Setelah hampir dua minggu lamanya Aleeta di rawat di rumah sakit, Nicholas akhirnya datang menemuinya. Hanya pria itu sendiri yang datang secara khusus untuk menjemputnya.
Tidak ada yang berubah sedikitpun dari pria itu. Dia tetaplah Nicholas yang dingin dengan tatapan penuh kebencian terhadap Aleeta. Lalu, apa Aleeta peduli? Tidak. Bagi Aleeta semua itu sudah menjadi hal yang biasa baginya.Aleeta duduk di tepi ranjang, dengan sebelah kaki yang di gips. Aleeta hanya diam ketika Nicholas menyuruh seorang perawat membawakan sebuah kursi roda, lalu perawat itu membantu Aleeta duduk di atasnya. Perawat itu juga yang mendorong kursi roda Aleeta hingga ke lobi utama.Sebuah mobil sudah menunggu di sana. Perawat itu tampak kesulitan membantu Aleeta masuk ke dalam mobil, sementara Nicholas memasukkan kursi roda ke dalam bagasi. Kemudian, mobil itu melaju.“Apa kamu masih ingin bunuh diri lagi?” Nicholas bertanya datar.Pria itu dudukNicholas berhenti melangkah ketika melihat Julian berdiri di samping mobilnya. Tampaknya pria itu memang sengaja menunggu kedatangan Nicholas.“Kamu sudah ingin pulang?” Julian bertanya dengan sebelah alis terangkat.“Menurutmu?” Balas Nicholas datar.“Begini, Nich ...” Julian mendekati Nicholas, lalu merangkul bahu saudaranya. “Aku tahu saat ini istrimu sedang sakit.”Nicholas mendengus mendengar kalimat tersebut.“Dia pasti membutuhkanmu dan kamu pasti juga ingin menemaninya,” ujar Julian dramatis. “Tapi ... Aku nggak bisa menunda untuk mengajakmu datang ke Klub Daniel malam ini. Dia baru saja membuka klub baru, dan dia mengundang kita untuk berpesta.”“Daniel?” Nicholas menatap Julian.“Ya. Tapi kalau kamu nggak bisa juga nggak masalah. Aku akan bilang—““Ayo kita datang,” sahut Nicholas cepat.“Tapi kamu ...” Julian meringis ketika Nicholas memicing ke arahnya. “Baiklah-baiklah. Ay
“N-Nicho? Apa yang kamu lakukan?” “Menurutmu apa lagi?” Nicholas membuka pakaiannya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Mengabaikan Aleeta yang tampak begitu terkejut dengan kehadirannya. Sementara Aleeta hanya bisa diam menatap pintu kamar mandi yang telah tertutup. Tubuhnya tiba-tiba terasa begitu dingin. Aleeta yakin, pria itu tentu tidak ingin kehilangan kesempatannya setelah hampir dua minggu ini membiarkan Aleeta menikmati kebebasannya seorang diri di rumah sakit. Pria itu pasti ingin kembali memerkosanya, menyakitinya dan memaksanya.Aleeta menjerit dalam hati. Ia sudah sangat lelah. Sudah cukup rasanya.Aleeta mengerjap ketika melihat knop pintu kamar mandi bergerak. Sebentar lagi Nicholas pasti akan keluar dari sana. Aleeta begitu panik. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Untuk berdiri sendiri saja rasanya begitu sulit. Aleeta semakin panik saat pintu kamar mandi itu terbuka secara perlahan.Dengan cepat Aleeta b
Keesokan harinya, Aleeta terbangun seorang diri di dalam kamarnya. Pria bernama Nicholas itu sudah tidak ada, bahkan pakaian pria itu juga sudah tidak ada. Aleeta sedikit mendesah lega, karena setidaknya apa yang ia harapkan semalam bisa terkabul pagi ini. Aleeta harus segera bangun sebelum Mary masuk ke kamarnya, dan melihat kondisinya yang begitu kacau. Aleeta tidak memakai pakaian apapun, karena gaun tidurnya semalam sudah di rusak oleh Nicholas. Aleeta mencoba bangkit, meraih jubah tidur yang tersampir di ranjangnya. Tanpa Aleeta tahu kalau jubah tidur itu yang di pakai Nicholas semalam. Mary muncul dari balik pintu, setelah Aleeta berhasil memakai jubah tidur, menutupi leher dan juga tubuhnya yang terdapat beberapa tanda merah yang di buat oleh Nicholas. “Anda sudah bangun rupanya.” Mary mendekat seraya tersenyum. “Nona ingin mandi sekarang?” “Ya. Sekarang saja,” sahut Aleeta cepat. “Baiklah. Mari s
