Happy Reading. Sudah beberapa hari ini nafsu makan Serly naik 180 derajat dari biasanya. Jika hari-hari sebelumnya ia makannya sedikit, jarang ngemil dan tidak suka buah-buahan, sekarang justru sebaliknya. Apa yang tidak disukainya menjadi makanan favoritnya di setiap waktu. "Ser, bukannya beberapa menit yang lalu kamu sudah sarapan, kenapa sekarang makan lagi?" ucap Fero kepada sang putri yang saat ini memakan satu mangkok mie instan. "Bukannya kamu enggak suka makan mie instan?" lanjut Fero keheranan."Tiba-tiba pengen aja, Pa," jawab Serly tetap fokus pada makanannya, yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah makanan, makanan dan makanan. "Papa perhatikan akhir-akhir ini nafsu makan kamu meningkat. Semalam Papa juga melihat ada dua bungkus mie instan di tong sampah dekat kulkas di dapur. Enggak mungkin Bi Sri yang makan 'kan?" cecar Fero mengungkapkan apa yang dilihatnya semalam dan beberapa sebelumnya. "Mungkin karena aku kelewat bahagia bisa tinggal serumah sama Papa," cetus
Happy Reading. Serly dan Ansel duduk berhadapan yang hanya terhalang meja di tempat yang sudah dijanjikan. Jika wajah Serly nampak murung, maka Ansel kebalikannya. Dia begitu sumringah, senyuman manisnya tak memudar sedikitpun sehingga membuat Serly merasa jengah karenanya. "Berhentilah tersenyum, aku geli melihatnya," ucap Serly membuka obrolan diantara keduanya. "Tidak akan! Sekarang adalah hari paling bahagia untukku, jadi enggak ada yang boleh melarang ku agar berhenti tersenyum," balas Ansel seraya menarik tangan Serly di atas meja lalu mengecupnya sangat dalam. Hati Serly menghangat begitu mendapatkan perlakuan manis dari pria yang dicintainya. "Apa yang harus kita lakukan, Bi?" kata Serly bertanya sangat lirih. Di satu sisi, ia sangat bahagia atas kehamilannya itu. Di sisi lain, Serly takut Papanya kecewa kepadanya dan tak mau lagi menganggapnya sebagai putrinya. "Tentu saja menikah," jawab Ansel cepat. "Pokoknya besok aku dan keluargaku akan melamar mu ke sana. Enggak ada
Happy Reading. Rina dan Bagas sangat shock begitu mendengar berita kehamilan Serly dari putranya sendiri. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Ansel bisa berbuat sejauh itu dengan Serly. "Ayo Ma, Pa, lamar Serly buat aku. Pokoknya besok pagi kita harus ke rumahnya dan melakukan prosesi lamaran," rengek Ansel seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen. Bug! Plak! "Aduh, sakit, Ma, Pa," ringis Ansel sambil mengusap lengan dan kepalanya karena dicubit dan ditoyor oleh kedua orang tuanya tersebut. "Nakal sekali kamu Ansel. Siapa yang mengajarimu seperti ini, huh! Anak orang dibuat hamil," oceh Rina mengomeli putranya itu, sambil terus menghajarnya. "Pria enggak bermoral, malu-maluin Papa, kamu ya," Bagas kembali menyerang Ansel secara membabi-buta, walaupun pukulannya dan Rina sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Ansel. Sebab, mereka cuma memberikan pukulan kecil saja kepada putranya. "Ampun, Ma, Pa. Ini juga salah kalian yang ngelarang aku berhubungan sama Serly, maka
Happy Reading. "A-aku ada perlu sama Papa, boleh bicara sebentar," suara Serly terdengar begitu lirih, sikapnya tersebut mengundang tanda tanya di benak Fero. "Boleh, di bawah saja ya, sekalian Papa mau ambil air minum ke dapur," Fero melangkah lebih dulu menuruni anak tangga, sedangkan Serly mengikutinya dari belakang, ia sangat cemas karena mulai berpikir negatif tentang respon Papanya nanti. Kini, Ayah dan anak itu sudah duduk berhadapan di ruang keluarga. Yeah, hanya berdua, sebab Zeya masih marah dan enggan pulang ke sana. "Ada apa, Ser. Katakan sama Papa," ucap Fero menatap putrinya yang duduk gelisah di hadapannya. "Em, Pa ... Besok Ansel sama keluarganya mau ke sini," cetus Serly sangat berhati-hati, dadanya bergemuruh hebat, kedua tangannya sudah basah oleh keringat dingin. Fero mengerutkan keningnya tanda tak mengerti dengan ucapan Serly barusan. "Ansel dan keluarganya mau ke sini? Buat apa?" cicit Fero mengulang perkataan Serly barusan. Walaupun ia sudah dapat menerka
