Mereka bertiga melenggang pergi, tidak memperdulikan puluhan pasukan Bintang Hijau yang sedang memadamkan api. Rey, pemuda berkacamata itu berjalan di belakang mereka sambil sesekali menoleh ke arah bangunan yang hancur.
"Tidak terjadi apa-apa 'kan? Kalian berdua tidak perlu mengikutiku," ucap Akara membuat kedua pak tua itu kesal."Tidak terjadi apa-apa gundulmu! Gedung mereka hancur berantakan seperti itu!" teriak Gigis seraya ingin memukul bocah itu, namun dihentikan oleh leluhur Sung dengan susah payah....Beberapa saat yang lalu.Akara berada di suatu ruang latihan, duduk bersila dengan gulungan kertas yang terbuka dan melayang di depannya. Listrik ungu menyelimuti tubuhnya, bergerak bersamaan ke arah tangan kanannya. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tangannya dan Blarr!.. Petir menyambar langit-langit, berbentuk seperti akar raksasa yang langsung menghancurkan bangunan itu...."Itu hanya kesalahan latihan," elak Akara.Akara terbang di atas hampar semak belukar yang begitu luas dan menyapu pandangan ke segala sisi. Alisnya langsung berkerut turun, melihat lokasi yang dulu menjadi rumahnya dan perkebunan para warga, kini hanya hamparan semak-semak."Kenapa?" ucap Komo."Rumahku dulu!" jawab Akara sebelum akhirnya melesat pergi. Sampailah ia di pinggir sungai Oll, di depannya, lebih tepatnya seberang sungai, ada tebing tinggi. Ingatannya yang membekas membuatnya dapat melihat pertemuannya dengan gadis bernama Lisa. Saat gadis itu meniti pinggiran tebing, hingga terjatuh dan ditolongnya. Ia juga berjalan melewati hutan di pinggir sungai, dengan bayangan masa kecilnya bersama Lisa kejar-kejaran di sana. Tertawa kecil melihat ranting pohon yang hampir di tabrak Lisa dan malah membuatnya tersungkur. Semuanya baik-baik saja sebelum terdengar suara gemuruh. Ia terbang lebih tinggi di atas hutan, lalu melihat ke arah hulu sungai. Ada banjir bandang yang begitu besar di sana hing
Ranah Sinom tiga bulan energi, berputar di belakang pundak penjaga itu. Akan tetapi, ia nampak begitu percaya diri akan ranahnya itu. Akara hanya bisa mengernyitkan dahi merasa aneh, namun teringat ranah kepala keluarga Beton saat itu hanya di ranah Sinom. Ia lalu menghembuskan napas, merasa tidak semangat lagi."Sudah ketakutan kau boc.." crakk.. belum selesai ia berbicara, bor spiral menembus kepalanya. Ranahnya seketika padam dan ambruk, membuat para warga dan penjaga lainnya terkejut. Akara langsung menoleh ke arah penjaga lainnya, mengibaskan tangannya dan langsung membuat mereka tertembus bor spiral. Kepanikan warga terjadi hingga berhamburan menjauh, lalu datanglah pemimpin penjaga yang ada di suatu ruangan."Bawahan bodoh!" umpatnya seraya mengambil kampak besar yang tergantung di ruangannya. Ia lalu bergegas keluar dan mendekati arah kekacauan. "Apa yang terjadi sampai ribut seperti ini!?" teriaknya, lalu melihat seorang pemuda berjaket
Tidak satu atau dua orang saja, bahkan semua orang, tidak perduli tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Ada pak tua bungkuk yang jalannya kesusahan, menggunakan tongkatnya untuk memukul orang di depannya. Melihat kejadian itu, Akara jadi tambah geram, bahkan tak sadar energi meluap dari tubuhnya."Diam!" teriaknya sembari kobaran api besar menyelimuti tubuhnya. Gelombang energi yang menerpa para warga, membuat mereka seketika terdiam dan menoleh."Pantas saja tidak ada kenangan baik dari para warga di kota ini!" gumamnya sembari berjalan ke arah ketua penjaga tadi. "Jika ada yang bergerak, akan aku bunuh seperti para penjaga tadi!" bentaknya. "Sok pahlawan ya?" Ia menertawakan dirinya sendiri. "Bunuh saja mereka semua, jangan jadi bocah naif!" Komo keluar dari tempat persembunyiannya dan bertengger di pundaknya. "Naif ya? Jika aku bunuh mereka, apa tidak akan memunculkan masalah baru? Tindakan positif seperti menyelamatkan m
