DIATAS cabang paling rendah pohon di hadapan si nenek, tergantung satu sosok tubuh perempuan. Seutas tambang menjirat lehernya yang mulai membusuk. Di dada perempuan ini ada sebuah kantong terbuat dari jerami. Kantong itu bergerak-gerak seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Curahan air hujan yang mengguyur sekujur tubuh mayat tergantung itu mengucur deras ke bawah, melewati kaki dan jatuh ke tanah. Si nenek seperti beku kaku, memandang melotot, berusaha, memperhatikan wajah perempuan yang tergantung itu. Dia tersentak ketika tiba-tiba dari dalam kantong jerami melesat suara tangis bayi. Si nenek tersadar.
“Ada orok di dalam kantong itu!” Si nenek terlonjak. Kaki kiri dibanting ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melayang ke atas. Tongkat di tangan kanan berkelebat. “Craasss!” Tali yang mengikat kantong jerami ke tubuh mayat putus. Mayat tergantung bergoyang-goyang. Di lain kejap si nenek sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah. Di bawah pohon besa
“Saya siap Nenek Lembah Paekatakhijau!” Suara si gadis nyaring tetapi tidak terasa adanya sesuatu yang menggelegar yang disertai hawa kekerasan.“Ingat Ruhcinta! Kau boleh bertahan, boleh balas menyerang. Tapi tidak satupun katak-katak itu boleh cidera, apa lagi mati! Sesama makhluk hidup adalah bersaudara. Kecuali kalau takdir mengatakan lain! Kau hanya boleh mengandalkan tangan kosong! Sumber kekuatanmu adalah cinta dan kasih sayang!”“Saya ingat Nek! Saya perhatikan!”Nenek di atas pohon yang disebut dengan nama Nenek Lembah Paekatakhijau acungkan tongkat bambu kuning di tangan kanannya lalu dari mulutnya keluar satu suitan keras. Mendengar suitan itu ratusan katak yang ada di seantero tempat, termasuk yang sejak tadi menempel di tubuh si nenek melesat ke udara, menyerbu gadis tinggi semampai di atas batu di tengah sungai. Walaupun yang menyerang cuma kodok tapi gigitan dan cakarannya cukup berbahaya. Apa lagi jumlahnya dem
SINENEK pandangi wajah gadis cantik di hadapannya dengan sepasang mata berkaca- kaca. Yang dipandang sendiri saat itu berulang kali mengusap air mata yang meluncur jatuh ke pipinya seolah tak mau berhenti.“Hai Nenek pemelihara dan tempat saya berlindung selama berbilang tahun. Mengapa baru pada saat saya hendak kau lepas pergi kau menuturkan riwayat hidup saya. Mengapa tidak dari dulu-dulu kau ceritakan pada saya.”Wajah perempuan tua itu tampak tambah rawan. Bagaimanapun dia berusaha namun air mata akhirnya tumpah juga ke pipinya yang keriput. Dengan tangan kirinya dibelainya rambut si gadis.“Cucuku Ruhcinta. Jangan kau bersalah duga berburuk sangka. Tidak ada maksud yang tidak baik dari semua apa yang kulakukan. Jika riwayatmu kuceritakan sejak kau masih kecil, maka berarti aku telah memberikan satu ganjalan pahit dalam jalan kehidupanmu. Dalam keadaan pikiran dan hatimu saling tumpang tindih dilanda ganjalan itu, tidak mungkin aku akan men
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada sambaran angin. Ruhcinta cepat berpaling. Satu bayangan berkelebat tahu-tahu satu sosok telah berdiri berkacak pinggang di atas dangau! Sebagai murid nenek sakti di Lembah Paekatak hijau, Ruhcinta telah digembleng menjadi seorang gadis lembut tapi berhati tabah. Walau baru beberapa hari saja berada di dunia luar yang serba asing baginya namun kemampuan bersikap waspada membuat dia tidak merasa takut akan hal apapun. Akan tetapi saat itu si gadis merasakan tengkuknya dingin dan lututnya bergetar. Seumur hidup belum pernah dia melihat manusia memiliki empat muka di satu kepala. Dan saat itu, kejadian aneh itulah yang dialaminya!Di atas dangau tegak bertolak pinggang seorang pemuda sangat gagah yang mukanya ada empat, satu depan satu di belakang, satu dikiri dan satu dikanan. Wajah di sebelah depan bersih kuning sedang Wajah di sebelah belakang, kiri dan kanan hitam berkilat. Empat wajah memandang lekat-lekat ke arah Ruhcinta, sedangkan w
Seperti pernah dituturkan sebelumnya, diketahui bahwa Jin Muka Seribu memiliki satu tempat kediaman rahasia terletak di bawah Telaga Pasituhitam. Pada kejadian dia membawa Ruhcinta ke tempat itu belum ada ruangan yang disebut Ruangan Obor Tunggal yaitu ruang penyiksaan terkutuk bagi perempuan-perempuan yang dibencinya. Yang ada barulah Ruang Dua Belas Obor yakni satu ruangan batu diterangi dua belas obor dan menjadi tempat ketiduran Jin Muka Seribu.Jin Muka Seribu langsung membawa murid Nenek Lembah Paekatakhijau itu ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Saat itu di dalam ruangan terdapat tiga orang gadis yang rata-rata berpakaian seronok nyaris bugil. Pemandangan ini membuat Ruhcinta serta merta menjadi tidak enak, khawatir serta curiga. Apa lagi di situ tidak ada bangku atau kursi.Yang ada hanya sebuah batu besar dialasi anyaman rumput kering dan dijadikan ranjang tempat tidur. Walaupun hatinya tidak enak namun Ruhcinta tetap saja memoles senyum di bibirnya yang bagus.