Happy Reading. Serly mendengar adanya keributan di bawah sana, ia menempelkan telinganya ke pintu kamar, memastikan apa benar terjadi keributan di bawah. "Keluarga macam apa ini, jangan sampai putri kita menikah dengan salah satu keturunannya, bisa gila dia jika hidup dalam keluarga tak moral sepertinya," Zeya menunjuk wajah Rina sambil berkacak pinggang. Mendengar ucapan Zeya yang teramat pedas di telinganya dan juga sikap arogannya tersebut, membuat darah Rina mendidih. "Tentu saja keluarga kami enggak seperti keluarga kalian. Kami bahagia walaupun sama-sama bekerja, perhatian tetap tercurah kepada anak-anak kami sehingga mereka tidak kekurangan kasih sayang sedikitpun. Sedangkan kalian? Sangat egois! Justru Serly akan bahagia mempunyai keluarga baru yang harmonis seperti kami dan terlepas dari orang tua toxic seperti kalian," kecam Rina panjang lebar. Ucapannya barusan seperti bom atom yang meledak begitu saja di ruangan keluarga itu. Serly membulatkan mata sempurna karena men
Happy Reading. Satu minggu berlalu .... Hari ini adalah hari pernikahan Serly yang diadakan secara meriah. Pernikahan yang seharusnya membawa kebahagiaan bagi sang mempelai justru sebaliknya. Wajah Serly menunjukkan kesedihan terdalam karena dijodohkan dengan pria yang tak dikenal, ia tidak diberikan kesempatan untuk melihat wajah calon suaminya tersebut sampai sekarang acara pernikahan sudah dimulai. Serly menaiki altar pernikahan diantar oleh Papanya ke atas sana untuk diberikan kepada sang calon suami. Kepala Serly menunduk dalam karena tidak sanggup melihat sosok pria yang katanya bersedia menerimanya dan juga calon anaknya. Saat tangannya disambut hangat oleh calon suaminya itu, Serly masih tetap menundukkan kepala. Hingga akhirnya sebuah suara yang sangat familiar di telinga Serly, membuat wanita cantik itu mendongak secara spontan. Kedua matanya membulat sempurna tatkala melihat sosok siapa yang menjadi calon suaminya itu. "Ansel ...," lirihnya sambil menatap wajah Ansel y
Happy Reading. Malam yang seharusnya menjadi malam pertama yang indah bagi pengantin baru, tidak dengan Serly dan Sean. Pengantin wanita mengadakan sidang keluarga di ball room hotel setelah para tamu undangan pulang semua. "Jelaskan kenapa bisa seperti ini?" cetus Serly menatap satu persatu wajah orang-orang yang sudah membohonginya. "Pa, Ma, Siapa yang akan menjelaskannya?" cecar Serly menatap kedua orang tuanya, mereka berdua juga tidak tahu harus menjelaskannya dari mana. "Begini saja, Nak. Bagaimana kalau Ansel yang menjelaskannya secara detail sama kamu di kamar," tawar Rina kepada sang menantu, ia juga enggan mengatakan secara langsung bagaimana asal mula rencana itu tersusun. Tatapan Serly menghunus tajam pada sang suami yang duduk di sampingnya, menuntut persetujuan dari suaminya itu. "Baiklah, aku yang akan menceritakan semuanya sama kamu. Kalau begitu ayo kita ke kamar, kasian orang tua kita pasti kelelahan dan ingin beristirahat," kata Ansel menatap sendu, Ia takut is
Happy Reading. Tanpa sepengetahuan Laudya, Randy mencari alamat rumah pria yang sudah menghamili adiknya. Ia harus meminta pertanggungjawaban kepada pria itu apa pun yang terjadi, Randy tidak mau Laudya hamil tanpa suami. Berbekalkan nomor Rafly yang ia curi dari ponsel adiknya, Randy nekat pergi ke rumah pria itu yang katanya ada di tengah-tengah kota. Randy mendapatkan informasi itu dari sosial media yang ternyata Rafly bukanlah orang sembarangan. Dari semalam Randy menghubungi nomor Rafly tetapi tak ada jawaban dari sana, membuat Randy semakin kalang kabut dibuatnya. Tentu saja Rafly tidak bisa dihubungi, ia sedang patah hati dan mengurung diri di dalam kamarnya sejak semalam. Lebih tepatnya setelah ia menjadi pusat perhatian di pesta pernikahan Serly yang tak sengaja menjatuhkan gelas di dekat pintu ruang acara. Tok! Tok! Tok! "Raf, ada yang cari kamu di bawah, turun yuk," ucap Mayang dari balik pintu kamar, ia paham bagaimana perasaan putranya saat ini, karena itulah ia mema