“Pulang tunggu di halte jam 5 sore.”Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Alya. Alya yang. sedang melipat mukena yang baru dikenakan oleh nay itu membiarkan ponselnya itu berdenting dengan memilih untuk merapikan pakaian taqwanya. Jangan tanya, tatapan beberapa karyawan yang melihat Alya di musholla. Ada yang sedang berbisik dan menatap sinis ke arah Alya berada. Alya berusaha untuk tidak terganggu dengan apa yang saat ini terjadi padanya. Dia memilih acuh dan tidak ingin terpancing dengan situasi yang sebenarnya begitu mengganggu dirinya. “Eh. ak pikir kamu tuh cewek alim loh. Ga taunya sama saya kayak bunga kampus yang lain. Tapi, kamu pinter juga loh cari mangsanya. Anak bos langsung yang kamu dekati. Jika karyawan lain, paling juga atasannya sendiri,” sindir salah seorang karyawan yang Alya tahu dia adalah staff accounting di perusahaan itu. Alya yang baru saja hendak melangkah setelah mengenakan sepatu pada kakinya itu pun terhenti. Dia menghela nafas beratnya, mengontrol diri
Saat mobil yang membawanya itu berhenti ke sebuah tempat. Alya yang memang sedang khawatir saat akan turun dari dalam mobil, sebab cemas jika sampai ada mata-mata orang tua Evan yang melihat itu melirik ke sekitarnya. Barulah, Alya tersadar. Jika Evan tidak membawanya ke apartemennya. Melainkan ke sebuah rumah dua lantai dan Alya baru saja menyadarinya. Alya menoleh cepat pada Evan. Dia pun segera bertanya.“Pak. Kita nggak kembali ke apartemen? Lalu, ini ke rumah siapa?” tanya Alya dalam kebingungan. Mengapa Evan membawa ke rumah orang yang sama sekali tidak diketahuinya. “Turun.”Satu kata yang menjadi jawaban Evan. Tentu saja, bukanlah jawaban yang Alya ingin dengar atas tanya yang dirinya lakukan pada suaminya. “Ish. Tanya juga belum dijawab. Sudah nyuruh turun saja.”Alya menggerutu kesal. Sebenarnya mau apa mereka datang ke rumah yang tidak dikenal itu. Meski kesal, Alya menurut. Dirinya tetap membuka pintu mobil suaminya, dan turun mengikuti perintah yang Evan lakukan atas
Seminggu telah berlalu, Alya dan Evan tinggal di rumah Evan yang sama sekali tidak ada seorang pun tahu. Evan memberikan fasilitas untuk Alya untuk menggunakan taksi on line saat harus menuju ke pabrik tempat mereka bekerja. Setelah Evan mengantar Alya ke rumah miliknya. Dia tak kembali hingga saat weekend tiba, Evan baru datang dalam keadaan yang begitu berantakan.Alya tak tahu sebab apa yang membuat Evan seperti itu. Alya yang merasa takut dan cemas, hanya mampu memenuhi setiap apa yang Evan butuhkan. Bahkan di hari libur yang seharusnya bisa Alya gunakan untuk bersantai pn tak mampu dia lakukan. Semalaman Evan sama sekali tidak membuat dirinya untuk beristirahat dengan baik. Pria itu terus menuntut Alya untuk memberikan kebutuhan batinnya. Mau tak mau, Alya yang tidak bisa menolak hanya mampu bisa berpasrah pada Evan, suaminya. Setelah Alya menunaikan ibadah subuhnya pun, Evan tetap menuntut haknya itu dipenuhi oleh Alya. Yang mengharuskan Alya kembali lagi ke kamar Evan sebab
Pagi itu, cahaya matahari mulai mengintip dari balik jendela apartemen, menerobos tirai yang sedikit terbuka. Di tengah sunyi yang melingkupi, Alya terbangun dengan tubuh yang terasa lelah dan kepala yang berdenyut nyeri. Ia merasakan betapa semalaman dirinya nyaris tak diberi kesempatan untuk beristirahat. Evan, suaminya, menuntutnya untuk selalu siap setiap kali ia menginginkannya, dan Alya, meski lelah, berusaha memenuhi perannya sebagai seorang istri untuk Evan.Saat membuka mata, Alya tersentak kaget. Dia melihat jam di meja kecil di samping tempat tidur. Sudah jauh lewat waktu biasanya dia bangun. Napasnya terempas seketika. Biasanya, dia yang bangun lebih dulu untuk menyiapkan kebutuhan suaminya, Evan. Namun, kali ini, apartemen terasa sepi, dan Evan sudah tak ada di sampingnya. Alya bangkit terburu-buru, walaupun tubuhnya masih terasa lemas dan kepalanya terasa berputar."Apa Evan sudah pergi…," batinnya, diiringi rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Belum sempat ia mempe
Alya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, wajahnya pucat seperti tak lagi memiliki cahaya kehidupan. Tubuhnya tersandar, mata terpejam, dan nafasnya yang teratur terdengar begitu lirih di antara dengung mesin-mesin medis. Sementara di sebelahnya, Vira berdiri dalam keheningan, berusaha menyerap setiap patah kata yang barusan keluar dari mulut sang dokter.“Maaf, Bu Vira,” ujar dokter itu dengan tatapan sedikit khawatir, “apakah suami Alya bisa segera datang? Kondisinya butuh perhatian khusus, apalagi dalam kehamilannya ini.”Waktu seolah berhenti di telinga Vira. Kehamilan? Apa dokter ini tidak salah bicara? Dengan mata melebar, Vira melirik ke arah Alya yang masih terlelap matanya di atas ranjang pemeriksaan. “Dokter, maksud Anda… Alya hamil?” tanya Vi dengan nada bergetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dokter yang berdiri di depannya.“Benar, Bu. Usia kehamilannya sudah hampir memasuki bulan kedua. Tetapi, kondisi kehamilannya rentan karena kelelahan yang ber
Ruangan rumah sakit yang dingin terasa semakin sunyi. Keheningan yang ada di dalam kamar seakan menyusup masuk ke dalam hati Alya, mengisi setiap celahnya dengan kecemasan yang tak terkatakan. Di samping ranjang, Vira duduk diam, memegang tangan Alya dengan erat, mencoba memberikan ketenangan lewat sentuhannya. Vira paham apa yang terjadi, dari raut wajah Alya, Vira tahu jika Alya syok mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan itu. Alya masih dalam keadaan syok. Matanya yang sembab tak lepas dari wajah Vira. Seakan mencari jawaban dari keraguan yang mengoyak dirinya sejak kabar itu terungkap. Tiba-tiba, buliran bening yang keluar dari ujung matanya itu semakin mengalir deras kembali, tangisnya pecah lagi, isakannya tertahan seperti tak ingin menggema di ruangan ini.“Mbak... Alya… Alya hamil, ya?” suaranya parau, bergetar di sela air mata yang mengalir tanpa henti. Ini bagai kabar yang tidak ingin dirinya dengar dalam hidupnya. Dan memang tidak pernah ter planning dalam benaknya.
“Alya... Alya ingin minta tolong,” Alya menelan ludah, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menunduk dalam demi menghindari tatapan Vira yang teduh menunggu setiap kata yang ingin Alya katakan untuknya. Sebelum akhirnya, Alya kembali memberanikan diri menatap Alya setelah memantapkan diri dengan keputusannya. “Alya… minta Mbak untuk merahasiakan ini semua. Jangan bilang ke siapa-siapa, terutama… ibu sama adik Alya. Alya nggak ingin mereka tahu… Alya nggak ingin mereka kecewa. Apalagi Ibu, jika Ibu tahu dengan kabar ini, akan berakibat buruk untuk kesehatan Ibu pastinya.”Vira menatap Alya dengan ekspresi yang tak dapat ditebak. Ada kesedihan dalam sorot matanya, tetapi juga ketegasan yang menyelusup di balik kelembutannya.Bagaimana harus disembunyikan? Sedangkan yang namanya kehamilan itu semakin lama akan semakin besar, dan tidak mungkin untuk terus ditutupi. Apa jangan … jangan Alya memiliki rencana untuk menggugurkan, pikir Vira. “Alya
Alya merasakan tenggorokannya kering, matanya mulai memanas. Ia tahu, apa yang akan dia katakan bukan hal yang mudah, dan mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia tidak punya pilihan selain mengungkapkan kenyataan pahit ini. "Janin ini... anak Pak Evan," katanya dengan suara yang nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras, kata-kata itu akan menghancurkannya.Vira terdiam sesaat, ekspresinya berubah drastis. Mulanya tampak kebingungan, lalu mata Vira membelalak, wajahnya penuh ketidakpercayaan. "Evan? Maksudmu, Evan anak bos pabrik itu? Evan yang... yang itu?" Vira hampir tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, seolah kata-kata itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.Alya hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan wajah, tak berani menatap mata Vira lebih lama. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas, seakan kata-kata itu menjadi beban yang tak bisa lagi ia tanggung seorang diri.Vira yang tadinya duduk tenang langsung berdiri dengan cepat. Matanya terbuka lebar,
“Al, saudara suamiku mau bantu untuk semua proses izin kamu pergi. Apa kau yakin memutuskan untuk pergi dari Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ibu dan adik kamu?” tanya Vira beruntun setelah dua hari Alya berusaha keras memikirkan rencana untuk dirinya dan terutama untuk anak yang ada dalam kandungan Alya. Alya yang baru duduk di kursi kerjanya itu mendongak, menatap sungguh pada Vira yang tiba-tiba meragukannya. “Aku yakin, Mbak. Ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku tak mungkin untuk berada di Indonesia. Jika ada jalan ke luar negeri dan kerja yang sudah pasti. Lalu, untuk apa aku harus bingung untuk menunda? Bukankah ini kesempatan yang bagus buatku. Lagi pula, kesempatan di sana juga sesuai dengan passion Alya kan?” Alya bersungguh dengan rencana yang sudah disiapkan olehnya itu. Tak ingin memanfaatkan kesempatan, maka dia akan menggunakan kesempatan emas itu sebaik-baiknya.“Kamu benar. Memang itu kesempatan yang sangat baik untuk kamu. Tapi, bagaimana dengan ibu dan