"Hei pak tua!" seru Akara membuat pria paruh baya itu menoleh, sekaligus orang-orang yang ada di sana. "Hentikan ocehanmu, gadis kecil itu bahkan lebih kecil dari cucumu!" lanjutnya sembari mendekati gadis kecil itu. Siapa dia? Berani sekali perkataannya, tidak tau siapa yang sedang ia lawan!"Hah!? Siapa kau berani ikut campur?" hardik pria itu, sedangkan Akara dengan lembut mengusap kepala gadis kecil itu. Mengetahui ada yang mendukungnya, ketakutan gadis itu mereda, bahkan membalas senyuman yang dilemparkan Akara.Akara lalu menoleh ke arah pria tua itu dan berkata. "Apa yang membuatmu berkata buruk tentang bakatnya?" Aliran energi tipis keluar dari tangannya dan memasuki kepala gadis itu."Berkata buruk? Memang dia tidak memiliki bakat dalam Alkemis! Hanya mengandalkan pengetahuan tentang tanaman obat saja, tidak akan bisa menutupi fakta bahwa ia tidak memiliki energi api di tubuhnya!""Di umurnya yang begitu belia, sudah b
Akara kembali menghembuskan angin, memperlihatkan detik-detik Putra Galon menyentuh cairan dingin itu hingga semua orang dapat menontonnya. Tanpa ba-bi-bu pria tua itu membungkuk untuk menyentuhnya dan kreszz..."Aghh!" teriaknya sambil berdiri kembali, mengangkat tangannya sudah membeku hingga ke lengannya. Kepanikan para penonton terjadi, hingga muncullah seseorang yang membuat mereka semua menoleh ke arahnya."Ketua Aula!" seru mereka sambil membungkuk menghormatinya. Seorang pria tua dengan topi lebar ke samping, tangannya yang keriput memegangi jenggot putihnya dan mengelusnya."Apa yang sedang terjadi?" ucapnya dengan tenang, tanpa melepaskan tangannya di jenggot putihnya. Pandangannya lalu tertuju pada gadis kecil yang sedang memurnikan pil dan Putra Galon di sana. ...Di suatu ruangan.Akara dan gadis kecil bernama Vania duduk di sebuah sofa. Di depannya ada Putra Galon dengan tangan masih membiru dan di sisi samping, menghad
Kekuatan di kota Glint jadi tidak imbang, ditambah lagi menghilangnya kepala keluarga Beton. Sekarang hanya Vonci Kates satu-satunya kekuatan besar di sana, membuatnya jadi semena-mena. Akhirnya keluarga lainnya dari kota Glint pindak ke kota Oll Hulu ini, hingga akhirnya bencana aneh muncul setahun terakhir. "Oll hulu? Bukankah masih ada dua kota di hulu sana?" ucap Akara."Benar, namun di sisi lain kota ini merupakan sumber mata air sungai Oll," jelas Joko Melinjo. Mendengar semua penjelasan itu, Vania nampak begitu murung....Akara dan Vania telah keluar dari Aula Alkemis. Melihat wajah murung gadis itu tadi, ia akhirnya bertanya kepadanya."Ada apa? Kenapa tadi murung saat mendengar penjelasan pak tua Joko Melinjo?""Ahh kak Akara?" Ia malah kaget, pikirannya masih berjalan-jalan. "Hanya saja...""Vania!" panggil seorang gadis yang berlari ke arah mereka. Gadis berambut pendek di atas pundak, dengan mata bulat yang inda
