CeklekDia membukakan pintu untuk gadis itu. Namun, gadis itu tak melepaskan shitbel-nya. Dia tak ingin turun atau pun bergerak dari posisi amannya sekarang. "Cepat turun atau aku sendiri yang akan memaksanya!"Suara John begitu keras, penuh penekanan dan amarah. "Tidak. Aku tidak mau turun. Kau, cepat antarkan aku ke tempat di mana aku janjian," ucap Shopie dengan bibir bergetar. BlashJohn dengan cepat sudah membuka shitbel-nya tanpa dia sadari dan menarik kasar tangan Shopie. "Ah, sakit."Lelaki itu tak memperdulikan suara ringisan. Dia terus menyeret tangan Shopie dengan kasar. Membawanya pada satu lift yang tak berapa lama sudah terhubung dengan satu ruangan. BrukkShopie di lemparkan hingga dia tersungkur di lantai. "Jadi kau sungguh menginginkan kencan buta?"John berjongkok dan mencengkram kasar wajah Shopie. "A-apa urusannya dengan-mu? Itu urusan pribadiku. Kau tak berhak ikut cam-"Sedetik kemudian Shopie tak bisa berbicara. Nafasnya tersengat dengan keras. Dia keras
"Sayang, sebentar saja ya. Aku mohon," Haiden merangkul dan bergelayut di pundak Dominique dengan manja. "Tidak aku bilang tidak. Pokoknya satu bulan, full!" dengusnya. "Jangan begitu dong sayang, aku kan sudah mengizinkan temanmu untuk menginap," rajuk Haiden. "Tetap saja, aku tetap tidak akan memberi kalian jatah," dia menghentikan langkahnya saat melihat suami satunya menghadang di jalan."Itu tidak adil," Willy yang sudah mencegat di hadapan mereka. "Will, kau jangan ikut ikutan!" "Aku tidak ikut ikutan. Tapi aku sedang memperjuangkan hak-ku," Will yang tak mau kalah."Hak hak, apa sih kalian ini? Iden lepaskan aku," dia bergidig menggerakan tubuh agar Haiden melepaskan pelukannya."Tidak. Buatku tetap tidak adil. Kau sudah kubiarkan dengannya selama dua tahun. Sekarang giliran aku," Haiden tetap dengan pendiriannya."Ayolah aku kan baru juga kembali. Aku benar benar sangat lelah, berikan aku satu hari saja benar benar istirahat. Aku hanya ingin mengobrol dengan Shopie, bisak
John tertegun sesaat mendengar ucapan yang keluar dari mulut tuannya. Dia pun menyadari keberadaan Ramon yang juga mengicar Shopie untuk menjadikannya kekasih."Saya akan melakukan hal yang sama. Seperti yang anda lakukan sekarang. Saya tidak ingin kehilangan dia. Apa pun akan saya pertahankan agar dia tetap di sisi saya," jawaban sakras membuat Haiden hanya bisa menaikkan satu bibirnya dengan kecut."Kau gila!" dengus Haiden."Jangan memaki-ku. Kau pun sama. Apa kau bisa melepaskannya,"BughSekali lagi Haiden menendang kakinya."Huh berani sekali kau menyamakan dirimu. Kisahku dengan Dominique berbeda, aku bahkan sudah mengenalnya jauh lebuh lama dari kisah cintamu yang kacangan itu," dia kesal tak ingin di samakan."Sama saja. Walaupun kau mengenalnya lebih lama dariku. Itu tidak akan mengubah apapun, posisimu di hatinya sudah bergeser. Kau kalah strategi dengan Bunarco itu," kini bahasa John berubah bukan sekedar atasan dan bawahan. Dia berbicara sebagai sahabatnya sekarang."Aku
"Tidak Iden, Will, aku mohon padamu. Aku mohon pada kalian jangan sentuh aku malam ini, huhuhu,"Dominique mode on pura pura menangis di pinggir ranjang saat sudah melihat kedua suaminya mulai melucuti satu demi satu pakaian yang mereka kenakan. Entah kenapa kedua suaminya malam ini kompak. Mereka bahkan tak mau di gilir. "Dengarkan aku. Kau diam saja. Aku akan di sebalah atas dan dia di bagian bawah. Kami akan bergantian memanjakan-mu, oke."Bisik Haiden membuatnya bergidik ketakutan. Dia bahkan tak berani membayangkan kedua suaminya mulai gila mengajarkannya melakukan bersama sama. "Kalian jangan gila. Aku ini wanita hamil dan normal. Aku tidak suka bersama-sama. Tolonglah, jika kalian menginginkan, satu persatu. Aku ini tidak akan sanggup melayani hasrat kalian yang gila itu,"Dia mencoba bernegosiasi dengan kedua suaminya yang hampir gila. Dia menutupi semua tubuhnya. Menjauh dari kedua suaminya yang sudah sangat terlihat terbakar. "Kalau kau yang meminta kami. Aku yang duluan
Flashback beberapa bulan setelah kepergiannya Dominique.John masih saja mencari istri dari tuannya itu kemana pun. Sudah tiga bulan dia mencarinya. Namun, Dominique seolah di telan bumi. Tidak ada kabar dan berita apa pun. Hari ini dia memutuskan untuk mencari Dominique kembali pada Shopie. Teman baiknya. Dia masih merasa yakin kalau istri dari tuannya itu oasti memberikan kabarnya pada gadis itu.Siang itu matahari bersinar dengan sangat terik. Hingga membuat tubuh yang terkena langsung tersengat oleh panasnya. Mobil John melipir pada alamat yang di dapatnya dari informan yang dia perintahkan. Karena Shopie sudah di pindahkan tempat tinggal oleh Willy setelah peristiwa pertengkaran terakhirnya di kamar kecil yang menegangkan itu. Baku tembak tak bisa terelakkan oleh mereka. Hingga membuat kamar kecil yang di sewanya berantakan."Copet jangan lari!" teriaknya.BughDia menabrak seseorang di hadapannya hingga membuatnya tersungkur di jalan. Tas yang di pegangnya pun terhempas. Orang
Dominique membuka matanya. Di hadapannya dengan jelas dia dapat melihat wajah Haiden yang masih tertidur sangat pulas. Wajahnya bagaikan dewa baginya. Perlahan dia menyentuh wajah yang selama dua tahun ini dia tinggalkan. Tetap sama, saat dia tertidur seperti malaikat. Namun, senyumannya memudar saat dia merasakan ada tangan lain yang sedang memeluk erat punggungnya. Dia menyadari kehadiran lainnya. Tangan hangat Will yang sudah melindunginya selama dua tahun ini. Menjaganya dengan sangat baik tanpa dia tak kekurangan apa pun.Entah itu satu keberuntungan atau kebalikannya. Sampai hari ini dia masih saja belum mengetahui. Yang dia rasakan saat ini adalah keberuntungannya. Dia merasa beruntung karena di hidupnya yang sangat sederhana dia bisa mengenal dua lelaki yang sangat hebat.Mungkin akan terasa seperti dalam penjara. Namun, dapat di pastikan kedua lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu sangat menginginkan yang terbaik.Dia perlahan meregangkan tubuhnya. Tanpa mengganggu kedu
Seseorang baru saja tiba di tempat peristirahatannya. Dia menatap sekeliling. Memandangi dengan penuh perasaan setiap sudut dari yang dia pandang.Danau kecil buatan yang pernah mempunyai kenangan manis saat dia bercengkraman dengannya. Juga ruangan dapur tempat mereka pernah bercanda gurau bersama. "Aku kembali Domi. Aku sangat merindukanmu."Dia menggengam erat tangannya. Merasakan rindu yang menggebu di dalam dada. Ingin rasanya dia memperjuangkan kembali semua cintanya. Namun, dia sangat menyadari keberadaan-nya sudah sangat tidak mungkin karena sudah terganti dengan seseorang. "Huh jadi kau sungguh akan menikah dengan-nya sekarang Sop?" kembali Dominique bertanya menghapus air matanya yang masih berurai. "Uhm, aku 'kan tidak ingin orang lain yang mempertanggung jawabkan apa yang sudah dia lakukan padaku. Sebenarnya kalau masih bisa aku ingin sekali melarikan diri darinya. Aku sangat takut, apalagi kalau dia sedang cemburu," Sophie menunjukkan raut wajahnya yang tersiksa. ""Ak
"Shit. Jaga ucapanmu. Kalau pertanyaan itu sangat mudah bagimu, baiknya kau yang lakukan dan lepaskan dia," Ramon murka menarik kerah baju John. Emosinya membuncah ketika John membandingkan Sophie dengan wanita murahan."Kau fikir aku sudi berbagi istriku denganmu," cibirnya."Hah, dia itu belum menikah denganmu. Jadi dia belum resmi menjadi istrimu. Aku pun masih berhak untuk menjadi calon suaminya," Ramon tak mau kalah."Ck, ck, ck. Sudah menyerah saja. Walaupun dia belum resmi menjadi istriku. Aku sudah lebih dulu menyentuhnya. Kau juga tidak akan suka 'kan kalau barang yang kau sukai sudah di sentuh oleh orang lain," kembali John mengungkit agar rivalnya menyerah secara totol. "Kau-" Ramon bersiap melayangkan satu pukulan di saat pintu kamar di buka oleh Sophie. Gadis itu baru saja membuka pintu saat pertengkaran mereka makin menegang. "Kalian berdua sedang apa?" Ramon menurunkan tangannya, mengengamnya dengan erat saat melirik Sophie sudah berada di hadapannya. "Tidak ada ha
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan