Tidak satu atau dua orang saja, bahkan semua orang, tidak perduli tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Ada pak tua bungkuk yang jalannya kesusahan, menggunakan tongkatnya untuk memukul orang di depannya. Melihat kejadian itu, Akara jadi tambah geram, bahkan tak sadar energi meluap dari tubuhnya.
"Diam!" teriaknya sembari kobaran api besar menyelimuti tubuhnya. Gelombang energi yang menerpa para warga, membuat mereka seketika terdiam dan menoleh."Pantas saja tidak ada kenangan baik dari para warga di kota ini!" gumamnya sembari berjalan ke arah ketua penjaga tadi."Jika ada yang bergerak, akan aku bunuh seperti para penjaga tadi!" bentaknya."Sok pahlawan ya?" Ia menertawakan dirinya sendiri."Bunuh saja mereka semua, jangan jadi bocah naif!" Komo keluar dari tempat persembunyiannya dan bertengger di pundaknya."Naif ya? Jika aku bunuh mereka, apa tidak akan memunculkan masalah baru? Tindakan positif seperti menyelamatkan m"Hei pak tua!" seru Akara membuat pria paruh baya itu menoleh, sekaligus orang-orang yang ada di sana. "Hentikan ocehanmu, gadis kecil itu bahkan lebih kecil dari cucumu!" lanjutnya sembari mendekati gadis kecil itu. Siapa dia? Berani sekali perkataannya, tidak tau siapa yang sedang ia lawan!"Hah!? Siapa kau berani ikut campur?" hardik pria itu, sedangkan Akara dengan lembut mengusap kepala gadis kecil itu. Mengetahui ada yang mendukungnya, ketakutan gadis itu mereda, bahkan membalas senyuman yang dilemparkan Akara.Akara lalu menoleh ke arah pria tua itu dan berkata. "Apa yang membuatmu berkata buruk tentang bakatnya?" Aliran energi tipis keluar dari tangannya dan memasuki kepala gadis itu."Berkata buruk? Memang dia tidak memiliki bakat dalam Alkemis! Hanya mengandalkan pengetahuan tentang tanaman obat saja, tidak akan bisa menutupi fakta bahwa ia tidak memiliki energi api di tubuhnya!""Di umurnya yang begitu belia, sudah b
Akara kembali menghembuskan angin, memperlihatkan detik-detik Putra Galon menyentuh cairan dingin itu hingga semua orang dapat menontonnya. Tanpa ba-bi-bu pria tua itu membungkuk untuk menyentuhnya dan kreszz..."Aghh!" teriaknya sambil berdiri kembali, mengangkat tangannya sudah membeku hingga ke lengannya. Kepanikan para penonton terjadi, hingga muncullah seseorang yang membuat mereka semua menoleh ke arahnya."Ketua Aula!" seru mereka sambil membungkuk menghormatinya. Seorang pria tua dengan topi lebar ke samping, tangannya yang keriput memegangi jenggot putihnya dan mengelusnya."Apa yang sedang terjadi?" ucapnya dengan tenang, tanpa melepaskan tangannya di jenggot putihnya. Pandangannya lalu tertuju pada gadis kecil yang sedang memurnikan pil dan Putra Galon di sana. ...Di suatu ruangan.Akara dan gadis kecil bernama Vania duduk di sebuah sofa. Di depannya ada Putra Galon dengan tangan masih membiru dan di sisi samping, menghad
Kekuatan di kota Glint jadi tidak imbang, ditambah lagi menghilangnya kepala keluarga Beton. Sekarang hanya Vonci Kates satu-satunya kekuatan besar di sana, membuatnya jadi semena-mena. Akhirnya keluarga lainnya dari kota Glint pindak ke kota Oll Hulu ini, hingga akhirnya bencana aneh muncul setahun terakhir. "Oll hulu? Bukankah masih ada dua kota di hulu sana?" ucap Akara."Benar, namun di sisi lain kota ini merupakan sumber mata air sungai Oll," jelas Joko Melinjo. Mendengar semua penjelasan itu, Vania nampak begitu murung....Akara dan Vania telah keluar dari Aula Alkemis. Melihat wajah murung gadis itu tadi, ia akhirnya bertanya kepadanya."Ada apa? Kenapa tadi murung saat mendengar penjelasan pak tua Joko Melinjo?""Ahh kak Akara?" Ia malah kaget, pikirannya masih berjalan-jalan. "Hanya saja...""Vania!" panggil seorang gadis yang berlari ke arah mereka. Gadis berambut pendek di atas pundak, dengan mata bulat yang inda