Kini mereka telah duduk di sofa, dengan Kana yang duduk menemani kakeknya."Tidak kakek sangka bocah polos saat itu menjadi pemuda yang begitu berbeda!" seru Taji Meranti."Hehe, Kana juga jadi semakin cantik dan imut!" Akara menggoda gadis imut itu, membuat kakeknya mengayunkan tongkat."Kau bocah!" Untung Kana segera menahannya, walau sambil memalingkan wajahnya yang memerah. Akara lalu terkekeh sebelum minta maaf dan memulai pembahasan."Maaf, apa masih ada batu Cryostar seperti sebelumnya?" "Anak muda, batu itu kakek dapatkan di sekitar mata air sungai Oll, tapi sekarang keadaannya sedang seperti ini, tidak mungkin bisa mencarinya lagi," Akara kembali bertanya akan keadaan di sana, kali ini jawabannya berbeda. Sekitar kurang lebih satu tahun yang lalu, ada pancaran energi warna putih yang membumbung hingga ke langit. Pusat pancaran itu berasal dari mata air Oll. Saat para warga penasaran dan mendekat, terjadilah s
Satu tangannya masih menarik lengan Kana ke atas, lalu tangan lainnya merangkul pinggang rampingnya. Jidat Kana tepat berada di depan bibir Akara, hingga membuat gadis itu segera menunduk. Kini tangan Akara yang ada di atas melepaskan lengannya dan beralih pada dagu Kana dan mendongakkan kepalanya. "Mau menahanku dengan apa?" Akara mendekatkan wajahnya, hingga membuat gadis itu panik dan mendorong dadanya."Lepaskan!" serunya."Katanya mau menahanku?" goda Akara, namun melepaskan tangannya hingga dorongan Kana berhasil memisahkan mereka. Akan tetapi, gadis itu dengan cepat memeluk Akara kembali."Tidak akan aku lepaskan jika kamu masih mau pergi ke sana!" Akara hanya bisa menghela napas panjang sebelum berkata. "Sudah aku bilang sebelumnya, akan aku ubah takdirku sendiri. Jadi jangan kira aku masih seperti Akara yang dulu!" Ia meraih pinggang rampingnya lagi, lalu Angin Surgawi menyelimuti tubuhnya mereka. Dalam sekejap keduanya terbang
Alhamdulillah selesai Season 1! Terima kasih buat yang sudah mendukung Author, semoga terhibur dengan imajinasi saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan author, baik penulisan kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca ataupun yang lainnya. Para pendukung semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya, jadi dapat terus mengikuti perkembangan author dan Akara. Author akan hiatus dulu dan akan mulai kembali bulan depan, semoga diberikan kelancaran untuk semuanya. Oh iya, Author sarankan untuk membaca ulang Arc 1 (bab1-52) percayalah, ada rencana bagus yang Author siapkan untuk Akara. ******* Penguasa Dewa Naga Season 2 Takdir merenggut semua orang terkasihnya, membuat kekuatannya lepas kendali dan menciptakan lubang hitam. Dirinya terhisap ke dalam lubang hitam, lalu muncul kembali di dunia yang dipenuhi oleh api dan kekerasan. Neraka? Seperti itulah gambaran dunia ini. Dengan ingatan yang masih membekas, Akara mencari cara untuk keluar dari dunia itu. Menggunakan nama samaran
Pemuda dengan pakaian compang camping penuh luka bakar dan menenteng sepasang pedang kayu hitam, muncul di atas sebuah sungai, di belakangnya ada gua di bawah air terjun yang sudah hancur. Ia lalu melihat ke arah hilir sungai, pemukiman di pinggir bantaran sungai sudah hancur berantakan, dengan pepohonan raksasa yang ambruk dari hutan di belakangnya. Selain tubuh manusia yang berserakan, juga banyak binatang sihir raksasa yang kondisinya tidak jauh berbeda. "Tuan Agera!" teriak seseorang yang wajah dan tubuhnya penuh bekas luka, namun kali ini banyak sekali tambahan luka di tubuhnya. Ia tertatih-tatih mendekat, lalu melesat terbang mendekati pemuda itu. "Marbun Bidara! Kekaisaran Gletser Abadi!"Akara langsung menoleh ke samping, kesadarannya langsung mendeteksi ribuan mil di depan sana. Wush!... Dalam sekejap, ia sudah berada di atas gletser kutub, meninggalkan robekan ruang yang gelap di udara, seakan menggaris langit sejauh ribuan mil. Gleng!... Ia melompat turun, membuat cekung
447Walau tubuhnya masih penuh luka bakar yang mulai mengering, ia mengangkat satu tangannya ke atas. Wush!... Ketiga Auranya menyala, membuat hembusan energi dan seketika energi meluap keluar dari tubuhnya, membentuk aliran energi yang bergerak ke atas. Enegi itu membentuk lingkaran energi besar yang memiliki pola rumit layaknya di atas altar teleportasi. "Kau ingin kabur!?" Sonic Boom terbentuk di belakang Rose, sambil mengulurkan satu tangan ke depan dan segera diselimuti oleh energi merah berbentuk cakar. Akan tetapi, lingkaran teleportasi sudah sepenuhnya menyala dan Whup!... Para master Alkemis menghilang, namun ternyata Akara masih berada di sana. Cring!... Ia menangkis cakar rubah menggunakan pedang kayunya sambil tersenyum menyeringai."Sudah aku bilang, aku akan membunuhmu!"Wush!... Rose melesat menjauh bagaikan bayangan, namun Akara langsung berada di depannya. Mereka melesat hingga luka bakar di tubuh keduanya terlepas sendiri-sendiri. Akara terus mengincar lehernya, mem
Laser menembus energi pelindung dan langsung menerpa tubuhnya, cukup lama laser bersinar hingga akhirnya padam. Gelombang radiasi panas masih memenuhi angkasa lepas, lalu ada bongkahan batu yang menyala merah. Krek!... Batu itu retak dan tidak lama kemudian hancur, muncullah pemuda berjaket hitam di dalamnya. Walau tubuhnya diselimuti oleh Esensi Surgawi, namun pakaian dan tubuhnya penuh luka bakar. "Apa aku bilang!" seru Komo, namun tuannya masih terlihat santai dan meraih kedua pedangnya kembali. Akan tetapi.."Agkh!" Ia langsung memegangi dadanya dan tatapannya begitu tajam melihat ke arah gadis rubah di depannya. "Ada apa Akara!?"Ia menjawabnya sambil menahan emosi dan giginya mengatup karena sangat geram. "Kubah pelindung di kota Bhinneka telah hancur, bahkan yang menyelimuti Gua Pelindung Harapan juga hancur!"Rose lalu tertawa puas, seolah-olah dia dapat mendengar apa yang Akara katakan. "Apa kau merasakannya!? Pasukanku telah menemukan keberadaan kekasih fanamu! Para gadism
335Di angkasa lepas yang gelap dan dihiasi cahaya bintang. Bruak!... Rose kembali tertahan oleh dinding transparan dan Akara langsung berada di depannya, memukul hidungnya dengan sekuat tenaga. Dinding transparan langsung hancur dan gadis itu terlempar ke belakang. Akara ingin membuat dinding transparan lagi, namun segera ada energi kematian yang menyelimuti tubuh Rose. Gadis itu tidak lagi menabrak dinding transparan dan menembusnya. Akan tetapi, Akara tetap muncul di depannya dengan mengayunkan pedangnya. Tring tring!... Benturan pedang dan cakar rubah menciptakan percikan api, lalu mereka saling menyerang sambil terus melesat. Bugh!... Rose menendang perut Akara hingga terlempar mundur, namun pemuda itu langsung berteleport di belakangnya. Crang!... Ia mengayunkan pedangnya, ditahan oleh selendang, namun tetap membuat meluncur jauh. Ia kembali berteleport dan menendang punggungnya, hingga melenting sebelum terlempar. Gadis itu terlempar menuju planet di dekatnya, terbakar saat mem
