"Mas." Lara menyerahkan hasil testnya, dengan raut sedih. Kening Rey mengerut melihat hasilnya."Ini maksudnya gimana, Dek?" tanya Rey sambil membolak-balik benda itu, lalu kembali mengamati garis merah yang tertera."Garis satu, artinya negatif Mas," suara Lara parau."Ini satu apa dua, Dek?" tanya Rey lagi, kerutan di dahinya semakin dalam."Sepertinya satu Mas, tuh yang paling jelas hanya satu.""Satu yah? Kok seperti dua gitu, kalo samar gitu bukan ya? Tapi ya udah nggak papa juga jika belum." Hibur Rey yang melihat kesedihan di wajah Lara. Rey menjadi kalang kabut ketika Lara tiba-tiba menangis, tangisannya semakin menjadi."Nggak papa kok Dek, kenapa sampai sedih gitu?" tanya Rey heran."Kemarin Mas sudah seneng banget, padahal hanya Zonk." Lara terisak sambil menutup wajah dengan kedua tangannya."Beneran nggak papa kok, kenapa harus sampai nangis gitu?""Aku sedih sekali, Mas." tangis Lara belum juga reda."Kenapa harus sedih sampai nangis segala, Dek, itu bukan kemauan kita
Rey memijit-mijit tengkuk istrinya, sudah dua hari belakangan Lara mengalami morning sicknees parah. "Dek, udah?" tanya Rey dengan wajah kuatir dan kasihan.Lara mengangguk lemah, wajahnya pucat, dan kuyu. Dengan berjalan tertatih sambil memegang perutnya yang teraduk-aduk, di tuntun oleh Rey ke ranjang."Apa kamu opname di rumah sakit aja ya, Mas kuatir sama kamu.""Jangan Mas, aku lebih nyaman di rumah, nggak suka bau obat."Rey menghela napasnya sambil menyatukan rambut Lara dan mengikatnya."Maafin Mas, karna Mas kamu jadi begini.""Kok maaf sih?" Kening Lara Mengeryit, wajah bersalah Rey tergambar dengan jelas. "Demi hamil anak Mas kamu sampai lemas gini tiap hari.""Hal yang wajar Mas, kakak dulu juga seperti gini. Aku suka kok, aku bahagia, jika dikasih sepuluh pun aku nggak nolak," ujar Lara berusaha menunjukkan pada Rey jika dia baik-baik saja.Rey mengacak-ngacak rambut Lara dengan haru."Kalo lihat kamu seperti gini, Mas jadi nggak tega, Dek." Rey ikut duduk di tepi ran
Rey telah berada di tempat Satgasnya setelah melewati perjalanan panjang dengan KRI yang memuat 500 personil dan logistik yang dibutuhkan.Sudah seminggu Rey belum sempat melakukan VC dengan Lara. Hanya mengirim chat jika dia telah berada di daerah yang menjadi tempat tugasnya. Dia langsung melakukan misinya untuk melacak keberadaan lokasi para penyelundup senjata yang diberitahukan oleh Hengky juga membantu mengevakuasi para korban dari titik konflik, sehingga tidak ada waktu baginya untuk sekedar menelpon istrinya.Malam menjelang ketika Rey melakukan panggilan pertamanya di tempat yang baru seminggu ditinggali.[Maasss!] Lara menjerit begitu melihat wajah Rey.[Mas keterlaluan sekali masa baru call aku sekarang Mas!]Rey menatap haru, semua letihnya lenyap seketika. Mendengar suara wanita kesayangannya itu, sudah cukup mengobati kerinduannya.[Apa kabar, Dek? Gimana keadaanmu, bagaimana anak kita?] balas Rey dengan lembut, dengan tatapan penuh kerinduan.Lara termangu.[Ba-baik Mas,
Lara kembali melirik ponselnya yang teronggok di atas ranjang. Dia menanti kabar dari suaminya. Tadi Rey mematikan sepihak tanpa pamit. Lara yakin jika telah terjadi sesuatu, dari suara yang terdengar sebelumnya. Perasaannya berkecamuk, rasa takut membuat tubuhnya menggigil tanpa disadarinya. Hawa dingin menyergapnya."Tuhan lindungilah suamiku, lindungilah ayah dari anakku, Tuhan," ratap Lara dengan bibir bergetar, tangannya pun gemetar mencoba meraih ponselnya.Terbayang dengan jelas di benak Lara, suara dan latar yang bergoyang menampilkan objek yang tak jelas, dengan bunyi derap sepatu Rey dan rekan-rekannya. Hal itu menciptakan ketakutan tersendiri baginya. Perutnya terasa melilit tiba-tiba, tak hanya itu kepalanya juga berdenyut nyeri. Setengah terhuyung Lara meraih segelas air di atas nakash, meneguknya hingga habis."Mas." Rasa kuatir merajamnya."Tuhan, kenapa perasaan ini menjadi begitu tak nyaman, apa kamu baik-baik saja Mas?" gumam Lara terbata.Sementara itu, terjadi pert
Hari masih subuh ketika Rey dan rekan-rekannya dan beberapa keluarga dari korban terlihat sibuk. Rey membantu mengangkat dua korban yang terluka, bersama seorang rekannya. Hanya menggunakan tandu yang dibuat dari kayu. Seadaanya, karena logistik dan barang yang dibutuhkan lainnya belum bisa diantar terkait medan yang tidak memungkinkan saat hujan, untuk alternatif udara juga tidak bisa karena tidak ada tempat datar yang bisa dijadikan helipad untuk helikopter mendarat. Lokasi itu berada dalam radius enam km di titik rawan yang berdekatan dengan basis para pemberontak. Tempat di mana pasukan Rey mendarat pertama kalinya untuk datang ke lokasi tugas mereka sekarang, butuh persiapan yang matang tentunya, jika mereka mau menggunakan alternatif udara.Mereka memilih menggunakan trek daripada mobil belakang terbuka, trek lebih menjamin keselamatan setidaknya lebih terlindungi jika mereka memang harus bentrok dengan pemberontak.Mereka bergerak cepat sebelum fajar menyising dua korban
Sambil tiarap Rey mundur dengan kecepatan maximal, sebelum para pemberontak menemukannya. Dia tidak bisa menghadang musuh lagi. Mereka menjadi lebih liar dan anarkis setelah salah seorang dari mereka merenggang nyawa. Hentakan kaki yang serempak, serta suara teriakkan bersahutan dengan bahasa yang tak di mengerti oleh Rey, meluapkan amarah mereka. Suasana terlihat dan terdengar begitu mencekam saat suara mereka memantul dan menggema, di hutan belantara itu. Rey berguling menuju jurang curam, hanya itu satu-satunya jalan jika dia ingin lolos dari musuh. Jurang yang cukup dalam, lumayan bisa membuat tubuhnya terluka parah bahkan kehilangan nyawa jika dia membuang diri ke sana.Matanya mengedar mencari alternatif lain, tidak ada! Satu-satunya jalan hanya jurang itu. Rey merayap turun melewati belukar yang bergelantungan. Hanya dia seorang diri di situ, menghadang para musuh agar anak buahnya menuju ke dalam hutan. Dia yang memerintah mereka pergi, untuk secepatnya menolong rekan yang t
Lima bulan berlalu ....Rey baru saja turun dari tempat tugasnya yang berada di balik puncak pegunungan, di tempat tugas keduanya tidak ada signal sehingga hanya sesekali Rey berjalan berkilo meter menuju puncak pegunungan hanya untuk mencari signal, terkadang dengan motor jika memang sedang tidak digunakan, hanya demi melihat wajah istrinya sesekali. Tak lupa selalu meminta foto Lara sebelum mereka mengakhiri VC, hanya foto-foto itu yang mengobati kerinduannya. Rey menatap foto Lara berulang-ulang. Tampak dalam layar itu Lara tampil dengan dress satin pastel pink, kombinasi dengan kain tulle. Menampilkan perutnya yang bulat membesar, tubuhnya tampak lebih berisi, dengan pipi chubby, rambutnya tergerai indah. Rey menggeser layarnya sampai foto berikutnya, sesekali senyum terkembang di bibirnya. Ada beberapa foto exclusive dari ahlinya, dan juga beberapa foto hasil jepretan Lara sendiri. Keningnya mengerut, ada tanya yang hinggap di benaknya, baginya perut Lara terlalu besar, atau h
[Mereka?] ulang Rey.Roman kaget Lara mengendur, tadinya dia memang mau memberitahu kabar itu, tapi menjadi lupa saat melihat wajah Rey. Lara tersenyum. Sengaja menggantung suaminya biar semakin penasaran[Dek!][Ada yang mau aku kasih tau sama, Mas.][Ya, udah kasih tau aja, Dek.][Kasih tau nggak ya?] ucap Lara dengan nada jenaka.[Kok malah gitu sih, Dek?][Kasih tau ... Jangan ... Kasih tau ... Jangan ....] Lara mengerling nakal sambil menghitung jari tangannya[Dek, masa gitu sih, bikin Mas penasaran. Ayo kasih tau.] Rey sudah dapat menebak jawaban Lara tapi masih tidak yakin jika belum mendengar sendiri dari mulut istrinya.[Emang sengaja, biar Mas penasaran,] ledek Lara.[Jangan gitulah, masa ngerjain suami sendiri.][Mas juga suka ngerjain aku kok,] bela Lara, rasanya puas membuat suaminya semakin penasaran.[Yah, memang Mas harus ngerjain kamu, kalo nggak mana bisa perut kamu berisi, Dek.][Nah itu, mulaikan ngerjain aku.]Rey terkekeh, tapi masih menuntut jawaban Lara.
Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p
Tangan Alex menggenggam erat ponselnya hingga jari tangannya memutih. Dia baru saja menerima kabar jika jasat Rey telah ditemukan, bersama ketiga jasad lainnya.Sudah lima hari sejak penyambutan dua jenasah yang diterbangkan duluan. Hari ini baru mereka memberi kabar jika jenasah akan diterbangkan setelah melakukan persiapan di sana. Sesegera mungkin, paling terlambat besok, karena kondisi jasad yang tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama.Dunia Alex kembali hancur, sangat terasa lebih hancur dari sebelumnya. Setelah berangan-angan ada sedikit harapan dengan belum ditemukan jasad Rey, masih ada asa saat itu. Berharap Rey berada di suatu tempat dengan nyawa yang masih berada di badannya. Ternyata itu hanya harapan kosong. Rey telah pergi, semuanya sirna sudah.Bagaimana dengan Lara dan kembarnya, bagaimana dengan amanat yang Rey tinggalkan tiap kali dia pergi satgas, bagaimana dengan Tari? Semua itu berkecamuk dalam pikiran Alex."Kenapa kamu menempatkan aku dalam posis
"Aku mau mengecek persiapan penyambutan Jenasah. Setelah urusanku beres kita akan membahasnya.""Kamu tidak berubah pikirankan, Lex?" Mata Tari yang berkaca-kaca mulai menciptakan kristal. Dia ingin segera mendapat jawaban Alex agar hatinya tenang.Alex menoleh ke dalam, Lara masih terlelap. Meraup wajahnya lalu berpaling ke arah Tari. Sesaat dia bimbang, lalu kemudian menarik Tari dalam pelukkannya."Kasih aku waktu dua hari ini, untuk mengurus segalanya. Setelah itu kita bertemu."Tari mengganguk terpaksa."A-aku .... Aku takut kamu berubah pikiran." Kristal bening itu luruh begitu saja. Alex trenyuh menatap Tari, diusap pelan butiran yang mengalir. Dia telah memiliki impian untuk menghabiskan masa tua bersamanya. Ruang hatinya hampir terisi penuh oleh Tari."Kamu pake apa ke sini.""Taksi. Kamu tau mobilku ada di bengkel. Tidak mungkin aku pake motor, karna kamu pasti marah."Tari pernah dua kali kecelakaan dengan motor hingga tulangnya patah, karena balapan. Hal yang disukainya du
[Aku lagi di rumah sakit, sedang menjaga Lara.] Tari dengan cepat membaca pesan Alex yang masuk. Saat tahu jika orang yang melamarnya sedang bersama wanita idamannya, hati Tari menjadi tak karuan. Apalagi dia baru saja mengetahui kabar gugurnya Rey dari ayahnya. Tari semakin tak tenang saat nomor Alex tak lagi aktif.Tari mencoba tidak berpikir berlebihan. Hal yang wajar jika Alex ada di rumah sakit karena istri sahabatnya pasti syok, mendengar berita suaminya. Apalagi saat ini sedang hamil. Tari ingin memahami hal itu, namun sisi dirinya yang lain sangat kuatir. Kini tidak ada halangan lagi bagi Alex jika dia ingin meraih hati Lara.Tadinya Tari ingin menanyakan berita tentang Rey, dia akan membahas hal itu setelah mereka bertemu namun rupanya sudah terjawab, Lara berada di rumah sakit pasti karena berita itu. Tari memukul-mukul pelan kepalanya berulang kali."Kenapa kamu masih memikirkan hal konyol seperti itu, sudah jelas-jelas akan menikah kenapa masih cemburu juga." Tari beru