Kini mereka telah duduk di sofa, dengan Kana yang duduk menemani kakeknya."Tidak kakek sangka bocah polos saat itu menjadi pemuda yang begitu berbeda!" seru Taji Meranti."Hehe, Kana juga jadi semakin cantik dan imut!" Akara menggoda gadis imut itu, membuat kakeknya mengayunkan tongkat."Kau bocah!" Untung Kana segera menahannya, walau sambil memalingkan wajahnya yang memerah. Akara lalu terkekeh sebelum minta maaf dan memulai pembahasan."Maaf, apa masih ada batu Cryostar seperti sebelumnya?" "Anak muda, batu itu kakek dapatkan di sekitar mata air sungai Oll, tapi sekarang keadaannya sedang seperti ini, tidak mungkin bisa mencarinya lagi," Akara kembali bertanya akan keadaan di sana, kali ini jawabannya berbeda. Sekitar kurang lebih satu tahun yang lalu, ada pancaran energi warna putih yang membumbung hingga ke langit. Pusat pancaran itu berasal dari mata air Oll. Saat para warga penasaran dan mendekat, terjadilah s
Satu tangannya masih menarik lengan Kana ke atas, lalu tangan lainnya merangkul pinggang rampingnya. Jidat Kana tepat berada di depan bibir Akara, hingga membuat gadis itu segera menunduk. Kini tangan Akara yang ada di atas melepaskan lengannya dan beralih pada dagu Kana dan mendongakkan kepalanya. "Mau menahanku dengan apa?" Akara mendekatkan wajahnya, hingga membuat gadis itu panik dan mendorong dadanya."Lepaskan!" serunya."Katanya mau menahanku?" goda Akara, namun melepaskan tangannya hingga dorongan Kana berhasil memisahkan mereka. Akan tetapi, gadis itu dengan cepat memeluk Akara kembali."Tidak akan aku lepaskan jika kamu masih mau pergi ke sana!" Akara hanya bisa menghela napas panjang sebelum berkata. "Sudah aku bilang sebelumnya, akan aku ubah takdirku sendiri. Jadi jangan kira aku masih seperti Akara yang dulu!" Ia meraih pinggang rampingnya lagi, lalu Angin Surgawi menyelimuti tubuhnya mereka. Dalam sekejap keduanya terbang
Mereka tercengang, tidak percaya akan apa yang terjadi dengan tetuanya yang di ranah abadi. Karena kesakitan, ia sampai turun ke bawah dan menutup sayap perinya. "Dramatis sekali kedatanganmu, ternyata hanya di ranah Asmaradana!" ucap Akara sambil terkekeh geli."Hanya katamu!?" teriaknya kesal karena direndahkan, lalu Akara meraih kadal di pundaknya. Ia lalu melemparkannya dan Komo berubah membesar di hadapan mereka. Tidak hanya bentuk dan ukurannya yang membuat mereka bergidik ngeri, namun lingkaran cahaya berwarna oranye di atasnya. Tingkat mistis 3 pola, kadal bodoh itu telah naik tingkat ternyata. "Drake tingkat mistis 3 pola!?" Mereka ketakutan dan ingin kabur, namun apa daya, kaki mereka sudah terluka. Komo mengaum, lalu membuat puluhan kristal seperti tongkat dengan panjang beberapa meter di atasnya. Jleg jleg jleg... Seketika puluhan kristal itu diluncurkan, menancap di depan mereka membuat mereka berhenti dan terbelalak. Beberapa kris
Gadis yang begitu polos, ia ragu-ragu ingin melakukan perintahnya atau tidak. Akan tetapi, retakan melebar."Cepat!" seru Akara, lalu gadis itu langsung duduk di pangkuannya. Begitu kikuk, ia langsung memejamkan mata dan memeluk kedua lututnya. Akan tetapi, retakan tidak menghilang dan perlahan-lahan masih melebar."Kok masih!?" serunya seraya menoleh dan terkejut dengan wajah mereka yang begitu dekat. Ia sontak memalingkan wajahnya lagi."Lepaskan tanganmu!" Akara meraih lengan Kana yang memeluk lututnya. Dengan ragu-ragu dan panik gadis itu menurut, lebih tepatnya pasrah. Akara lalu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Kana dan langsung menariknya hingga tubuh mereka bersentuhan. Gadis itu langsung terkejut hingga mematung, dengan wajah dan telinga yang merah padam. Akara melingkarkan kedua tangannya, sambil mengusap lembut perut ratanya. Ia lalu menunduk hingga wajahnya tepat di samping telinga Kana dan berbisik."Diam seperti ini."
Tidak jauh dari gua tempat Akara dan Kana, ada beberapa gua lain dan di salah satunya, ada satu orang yang duduk bersila. Pria tua dengan tubuh kurus kering dan pakaian compang camping, dengan rambut, janggut dan kumis yang panjang tidak terurus. Penampilan layaknya gelandang itu segera membuka matanya saat tidak ada aliran energi yang dapat ia serap."Apa yang terjadi?" gumamnya seraya menoleh ke arah air di sebelahnya. Melihat kedalaman air yang tenang, ia langsung melompat ke sana. Dengan penuh semangat ia berenang keluar."Akhirnya terbebas!" serunya bersemangat dan melihat aliran energi dari Esensi Air Surgawi yang mengalir ke satu titik. Penyerap energi itulah yang menyebabkan arus air jadi berhenti. Tanpa basa-basi, kakek tua itu melanjutkan berenang. Pintu keluar sudah terlihat dengan cahaya yang begitu tipis di sana, membuat semangatnya semakin membara. Akan tetapi, aliran energi tadi tiba-tiba terhenti. Sontak arus air yang sangat deras kembali muncul.
Alhamdulillah selesai Season 1! Terima kasih buat yang sudah mendukung Author, semoga terhibur dengan imajinasi saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan author, baik penulisan kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca ataupun yang lainnya. Para pendukung semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya, jadi dapat terus mengikuti perkembangan author dan Akara. Author akan hiatus dulu dan akan mulai kembali bulan depan, semoga diberikan kelancaran untuk semuanya. Oh iya, Author sarankan untuk membaca ulang Arc 1 (bab1-52) percayalah, ada rencana bagus yang Author siapkan untuk Akara. ******* Penguasa Dewa Naga Season 2 Takdir merenggut semua orang terkasihnya, membuat kekuatannya lepas kendali dan menciptakan lubang hitam. Dirinya terhisap ke dalam lubang hitam, lalu muncul kembali di dunia yang dipenuhi oleh api dan kekerasan. Neraka? Seperti itulah gambaran dunia ini. Dengan ingatan yang masih membekas, Akara mencari cara untuk keluar dari dunia itu. Menggunakan nama samaran
Pemuda dengan pakaian compang camping penuh luka bakar dan menenteng sepasang pedang kayu hitam, muncul di atas sebuah sungai, di belakangnya ada gua di bawah air terjun yang sudah hancur. Ia lalu melihat ke arah hilir sungai, pemukiman di pinggir bantaran sungai sudah hancur berantakan, dengan pepohonan raksasa yang ambruk dari hutan di belakangnya. Selain tubuh manusia yang berserakan, juga banyak binatang sihir raksasa yang kondisinya tidak jauh berbeda. "Tuan Agera!" teriak seseorang yang wajah dan tubuhnya penuh bekas luka, namun kali ini banyak sekali tambahan luka di tubuhnya. Ia tertatih-tatih mendekat, lalu melesat terbang mendekati pemuda itu. "Marbun Bidara! Kekaisaran Gletser Abadi!"Akara langsung menoleh ke samping, kesadarannya langsung mendeteksi ribuan mil di depan sana. Wush!... Dalam sekejap, ia sudah berada di atas gletser kutub, meninggalkan robekan ruang yang gelap di udara, seakan menggaris langit sejauh ribuan mil. Gleng!... Ia melompat turun, membuat cekung
447Walau tubuhnya masih penuh luka bakar yang mulai mengering, ia mengangkat satu tangannya ke atas. Wush!... Ketiga Auranya menyala, membuat hembusan energi dan seketika energi meluap keluar dari tubuhnya, membentuk aliran energi yang bergerak ke atas. Enegi itu membentuk lingkaran energi besar yang memiliki pola rumit layaknya di atas altar teleportasi. "Kau ingin kabur!?" Sonic Boom terbentuk di belakang Rose, sambil mengulurkan satu tangan ke depan dan segera diselimuti oleh energi merah berbentuk cakar. Akan tetapi, lingkaran teleportasi sudah sepenuhnya menyala dan Whup!... Para master Alkemis menghilang, namun ternyata Akara masih berada di sana. Cring!... Ia menangkis cakar rubah menggunakan pedang kayunya sambil tersenyum menyeringai."Sudah aku bilang, aku akan membunuhmu!"Wush!... Rose melesat menjauh bagaikan bayangan, namun Akara langsung berada di depannya. Mereka melesat hingga luka bakar di tubuh keduanya terlepas sendiri-sendiri. Akara terus mengincar lehernya, mem
Laser menembus energi pelindung dan langsung menerpa tubuhnya, cukup lama laser bersinar hingga akhirnya padam. Gelombang radiasi panas masih memenuhi angkasa lepas, lalu ada bongkahan batu yang menyala merah. Krek!... Batu itu retak dan tidak lama kemudian hancur, muncullah pemuda berjaket hitam di dalamnya. Walau tubuhnya diselimuti oleh Esensi Surgawi, namun pakaian dan tubuhnya penuh luka bakar. "Apa aku bilang!" seru Komo, namun tuannya masih terlihat santai dan meraih kedua pedangnya kembali. Akan tetapi.."Agkh!" Ia langsung memegangi dadanya dan tatapannya begitu tajam melihat ke arah gadis rubah di depannya. "Ada apa Akara!?"Ia menjawabnya sambil menahan emosi dan giginya mengatup karena sangat geram. "Kubah pelindung di kota Bhinneka telah hancur, bahkan yang menyelimuti Gua Pelindung Harapan juga hancur!"Rose lalu tertawa puas, seolah-olah dia dapat mendengar apa yang Akara katakan. "Apa kau merasakannya!? Pasukanku telah menemukan keberadaan kekasih fanamu! Para gadism
335Di angkasa lepas yang gelap dan dihiasi cahaya bintang. Bruak!... Rose kembali tertahan oleh dinding transparan dan Akara langsung berada di depannya, memukul hidungnya dengan sekuat tenaga. Dinding transparan langsung hancur dan gadis itu terlempar ke belakang. Akara ingin membuat dinding transparan lagi, namun segera ada energi kematian yang menyelimuti tubuh Rose. Gadis itu tidak lagi menabrak dinding transparan dan menembusnya. Akan tetapi, Akara tetap muncul di depannya dengan mengayunkan pedangnya. Tring tring!... Benturan pedang dan cakar rubah menciptakan percikan api, lalu mereka saling menyerang sambil terus melesat. Bugh!... Rose menendang perut Akara hingga terlempar mundur, namun pemuda itu langsung berteleport di belakangnya. Crang!... Ia mengayunkan pedangnya, ditahan oleh selendang, namun tetap membuat meluncur jauh. Ia kembali berteleport dan menendang punggungnya, hingga melenting sebelum terlempar. Gadis itu terlempar menuju planet di dekatnya, terbakar saat mem
Kubah pelindung arena bergetar hebat, membuat semua orang menoleh, termasuk para penyandera dan yang di sandera. Pria bertopeng kucing oranye sempat melirik leher penyandera, namun getaran itu tidak berlangsung lama. ...Di dalam arena, bongkahan batu tadi sudah menyala merah layaknya bara api. Sedangkan Rose diselimuti oleh selendangnya yang perlahan-lahan membuka. Ia terkekeh saat melihat sekitarnya dipenuhi asap bekas terbakar. "Kau bodoh! Membakar seluruh tempat hanya akan membunuh dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi oksigen untukmu ber..." Ia terdiam saat bongkahan batu yang melayang-layang tersibak, nampaklah pemuda berjaket hitam yang melebarkan kedua tangannya ke samping. Di ujung telapak tangannya, ada sebuah benda seperti kelereng yang bercahaya sangat terang, dengan ketiga auranya yang menyala. Aliran energi sangat lebar layaknya selendang sutra merahnya, bergerak masuk ke dalam kedua titik bercahaya. "Sudah kubilang, aku akan membunuhmu!" Akara menyeringai, namun se
333Mengetahui kekasihnya disandera, puluhan bor spiral terbentuk dan langsung melesat, meliuk-liuk menghindari selendang merah yang hendak menangkisnya. Akan tetapi, ada energi kematian yang langsung membuat bor spiral melebur. Benar-benar lenyap di udara tanpa menyisakan sebutir debupun. Ia langsung berhenti, melihat Lina yang pergi bersama pasukan yang mengepungnya, memasuki portal dan menghilang. "Lihatlah! Apalagi yang bisa kau miliki!? Sang Peri Salju telah pergi, putri Kaisar Atla telah dikepung, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi!?" Wush tring tring tring tring!... Akara melesat dengan tatapan tajam ke arahnya. Walau banyak selendang yang menghadang, namun ia tebas begitu mudahnya. Karena terus mendekat, energi kematian seperti asap hitam kehijauan keluar dari tubuh Rose. Persis seperti seekor gurita yang menyemprotkan tintanya. Akan tetapi, ada angin yang berputar, menembus kepulan energi kematian. Ia melesat dan sudah siap posisi Cakaran Naga Hitam, membuat gadis itu terb
Kedua peserta sudah berada di atas arena, mereka masih terlihat begitu tenang, walau gong tanda mulainya pertandingan sudah berbunyi. "Apa yang kau lakukan? Cepat menyerah!" Komo yang tidak sabar langsung melompat dan bertengger di pundaknya."Iya iya!" Akara ingin mengangkat tangannya, namun gadis yang menjadi lawannya berbicara. "Kau mirip dengan ayahmu!"Akara langsung menarik kembali tangannya dan menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Kau kenal ayahku?"Rose langsung tertawa lepas, lalu berjalan mendekat sambil berkata. "Tidak hanya kenal!" Ia mengangkat satu tangannya. "Dengan tangan ini aku membunuhnya!" Akara langsung terbelalak dan mengepal erat, namun masih berusaha menahan emosinya. "Apa maksudmu!?"Gadis itu kembali tertawa puas dan terdengar menakutkan, lalu berkata dengan ritme cepat. "Kau tau bagaimana ekspresi ibumu si Rani yang marah meluap-luap? Kau tau bagaimana ekspresi Violet yang dingin dan menak
Akara berjalan di sebuah lorong sambil menggandeng tangan kekasihnya. Di lorong yang sepi, namun terdengar suara riuh dari penonton dari sebuah tribun di atas mereka. Saat itulah mereka berpapasan dengan seorang gadis bergaun merah dan bercadar. Langkahnya begitu tenang dan mantap saat melewati lorong, ditemani oleh seorang pemuda berpakaian rapi. Akara langsung mengenali pemuda itu, sang wakil komandan pasukan Bintang, Baester. Ia langsung mempercepat langkahnya dan mendekat, lalu melebarkan tangan kanannya ke samping, menyentuh dinding lorong dan menghalangi jalan mereka.Melihat nonanya dihadang, Baester langsung menghardiknya. "Akara, apa yang kau lakukan!?"Akara lalu menatapnya dan berkata dengan tenang. "Pergilah!" Ia langsung membuat pemuda itu tehentak, lalu gadis bercadar berkata tanpa menoleh. "Pergilah terlebih dahulu!""Baik nona!" Ia langsung melesat pergi, sedangkan Akara langsung tersenyum lebar dan berkata."Kenapa memak