GEMURUHNYA arus sungai terasa menyeramkan di telinga Bintang. Bayu dan Arya yang berada di atas telapak tangan kanan Maithatarun. Maithatarun sendiri saat itu duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam sepasang kakinya yang terbungkus dua batu besar berbentuk bola yang di seantero Negeri Kota Jin kini telah dikenal dengan sebutan Bola Bola Neraka. Bahkan banyak pula yang menjuluki Maithatarun sebagai Jin Kaki Batu.
Sejak dia membunuh Zalanbur, pemuda jahat yang hendak mencelakai dirinya, penyebab kematian istrinya Ruhrinjani serta perampas kedudukannya sebagai Kepala Negeri Kota Jin. Hampir seluruh penduduk menginginkannya kembali menjadi Kepala Negeri. Namun Maithatarun telah kepalang kecewa. Walau kini dia telah meninggalkan Kota Jin. Dia belum tahu kemana dia hendak pergi. Sementara itu rasa suka dan persahabatannya terhadap Bintang dan dua kawannya semakin terasa erat.
Maithatarun memetik selembar daun di tepi sungai. Ketiga orang itu diletakkannya di atas dau
Sosok yang tegak di atas batu besar ditengah sungai bukan lain adalah Patandai alias Jin Bara Neraka. Sepasang matanya masing-masing memiliki dua bola mata berwarna merah seperti bara menyala menatap angker ke arah Maithatarun. Saat itu Maithatarun masih duduk di atas punggung kuda tunggangannya yang berkaki enam. Sementara Bintang, Bayu dan Arya masih berada dalam genggaman tangannya, belum sempat dimasukkan ke dalam kocek jerami."Makhluk apa ini gerangan?" kata Bayu."Kepalanya seperti pendupaan! Ada bara menyala!" menjawab Bintang. Sementara Arya berdiam diri karena ngeri melihat sosok Jin Bara Neraka. Udara di sekitar sungai yang tadinya sejuk kini berubah menjadi panas oleh hawa yang keluar dari bara menyala di kepala dan tubuh Jin Bara Neraka."Lihat matanya!" Bayu kembali berucap.”Setiap mata ada dua bola mata!""Ya, aku juga sudah melihat!" kata Bintang"Aku punya firasat bahaya besar mengancam Maithatarun, berarti mengancam kita ber
Maithatarun sendiri tampak berkerut keningnya ketika melihat bagaimana hantaman dua keping batu bara merah yang hanya sebesar ibu jari kaki itu membuat dua kakinya yang terbungkus batu laksana dirajam dalam api. Ketika dia memperhatikan ternyata dua batu di kakinya telah gompal! Padahal selama ini tidak satu senjata atau kekuatan sakti puri sanggup merusak dua batu bulat itu!Mendadak Maithatarun merasa ada tusukan halus di tangan kanannya. Tusukan itu sebenarnya adalah gigitan yang dilakukan Bintang untuk menarik perhatian Maithatarun. Hal ini menyadarkan Maithatarun bahwa sampai saat itu dia masih menggenggam ketiga orang Itu di tangan kanannya. Bintang lambaikan tangan berulangkali. Melihat tanda ini Maithatarun segera dekatkan tangan kanannya ke telinga. Bintang cepat membuka mulut.”Maithatarun! Lekas masuk kedalam sungai. Manusia bara menyala itu pasti tidak berani mengejar. Seluruh bara menyala di kepala dan tubuhnya pasti akan mati kena air. Di dalam air kau puny
Tanpa pikir panjang maithatarun segera menyelam lalu bergerak cepat mendekati lawan dengan dua jari tangan kiri terpentang lurus. Jin Bara Neraka merasa dan mendengar ada hentakan-hentakan keras di dasar sungai yakni hentakan Bola Bola Neraka atau dua kaki Maithatarun yang terbungkus batu. Ketika dia menyadari lawan menyusup dalam air dan mendekatinya dengan cepat keadaaan sudah kasip.Tubuh Jin Bara Neraka menggeletar ketika satu tusukan keras menghantam pangkal paha kanan sebelah atas! Jin Bara Neraka pukulkan tangan kanannya ke dalam air namun Maithatarun telah lebih dulu menyelinap. Sesaat kemudian dia melesat ke tebing sungai dan berlindung di balik sebuah batu besar. Dari balik batu itu dia memperhatikan apa yang terjadi atas diri Patandai alias Jin Bara Neraka.Pada saat bersamaan Maithatarun ingat lagi akan tiga sahabatnya yang terbawa menyelam dan masih berada dalam genggaman tangan kanannya. Cepat-cepat Maithatarun buka tangannya lalu meletakkan ketiga orang
