya, yang dia dengar tadi adalah Ansel dan Serly putus hubungan, setelah mendengar penjelasan sang Kakak, ia justru menertawai nasib malang Kakaknya tersebut. "Apa sudah puas ketawanya?" sinis Ansel menatap jengah pada sang adik yang terlihat menikmati kesedihannya. "Ternyata Kakakku ini budak cinta sejati, hahahahhaha," Zayla mencibir sang Kakak yang saat ini mendengus kesal. "Lebih baik kamu pulang, kasian Gabriel pasti merindukan tempat tidurnya," kata Ansel mengalihkan pembicaraan, ia malas jika terus diledek seperti itu oleh adiknya sendiri. "Cieeee, ada yang ngambek nih. Udah enggak perlu galau gitu, besok aku akan ke rumah Serly buat ketemu sama Om Fero," ujar Zayla mengembalikan semangat Ansel yang sempat hilang. "Beneran? Makasih ya, Zay. Kamu memang adik kakak yan
Happy Reading. Laudya mulai mengerjapkan mata pertanda sudah siuman dari pingsannya. Kepalanya terasa pusing akibat tidak ada asupan makanan yang masuk ke perutnya, sehingga menyebabkan tubuhnya tak bertenaga dan terus merasa pusing. "Kak!" Serunya begitu melihat sang Kakak yang duduk di sisi ranjang menatap sayu padanya. "Kenapa Kakak ada di kamarku? Memangnya aku kenapa?" cecarnya terus bertanya kepada Randy. "Tadi kamu pingsan, Kakak meminta Edo untuk memeriksa keadaanmu, dan ternyata kamu sedang hamil," ungkap Randy dengan suara bergetar, ia mencoba untuk bertutur kata lembut supaya adiknya tidak tertekan. Walaupun hatinya sangat kecewa dengan kehamilan Laudya, tetapi ia tidak mau menyalahkan adiknya itu karena siapa tahu adiknya hanya korban pelecehan, seperti apa yang dikatakan oleh Edo tadi. Kedua mata Laudya membulat sempurna tatkala mendengar kata hamil dari sang Kakak. "Ha-mil? A-ku hamil?" ucap Laudya terbata-bata. Otaknya mendadak blank karena tak percaya dengan ucapan
Happy Reading. Sudah beberapa hari ini nafsu makan Serly naik 180 derajat dari biasanya. Jika hari-hari sebelumnya ia makannya sedikit, jarang ngemil dan tidak suka buah-buahan, sekarang justru sebaliknya. Apa yang tidak disukainya menjadi makanan favoritnya di setiap waktu. "Ser, bukannya beberapa menit yang lalu kamu sudah sarapan, kenapa sekarang makan lagi?" ucap Fero kepada sang putri yang saat ini memakan satu mangkok mie instan. "Bukannya kamu enggak suka makan mie instan?" lanjut Fero keheranan."Tiba-tiba pengen aja, Pa," jawab Serly tetap fokus pada makanannya, yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah makanan, makanan dan makanan. "Papa perhatikan akhir-akhir ini nafsu makan kamu meningkat. Semalam Papa juga melihat ada dua bungkus mie instan di tong sampah dekat kulkas di dapur. Enggak mungkin Bi Sri yang makan 'kan?" cecar Fero mengungkapkan apa yang dilihatnya semalam dan beberapa sebelumnya. "Mungkin karena aku kelewat bahagia bisa tinggal serumah sama Papa," cetus
Happy Reading. Serly dan Ansel duduk berhadapan yang hanya terhalang meja di tempat yang sudah dijanjikan. Jika wajah Serly nampak murung, maka Ansel kebalikannya. Dia begitu sumringah, senyuman manisnya tak memudar sedikitpun sehingga membuat Serly merasa jengah karenanya. "Berhentilah tersenyum, aku geli melihatnya," ucap Serly membuka obrolan diantara keduanya. "Tidak akan! Sekarang adalah hari paling bahagia untukku, jadi enggak ada yang boleh melarang ku agar berhenti tersenyum," balas Ansel seraya menarik tangan Serly di atas meja lalu mengecupnya sangat dalam. Hati Serly menghangat begitu mendapatkan perlakuan manis dari pria yang dicintainya. "Apa yang harus kita lakukan, Bi?" kata Serly bertanya sangat lirih. Di satu sisi, ia sangat bahagia atas kehamilannya itu. Di sisi lain, Serly takut Papanya kecewa kepadanya dan tak mau lagi menganggapnya sebagai putrinya. "Tentu saja menikah," jawab Ansel cepat. "Pokoknya besok aku dan keluargaku akan melamar mu ke sana. Enggak ada
