Dominique tidak menjawab, wajahnya sudah seperti udang rebus. Malu."Sudah jangan bercanda lagi," Dominique mengalihkan pembicaraan."Kenapa?Kau Malu?Memang apa yang bisa kau sembunyikan, semua sudah aku lihat dan coba!" Dominique segera menutup mulut Haiden dengan tangannya.Haiden meraih tangan Dominique dan mengecup keningnya, "Tolong jangan bermain lagi dengan pria brengsek itu, aku percaya padamu Domi,dan dihatiku ini hanya kamu seorang,wanita yang kucintai," mata Dominique berkaca-kaca dengan pernyataan cinta Haiden yang begitu tulus.Dominique hanya tersenyum miris, dia belum bisa membayangkan apa yang akan Haiden lakukan kalau dia tahu Justin menciumnya kemarin.Dominique berbalik badan, bangun dan duduk di tepi ranjang,"Iden, jangan marah. Kau kan tahu perasaanku padamu, aku masih belum," Dominique menggantungkan ucapannya. "Tapi kau istriku sekarang, besok dan nanti itu tidak akan pernah berubah!" Haiden tidak ingin mendengar penolakan dari Dominique yang duduk di sampin
Haiden terus mondar-mandir, dia kesal melihat Dominique dan Justin yang lahap makan nasi uduk semur jengkol."Aku mau makan semur jengkol siang ini," ledek Dominique sambil melirik wajah Haiden yang sudah kesal setengah mati terhadapnya."Baik, ayok kita belanja, nanti aku yang akan memasak khusus untuk-mu," sahut Justin bersemangat tak kalah memprovokasi Haiden."No, no, no. Tidak aku bilang tidak, kau jangan aneh-aneh Dominique!" hardik Haiden panik karena sangat tidak menyukai dengan baunya."Ya sudah, kalau begitu izinkan aku pulang, biar aku masak di kontrakan-ku," Dominique tidak sabar merasa berhasil dengan idenya. 'Ayolah Haiden, katakan ia ...'"No, no, no!" Haiden berkacak pinggang tetap menggelangkan kepala, "Kau gila Domi, kau lebih memilih jengkol daripada suami-mu ini, hah!" Haiden tidak terima kali ini harus kalah dengan jengkol. 'Dasar Jengkol sialan, bisa-bisa dia menjadi penghalang antara aku dan Dominique.'"Iya, memang kenapa?" Dominique beranjak dari duduknya mend
Setelah menghabiskan makan siang, Dominique mengambil alih tugas mencuci piring, Justin pun ikut membantu yang tidak ingin hilang kesempatan untuk makin dekat dengan Dominique."Jadi, setelah ini kita mau kemana Tuan Putri?" Dominique tersipu malu saat mendengar sapaan Justin disela mereka mencuci piring,"Uhmm, bagaimana kalau kita pergi nonton, sepertinya seru," ide tiba-tiba yang tercetus dari mulut Dominique."Siap, laksanakan!" Justin yang memberi hormat seperti seorang tentara.Baru saja mereka beberapa langkah keluar dari pintu, ponsel Justin berbunyi Justin terus mengacuhkan, namun tetap terus berbunyi,"Angkatlah, siapa tahu ada hal yang penting," Dominique menghentikan langkahnya saat mendekati motor Justin.Justin merogoh saku melihat nomor yang memanggil, seketika wajah Justin berubah, berbalik, menjauh dari Dominique saat mengangkat telponnya. Wajahnya Justin berubah murung saat menghampiri Dominique, "Ada masalah?" tanya Dominique penasaran saat melihat air muka Justin
Bu Ririn yang melihat kejadian segera mendatangi meja, "Ada apa Domi?" tanya Bu Ririn cemas melihat kemarahan wanita tadi."Sa-saya juga tidak tahu Bu," Dominique merasa binggung berbisik lirih sambil mengusap rambut dan baju seragamnya yang basah."Ah, Ibu ... tolong ajarkan staffnya untuk mencatat pesanan dengan benar," wanita tadi mulai bicara aneh. 'Apa maksudnya ini? Wanita ini saat memesan tidak bersuara, sekarang dia berbicara seolah-olah aku yang salah, benar-benar ingin menjebakku.'"Domi." Bu Ririn mendelikkan mata, "Mohon maaf atas ketidaknyamanannya kak, semua pesanan kakak akan dicatat ulang dengan staff lain kami dan untuk pesanan itu kakak tidak perlu membayarnya," senyuman smirk keluar dari wanita tadi itu, menyeringai puas saat bu Ririn menarik Dominique ikut bersamanya.Table pria disebelah terus menatap Dominique, dia pun ikut geram melihat perlakuan tidak adil tadi. 'Menarik.' Gumanya dihati sambil tersenyum menakutkan.Di dalam ruangan order taker,"Ada apa seben
