KITA tinggalkan dulu Ksatria Pengembara yang tengah berusaha menyelidik goa tempat Ruhjelita disekap. Kita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Pasedayu. Walau langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun sang surya belum nampak muncul. Dinginnya udara pagi masih mencekam tulang dan persendian tubuh. Kegelapan masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di kawasan selatan Negeri Jin di mana terletak sebuah lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Keadaan masih gelap gulita karena kabut mengapung di seantero tempat. Jangankan pada malam atau pagi hari, siang hari saja ketika matahari bersinar terik, kabut tebal acap kali menutupi pemandangan.
Dalam keadaan seperti itu dari jurusan tenggara berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya hanya berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan bau seperti kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mustahil dia b
“Jin Terjungkir Langit, apapun kilahmu aku tetap berpegang pada ucapan Pajundai. Bahwa kau gurunya dan kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian yang paling aku andalkan itu...”“Kita lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada ucapan pemuda jahat itu daripada ucapanku?” ujar Jin Terjungkir Langit pula.“Kalau kau memberi tahu di mana pemuda itu berada dan membantu aku mendapatkan kembali ilmu kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran...”“Tidak mungkin. Tidak mungkin Hai kerabatku. Pemuda itu tinggi sekali ilmu kesaktiannya. Jangankan kau sendiri, kita berdua bahkan tak mungkin menghadapinya.”“Kau bersiasat! Kau sengaja melindunginya karena dia memang muridmu!”“Aku tidak bersiasat Hai Jin Lumpur Hijau. Aku tidak pula berniat melindunginya. Sejak sekian tahun silam aku juga ingin menghajarnya. Tapi aku sadar aku tak bisa melawannya!”
Entah berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga berhasil maka berpikirlah orang tua ini. “Ketika aku masih hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang keadaanku seperti ini. Pusar tak punya. Semua serba terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang lain.”Pasedayu lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak mendapat petunjuk. Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga menemukan di mana kini beradanya pusat kekuatannya.Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca di lembah mulai terang. Pasedayu tegak kaki ke atas kepala ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia merasakan kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas.Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai
JIN Kaki Batu...” desis Jin Lumpur Hijau. “Apa hubungan makhluk ini dengan Jin Terjungkir Langit hingga dia barusan bertindak menyelamatkan orang itu...” Sambil menduga-duga begitu Jin Lumpur Hijau melirik ke arah kejauhan di mana tampak seekor kuda hitam besar berkaki enam yang merupakan tunggangan orang yang dijuluki Jin Kaki Batu itu. Seperti Jin Lumpur Hijau, Pasedayu juga merasa heran mengapa ada orang yang selama ini hanya dikenal namanya tapi tidak punya hubungan apa-apa telah menyelamatkan dirinya dari kematian.Duukkk... duukkkk... duukkkk!Sosok tinggi besar yang sepasang kakinya terbungkus batu bulat melangkah terus mendekati Jin Lumpur Hijau. Dua langkah di hadapan Jin Lumpur Hijau, orang ini yang bukan lain Maithatarun adanya hentikan langkah lalu berucap.“Jin Lumpur Hijau, aku tidak ada permusuhan denganmu. Karenanya lekas kau angkat kaki dari Lembah Seribu Kabut ini!”Walau tadi h
“Lalu itu sebabnya waktu tadi Jin Lumpur Hijau hendak membunuh kau hanya diam pasrah?” ujar Maithatarun.Jin Terjungkir Langit kembali menyeringai. “Hai, turut bicaramu kau sudah lama berada di tempat ini. Bahkan sebelum Jin Lumpur Hijau muncul. Kau menyelamatkan diriku dari kematian! Tapi aku perlu kejelasan apakah kau datang dengan maksud baik atau membekal niat jahat seperti makhluk yang barusan merat itu?!”“Aku datang membekal maksud baik. Aku membawa amanat dari seseorang untuk disampaikan padamu,” menjelaskan Maithatarun.“Sungguh luar biasa kejadian hari ini!” kata Jin Terjungkir Langit sambil geleng-gelengkan kepala. “Aku hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang lain. Kini orang lain itu berkata dia datang membawa satu amanat! Hai Jin Kaki Batu, amanat apa yang hendak kau sampaikan pada diri tua rapuh dimakan usia dan derita ini?!”“Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku juga ingin
Kembali kepada Bintang yang tengah berusaha menyelidiki di mana beradanya Ruhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di situ tumbuh sejenis pepohonan setinggi kepala manusia, yang batang, ranting serta dedaunannya ditancapi duri-duri berwarna coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Bintang ingat pada sahabatnya yang malang yaitu Jin Jatilandak. Dia tidak tahu di mana pemuda yang sekujur tubuhnya penuh duri landak itu kini berada. Karena pepohonan berduri tumbuh cukup rapat, Bintang tak bisa berlari cepat. Dia harus hati-hati, jangan sampai tergores duri coklat yang bukan mustahil mengandung racun. Di satu tempat ketinggian Ksatria Pengembara hentikan larinya, memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu yang tergantung melambai-lambai di ujung sebuah ranting berduri. Bintang segera bergerak, memperhatikan lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di ujung ranting berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari ku
Kita tinggalkan Bintang dan Ruhjelita yang ada di dalam goa. Kita kembali pada saat-saat sebelumnya ketika Bintang berusaha mencari goa di mana Ruhjelita disekap oleh sepasang dara kembar. Seperti dituturkan karena perhatiannya sangat terpusat pada usaha mencari dan menyelamatkan Ruhjelita, Bintang ini sampai tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok burung besar yang bukan lain adalah Zeus, awan raksasa milik Dewi Awan Putih. Binatang ini terbang mengikutinya dari kejauhan. Tentu saja binatang itu melayang mengikuti atas kehendak si pemiliknya yakni Dewi Awan Putih yang ada di atas punggungnya. Sang Dewi merasa heran melihat Bintang berlari ke arah kawasan tinggi berbatu-batu dan dipenuhi semak belukar serta pohon-pohon berduri. Saat itulah awan tunggangan yang bernama Zeus itu keluarkan suara menguik halus. Dewi Awan Putih yang sudah tahu sifat binatang kesayangannya itu mengusap Zeus seraya berucap.“Aku tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat
HAMPIR tanpa suara dan tidak terlihat oleh kura-kura coklat, Dewi Awan Putih menyusup di balik kelebatan semak belukar dan pohon-pohon berduri hingga akhirnya dia sampai ke mulut goa. Di mulut goa Dewi ini hentikan langkahnya. Sesaat hatinya meragu, apakah akan terus masuk ke dalam goa atau bagaimana. Jangan-jangan gadis bernama Ruhjelita berada di dalam goa. Dia tidak suka pada Ruhjelita dan dia yakin Ruhjelitapun benci sekali padanya. Semua ini berpangkal pada perasaan mereka yang sama-sama ingin menyayangi Bintang. Perselisihan mereka sampai pada saling pukul memukul.Tiba-tiba Dewi Awan Putih dikejutkan oleh suara perempuan menangis keluar dari dalam goa. Dia memasang telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan siapa itu adanya. Dengan dada berdebar akhirnya Dewi Awan Putih bergerak masuk ke dalam goa. Tepat di pertengahan goa, langkah Dewi Awan Putih tertahan. Sepasang kakinya laksana dipantek. Sekujur badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya membeliak. Apa yang
“Ruhjelita, gadis cantik genit perayu lelaki itu! Apa yang kau saksikan Hai kerabatku? Mengapa dia, sedang apa dia?” Pertanyaan Bunda Dewi datang beruntun.Tenggorokan Dewi Awan Putih turun naik dan suaranya bergetar ketika dia berucap, “Gadis itu... Tanpa pakaian... Dia berdua dengan...” Tangis Dewi Awan Putih kembali tersembur.Setelah tangisnya mereda baru Bunda Dewi bertanya. “Kau melihat Ruhjelita. Berdua dengan siapa Hai kerabatku?”Karena memang hanya akan membuat sesak dadanya menahan-nahan cerita, maka Dewi Awan Putih lalu menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa waktu lalu. Sepasang mata Bunda Dewi jadi terbelalak, wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu merah mendengar apa yang dituturkan Dewi Awan Putih. Dia memandang lekat-lekat pada Dewi Awan Putih yang memandang kepadanya dengan sepasang mata berurai air mata.“Hai Bunda Dewi...” kata Dewi Awan Putih tersengguk-sengguk. &l