Happy Reading. Rina dan Bagas sangat shock begitu mendengar berita kehamilan Serly dari putranya sendiri. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Ansel bisa berbuat sejauh itu dengan Serly. "Ayo Ma, Pa, lamar Serly buat aku. Pokoknya besok pagi kita harus ke rumahnya dan melakukan prosesi lamaran," rengek Ansel seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen. Bug! Plak! "Aduh, sakit, Ma, Pa," ringis Ansel sambil mengusap lengan dan kepalanya karena dicubit dan ditoyor oleh kedua orang tuanya tersebut. "Nakal sekali kamu Ansel. Siapa yang mengajarimu seperti ini, huh! Anak orang dibuat hamil," oceh Rina mengomeli putranya itu, sambil terus menghajarnya. "Pria enggak bermoral, malu-maluin Papa, kamu ya," Bagas kembali menyerang Ansel secara membabi-buta, walaupun pukulannya dan Rina sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Ansel. Sebab, mereka cuma memberikan pukulan kecil saja kepada putranya. "Ampun, Ma, Pa. Ini juga salah kalian yang ngelarang aku berhubungan sama Serly, maka
Happy Reading. "A-aku ada perlu sama Papa, boleh bicara sebentar," suara Serly terdengar begitu lirih, sikapnya tersebut mengundang tanda tanya di benak Fero. "Boleh, di bawah saja ya, sekalian Papa mau ambil air minum ke dapur," Fero melangkah lebih dulu menuruni anak tangga, sedangkan Serly mengikutinya dari belakang, ia sangat cemas karena mulai berpikir negatif tentang respon Papanya nanti. Kini, Ayah dan anak itu sudah duduk berhadapan di ruang keluarga. Yeah, hanya berdua, sebab Zeya masih marah dan enggan pulang ke sana. "Ada apa, Ser. Katakan sama Papa," ucap Fero menatap putrinya yang duduk gelisah di hadapannya. "Em, Pa ... Besok Ansel sama keluarganya mau ke sini," cetus Serly sangat berhati-hati, dadanya bergemuruh hebat, kedua tangannya sudah basah oleh keringat dingin. Fero mengerutkan keningnya tanda tak mengerti dengan ucapan Serly barusan. "Ansel dan keluarganya mau ke sini? Buat apa?" cicit Fero mengulang perkataan Serly barusan. Walaupun ia sudah dapat menerka
Happy Reading. Serly mendengar adanya keributan di bawah sana, ia menempelkan telinganya ke pintu kamar, memastikan apa benar terjadi keributan di bawah. "Keluarga macam apa ini, jangan sampai putri kita menikah dengan salah satu keturunannya, bisa gila dia jika hidup dalam keluarga tak moral sepertinya," Zeya menunjuk wajah Rina sambil berkacak pinggang. Mendengar ucapan Zeya yang teramat pedas di telinganya dan juga sikap arogannya tersebut, membuat darah Rina mendidih. "Tentu saja keluarga kami enggak seperti keluarga kalian. Kami bahagia walaupun sama-sama bekerja, perhatian tetap tercurah kepada anak-anak kami sehingga mereka tidak kekurangan kasih sayang sedikitpun. Sedangkan kalian? Sangat egois! Justru Serly akan bahagia mempunyai keluarga baru yang harmonis seperti kami dan terlepas dari orang tua toxic seperti kalian," kecam Rina panjang lebar. Ucapannya barusan seperti bom atom yang meledak begitu saja di ruangan keluarga itu. Serly membulatkan mata sempurna karena men
Happy Reading. 2 tahun kemudian. "Mama Biel mau cucu," teriak bocah berusia 2 tahun setengah sambil merengek manja minta dibuatin susu. Logatnya masih belepotan dan dibuat buat cadel, padahal Gabriel sudah bisa mengucapkan huruf R, hanya saja bocah itu kadang manja dan berbicara seperti itu. "Iya, sayang. tunggu sebentar. Mama lagi ganti popok adik kamu," balas Zayla dari dalam kamar. Yeah, dia sudah punya anak lagi berjenis kelamin perempuan. "Mana biar aku yang ganti pokok si cantik, kamu temui Gabriel sebelum anak itu berulah," Arion mengambil alih pekerjaan sang istri yang belum selesai mengganti popok sang putri. "Makasih, Dear," satu kecupan mendarat sempurna di pipi Arion dari sang istri tercinta. Arion tersenyum lembut kepada bayi mungil nan cantik versi dirinya perempuan. Kedua anaknya mewarisi wajah Arion semua, Zayla hanya mengandung dan melahirkannya tanpa ada satupun anak-anaknya yang mirip dengannya. Gisella Arieta Wesley, nama yang cantik secantik wajah bayi mung