Alya membuka matanya perlahan. Kegelapan subuh menyelimuti kamar yang lebih besar dari kamar miliknya. Ditemani sinar lampu kamar yang meremang membuat Alya bangun dari tidurnya dengan perlahan. Alya bangun dengan perlahan, tak ingin mengganggu Evan yang masih tertidur pulas di sampingnya. Nafas Evan yang teratur terdengar di sebelahnya. Dengan hati-hati, Alya bergeser dari tempat tidur, tak ingin membangunkan pria yang tidur nyenyak di sisinya. Dia merapikan selimut Evan sebelum melangkah ke luar kamar dengan sangat berhati-hati. Alya menunaikan dulu kewajibannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri siri Evan yang masih terlelap di dalam kamarnya. Dapur minimalis modern, kini sudah menjadi teman akrab Alya yang menemani hari-harinya untuk memasakkan Evan, suami sekaligus anak dari bosnya. Kakinya terasa dingin, sebab ia tak menggunakan alas kaki saat menuju ke dapur itu. Rutinitasnya dimulai—Pagi ini dia memilih untuk membuatkan sarapan na
“Saya sudah jauh lebih baik,” sahut Alya cepat. “Besok saya sudah siap untuk bekerja,” sahut Alya yang mendapat anggukan dari Evan. Alya tahu maksudnya sakit—kehamilannya. Tapi perhatian itu justru membuat jantung terasa aneh. Ia bingung dengan perubahan sikap Evan, yang belakangan ini terasa lebih lembut, lebih peduli.Mereka makan dalam keheningan, hanya terdengar suara garpu dan pisau yang beradu dengan piring. Alya mencuri pandang ke arah Evan, berusaha membaca apa yang sedang dipikirkannya. Namun, seperti biasa, wajah lelaki itu sulit ditebak.Setelah makan malam selesai, Alya membersihkan meja, sementara Evan menuju kamar. Alya ingin kembali ke kamarnya, tetapi dia mendengar suara Evan yang meminta. Sebab sebelumnya pria itu menolak tawaran Alya yang ingin menyiapkan air mandi. “Alya, siapkan handukku,” katanya dari balik pintu kamar mandi.Alya menurut, mengambil handuk bersih dari lemari dan meletakkannya di dekat pintu kamar mandi. Ketika dia hendak pergi, suara Evan berhen
Lampu kota yang suram menyusup melalui celah tirai kamar Alya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya, menatap kosong pada kaca jendela di sudut ruangan.Tirai jendela kamar itu bergerak lembut oleh sepoi angin yang menyapa. Wajahnya menatap pada cermin meja hias di seberang ranjang dengan tatapan kosongnya. Wajah yang menghadap ke balik cermin adalah wajah yang ia kenali, tetapi terasa asing baginya—pucat, dengan lingkaran gelap di bawah mata yang menjadi saksi dirinya tak mampu nyenyak dalam mimpi indah yang biasa menemani bersama sang keluarga tercinta. Alya terpaku dalam lamunan, segala rencana yang dirinya bingung harus bersikap bagaimana nantinya. Ia tak mungkin untuk terus berada di sini bersama Evan. Ada janin yang akan terus berkembang, dan dia pun tak mungkin untuk memendam dan terus menyembunyikannya. Pikirannya terus berputar, mencoba merangkai rencana untuk masa depan. Masa depan bagi dirinya, dan yang lebih penting, bagi anak yang kini tumbuh di dalam
“Aku harus kembali, Mbak Vira. Setidaknya aku harus memikirkan dengan matang apa yang akan harus aku lakukan untukku dan….” Alya memegang perut ratanya, di mana kini ada kehidupan baru di dalamnya. “Untuk dia,” lanjut Alya, menatap perutnya. “Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja,” desak Vira, suaranya melembut. “Kalau kau butuh waktu, kau bisa tinggal di tempat kos dulu. Aku khawatir, Alya. Kau terlalu memaksakan diri, aku tak ingin kau tertekan dengan sikap Pak Evan.”Alya menoleh, memberikan senyuman yang nyaris tak terlihat. “Aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu... memutuskan sesuatu. Lagi pula, Pak Evan beberapa hari ini tidak segalak waktu kita baru kenal kok Mbak.”Alya berusaha memberikan ketenangan pada Vira. Berharap temannya itu tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Vira menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat setir mobil. Hari ini dia memutuskan untuk membawa mobil, sebab subuh tadi Alya mengirim pesan yang ingin segera kembali. “Pak Evan mungkin akan