Nicholas menatap Mary yang baru saja memasuki dapur. Tidak seperti biasanya wanita itu pergi sebelum menyiapkan apapun untuk Nicholas. Meskipun makanan sudah tersedia di atas meja. Tapi biasanya Mary pasti akan tetap berada di sana untuk melayani keperluan Nicholas.“Maaf, Tuan. Sudah membuat Anda menunggu lama,” ujar Mary penuh penyesalan.“Hm. Aku juga baru saja duduk,” sahut Nicholas datar.Mary segera menyiapkan minuman untuk Nicholas. Seperti biasa, setiap pagi pria itu pasti akan meminum secangkir kopi hitam sebelum berangkat bekerja. “Silakan, Tuan.” Mary meletakkan cangkir kopi Nicholas tepat di sebelah tangan pria tersebut.“Dimana wanita itu?”Mary menoleh ketika mendengar pertanyaan tersebut. “Maksud Anda, Nona Aleeta?” Tanyanya. Namun, Nicholas tidak menjawab. Pria itu hanya diam seraya menyesap kopinya. “Nona sedang berganti pakaian, Tuan. Saya baru saja membantunya mandi,” imbuh Mary.“Bukank
“Jangan terlalu berisik. Aku takut jika temanmu akan semakin panik ketika mendengar suaramu,” ujar Nicholas seraya mencengkeram erat rahang Aleeta.Aleeta menggeleng dengan mata yang mulai berair.“Aku mohon, pergilah,” lirih Aleeta. Ia meringis ketika Nicholas mulai meremas rahangnya. Aleeta yakin, dalam sekali sentak pria itu bisa meremukkan rahangnya.“Bagus. Teruslah memohon supaya temanmu itu bisa mendengarnya.” Kata Nicholas sembari tertawa.“Nicho, aku mohon—Nicho!” Aleeta menjerit ketika Nicholas langsung mengangkat tubuhnya dari kursi roda begitu saja. “Lepaskan aku!”“Ya. Teruslah berteriak.”“Aku mohon. Lepaskan aku!” Aleeta berteriak sembari meronta dalam gendongan Nicholas.Tapi Nicholas tampak tidak peduli. Ia terus menggendong Aleeta, dan masuk ke dalam kamar wanita itu. Begitu sampai, Nicholas langsung melempar tubuh Aleeta ke atas ranjang, sementara ia menutup pintu dengan cara menendangnya
Johan yang mendengar Aleeta berteriak di seberang telepon seketika menjadi panik. Ia yakin, pria itu pasti ingin menyakiti Aleeta. “Jangan sentuh Aleeta, berengsek!” Teriaknya sembari menatap telepon yang ia genggam.Tidak ada sahutan. Yang ia dengar hanya suara Aleeta yang sedang mencoba memohon di seberang sana.“Sialan! Kamu lihat saja aku pasti benar-benar akan membunuhmu!” Johan kembali berteriak lalu membanting ponsel genggamnya ke atas lantai.Pria itu jatuh terduduk ke atas lantai. Kedua tangannya menjambak rambutnya kuat-kuat. “Arrgghh!” Teriak Johan.Ia ingin menolong Aleeta, tapi ia tidak bisa. Ia ingat, setakut apa suara Aleeta tadi. Ketika wanita itu memohon ampun pada pria bernama Nicholas. Johan ingin sekali menolongnya. Tapi apa kenyataannya? Ia justru hanya bisa diam di rumahnya, tanpa tahu harus menolong Aleeta dengan cara apa.“Jo, tumben kamu ...” Thomas tidak jadi melanjutkan kalimatn
“Mari saya antar ke rumah sakit, Nona.” Kata Mary setelah ia memastikan bahwa Nicholas sudah benar-benar berangkat bekerja.Mary segera mendorong kursi roda Aleeta keluar kamar. Sementara Aleeta hanya duduk lemah di atasnya.Aleeta benar-benar sudah kehilangan tenaga. Di tambah dengan rasa sakit di kaki kirinya yang sejak tadi tak kunjung hilang.“Mary.”“Ya, Nona.”“Apa Nicho benar-benar sudah pergi?” Tanya Aleeta dengan suara lemah. “Sudah, Nona. Tuan Nicholas sudah berangkat bekerja,” jawab Mary seraya membuka pintu rumahnya. Kemudian kembali mendorong kursi roda Aleeta.Saat sudah sampai di depan gerbang rumah Nicholas. Mary berhenti dan memanggil Steven yang tengah berjaga di pos jaga.“Ada apa?” Pria bernama Steven itu keluar seorang diri. Karena Mark sedang di beri tugas lain oleh Nicholas.“Tolong antar kami ke rumah sakit. Kaki Nona Aleeta kembali terluka.” Kata Mary.
Rumah Nicholas ternyata jauh lebih besar dan mewah dari yang di bayangkan Aleeta. Bahkan halaman di sekitar rumahnya pun juga tak kalah luasnya. Benar-benar seperti istana yang ada di cerita dongeng yang pernah Aleeta baca. Sayangnya, di rumah sebesar ini tidak ada banyak orang di dalamnya. Nicholas hanya memiliki dua penjaga, Mark dan Steven. Lalu Mary yang hanya di beri tugas untuk memasak sekaligus merawat dan menjaga Aleeta. Sedangkan untuk urusan rumah lainnya, Nicholas lebih sering menggunakan jasa layanan kebersihan ketimbang mencari dan menambah karyawan baru di rumahnya. Entah apa alasannya, Aleeta tidak tahu dan tidak ingin tahu. Lagipula untuk apa juga ia bertanya-tanya kepada Nicholas soal urusan rumahnya? Biarkan saja pria itu yang mengaturnya. Memangnya Aleeta punya hak apa? “Nona, sarapan Anda sudah siap.”Aleeta menoleh ketika Mary memanggilnya dari pintu belakang. Padahal awalnya tadi Aleeta bilang ingin menunggu di hal
“Apa kamu sudah paham?” Tanya Nicholas.Sudah hampir satu jam lamanya, Nicholas mengajari Aleeta tentang bagaimana cara menggunakan smartphone-nya. Pria itu mengajari dengan sangat sabar dan detail, tidak ada yang terlewat satupun. Hanya saja mungkin karena Aleeta baru pertama kali menggunakan smartphone jadinya wanita itu masih terlihat sedikit bingung.Sementara itu, Aleeta yang duduk di sebelah Nicholas hanya diam, tidak menggubris sedikitpun ucapan pria itu. Aleeta hanya terus mengamati layar ponsel yang di pegang Nicholas itu dengan serius. Lalu tiba-tiba Aleeta menunduk, menjatuhkan kepalanya ke bahu Nicholas.“Aleeta ...,” Nicholas menoleh. “Kamu tidur?” Aleeta menggeleng pelan. “Aku nggak tidur. Tenang saja.”“Aku kira kamu ketiduran,” sahut Nicholas.Aleeta lalu mengangkat kepalanya. Memutar posisi kemudian duduk bersila menghadap Nicholas. Dan karena malam ini ia hanya mengenakan gaun tidur pendek, jadi ia harus menarik selimut agar bisa menutupi bagian kaki dan pahanya yan
“Akhirnya kamu pulang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Nicholas yang melihat keberadaan Aleeta langsung cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik punggung. Aleeta tadi belum sempat melihat tangannya, kan? Kalau pun sudah terlanjur melihat semoga saja Aleeta tidak menyadari apa yang saat ini sedang ia bawa. “Nicho, kenapa diam? Bukanya tadi kamu mencariku. Tapi kenapa sekarang hanya diam?” Gerutu Aleeta dengan bibir mengerucut. Nicholas tersenyum. “Kemarilah. Aku punya sesuatu untukmu,” perintahnya pada Aleeta. “Apa?” “Mendekatlah kalau ingin tahu,” ujar Nicholas yang mau tidak mau langsung membuat Aleeta mendekatinya. Nicholas segera merengkuh pinggang Aleeta ketika istrinya itu berdiri di hadapannya. “Nicho, apa yang kamu lakukan? Katanya kamu punya sesuatu untukku. Kenapa jadi memelukku seperti ini?” “Ini ...,” kata Nicholas seraya mengangkat paper bag ponsel yang di bawanya ke hadapan Aleeta. “Aku membelikanmu ponsel.” “P-ponsel?” Aleeta menatap Nichola
“Nona Aleeta, sedang apa Anda di sini?” Aleeta terkejut dan seketika menoleh saat mendengar suara Mary. Ia hanya menggaruk tengkuk, kemudian meringis. Menatap Mary yang berdiri di depan pintu.“Sejak tadi saya mencari-cari, Anda. Ternyata Anda berada di sini,” imbuh Mary.Aleeta langsung berdehem. “Memangnya ada perlu apa kamu mencariku, Mary? Apa Nicho sudah kembali?” Tanyanya.“Tuan belum kembali, Nona. Saya mencari Anda hanya untuk mengatakan kalau sepertinya semur dagingnya sudah matang. Apa saya harus memindahkannya ke wadah, atau di biarkan dulu di atas kompor?”“Ah, itu ... Biarkan di atas kompor saja, Mary. Supaya bumbunya bisa meresap sampai ke dalam dagingnya,” jawab Aleeta. Setelah itu ia kembali sibuk mencari sesuatu di dalam kamar lamanya.Saat Aleeta tengah memasak tadi entah kenapa tiba-tiba ia teringat dengan pil kontrasepsinya. Aleeta baru ingat kalau sejak kembali dari Paris kemarin, ia belum meminu
Begitu sampai di rumah, Nicholas segera menyerahkan kunci mobilnya kepada Steven agar pria itu memindahkan mobilnya ke carport. Sementara Nicholas memasuki rumah bersama Aleeta. “Selamat datang, Tuan dan ... Nona.” Mary yang kebetulan sedang membersihkan ruang tamu terlihat kaget. Hari ini untuk pertama kalinya ia melihat Nicholas dan Aleeta pulang secara bersamaan. Meski Mary ingin sekali bertanya kenapa mereka bisa pulang bersama? Atau mungkin, apakah Nicholas tadi yang menjemput Aleeta? Tapi kemudian Mary sadar. Ia tidak punya hak atas pertanyaan itu. Lagipula, Mary sudah sangat senang bisa melihat Tuan dan Nonanya akur seperti itu. Tanpa harus ia ikut campur ke dalam urusan mereka. “Oh iya, Mary. Apa kamu sudah menyiapkan makan malam untuk kami?” Tanya Nicholas. “Belum, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda dan Nona Aleeta pulang lebih awal hari ini. Kalau begitu saya akan segera menyiapkan makan malam terlebih dahulu.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Nicholas lalu mengeluarkan ponsel.Sonya yang melihat Nicholas mengeluarkan ponselnya pun langsung tersenyum senang. Ia berpikir kalau Nicholas pasti akan mengiriminya uang sekarang. Maka dari itu, Sonya pun juga langsung mengeluarkan ponselnya.“Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu, menantu,” ucap Sonya tanpa malu. Padahal Aleeta yang mendengarnya pun langsung merasa malu. Kenapa ibunya itu selalu mendewakan yang namanya uang? Sejak dulu sampai sekarang yang ibunya pikirkan hanya uang, uang dan uang. Apa tidak ada yang lain?Nicholas menaikkan kedua alisnya. “Apa kamu bilang? Nomor rekening?”Sonya mengangguk. “Ya. Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu.”Nicholas langsung tertawa. “Memangnya siapa yang butuh nomor rekeningmu?”“Bukankah kamu akan mengirimiku uang.” Sonya menatap Nicholas yang masih terus tertawa.“Uang? Ck! Untuk apa aku mengirimu uan
Sonya mengerjap. Merasa kaget dengan kemunculan seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di hadapannya, menahan tangannya dan juga ... Melindungi Aleeta dari jangkauannya.Sonya kemudian memicing, menatap sosok pria yang sudah sangat ia kenal tersebut.“Jangan pernah berani kamu sentuh istriku dengan tangan kotormu.” Pria itu mendesis seraya menyentak tangan Sonya dengan kasar.Sonya langsung mengumpat atas perlakuan kasar tersebut. “Sialan! Beraninya kamu!” Teriaknya kesal.Aleeta menatap ibunya yang tampak marah, lalu beralih menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. “Nicho.”Nicholas segera menoleh saat Aleeta menyentuh lengannya. “Kamu nggak apa-apa?” Tanyanya lembut.“Aku nggak apa-apa,” jawab Aleeta seraya menggeleng.Nicholas langsung menangkup wajah Aleeta dengan kedua tangannya. Mengamati setiap inci wajah istrinya dengan lekat. Seolah takut jika ada bagian wajah Aleeta yang telah tersentuh oleh t
Sonya terus mengumpat sepanjang perjalanan. Merasakan perutnya yang begitu begah karena ia sudah langsung harus berjalan setelah makan. Sonya menghentikan langkah saat ia melewati minimarket. “Sepertinya akan lebih baik jika aku duduk di sana terlebih dahulu,” ujar Sonya seraya menatap kursi kosong yang ada di depan minimarket.Namun, saat ia hendak melangkahkan kakinya, tanpa sengaja ekor matanya menangkap sekelebatan bayangan sosok Aleeta di depan sana. Sonya bahkan sampai terdiam. Antara percaya dan tidak percaya dengan bayangan tersebut. Apakah itu benar-benar hanya bayangan atau ... Memang Aleeta yang ia lihat?Sonya lalu meluruskan pandangannya ke arah depan. “Apa itu benar-benar Aleeta?” Gumam Sonya dengan mata menyipit. Namun, beberapa detik kemudian mata yang menyipit itu berubah menjadi memelotot. “Benar. Sepertinya itu memang Aleeta,” ujar Sonya seraya terus menatap Aleeta yang tengah memasukkan minumannya ke dalam
“Bagaimana? Kamu sudah menemukannya sekarang?” Sonya memicing pada seorang pria yang baru saja memasuki klub yang biasa ia gunakan sebagai tempat berjudi bersama dengan para geng sosialitanya. Pria berpotongan botak itu hanya tersenyum seraya duduk di sebelah Sonya. “Aku belum—““Apa kamu bilang? Belum?! Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau waktu itu pernah melihat keberadaannya di dekat jalan green hill?!” Sonya semakin menatap marah pada pria botak tersebut.Pria botak bernama Roi itu mendesah. “Santailah sedikit, Sayang. Kamu sudah terlalu banyak marah akhir-akhir ini.”“Bagaimana aku tidak marah? Sia-sia aku mengeluarkan uang untukmu dan juga anak buahmu yang tidak berguna itu!” Ketus Sonya.Sejak Sonya memutuskan untuk mencari keberadaan Aleeta. Sejak saat itu juga Sonya rela mengeluarkan uang untuk membayar orang-orang suruhannya agar ia bisa segera menemukan keberadaan Aleeta di pusat kota ini. Sonya sadar
“Sekarang aku tahu bagaimana wajah orang bodoh yang sesungguhnya.” Seharusnya Nicholas marah oleh kalimat yang Lukas katakan. Tapi kali ini, ia tidak marah sama sekali. Nicholas menutup pintu mobilnya dengan santai, lalu berjalan memasuki kantornya.“Sudah kuduga, kamu benar-benar terlihat seperti orang bodoh,” sambung Lukas.“Apa masalahmu sebenarnya? Kenapa kamu bisa ada di sini sepagi ini?” Nicholas mengangkat wajah dan menatap saudara angkatnya.“Aku menunggumu.” “Wah, selama aku nggak ada di sini ternyata kamu sudah berubah menjadi orang yang perhatian, ya,” cibir Nicholas seraya tersenyum di buat-buat.Lukas mendengus. “Kamu terlihat semakin bodoh saat tersenyum seperti itu.”Nicholas langsung terkekeh. “Terima kasih atas pujiannya, Luke.”Mereka lalu masuk ke dalam lift. Dan keluar ketika lift sudah terbuka di lantai tujuan mereka, yaitu ruangan Nicholas.“Apa kamu nggak meras