Pria tadi tidak menyentuh makanannya hanya menatap Dominique yang sedang makan dengan lahap. Setelah habis makanannya, Dominique akan mencuci tangan, tapi pria tadi menghentikannya,"Suapin aku lagi," ucapnya, Dominique kaget. 'Apa lagi sih? Sifatnya sama seperti Haiden mengatur orang sesukanya.'"Anda bisa makan sendiri Tuan, maaf saya harus segera masuk, jam istirahat saya hampir habis," pria tadi mendelik tajam menggelengkan kepalanya."Haisss," desis Dominique kemudian dia berdiri, menarik bangku duduk bersebelahan dengan pria tadi, menarik piring pria tadi dan mulai menyuapinya. 'Merepotkan, aku harus segera masuk, jam break sudah hampir habis.''Hei wanita, tatap mataku, apa kau tidak melihat pesonaku, wajahku yang tampan ini.'Tanpa memakan waktu lama, Dominique telah selesai menyuapinya segera mencuci tangan, mengambil dompet dan ponselnya,pria tadi melirik tangan kiri Dominique, jari manisnya melingkar cincin berlian yang tidak mungkin seorang wanita sederhana seperti diriny
Dominique berhenti di stand obral baju murah tangannya mulai memilih beberapa baju yang cocok dengan gayanya. Dia membeli beberapa baju, celana dengan model kasual. Saat dia sedang memilih ke pakaian dalam, seseorang sepertinya menguntitnya. Dia merasakan ketika tangan orang itu tengah merogoh saku tasnya, Dominique menghentikan langkah sesaat, pria yang membuntuti Dominique melihat memberi isyarat anak buahnya untuk membereskan orang yang menguntit Dominique, namun tangan Dominique memegang tangan penguntit yang ternyata seorang copet, Dominique memalingkan wajahnya menatap pencopet tadi dengan tajam mencengkram erat tangan pencopet tadi, memintalnya kebelakang dan beberapa detik kemudian Dominique melakukan tendangan maut pada pencopet tersebut. Pria tadi tersentak melihat tingkah berani Dominique yang menedang dan mengijak-injak tangan pencopet tadi,"Dasar copet rasakan! Kau pikir aku takut, hah," suara Dominique bergetar terdengar ngos-ngosan saat melakukan pembelaan diri."Arg
Pagi hari,Dominique menatap cermin, matanya sembab dan bengkak tidak karuan, walaupun dia menangis semalaman, hatinya masih terasa sakit, namun ada lega yang tak bisa dia jelaskan dengan kata-kata. 'Hari ini libur ngapin ya.'"Sarapan bubur saja ah," ucap Dominique, membuka pintu kontrakannya, berjalan malas, perutnya sudah tak terkendali keroncongan karena lapar.Dominique berjalan sambil mengecek ponselnya, dia mendapatkan chat dari Justin kalau pukul tujuh tadi Justin sudah terbang bersama keluarganya.Huh.Dominique menghela nafasnya panjang, ruang hatinya sudah kosong, Justin perlahan dia lepaskan. 'Ikhlas Domi, ikhlas, kamu kuat, semua pasti segera berlalu. Sekarang saatnya kamu focus, berikan Haiden kesempatan, dia layak mendapatkannya.' Guma hati Dominique.Dominique duduk di meja tukang bubur ayam, setelah dia memesan satu mangkok bubur."Tuan Willy, apa dia target yang akan kita bunuh selanjutnya?" tanya Ramon yang masih heran dengan tuannya, selalu ingin kembali kepada wan
'Astaga ... Willy, hentikan sekarang, kalau tidak kau akan segera memakannya di sini.'Mata Willy masih menatap Dominique, tak tahan Dominique pun segera menghindari tatapannya dan bergeser turun perlahan dari pangkuan Willy,"Kita mau kemana?" tanya Dominique memecah kecanggungan. Willy tidak menjawab hanya mengeluarkan ponsel Dominique dari saku jasnya, menyodorkan kepada Dominique."Terima kasih, Wil." Willy mengeluarkan ponselnya, Dominique meraih ponsel Willy dan memasukkan nomornya."Ingat, ketika aku menghubungi, kau harus segera mengangkatnya, kalau tidak, kau sembunyi di lubang semut pun, pasti akan ku temukan." Ucapnya terdengar mengancam.Dominique menautkan kedua alisnya, memutar kedua bola matanya, "Kenapa? Kau tidak suka, hah. Coba kau tatap diriku, Aku ini ... tampan, kaya, sukses, kau tidak tertarik dengan semua itu ... hah." Dominique reflek menggelengkan kepala."Kau!!""Sudahlah ... Will, kita mau kemana? Aku libur hanya ingin bersantai, tidur di rumah, tidak seper
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan