Kintan bukan tidak merasa aneh dengan perubahan sikap kekasihnya. Dia pikir, waktu setahun itu sudah cukup untuk mengenal Devan. Namun, ternyata tidak sama sekali. Devan-nya selalu melakukan sesuatu yang membuatnya takjub setiap hari.Kadang dia menduga jika sosok Devan yang tengah bersamanya saat itu sebenarnya adalah orang lain. Namun, dia tidak punya bukti akurat. Selain itu, meski beberapa hal terlihat mencurigakan, sikap laki-laki itu masih baik dan penuh kasih sayang.Manusia berubah seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman. Itulah yang dipercayai Kintan. Jika Devan sempat bersikap emosional, barangkali memang dia sedang lelah bekerja saja. Selebihnya, watak asli Devan memang begitu adanya.Tak jarang, rindu Kintan menggebu-gebu meski mereka baru saja bertemu. Dia pernah bertanya kepada Dinda, apakah hal demikian memang wajar adanya. Dan jawaban Dinda, seperti biasa, selalu menenangkan."Tan, rindu kamu itu berbeda dengan rindu kebanyakan orang." Begitu katanya."Be
Dinda sudah belasan tahun bersahabat dengan Kintan. Baik buruknya, susah senangnya, hampir dia tahu semua.Kintan menganggap Dinda selayaknya saudara sendiri karena posisinya di rumah sebagai anak tunggal. Dinda pun tidak keberatan. Meski perjodohan Kintan dengan kakak kandungnya pernah gagal, sedikit pun tidak berpengaruh terhadap hubungan baik keduanya.Setiap kali Kintan didekati oleh laki-laki, Dinda akan maju sebagai penilai pertama. Jika Dinda bilang tidak, Kintan akan berpikir ulang untuk menjalin hubungan.Sejauh itu, perkiraan Dinda tidak pernah meleset. Laki-laki yang mendapat kartu merah dari Dinda pada akhirnya sering ketahuan belangnya.Dinda ingat betul hari itu. Kintan datang ke salonnya setelah mengantar pesanan kue dari sebuah perusahaan konstruksi di Jakarta Pusat.Wajah Kintan berseri-seri dan pipinya bersemu kemerahan. Dinda sudah hafal. Jika Kintan seperti itu, obrolan mereka tidak akan jauh-jauh dari soal cinta.Kintan dengan malu-malu menyebutkan nama Devan. Kon
"Mas, pagi ini aku dapat jawaban dari Pak Wishnu Wardana!" seru Kintan dari ujung telepon.Gadis itu menelepon dari toko kue. Layar laptopnya masih menyala, menampilkan sebuah email yang dikirim Livia beberapa menit sebelumnya.Di email itu, tersemat surat perjanjian kerja sama dengan kop perusahaan yang menaungi cabang usaha Pak Wishnu. Mereka menyatakan siap menggelontorkan dana untuk membuka cabang pertama Key and Cake di lokasi rest area yang sedang mereka bangun.Langit terlihat berkali-kali lebih cerah. Awan tipis berarak pelan, mengikuti tiupan angin yang membawanya ke selatan. Dari jendela kaca di ruang kerjanya, Kintan menyaksikan pemandangan itu dengan hati berbunga-bunga."Selamat, ya. Kamu benar-benar hebat! Jadi, apa yang kira-kira bisa aku bantu?"Dejan turut senang mendengarnya. Dia bisa merasakan waktu kembali ke masa lalu, memutar kenangan saat Dejan mendapatkan investor pertama. Saat itu, dunia rasanya ada di genggaman. Di hadapan, ada jalan terjal yang menghadang. A
Selepas Subuh, Dejan sudah memanaskan mesin mobil dan berdandan rapi. Dia mengusulkan acara family gathering untuk karyawan Key and Cake. Hal itu dilakukan dalam rangka syukuran karena mereka mendapatkan investor dan sebentar lagi akan membuka cabang pertama.Kintan menyambut usul itu dengan antusias. Kebetulan memang sudah lama sekali mereka tidak mengadakan acara piknik bersama. Karena momennya tepat, acara itu menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan oleh seluruh karyawan toko.Dejan berangkat dari rumah sebelum pukul enam. Dia hanya bilang ada agenda akhir pekan kepada Bu Dian. Meski begitu, Pak Doni seperti sudah bisa menerka. Pasca Dejan mengaku, mereka memang tidak banyak bicara. Dia hanya berusaha memahami jalan pikiran anaknya."Saya akui, keputusan ini memang salah, Pa. Walaupun posisi saya terdesak saat itu, tidak seharusnya saya berbohong kepada Kintan." Begitu kata Dejan setelah mengakui perbuatannya kepada Pak Doni."Siapa saja yang tahu soal ini? Devan gimana?"Dejan mengg
"Lolos seleksi apa, Mas?" tanya Kintan dengan mata masih setengah terpejam.Gawat! Baik Dejan maupun Dinda lantas diam seribu bahasa. Tidak seharusnya mereka mengobrol seperti itu di depan Kintan meski dia sedang tertidur."Kok, pada diem? Kalian menyembunyikan sesuatu dari aku?"Gadis itu menegakkan punggung lalu menatap kekasih dan sahabatnya secara bergantian. Sorot matanya penuh tanda tanya. Dinda bersegera menjawab untuk menghilangkan kecurigaan."Jangan salah paham dulu, Tan. Maksudnya gini. Kamu kan tahu, selama ini aku masih agak kurang sreg sama Devan. Kemarin aku bilang terus terang sama dia, terus kuminta dia kasih pembuktian kalau dia benar-benar tulus sama kamu. Aku nggak mau sahabatku nikah sama orang yang salah. Itu aja."Kintan beralih menatap Dejan. "Benar begitu, Mas?"Dejan mengangguk cepat. Gadis itu pun akhirnya mengembuskan napas lega. Dia juga terlihat menahan senyum. Kalau di dalam mobil tidak gelap, barangkali Dejan juga dapat melihat semburat kemerahan di pip
Dapur produksi Key and Cake dipenuhi aroma wangi nan manis dari vanila. Sesekali terdengar dentang alat-alat adonan beradu. Dua mesin oven beroperasi, sedang menunggu proses pemanggangan selesai. Kintan sedang menguji coba beberapa resep yang akan dijadikan menu andalan pada cabang pertama mereka. Selain dibuat roti dan kue, Kintan juga membuat selai vanila yang bisa dibeli terpisah. Dia ingin memastikan kualitas pasokan vanila sesuai dengan standar mutu yang diterapkan tokonya. "Sari, tolong ambilkan pisau," katanya kepada seorang gadis yang sedang duduk di dekat pintu. Gadis itu hanya diam sambil celingukan melihat ke kanan dan kiri. "Sari ... Tahu, kan, pisaunya di mana?" ulang Kintan lagi. "Ma, maaf. Ibu bicara sama saya?" Kintan mengernyitkan kening dan memperhatikan gadis itu sekali lagi. Setelah dia bicara, suaranya tidak terdengar seperti Sari. "Mbak Sari sedang sortir bahan di gudang, Bu. Saya Bunga, karyawan baru." Kintan tampak malu dan berulang kali meminta maaf k
Semenjak bersama Kintan, hari-hari Dejan terasa tak sama lagi. Hatinya tak lagi senyap seperti rumah kosong tanpa penghuni. Dunianya tidak hanya berputar pada bisnis dan diri sendiri. Pikirannya terus mencari cara agar gadis itu tetap bahagia meski pelan-pelan Dejan mulai tersakiti.Awalnya, Dejan hanya terjebak situasi dan merasa kasihan. Lambat laun, welas asih itu berubah menjadi rasa sayang. Namun, perasaan itu tetaplah tak berbalas. Sebesar apa pun usaha Dejan untuk membahagiakan, nama yang ada di hati Kintan tetaplah Devan."Gue sudah peringatkan sejak awal, kan?" kata Dinda. Pagi itu, Dejan menemuinya sebelum mengantar Kintan untuk survey lokasi toko cabang."Gue yang bodoh, Din." Dejan menyesap kopinya. Rasanya pahit, seperti kenyataan hidup."Selama tiga bulan ini lo gantiin posisi Devan, gue bisa merasakan perbedaan sikap kalian berdua. Gue tahu, lo tulus sama Kintan. Tapi lo juga harus sadar, selama Kintan masih mengira lo itu adalah Devan, selama itu juga Dejan dianggap en
Tenggorokan Dejan terasa gatal dan badannya remuk redam sepulang dari mengantar Kintan survey lokasi cabang. Kepalanya pusing setiap kali hendak beranjak dari tempat tidur. Suhu badan di termometer menunjukkan angka 38,5°C. Dia hanya meringkuk di balik selimut karena kedinginan, tetapi wajahnya terasa panas dari dalam.Dejan mengabaikan beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Dia sempat melihat sekilas, ada nama Kintan, seorang karyawan, dua orang klien, dan beberapa grup yang notifikasinya berisik—yang akhirnya dia bisukan. Perut yang keroncongan tidak cukup memotivasinya untuk bangun dan mencari pengganjal lapar.Sebuah suara ketukan terdengar dari pintu. Pak Doni memanggil dari luar. Karena pintunya dikunci, mau tidak mau Dejan akhirnya bangun dan membukakan meski jalannya sempoyongan."Barusan Kintan telepon. Untung Papa sendiri yang angkat."Mata Dejan membelalak. Dia lupa bahwa Kintan pasti mempunyai nomor telepon rumah mereka. Kalau sampai mamanya yang mengangkat telepon, habis
Kintan menikmati akhir pekan dengan berjalan-jalan di Rue de I'Abreuvoir. Jalanan terkenal di kawasan Montmartre, Paris itu tampak menawan dengan pemandangan bunga wisteria yang bermekaran. Matahari musim panas bersinar cerah, membuat rumah warna-warni di sepanjang jalan lebih semarak."Kintan, Carrot, let's take a selfie!" ajak Yujin dengan aksen Korea yang medok.Ajakan itu pun disambut antusias. Carrot, gadis tinggi semampai asal Thailand, buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera depan ke wajah mereka.Berbagai macam gaya seperti peace, manyun, mengedipkan sebelah mata, dan lainnya mulai memenuhi galeri Carrot. Untuk urusan dokumentasi, gadis itu memang paling bisa diandalkan. Tangannya yang panjang membuat jangkauan tampilan foto selfie mereka lebih luas.Mereka berkenalan di hari pertama sekolah memasak dimulai. Sebagai sesama orang Asia di antara murid Eropa dan Amerika, kedekatan mereka terjalin begitu saja lewat obrolan dan makanan. Kepada mereka jugalah Kintan akh
Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan
"Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b
Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn
Jalanan macet, pikiran kusut, dan Talita yang seenaknya pergi setelah marah-marah adalah kombinasi memuakkan hingga membuat Devan memukul setirnya berulang kali. Tanpa memedulikan tatapan sinis pengendara lain, dia menekan klakson tidak sabaran. Kepalanya berdenyut nyeri. Semua hal seolah terjadi begitu cepat hingga Devan tak sanggup membendung akibatnya."Haruskah aku datang ke pemakaman?" tanyanya dalam hati, berulang kali.Namun, ada keraguan besar yang menahan langkahnya. Apakah kedatangan Devan bisa diterima oleh keluarga Kintan? Dia khawatir, keributan besar akan terjadi dan mengganggu suasana mereka yang tengah berduka.Selain itu, diam-diam Devan juga takut dilaporkan ke polisi. Bagaimana jika keluarga Kintan menuntutnya dengan pasal pembunuhan yang tidak disengaja? Devan pernah menonton berita televisi, pelaku kejahatan tersebut juga bisa masuk penjara. Jika itu terjadi, tamatlah riwayatnya.Devan mengepalkan tangannya yang gemetaran. Dia berusaha mengatur napas. Tidak. Kinta
Mobil jenazah melaju pelan memasuki gang. Sirinenya tidak dinyalakan, sesuai permintaan keluarga. Sudah ada seorang lelaki di ujung gang yang memandu mobil tersebut. Tetangga lainnya juga sudah ramai berkerumun di depan rumah yang sedang berduka.Ketika pintu mobil dibuka, Kintan turun terlebih dahulu. Matanya sembab dan pandangannya kosong. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia memegang tangan Bu Ranti untuk membantunya turun. Peti jenazah diturunkan oleh beberapa orang lelaki untuk disalatkan terlebih dahulu.Dinda menghambur dan memeluk Kintan. Berulang kali dia mengucap maaf karena tidak bisa membersamai sang sahabat di titik terendah. Pada saat Pak Surya dirawat di rumah sakit, Dinda tengah berada di Bandung untuk mengurus kasus sengketa tanah keluarga."Aku bersaksi ayahmu orang baik, Tan. Semoga Allah ampuni dosanya, terima seluruh amal baiknya, dan tempatkan di surga," bisik Dinda.Kintan mengangguk dan mengamini doa sahabatnya. Sejujurnya, dia sedih sekaligus bahagia. Bagai
Pak Surya keluar dari ruang ICU sehari pasca operasi. Dokter menyatakan kondisinya sudah cukup stabil. Untuk mempercepat proses pemulihan, lelaki berusia setengah abad tersebut diharuskan menjalani rawat inap selama beberapa waktu. Ada pemantauan rutin untuk memeriksa bekas luka jahit, ritme detak jantung, serta tanda vital lainnya.Pagi itu, Pak Surya minta disuapi oleh Kintan. Gadis itu pun dengan senang hati memenuhi permintaan ayahnya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak quality time. Momen itu pun dimanfaatkan Kintan untuk membahas hal-hal yang menyenangkan demi kesembuhan Pak Surya."Nanti kalau Ayah sudah boleh pulang, kita jalan-jalan ke Lembang, yuk!" katanya seraya meyuapkan sesendok bubur hambar.Pak Surya terkekeh dan mengangguk. Meski bibirnya masih pucat, wajahnya terlihat lebih bersih dan berseri."Nanti aku tanya dokter deh, Ayah boleh makan cake atau nggak. Aku punya resep baru lho yang belum Ayah coba." Kintan terlihat bersemangat. Dia memang sudah cukup lama ingi
Pak Surya masih belum sadarkan diri selepas menjalani operasi pemasangan ring jantung. Lelaki paruh baya itu terkulai lemah di ruang pemulihan. Bibirnya pucat dan tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup adalah bunyi 'bip' berulang dari alat monitor jantung.Berbagai macam selang terpasang di tubuhnya. Satu selang terhubung ke tabung oksigen. Selang lain untuk mendeteksi detak jantung. Ada pula selang infus dan selang pembuangan. Selang-selang itulah yang menopang tanda vital kehidupannya."Ngapain, sih, dia masih di sini?" tanya Bu Ranti, lebih seperti menggerutu. Matanya melirik Bu Dian yang sepertinya sedang berzikir dengan suara lirih.Pak Doni sedang mengantar Dejan ke bandara. Lelaki itu hanya bisa menunggui operasi Pak Surya sampai separuh jalan. Meskipun ingin berada di sana lebih lama, kewajibannya untuk mengurus bisnis harus menjadi prioritas untuk saat ini."Jangan begitu, Bu. Tante Dian sudah banyak membantu dari tadi." Kintan menging
Devan menarik paksa lengan Talita. Matanya nyalang penuh amarah. Sebenarnya Talita kesakitan karena cengkeraman lelaki itu sangat kuat, tetapi dia tidak berani protes atau meronta. Jantungnya bertalu-talu, menanti kiranya hukuman apa yang akan diberikan Devan atas keributan tersebut. Di satu sisi, dia menyesal karena telah melanggar larangan Devan. Jelas, setelah ini, mereka berdua akan mendapat hukuman dari kantor. Namun, di sisi lain, Talita juga tidak terima dibicarakan di belakang seperti itu. Devan melepas cengkeraman dan bersegera menutup pintu begitu tiba di ruangannya. Dengan kasar, dia setengah mendorong Talita agar duduk di salah satu kursi. "Kamu sudah gila? Hah?!" bentak Devan. Dia mati-matian mengecilkan volume suara agar tidak terdengar dari luar. Devan tahu, pegawai lain pasti sedang berkumpul di depan ruangannya untuk menguping. "Baru kemarin aku tekankan supaya kamu sembunyikan kehamilan dulu. Baru kemarin, Tal. Kamu segitunya butuh pengakuan? Kamu takut aku lari