Saat itu Maithatarun tundukkan kepalanya ke tanah. Perlahan sekali dia berkata.”Hai! Bayu, kalau kita tidak membebaskan tutukan...”"Totokan! bukan tutukan!" sergah Bayu tapi sambil senyum-senyum.“Terserah! Kau menyebut totokan, aku tutukan. Karena totokan dalam bahasa di Negeri Kota Jin berarti payudara perempuan!"Arya tertawa cekikikan. Bintang geleng-geleng kepala sambil menyengir sedang Bayu tertawa terpingkal-pingkal."Kalau kita tidak membebaskan tutukannya, se- umur-umur dia akan menderita seperti itu...”"Siapa yang berani menolongnya?! Sekali mendekat pasti mati kita dihantamnya!" kata Bayu.”Maithatarun, bukankah kau yang menotok selangkangannya? Jadi kalau kau mau berbaik hati kau saja yang melepas totokannya. Tusuk sekali lagi selangkangannya! Ha ha ha...!"Saat itu Jin Bara Neraka duduk tergeletak di tanah. Dia tak habis pikir apa yang terjadi dengan dirinya. Memandang berkeliling dia tidak melihat
Lapangan kecil di bukit patinggisubur pagi itu dipenuhi oleh para penyabung ayam, mereka yang bertaruh atau hanya sekedar menonton. Ketika ayam milik Pakabil dan Patondang sedang hebat-hebatnya berlaga tiba-tiba sebuah benda melayang di udara dan jatuh di tengah lapangan. Dua ayam yang bertarung berkotek keras lalu kabur. Orang yang ada di tempat itu serta merta dilanda kegemparan. Betapa tidak. Benda yang bergelimpang ditanah lapang itu adalah sesosok tubuh bergelimpang darah mulai dari kepala sampai ke badan. Dalam keadaan seperti itu dari balik semak belukar sekonyong-konyong keluar sesosok tubuh tinggi besar. Saat itu juga tempat itu diselimuti hawa panas serta bau aneh seperti daging terpanggang. Kalau tadi semua orang dilanda kegegeran maka kini mereka dicekam ketakutan setengah mati. Mereka tidak tahu pasti makhluk apa yang sebenarnya tegak di depan mereka saat itu. Sosok tinggi besar ini tegak kaki terkembang tubuh agak terbungkuk seolah menahan sesuatu yang berat di
"Bukkkk!"Kaki kanan Jin Bara Neraka mendarat telak di dada Pasingar. Orang ini terpental dan ambruk di bawah sebatang pohon. Darah segar mengucur dari mulutnya. Nafasnya sesak, nyawanya seolah terbang. Dia mengerang dengan sekujur tubuh bergeletar.Jin Bara Neraka menyeret sosok berdarah ke hadapan Pasingar. Orang yang berada dalam keadaan luka parah itu dijambaknya lalu membentak."Patorik! Sebelum kau keburu mampus katakan apa yang kau lihat delapan puluh tahun silam di atas ranjang di anjungan rumah kediaman Ruhsantini! Kalau kau mati para Dewa dan para Dewi akan mengampuni segala dosamu karena kau telah berbuat baik, memberi kesaksian yang benar!"Orang yang bergelimang darah itu tidak segera menjawab. Mungkin dia tidak lagi mampu bersuara. Jin Bara Neraka menggoncang kepala Patorik.”Bicara! Atau kugeprak pecah kepalamu saat ini juga!" teriak Jin Bara Neraka."A... aku...." Patorik bersuara walau perlahan.”Del... delapan puluh tahu
Untuk beberapa saat lamanya Patandai alias Jin Bara Neraka diam tertunduk masih berlutut dan dua tangan masih di atas kepala."Patandai, dari tadi kulihat kau berlutut terus. Berdirilah dan bicara secara wajar. Aku bukan sebangsa Dewi gila hormat..."Patandai alias Jin Bara Neraka jadi bingung dan kecut. Kalau dia berdiri, Bunda Dewi pasti akan melihat kelainan keadaan auratnya sebelah bawah."Hai! Patandai, apakah kau tidak mendengar. Berhentilah berlutut. Bicara dengan berdiri padaku." kata Bunda Dewi.Perlahan-lahan, terbungkuk-bungkuk Jin Bara Neraka bangkit berdiri. Celakanya ketika berdiri, celananya yang sudah tidak karuan rupa merosot ke bawah. Cepat-cepat Patandai memegangi, menariknya ke atas dan membenahi dedaunan yang dipakainya untuk melindungi anggota rahasianya.Meskipun semua itu dilakukan dengan cepat oleh Patandai, namun Bunda Dewi masih sempat melihat. Sang Dewi langsung tersentak dan palingkan mukanya yang serta merta menjadi sa
Perjalanan Menuju Gunung Pabatuhitam di kawasan selatan bukan perjalanan mudah. Walau Maithatarun alias Jin Kaki Batu menunggangi kuda raksasa berkaki enam, namun mereka harus melewati kawasan berbukit-bukit, lembah tandus, menyeberangi sungai serta menembus rimba belantara yang nyaris jarang dilewati manusia. Selama perjalanan Bintang, Bayu dan Arya lebih banyak berada di dalam kocek jerami sehingga keadaan mereka bertiga cukup menderita. Memasuki malam Maithatarun hentikan kudanya di bibir sebuah lembah berbatu-batu. Bintang dan dua kawannya dikeluarkan dari dalam kocek lalu diletakkan di atas sebuah batu datar. Maithatarun meletakkan se- potong kecil jambu hutan untuk santapan ketiga orang itu. Walau sangat kecil tapi bagi Bintang dan kawan- kawannya sepotong jambu hutan itu hampir seukuran besar tubuh mereka hingga ketiganya tak sanggup menghabiskan.Sementara Maithatarun membaringkan tubuhnya di tanah, Bintang, Bayu dan Arya be