“Jin Muka Seribu, mengapa kau berlaku kasar!” Berseru Ruhcinta. Pada saat Itu Jin Muka Seribu sudah mendobraknya. Memeluk penuh nafsu dan menciumi wajahnya dengan beringas.“Ternyata dirimu begini adanya!” seru Ruhcinta yang kini sadar kalau dirinya telah terjebak. Dengan kanannya bergerak. Telapak menempel di perut Jin Muka Seribu. Begitu dia mendorong terpekiklah Jin Muka Seribu. Tubuhnya terpental dan terbanting ke dinding batu!“Pukulan kasih Mendorong Bumi!” seru Jin Muka Seribu dengan wajah kaget dan empat muka di kepalanya langsung berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat pasi. Sambil pegangi perutnya yang mendenyut sakit sementara tulang punggungnya serasa hancur, kemarahan meluap dalam diri Jin Muka Seribu. Saat itu juga empat mukanya kembali berubah. Kali ini berupa empat muka raksasa mengerikan. “Pukulan itu hanya dimiliki nenek keparat di lembah Katak. Berarti kau adalah muridnya Nenek Lembah Paekatakhijau!” Du
“Nenek keparat! Kalau saja aku tidak punya pantangan membunuh perempuan! Pasti sudah kuhabisi dirimu saat ini!” teriak Jin Muka Seribu.“Hik... hik... hik! Kau takut membunuh perempuan! Anggap saja aku ini laki-laki! Lihat diriku!”“Wusss!!”Asap merah di atas kepala si nenek yang berbentuk kerucut mengepul tinggi ke atas menyondak langit-langit ruangan batu. Ketika asap itu kembali ke bentuknya semula maka keadaan si nenek telah berubah menjadi seorang lelaki separuh baya, tegak berkacak pinggang.“Aku sudah menjadi laki-laki! Apa kau masih takut membunuhku?! Hik... hik... hik!”“Perempuan jahanam! Aku bersumpah akan menjebloskanmu ke ruang penyiksaan abadi!” teriak Jin Muka Seribu. Lalu tangan kanannya bergegas ke balik pakaian.“Wusss! Dessss!”Satu kepulan asap hijau pekat membumbung menutupi pemandangan. Sosok Jin Muka Seribu berkelebat lenyap ke arah pintu r
SEPASANG mata merah berbentuk kerucut aneh Jin Penjunjung Roh memandang seputar lembah. Ruhcinta yang berdiri di sebelah si nenek ikut memperhatikan berkeliling. Kemanapun mata memandang hanya katak-katak hijau yang kelihatan. Di tanah, di atas bebatuan, di dalam sungai kecil, di batang-batang dan cabang-cabang pohon bahkan sampai ke daun-daunnya dipenuhi oleh ribuan katak-katak hijau mulai dari yang sekecil ibu jari kaki sampai sebesar buah kelapa.“Aku tidak melihat nenek sialan itu!” kata Jin Penjunjung Roh. “Dimana dia?!”“Saya juga tidak melihatnya Nek,” jawab Ruhcinta sambil terus memperhatikan ke setiap sudut lembah. “Di goanya dia tidak ada. Jangan-jangan sedang pergi keluyuran! tua bangka geblek! Masih suka jual tampang!” kata Jin Penjunjung Roh lagi. Dia luruskan tubuhnya yang bungkuk, lalu berteriak.“Ruhmasigi! Nenek Jin Lembah Paekatakhijau! Dimana kau?! Kalau ada di sini jangan sembunyi! Apa kau
“Tua bangka sialan!” maki Jin Penjunjung Roh. “Coba asah dulu otakmu! Coba kau ingat-ingat! Waktu kau menemukan mayat tergantung itu, apa kau masih ingat bagaimana wajahnya?”“Memangnya kenapa?!”“Sialan kau! Jawab saja pertanyaanku!” bentak Jin Penjunjung Roh.“Perempuan yang mati tergantung itu adalah ibu muridku ini.”“Itu aku sudah tahu. Dia sudah cerita padaku! Jawab saja pertanyaanku tadi! Terangkan ciri-ciri perempuan itu!”“Orangnya masih muda.”“Sialan kau Ruhmasigi! Aku tidak tanya muda atau tua! Aku ingin tahu ciri-ciri wajahnya. Bentuk rupanya.”“Wajahnya cantik. Seperti muridku ini. Kulitnya putih. Kalau aku tidak salah ada tahi lalat di dagunya sebelah kiri..,.”Jin Penjunjung Roh tiba-tiba menjerit. “Sialan! Kau jangan mengejutkan aku! Berteriak seperti orang kemasukan setan!” Memben