Malam ini begitu dingin, hujan yang mengguyur kota industri yang banyak beberapa karyawan berteduh sebab menunggu angkutan yang akan membawa mereka untuk kembali pulang ke rumah. Evan memperhatikan sepanjang jalan, mencari keberadaan seseorang yang mungkin ia kenal dan sudah beberapa minggu menjadi teman hidupnya. Tapi, pencarian yang dia lakukan tidaklah membuahkan hasil apa pun. Rintikan hujan yang turun, meninggalkan aroma tanah basah dan aspal yang dingin. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya ke genangan air yang memberikan pancaran sinar yang saling bertaburan dengan sinar mobil yang sedang menyorotnya. Malam yang dingin itu menciptakan suasana melankolis yang seakan meresapi setiap sudut jalanan. Tak terasa, kuda besi yang Evan kendarai itu berhasil memecah hujan dan membuatnya tiba di basement apartemen mewahnya. Di tengah malam yang senyap itu, Evan erhasil menyita perhatiannya. “Mau apa lagi dia,” kesal Evan sata tahu siapa yang sedang berusaha menghubunginya itu. Evan me
Evan. Nama itu menggema di kepala Vira seperti sebuah mantra yang penuh tanda tanya. Evan adalah sosok yang pernah ia kagumi, bahkan ia sama sekali tidak menyangka jika Alya bias hamil bersama anak pemilik tempat mereka bekerja. Tetapi, Evan dan Alya? Hubungan mereka? Semua itu tampak mustahil, seperti potongan puzzle yang tidak cocok. Apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya sebab Vira tahu jika Alya bukanlah wanita murahan yang akan rela merendahkan harga dirinya begitu saja. Vira mengambil kursi di hadapan Alya, menatapnya dengan campuran rasa penasaran dan gugup. "Alya," katanya pelan, "aku ingin kamu jelaskan padaku dengan semua ini. Jujur, mbak bingung."“Ya, aku tahu jika Mbak pasti bingung dengan semua ini.”"Aku... aku tahu ini mungkin terlalu jauh," Vira memulai dengan hati-hati, "tapi aku harus tahu. Bagaimana bisa kau hamil anak Pak Evan? Aku tahu itu mungkin rahasiamu, tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya."Senyum Alya memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghe
Alya merasakan tenggorokannya kering, matanya mulai memanas. Ia tahu, apa yang akan dia katakan bukan hal yang mudah, dan mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia tidak punya pilihan selain mengungkapkan kenyataan pahit ini. "Janin ini... anak Pak Evan," katanya dengan suara yang nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras, kata-kata itu akan menghancurkannya.Vira terdiam sesaat, ekspresinya berubah drastis. Mulanya tampak kebingungan, lalu mata Vira membelalak, wajahnya penuh ketidakpercayaan. "Evan? Maksudmu, Evan anak bos pabrik itu? Evan yang... yang itu?" Vira hampir tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, seolah kata-kata itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.Alya hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan wajah, tak berani menatap mata Vira lebih lama. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas, seakan kata-kata itu menjadi beban yang tak bisa lagi ia tanggung seorang diri.Vira yang tadinya duduk tenang langsung berdiri dengan cepat. Matanya terbuka lebar,
“Alya... Alya ingin minta tolong,” Alya menelan ludah, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menunduk dalam demi menghindari tatapan Vira yang teduh menunggu setiap kata yang ingin Alya katakan untuknya. Sebelum akhirnya, Alya kembali memberanikan diri menatap Alya setelah memantapkan diri dengan keputusannya. “Alya… minta Mbak untuk merahasiakan ini semua. Jangan bilang ke siapa-siapa, terutama… ibu sama adik Alya. Alya nggak ingin mereka tahu… Alya nggak ingin mereka kecewa. Apalagi Ibu, jika Ibu tahu dengan kabar ini, akan berakibat buruk untuk kesehatan Ibu pastinya.”Vira menatap Alya dengan ekspresi yang tak dapat ditebak. Ada kesedihan dalam sorot matanya, tetapi juga ketegasan yang menyelusup di balik kelembutannya.Bagaimana harus disembunyikan? Sedangkan yang namanya kehamilan itu semakin lama akan semakin besar, dan tidak mungkin untuk terus ditutupi. Apa jangan … jangan Alya memiliki rencana untuk menggugurkan, pikir Vira. “Alya