Kubah pelindung arena bergetar hebat, membuat semua orang menoleh, termasuk para penyandera dan yang di sandera. Pria bertopeng kucing oranye sempat melirik leher penyandera, namun getaran itu tidak berlangsung lama. ...Di dalam arena, bongkahan batu tadi sudah menyala merah layaknya bara api. Sedangkan Rose diselimuti oleh selendangnya yang perlahan-lahan membuka. Ia terkekeh saat melihat sekitarnya dipenuhi asap bekas terbakar. "Kau bodoh! Membakar seluruh tempat hanya akan membunuh dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi oksigen untukmu ber..." Ia terdiam saat bongkahan batu yang melayang-layang tersibak, nampaklah pemuda berjaket hitam yang melebarkan kedua tangannya ke samping. Di ujung telapak tangannya, ada sebuah benda seperti kelereng yang bercahaya sangat terang, dengan ketiga auranya yang menyala. Aliran energi sangat lebar layaknya selendang sutra merahnya, bergerak masuk ke dalam kedua titik bercahaya. "Sudah kubilang, aku akan membunuhmu!" Akara menyeringai, namun se
333Mengetahui kekasihnya disandera, puluhan bor spiral terbentuk dan langsung melesat, meliuk-liuk menghindari selendang merah yang hendak menangkisnya. Akan tetapi, ada energi kematian yang langsung membuat bor spiral melebur. Benar-benar lenyap di udara tanpa menyisakan sebutir debupun. Ia langsung berhenti, melihat Lina yang pergi bersama pasukan yang mengepungnya, memasuki portal dan menghilang. "Lihatlah! Apalagi yang bisa kau miliki!? Sang Peri Salju telah pergi, putri Kaisar Atla telah dikepung, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi!?" Wush tring tring tring tring!... Akara melesat dengan tatapan tajam ke arahnya. Walau banyak selendang yang menghadang, namun ia tebas begitu mudahnya. Karena terus mendekat, energi kematian seperti asap hitam kehijauan keluar dari tubuh Rose. Persis seperti seekor gurita yang menyemprotkan tintanya. Akan tetapi, ada angin yang berputar, menembus kepulan energi kematian. Ia melesat dan sudah siap posisi Cakaran Naga Hitam, membuat gadis itu terb
Kedua peserta sudah berada di atas arena, mereka masih terlihat begitu tenang, walau gong tanda mulainya pertandingan sudah berbunyi. "Apa yang kau lakukan? Cepat menyerah!" Komo yang tidak sabar langsung melompat dan bertengger di pundaknya."Iya iya!" Akara ingin mengangkat tangannya, namun gadis yang menjadi lawannya berbicara. "Kau mirip dengan ayahmu!"Akara langsung menarik kembali tangannya dan menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Kau kenal ayahku?"Rose langsung tertawa lepas, lalu berjalan mendekat sambil berkata. "Tidak hanya kenal!" Ia mengangkat satu tangannya. "Dengan tangan ini aku membunuhnya!" Akara langsung terbelalak dan mengepal erat, namun masih berusaha menahan emosinya. "Apa maksudmu!?"Gadis itu kembali tertawa puas dan terdengar menakutkan, lalu berkata dengan ritme cepat. "Kau tau bagaimana ekspresi ibumu si Rani yang marah meluap-luap? Kau tau bagaimana ekspresi Violet yang dingin dan menak
Akara berjalan di sebuah lorong sambil menggandeng tangan kekasihnya. Di lorong yang sepi, namun terdengar suara riuh dari penonton dari sebuah tribun di atas mereka. Saat itulah mereka berpapasan dengan seorang gadis bergaun merah dan bercadar. Langkahnya begitu tenang dan mantap saat melewati lorong, ditemani oleh seorang pemuda berpakaian rapi. Akara langsung mengenali pemuda itu, sang wakil komandan pasukan Bintang, Baester. Ia langsung mempercepat langkahnya dan mendekat, lalu melebarkan tangan kanannya ke samping, menyentuh dinding lorong dan menghalangi jalan mereka.Melihat nonanya dihadang, Baester langsung menghardiknya. "Akara, apa yang kau lakukan!?"Akara lalu menatapnya dan berkata dengan tenang. "Pergilah!" Ia langsung membuat pemuda itu tehentak, lalu gadis bercadar berkata tanpa menoleh. "Pergilah terlebih dahulu!""Baik nona!" Ia langsung melesat pergi, sedangkan Akara langsung tersenyum lebar dan berkata."Kenapa memak