Happy Reading. Randy menatap sang adik yang baru pulang dari cafe depan setelah makan siang bersama dengan Johan. Wajah ibu hamil itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun, seolah sudah mati rasa akan cinta. Ah, bukankah Laudya memang tidak pernah jatuh cinta selama ini? Kepada Rafly pun ia tidak merasakannya dan cuma sebatas partner ranjang saja. "Gimana?" cetus Randy bertanya kepada sang adik, ia sangat penasaran proses Johan mendekati adiknya tersebut. "Gimana apanya?" Laudya justru bertanya balik karena tak mengerti dengan maksud dari ucapan sang Kakak. "Acara makan siang tadi," Randy tidak langsung to the point, tangannya meletakkan lap meja yang sedari tadi ia genggam sehabis membersihkan tempat di sana karena sebentar lagi toko kue akan segera tutup. "Lancar," jawab Laudya sekenanya, ia tidak berpikir kalau pertanyaan sang Kakak mengarahkan pada hal lain bukan pada acara makan siang saja. Randy menghela nafas kasar karena sang adik tak kunjung mengerti maksud perkataannya, s
Happy Reading. Kota D. Laudya dan Randy sukses memulai hidup baru hanya berdua di sana. Kehamilan Laudya sudah berusia 3 bulan, dia sangat sehat dan bisa bekerja dari rumah dengan membuka usaha usaha kecil-kecilan, yaitu toko kue aneka rasa. Sisa uang pemberian dari Rafly masih sangat banyak, tetapi tidak Laudya pakai semuanya karena dipersiapkan untuk biaya persalinannya nanti. Sekarang tabungannya mulai menipis setelah membuka toko kue dengan biaya pembelian tanah yang cukup mahal. Meskipun mereka tinggal jauh dari kota besar, tetap saja apa-apa serba mahal. Itupun menghabiskan hampir semua tabungan yang Laudya punya. Sebagian kecil ia sisakan untuk calon anaknya nanti. Laudya memang berbakat di bidang pembuatan kue sesuai dengan kemampuannya selama ini. Sebelumnya dia juga bekerja di pabrik kue pie dan kek, sekarang dia tidak akan kesulitan jika membuka toko kue kecil-kecilan karena sudah berpengalaman di bidang tersebut. Akan tetapi, Laudya sedikit bimbang karena semakin bert
Happy Reading. Waktu berlalu sangat cepat, tak terasa sudah dua bulan dari kematian Juanda. Semua orang sudah kembali pada aktivitasnya masing-masing, begitu juga dengan Zayla yang kembali memasuki kuliah di fakultas yang sama dengan Serly. Kehadirannya di sana disambut hangat oleh teman-temannya di kampus. Mengenai Gabriel sudah ada Ririn yang menjaganya selama Zayla beraktivitas di kampus. "Aku seneng banget bisa menikmati suasana kampus walaupun di kampus yang berbeda. Tapi, di sini aku mendapatkan kenyamanan yang sangat luar biasa yang enggak aku dapatkan di kampus sebelumnya," ucap Zayla sambil menikmati suasana taman di belakang kampus. "Aku ikut bahagia, Zay. Ini adalah impianku dari dulu bisa satu kampus sama kamu," Serly tersenyum senang kepada sahabat sekaligus adik iparnya itu. "Uh, sayang banyak sama Kakak iparku yang cantik ini," pelukan hangat Zayla berikan kepada Serly, mereka berdua sama-sama bahagia akan hal itu. Takdir berpihak kepadanya sehingga tetap menyatukan
Happy Reading. Rula menangis histeris saat mengetahui bahwa Papanya sudah meninggal dalam keadaan mengenaskan. Sungguh hatinya sangat sakit, walaupun ia tahu orang seperti apa sang Papa, tetap saja tidak ada seorang anak yang membenci Papanya sendiri. Roger mendekati sang istri yang duduk di samping makam mertuanya. Padahal dia belum sempat bertatap muka dengan Juanda bahkan di hari pernikahannya sekalipun dia tidak bisa menghubunginya. Roger menyerahkan semuanya ke wali hakim saat melaksanakan acara pernikahan kala itu bersama Rula. "Jangan menangis, kasian anak kita," ucap Roger memperingatkan sang istri akan calon anaknya. "Kamu enggak tahu rasanya kehilangan orang yang paling kamu cintai di dunia ini. Papa adalah cinta pertamaku, bagaimana mungkin aku baik-baik saja setelah kepergiannya, apa kamu waras berkata seperti itu, huh!" akibat terlalu sedih, Rula marah-marah kepada suaminya sendiri dan salah mengartikan ucapan Roger barusan. 'Sabar Roger, hormon ibu hamil memang naik
Happy Reading. Jika kemarin adalah hari bahagia bagi Ansel dan Serly, sekarang adalah hari terbahagia bagi Zayla dan Arion. Sesuai yang telah direncanakan, mereka berdua melangsungkan acara resepsi pernikahan di sebuah hotel bintang 5 milik keluarganya sendiri di tengah-tengah kota. Tamu yang hadir melebihi banyaknya tamu Ansel dan Serly 2 minggu yang lalu, sekarang pengantin baru itu turut andil dalam pernikahan Zayla dan Arion. Bahkan mereka lah yang meng-handle semua persiapan acara tersebut. Semua anggota keluarga mengucapkan selamat kepada sang pengantin baru, yeah anggaplah begitu walaupun mereka sudah lama resmi menjadi pasangan suami istri. Sekarang hanyalah pesta perayaannya yang digelar sangat mewah. "Aku enggak nyangka bisa hidup bersamamu," ucap Arion tak melepaskan genggaman tangannya kepada sang istri. "Aneh ya, Kak. Kita dibesarkan sebagai Kakak dan Adik, eh sekarang malah jadi pasangan suami istri," balas Saya terkekeh kecil. "Andaikan Mama sama Papa masih ada, me
Happy Reading. Laudya menunggu sang Kakak di depan rumah, hatinya begitu resah, ia benar-benar mencemaskan Kakaknya yang pergi entah ke mana. Hingga datang sebuah taksi dan berhenti di dekatnya, ternyata Randy penumpang dari taksi tersebut. "Kakak dari mana, aku cariin dari tadi," ucap Laudya menghampiri sang Kakak, wajahnya terlihat sangat lesu seolah ada beban berat di pundaknya. "Maaf, sudah membuat mu khawatir. Ayo ke dalam ada yang mau Kakak bicarakan," setelah membayar taksi barusan Randy masuk ke dalam rumah diikuti oleh Adiknya. "Mau bicara soal apa, Kak?" tanya Laudya begitu penasaran, tatapannya tak lepas dari wajah sang Kakak yang tak bersemangat. "Besok kita akan pindah ke luar kota, kita mulai semuanya dari nol, kita besarkan anak kamu bersama-sama. Jangan pernah menghubungi pria itu dengan tujuan meminta tanggung jawab, jangan merendahkan harga diri kamu di depan pria brengsek seperti itu. Ada Kakak yang selalu ada buat kamu, asalkan kita sama-sama jujur dalam hal a
Happy Reading. Tanpa sepengetahuan Laudya, Randy mencari alamat rumah pria yang sudah menghamili adiknya. Ia harus meminta pertanggungjawaban kepada pria itu apa pun yang terjadi, Randy tidak mau Laudya hamil tanpa suami. Berbekalkan nomor Rafly yang ia curi dari ponsel adiknya, Randy nekat pergi ke rumah pria itu yang katanya ada di tengah-tengah kota. Randy mendapatkan informasi itu dari sosial media yang ternyata Rafly bukanlah orang sembarangan. Dari semalam Randy menghubungi nomor Rafly tetapi tak ada jawaban dari sana, membuat Randy semakin kalang kabut dibuatnya. Tentu saja Rafly tidak bisa dihubungi, ia sedang patah hati dan mengurung diri di dalam kamarnya sejak semalam. Lebih tepatnya setelah ia menjadi pusat perhatian di pesta pernikahan Serly yang tak sengaja menjatuhkan gelas di dekat pintu ruang acara. Tok! Tok! Tok! "Raf, ada yang cari kamu di bawah, turun yuk," ucap Mayang dari balik pintu kamar, ia paham bagaimana perasaan putranya saat ini, karena itulah ia mema
Happy Reading. Malam yang seharusnya menjadi malam pertama yang indah bagi pengantin baru, tidak dengan Serly dan Sean. Pengantin wanita mengadakan sidang keluarga di ball room hotel setelah para tamu undangan pulang semua. "Jelaskan kenapa bisa seperti ini?" cetus Serly menatap satu persatu wajah orang-orang yang sudah membohonginya. "Pa, Ma, Siapa yang akan menjelaskannya?" cecar Serly menatap kedua orang tuanya, mereka berdua juga tidak tahu harus menjelaskannya dari mana. "Begini saja, Nak. Bagaimana kalau Ansel yang menjelaskannya secara detail sama kamu di kamar," tawar Rina kepada sang menantu, ia juga enggan mengatakan secara langsung bagaimana asal mula rencana itu tersusun. Tatapan Serly menghunus tajam pada sang suami yang duduk di sampingnya, menuntut persetujuan dari suaminya itu. "Baiklah, aku yang akan menceritakan semuanya sama kamu. Kalau begitu ayo kita ke kamar, kasian orang tua kita pasti kelelahan dan ingin beristirahat," kata Ansel menatap sendu, Ia takut is